• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring 1 Anatomi nasofaring

2.1.4 Gejala klinik

Pasien KNF jarang ditemukan asimptomatik. Kebanyakan pasien memiliki berbagai gejala yang onsetnya berbeda-beda dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien selama berbulan-bulan (Chew, 1997).

Gejala klinik bisa dibagi menjadi gejala dini dan gejala lanjut.

Gejala dini :

a. Gejala telinga

Gejala telinga bisa berupa kurang pendengaran tipe hantaran, rasa penuh di telinga, seperti terisi air, berdengung atau tinitus. Gangguan pendengaran terjadi bila ada perluasan tumor ke sekitar tuba sehingga terjadi sumbatan. Meskipun letak tuba relatif dekat dengan fossa Rosenmuller atau tumor primer, tetapi gejala telinga relatif jarang dibanding gejala tumor metastasis di leher (Sudyartono dan Wiratno, 1996). Otitis media serosa dijumpai pada 41% pasien dari 237 pasien baru yang didiagnosis KNF. Sehingga apabila seorang pasien dewasa, ras Cina datang dengan gejala ini, seorang ahli THT-KL harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Wei, 2006).

b. Gejala hidung

Epistaksis yang masif jarang dijumpai sebagai gejala dini, lebih sering dijumpai pada KNF stadium lanjut dengan atau tanpa erosi dasar tengkorak. Sekret hidung dan saliva bercampur darah pada saat membuang ludah sering dijumpai. Erosi ke antrum maksila menyerupai sinusitis. Sumbatan hidung total adalah gejala lanjut, apabila terjadi pada stadium dini, maka seringkali disebabkan oleh infeksi sekunder. Ozaena terjadi sebagai akibat nekrosis tumor dan khas pada KNF stadium lanjut (Chew, 1997, Tabuchi et al, 2011).

Gejala lanjut :

a. Pembesaran kelenjar getah bening leher

Karsinoma nasofaring memiliki kecenderungan untuk cepat menyebar ke kelenjar getah bening leher. Pembesaran kelenjar getah bening servikal merupakan gejala pertama yang timbul pada penderita KNF (Brennan B, 2006). Kelenjar limfe retrofaringeal lateral (rouviere nodes) merupakan filter kelenjar yang pertama, namun tidak dapat di palpasi. Kelenjar yang paling sering pertama kali dapat di palpasi adalah kelenjar jugulodigastrik dan/atau nodul apikal di bawah sternomastoid. Metastasis kelenjar limfe bilateral dan kontralateral sering dijumpai (Chew, 1997; Tang et al, 2014).

b. Gejala neurologis

Sindroma petrosfenoidal

Pada sindroma ini syaraf kranialis yang terlibat berturut-turut adalah : n. IV, III, VI, dan n. II yang paling akhir dan jarang terjadi. Parese n. II, memberikan keluhan penurunan ketajaman penglihatan. Parese n. III, menyebabkan kelumpuhan m. levator palpebra dan m. tarsalis superior sehingga kelopak mata atas menurun, fisura palpebra menyempit, dan kesulitan membuka mata. Bila salah satu atau lebih dari n.III, IV dan VI, mengalami parese, maka akan terjadi strabismus dengan gejala diplopia (melihat ganda) disebabkan karena kelumpuhan salah satu atau beberapa otot-otot ekstraokuler. Parese n. V, menimbulkan gejala parestesi sampai hipestesi pada separuh wajah atau timbul neuralgia separuh wajah (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

Sindroma parafaring

Syaraf kranial yang terlibat pada sindroma ini adalah n. IX, X, XI, XII, sebagai akibat dari pertumbuhan dan perluasan karsinoma nasofaring. Parese n. IX, menimbulkan gejala-gejala klinis seperti hilangnya refleks muntah, disfagia ringan, parese lidah, deviasi uvula ke sisi yang baik, hilangnya sensasi pada faring, tonsil, bagian atas tenggorok, dan belakang lidah, salivasi meningkat, dan takikardi pada sebagian lesi n. IX. Hal ini mungkin akibat gangguan reflex karotikus. Parese n. X menimbulkan gejala klinis gangguan motorik seperti afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara, disfagi dan spasme esofagus, sedangkan gejala klinis gangguan sensoriknya berupa nyeri pada daerah faring dan laring, dispnea, dan hipersalivasi. Parese pada n. XI menimbulkan gejala seperti kesukaran mengangkat atau memutar kepala dan dagu. Parese n. XII terjadi akibat infiltrasi tumor ganas melalui kanalis n. hipoglossus atau dapat pula karena penekanan pembesaran limfonodi pada spatium parafaring, maka akan terjadi parese n. XII yang keluar melalui kanalis n. hipoglosus, sehingga terjadi pula parese otot-otot yang dipersyarafinya yaitu m. stiloglossus, m. longitudinalis superior dan inferior dan m. genioglosus (otot-otot lidah). Gejala yang timbul akibat parese n. XII ini adalah lidah menyimpang ke sisi yang lumpuh, penderita pelo dan disfagi (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis KNF ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sudah jelas, diagnosis pasti memerlukan biopsi lesi.

Untuk melihat lesi lebih jelas dan untuk melihat lesi yang tidak dapat diraba dapat mempergunakan indirect nasopharyngoscopy atau flexible fiber optic atau endoskopi kaku. Dengan endoskopi maka biopsi dapat dilakukan (Her, 2001; Jeyakumar, 2006).

Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan dengan kontras dan MRI. Adanya penyangatan (enhancement) pada regio tersebut mencurigakan akan adanya suatu proses keganasan. Umumnya buku onkologi lebih menganjurkan pemeriksaan MRI dari pada CT-Scan karena dapat memberikan detail yang lebih baik tentang perluasan dan keterlibatan intrakranial. Sebaliknya, CT-Scan pada bone setting dapat menunjukkan adanya erosi tulang. Faktor-faktor ini penting untuk menentukan stadium penyakit (Jayekumar, 2006).

CT-Scan dapat menunjukkan perluasan jaringan lunak di daerah nasofaring dan ke arah lateral menuju ruang paranasofaring. CT-Scan sensitif untuk mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak. Perluasan tumor ke intrakranial melalui foramen ovale dengan penyebaran perineural juga dapat di deteksi, yang merupakan bukti keterlibatan sinus kavernosus tanpa erosi dasar tengkorak. CT-Scan juga dapat menunjukkan regenerasi tulang setelah terapi yang mengindikasikan eradikasi tumor telah sempurna (Wei, 2006).

Gambaran lesi T1 pada nasofaring terbatas seluruhnya pada nasofaring menyebabkan penebalan dan asimetri. Lesi diklasifikasikan T2a apabila telah menyebar ke fossa nasalis. Keterlibatan ruang parafaring diklasifikasikan sebagai T2b karena dapat menyebabkan

prognosis yang lebih buruk. T3 tumor dikarakteristikkan dengan perluasan ke sinus paranasal dan ada ditemukannya keterlibatan tulang. Pada gambaran CT-Scan akan terlihat erosis kortikal dan sklerosis. Apabila intrakranial, hipofaring, orbita, sinus maksila atau nervus kranial sudah terlibat, maka tergolong sebagai T4 (Goh dan Lim, 2009)

Identifikasi keterlibatan kelenjar getah bening penting untuk diketahui karena dapat meningkatkan resiko rekurensi lokal dan akan mempengaruhi penatalaksanaan. Untuk penentuan stadium digunakan klasifikasi TNM. Pada KNF nodul < 6 cm (untuk N1) dan bilateral nodul < 6 cm (untuk N2) di atas fossa supraklavikula. Nodul unilateral berukuran > 6 dikelompokkan sebagai N3a. Apabila nodul fossa supraklavikula sudah terlibat maka pasien sudah digolongkan sebaga N3b (Goh dan Lim, 2009)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih baik dari pada CT-Scan dalam membedakan tumor dengan inflamasi jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastasis kelenjar retrofaringeal dan leher dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh tumor, dimana CT-Scan tidak dapat mendeteksi infiltrasi ini kecuali disertai oleh erosi tulang. Penting untuk mendeteksi infiltrasi sumsum tulang ini karena berhubungan dengan peningkatan resiko metastasis jauh (Wei, 2006).

Deteksi pasti metastasis jauh pada saat diagnosis sulit dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bone scan, Scintigraphy hati dan biopsi sumsum tulang sedikit membantu (Wei, 2006). Saat ini penapisan tulang (Bone scanning) serta ultrasonografi dilakukan secara

rutin pada semua pasien baru kanker nasofaring. Adanya peningkatan aktivitas pada tulang seyogyanya diikuti dengan foto setempat (x-ray spot photo) pada daerah yang bersangkutan untuk menghindarkan positif palsu pada penyakit degeneratif tulang (artrosis).

a. Pemeriksaan Fisik.

Pemeriksaan tidak langsung daerah nasofaring dapat dilakukan dengan cermin, tetapi variasi anatomi nasofaring pada beberapa pasien akan mengakibatkan evaluasi yang tidak adekuat pada daerah ini (Wei, 2006). Permukaan mukosa nasofaring yang tidak rata atau menonjol, perlu dicurigai adanya tumor, terutama bila relevan dengan gejala klinis. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat dilihat dengan mudah (Mulyarjo, 2002).

b. Biopsi nasofaring

Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang diambil dari tumor di nasofaring. Teleskop kaku Hopkins 0° dan 30° memberikan pandangan yang baik dari nasofaring. Jika terdapat deviasi septum, endoskop 70° dimasukkan melalui cavum nasi yang berlawanan dapat memberikan visualisasi tumor yang adekuat. Endoskop 70° yang dimasukkan di belakang palatum mole dapat memberikan visualisasi atap nasofaring dan kedua muara tuba Eustachius. Endoskop kaku tidak mempunyai jalur penghisap atau jalur biopsi. Darah dan mukus yang menutupi tumor harus dibuang dengan penghisap terpisah untuk mendapatkan pandangan yang jelas pada daerah patologis. Forsep biopsi

harus dimasukkan bersebelahan dengan endoskop untuk mendapatkan biopsi tumor di bawah pandangan langsung (Chew, 1997; Wei, 2006).

Endoskop fleksibel memberikan pemeriksaan yang teliti pada seluruh nasofaring, walau bila dimasukkan melalui salah satu sisi cavum nasi. Ujungnya dapat bermanuver di belakang septum nasi ke sisi sebelahnya. Endoskop ini memiliki jalur penghisap dan forsep biopsi yang dapat dimasukkan melaluinya untuk mengambil biopsi tumor di bawah pandangan langsung. Walaupun demikian, gambaran visual yang diperoleh dari endoskop fleksibel kurang baik dibandingkan endoskop kaku dan ukuran forsep biopsi kecil, sehingga pengambilan jaringan tidak optimal (Wei, 2006; Gao et al, 2014).

Teknik biopsi lain yang pernah diperkenalkan adalah biopsi dengan jarum halus. Dilaporkan bahwa kepekaan teknik ini adalah lebih dari 90% dengan spesifisitas 100%. Teknik ini mungkin kurang praktis untuk tumor stadium dini (Mulyarjo, 2002). Penelitian oleh Stevens et al. (2006) menyimpulkan bahwa monitoring kuantitatif DNA Virus Epstein-Barr dan deteksi mRNA BARF1 dan EBNA1 pada brushing nasofaring merupakan alat diagnostik non invasif yang spesifik pada pasien suspek KNF, secara langsung mendeteksi aktivitas Virus Epstein-Barr yang spesifik terhadap karsinoma di lokasi anatomis dimana tumor primer berkembang. Oleh karena sifat non invasifnya maka metode ini dapat menjadi alat yang bernilai untuk prognostik yang dapat digunakan sesering mungkin selama

follow up. Metode brush nasofaring dapat berguna terutama sebagai test konfirmasi untuk perkiraan resiko KNF pada penelitian screening populasi,

misalnya dengan menggunakan serologi IgA dan IgG terhadap protein Virus Epstein-Barr spesifik sebagai marker diagnostik awal (Lu, 2010; Yoen, 2013).

Dokumen terkait