• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KESIMPULAN DAN SARAN

9 Gejala dan tanda serangan hama

Ulat dan bekas gigitan ulat pada daun

Ulat dan bekas gigitan ulat pada daun

Kepompong ulat dan bekas gigitan ulat pada daun

Kepompong yang melekat pada batang tanaman

Kutu putih Batang tanaman yang terkena kutu putih dan menjadi sarang

semut

Rayap yang menyerang batang tanaman

Rayap yang menyerang tanaman

Tanaman mati karena terserang ulat penggerek

Serbuk kayu (dari ulat penggerek) pada permukaan tanah

Lubang pada batang tanaman yang diserang ulat penggerek

Batang tanaman yang diserang ulat penggerek (lubangnya ditutupi dengan plastik oleh

petani, agar tanaman tidak mati)

ABSTRAK

EKA PERDANAWATI YUNUS. E44070024. Respon Pertumbuhan Awal Klon Jati Unggul Nusantara (JUN) di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dibawah bimbingan ISKANDAR Z. SIREGAR

Jati merupakan kayu premium yang memiliki masa tebang yang cukup lama (slow growing species)yakni 60-80 tahun. Menanggapi hal ini, telah berkembang berbagai teknologi pemuliaan pohon yang telah menghasilkan berbagai varietas jati unggul. Keunggulan varietas ini diharapkan dapat dipertahankan salah satunya dengan cara perbanyakan secara vegetatif. Salah satu nama bibit jati hasil pembiakan vegetatif yang diproduksi dengan sentuhan bioteknologi adalah Jati Unggul Nusantara (JUN). Ketika ditanam di lapangan, klon JUN akan berinteraksi dengan lingkungannya. Keragaan dari interaksi antara faktor genetik (klon) dengan lingkungannya ini dapat diketahui melalui uji klon. Hasil uji klon ini selanjutnya dapat dijadikan rekomendasi klon-klon unggulan yang dapat ditanam dalam skala luas, salah satunya yaitu di Jawa Barat.

Penelitian uji klon di Purwakarta (Jawa Barat) menggunakan rancangan acak lengkap berblok dengan variabel yang diukur yakni pertambahan tinggi,

pertambahan diameter, dan daya sintas (survival rate) serta tingkat serangan

hama. Uji keragaan dilakukan pada 41 klon JUN dan 1 lot jati lokal sebagai

kontrol yang ditanam pada 4 microsite yang memiliki kondisi jarak tanam dan

dosis pupuk dasar yang berbeda. Pengulangan sebanyak empat kali dilakukan

pada keempat microsite tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan nilai repeatability klon JUN

pada umur 6 bulan untuk diameter ( 0,62) dan tinggi ( 0,80). Daya

sintas klon yang ditanam pada microsite tersebut dapat dinyatakan cukup besar

(lebih dari 90%). Dibandingkan dengan kontrol, pertumbuhan rata-rata klon dapat lebih tinggi 34% untuk variabel diameter dan 111% untuk variabel tinggi. Dari

keempat microsite, microsite 2 (jarak tanam 3 x 4 m dan pupuk dasar 5 kg)

merupakan yang terbaik dengan rata-rata pertambahan diameter 2,13 cm (lebih tinggi 10,11% dari rata-rata diameter keseluruhan) dan tinggi 130,00 cm (lebih tinggi 7,29% dari rata-rata diameter keseluruhan). Korelasi fenotipik dan genetik antara variabel diameter dengan tinggi cukup kuat, sedangkan korelasi antara daya sintas dengan masing-masing diameter maupun tinggi lemah. Pada penelitian ini, intensitas seleksi diasumsikan sebesar 0,617, dimana dari 41 klon akan diseleksi sebanyak 25 klon. Pada umur 6 bulan, menyeleksi dengan variabel tinggi merupakan strategi seleksi yang paling optimal karena akan menghasilkan perolehan genetik terbesar untuk diameter.

Kata Kunci: Jati (Tectona grandis Linn), uji klon, repeatability, korelasi genetik, korelasi fenotipik, perolehan genetik

ABSTRACT

EKA PERDANAWATI YUNUS. E44070024. Early Performance of Jati Unggul Nusantara (JUN) Clones in Purwakarta, West Java. Under guidance ISKANDAR Z. SIREGAR

Teak has a worldwide reputation as premium timber. Because of highly valued timber and slow growing character, tree improvement program has been attempted to produce superior varities (clones) of teak. The superior traits of these varieties can be maintained by vegetative propagation techniques and one of them is already in the market with commercial name “Jati Unggul Nusantara (JUN)”. As JUN clones are planted in the field, they will interact with its environment. The performance of clones under specific environments can be assessed through clonal test. The results of clonal test can then used to recommend prospective clones for large scale planting in the similar sitea.

The JUN clonal tests carried out in Purwakarta District (East Java Province). The trial site was established in a completely randomized block design (RCBD) with 4 replicates for each block. Clones were planted in 4 micrositses that have different spacings and manure fertilizer doses. Forty one JUN clones are tested and one lot seedling from the local teak nursery is used as control. The number of individuals from each clone is 4 indivisuals (ramets) which was arranged in line plots.

Results of the clonal test at 6 month old showed that the clonal repeatability

estimates for tree diameter was R 0.62 dan tree height wasR 0.80. The

survival rates of clones were high (more than 90%). Compare with control, the clonal performances, i.e tree diameter and tree height, increased by 34% and 111%, respectively. Out of 4 microsites, mictosite 2 (spacing of 3 x 4 m and manure fertilizer of 5 kg/planting hole) was the best in terms of clone growth performances. The genetic and phenotypic correlations between diameter and height were strong, while correlations between survival rates and both diameter and height were weak. At six months old, selection for height appears to be an optimal selection strategy, as it will lead to the highest genetic gain in diameter based on assumed selection intensity of equal to 0.617 in which it corresponds to the selection of 25 clones out of 41.

Keywords: Teak (Tectona grandis Linn.f), clonal test, repeatability, genetic correlation, phenotypic correlation, genetic gain

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kayu jati (Tectona grandis Linn.f.) memiliki reputasi dunia sebagai kayu

premium (Midgley et al. 2007). Sifat fisik dan estetikanya membuat kayu jati

banyak digunakan sebagai bahan bangunan, mebel, maupun untuk kerajinan. Permintaan pasar terhadap kayu jati inipun sangat tinggi. Menurut Bio Teak (2011) berdasarkan data selama 25 tahun, pasaran kayu berkualitas setingkat kayu jati ini akan mengalami peningkatan 2 kali lipat per lima tahun atau sekitar 40% per tahun.

Indonesia merupakan salah satu produsen kayu jati terbesar di dunia. Dalam pemenuhan permintaan tersebut, kelestarian produksi harus tetap dipertahankan. Namun, jati merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki masa tebang cukup

lama (slow growing species). Untuk mendapatkan kayu jati kualitas optimal

secara konvensional diperlukan waktu 60 sampai 80 tahun. Menanggapi hal ini, telah berkembang berbagai teknologi pemuliaan pohon yang telah melahirkan berbagai varietas jati unggul. Keunggulan varietas ini diharapkan dapat dipertahankan salah satunya dengan perbanyakan secara vegetatif. Berbagai penanaman jati yang diperbanyak secara vegetatif mulai dikembangkan dan beredar di pasaran. Salah satu nama bibit jati hasil pembiakan vegetatif yang disertai dengan sentuhan bioteknologi yakni Jati Unggul Nusantara (JUN).

Menurut PT Setyamitra Bhaktipersada (2011a) JUN tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan klon jati lainnya, yaitu: i) memiliki perakaran tunjang majemuk, ii) menghasilkan tanaman jati yang cepat tumbuh, kokoh dan kayu berkualitas, iii) memiliki masa tanam pendek yaitu 15 tahun dan dapat dipanen mulai umur 5 tahun, iv) memberikan manfat secara ekonomi, sosial dan lingkungan, dan v) JUN menjadi pilihan investasi yang tepat dan sangat menguntungkan.

Melihat beberapa keunggulan yang dimiliki oleh JUN, penanaman dan pembangunan hutan jati dengan menggunakan bibit dari klon JUN merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan hutan jati dengan kualitas kayu yang

bagus dan cepat pertumbuhannya. Akan tetapi, penelitian keragaan JUN yang ada saat ini masih perlu diverifikasi melalui penelitian uji klon.

Sifat fenotipe suatu tumbuhan merupakan interaksi antara sifat genotipe dan lingkungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah tempat tumbuh. Oleh karena itu, uji klon merupakan pra-syarat untuk merekomendasikan klon-klon unggul JUN dalam rangka penanaman dalam skala luas.

1.2.Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan 41 klon jati hasil pembiakan vegetatif. Adapun tujuan khususnya adalah:

i. menduga parameter genetik hasil uji klon pada pertumbuhan awal yang

mencakup repeatability, korelasi genetik, dan perolehan genetik;

ii. mengetahui pengaruh microsite terhadap kinerja masing-masing klon terkait

hal jarak tanam, dosis pupuk dasar dan petani penggarap.

1.3.Manfaat

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

i. rekomendasi klon-klon JUN yang terpilih dan unggul untuk penanaman skala

luas di Jawa Barat;

ii. informasi dosis pupuk dasar dan pola jarak tanam yang tepat bagi

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jati

Jati merupakan salah satu komoditas kayu mewah yang bernilai komersil tinggi (Sumarna 2003; Irwanto 2006). Hal ini berbanding lurus dengan kualitas kayunya yang tinggi. Kayu jati termasuk kelas kuat I dan kelas awet II (Irwanto 2006). Berdasarkan taksonomi, jati mempunyai penggolongan sebagai berikut (Sumarna 2003):

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Sub kelas : Dicotyledonae

Ordo : Verbenales

Famili : Verbenaceae

Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. f.

Tectona grandis Linn.f. disebut juga jati (Indonesia), sagun (India), lyiu (Burma), mai sak (Thailand), teak (Inggris), teck (Perancis), teca (Spanyol), java teak (Jerman). Penyebaran alaminya meliputi India, Myanmar, Thailand, dan bagian barat Laos (Dephut 2002). Jati bukan tanaman asli Indonesia, namun sudah tumbuh sejak beberapa tahun 1842 di Pulau Kangean, Muna, Sumbawa, dan Jawa. Dengan berkembangnya teknik budidaya jati, tanaman ini sudah menyebar di berbagai negara Asia Tenggara, Wilayah Pasifik, Afrika, dan Amerika (Dephut 2002; Irwanto 2006).

2.1.1. Morfologi

Menurut Sumarna (2003) dan Dephut (2002), tanaman jati memiliki tinggi yang mencapai 30–45 m. Pada tapak bagus dan dengan pemangkasan, batang bebas cabang dapat mencapai 15–20 m atau lebih. Diameter batang dapat mencapai 220 cm. Pohon tua memiliki batang yang beralur dan berbanir. Kulit kayunya tebal berwarna kecokelatan atau abu-abu yang mudah terkelupas.

Daun jati berbentuk elips atau bulat telur dengan ujung daun meruncing. Tata

daunnya berbentuk opposite dengan lebar 15–40 cm dan panjang 20–50 cm

tua berwarna hijau kecokelatan dengan bagian bawah berwarna abu-abu dan tertutup bulu berkelenjar berwarna merah.

Menurut Sumarna (2003) secara fenologis, tanaman jati tergolong tanaman

yang menggugurkan daun (deciduous) pada saat musim kemarau (antara bulan

November hingga Januari). Setelah gugur, daun akan tumbuh lagi pada bulan Januari atau Maret. Masa pertumbuhan akan berlangsung antara bulan Juni– Agustus atau September. Buahnya masak pada bulan November dan akan jatuh pada kisaran bulan Februari atau April.

Pada tanaman jati konvensional, sifat fisik dan kimianya ditentukan oleh kondisi lahan, iklim, serta lingkungan tempat tumbuh. Pada kawasan hutan dataran rendah dengan kandungan hara optimal, curah hujan antara 750–1.500

mm/th, suhu udara nisbi antara 34–42oC, dan kelembaban sekitar 70%, akan

diperoleh kualitas produk kayu yang memiliki struktur kambium dengan tebal kulit kayu 0,4–1,8 cm. Serat halus berwarna cokelat terang dan bagian teras berwarna cokelat tua atau cokelat keemasan (Sumarna 2003).

2.1.2. Lahan Pengembangan

Perencanaan secara matang untuk pengembangan tanaman jati untuk skala luas dan profesional harus dilakukan. Perencanaan ini didahului dengan pengamatan yang meliputi letak lahan (topografi), kondisi ekologis, iklim, dan kesuburan lahan. Menurut Sumarna (2003), persyaratan tumbuh optimal tanaman jati dapat diprediksi berdasarkan asumsi berikut.

1. Secara teknis, letak lokasi erat hubungannya dengan kondisi topografi,

kualitas lahan, serta kesesuaian lingkungan tempat tumbuh. Kesesuaian tempat tumbuh dapat dilakukan dengan mempelajari pendekatan kondisi endemik asal-usul tempat tumbuh jati.

2. Pemilihan lahan pengembangan dapat pula dengan memperhatikan tingkat

keberhasilan tumbuh serta kualitas produk kayu yang dikembangkan.

3. Untuk pengembangan di luar daerah tersebut, idealnya didasarkan atas hasil

uji kesesuaian tempat tumbuh dengan memperhatikan parameter-parameter standar ekologis.

2.1.2.1.Iklim

Dalam pertumbuhannya, tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/th, optimum 1.000–1.500 mm/th, dan maksimum 2.500 mm/th (jati masih dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 3.750 mm/th). Suhu udara

minimum yang dibutuhkannya yakni 13-17oC, optimum 32-42oC dan maksimum

39-43oC. Pada fase vegetatif, kelembaban lingkungan optimal 80%. Sedangkan

pada fase generatif antara 60-70% (Sumarna 2003).

2.1.2.2.Tempat Tumbuh

Kondisi tempat tumbuh akan berpengaruh terhadap fisiologis tanaman yang ditunjukkan oleh perkembangan riap tumbuh. Menurut Sumarna (2003) secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari formasi

limestone, granite, gneis, mica schist, sandstone, quartzite, conglomerate, shale,

dan clay. Idealnya, tanaman jati ditanam di areal dengan topografi yang relatif datar (hutan dataran rendah) atau memiliki kemiringan lereng kurang dari 20%. Jati akan tumbuh lebih baik pada tekstur tanah dengan fraksi lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan keasaman tanah (pH) optimum 6,0. Namun pada pH rendah (4–5), tanaman jati masih dapat tumbuh dengan baik. Jati sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah. Sehingga jati membutuhkan tanah yang memiliki porositas dan drainase yang baik untuk pertumbuhannya agar mudah menyerap unsur hara. Tanaman yang tumbuh dengan kandungan unsur hara makro yang optimal akan memiliki perakaran yang baik sehingga proses penyeraparan unsur haranya semakin cepat dan kemampuan pohon untuk menghasilkan produksi pun semakin tinggi. Unsur hara makro yang penting dalam mendukung pertumbuhan jati yakni sebagai berikut (Sumarna 2003).

1. Kalsium (Ca), merupakan unsur penting yang mendukung pertumbuhan

meristem batang dan merupakan elemen pembentukan dinding sel. Tanaman jati yang ditanam di lahan dengan kandungan Ca rendah (8,18-9,27%) menunjukkan pertumbuhan yang kurang menguntungkan.

2. Fosfor (P) optimum yang dibutuhkan tanaman jati berkisar 0,022-0,108% atau

unsur P akan tampak pada pertumbuhan jati. Daun jati akan cepat gugur sehingga proses fotosintesa terganggu dan pertumbuhannya lambat.

3. Kalium (K) yang dibutuhkan oleh tanaman jati pada lapisan permukaan

berkisar 0,54-1,80% (45-625 ppm/100g) dan permukaan di bawahnya antara 0,40-1,13% (113-647 ppm/100gr).

4. Nitrogen (N) yang dibutuhkan tanaman jati pada lapisan permukaan tanah

antara 0,072-0,13% dan pada lahan di bawahnya antara 0,0056-0,05%. Sedangkan rataan N yang dibutuhkan oleh tanaman jati sekitar 0,0039%.

2.1.3. Jati Unggul Nusantara (JUN)

Dengan berkembangnya teknologi di bidang rekayasa genetik (pemuliaan

pohon/tree improvement), telah hadir beberapa jati varietas unggul. Jati yang

dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif berdaur pendek (±15 tahun) dengan sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Berbagai merek dagang varietas unggul yang telah beredar di pasaran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Berbagai merek dagang jati varietas unggul yang telah beredar di pasaran (Irwanto 2006; Soeroso dan Soetardjo 2009; Perum Perhutani 2011)

No. Nama Dagang Produsen Materi Asal

1. Jati Plus Perhutani (JPP) Perum Perhutani Jawa

2. Jati Super PT Monfori Thailand

3. Jati Emas PT Katama Suryabudi Birma

4. Jati Unggul PT Bumindo, PT Fitotek Jawa 5. Jati Kencana PT Dafa Teknoagro Mandiri Jawa Timur

6. JUL KBP Lamongan Thailand

7. Jati Unggul Nusantara (JUN) PT Setyamitra Bhaktipersada Indonesia (JPP)

Menurut Sumarni et al. (2009), istilah jati cepat tumbuh merupakan nama atau

sifat umum sebagai sebutan yang digunakan untuk membedakan dengan jati lokal atau jati konvensional. Jati cepat tumbuh ini merupakan jati yang dihasilkan dari pembiakan vegetatif melalui proses bioteknologi yakni teknik kultur jaringan (cloning) dan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat.

Bibit induk yang diklon untuk menghasilkan jati unggul merupakan tanaman jati terbaik setelah diseleksi dan dipilih dari tanaman jati biasa yang mempunyai sifat-sifat lebih dari populasi jati yang ada. Setiap jenis jati unggul biasanya memiliki spesifikasi tersendiri yang berkaitan dengan sifat unggul yang dimilikinya. Salah satu yang penting dari jati unggul yakni dapat dipanen pada umur 10–15 tahun. Sifat-sifat unggul lainnya yaitu mempunyai sifat keseragaman

yang tinggi, tahan terhadap penyakit, pertumbuhan cepat, batang bebas cabang

relatif tinggi, lurus, dan dapat diproduksi dalam jumlah banyak (Sumarni et al.

2009).

Sejak tahun 1982, pemuliaan pohon jati telah dimulai oleh Perum Perhutani. Pemuliaan pohon ini dimulai dengan eksplorasi dan seleksi awal pohon plus dari hutan alam maupun hutan tanaman jati di Indonesia. Saat ini telah dihasilkan koleksi 600 pohon plus yang terdiri dari 300 pohon dari Pulau Jawa dan 300 pohon dari luar Jawa. Materi genetik pohon plus tersebut disimpan atau ditanam di dalam Bank Klon, Kebun Benih Klonal (KBK), dan Kebun Pangkas. Koleksi ini ditujukan untuk konservasi genetik (bank gen) maupun untuk kegiatan pemuliaan lebih lanjut (Perum Perhutani 2011).

Salah satu hasil program pemuliaan pohon adalah diperolehnya klon unggulan hasil uji klon. Sebelum klon-klon tersebut dikembangkan, dilakukan tes pembuktian lapangan di beberapa lokasi dengan menerapkan silvikultur intensif. Salah satu produk dari program pemuliaan pohon ini adalah JPP (Jati Plus Perhutani). JPP dikembangkan melalui pembiakan vegetatif (stek pucuk dan kultur jaringan) dan generatif dengan menggunakan biji asal kebun benih klonal (KBK) (Perum Perhutani 2011). JPP yang diproduksi secara vegetatif (stek pucuk) ini kemudian disebut Jati Unggul Nusantara (JUN).

Gambar 1 Perakaran jati dari (A) biji, (B) kultur jaringan, (C) stek pucuk JUN (Soeroso dan Soetardjo 2009)

Menurut PT Setyamitra Bhaktipersada (2011b), bibit JUN diproduksi dengan bioteknologi melalui pembiakan (propagasi) vegetatif (kloning) dengan stek pucuk dan dilakukan modifikasi sistem perakaran sehingga menghasilkan akar

tunjang majemuk. Tanaman JUN ini cepat tumbuh, kokoh, dan dapat dipanen

mulai umur 5 tahun dengan hasil kayu bundar (log) 0,2 m3/pohon. Klon Jati

Unggul Nusantara (JUN) memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan klon jati lainnya. Oleh karena itu, pembangunan hutan jati dengan menggunakan bibit dari klon JUN merupakan salah satu alternatif untuk memproduksi kayu jati dengan kualitas fenotipe yang tinggi dengan masa tanam yang cepat.

2.2.Uji Klon

Perbanyakan secara aseksual (seperti stek pucuk) menjamin tidak akan berubahnya genotipe tanaman. Hal ini merupakan alat yang penting untuk beberapa metode konservasi. Perbanyakan aseksual mempunyai arti khusus untuk mengekalkan genotipe, populasi atau jenis dari bahaya kepunahan (Finkeldey 2005).

Suatu fenotipe dari tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Sifat-sifat yang mempengaruhi hasil dari hutan tanaman diamati dalam uji coba lapangan. Analisis variasi yang diamati harus berdasarkan metode genetika kuantitatif. Dalam beberapa kasus, beberapa sifat diamati dalam suatu pengujian yang dilakukan secara periodik. Tipe pengujian yang dilakukan tergantung pada tujuan penanaman yang akan dilakukan (Finkeldey 2005).

Sifat yang diamati di dalam pengujian ini seperti daya sintas, pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Seluruh sifat tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Namun, hanya beberapa dari sifat-sifat tersebut yang diukur dalam skala kontinyu dan dalam hal ini bersifat kuantitatif. Sebagian besar sifat yang mencirikan pertumbuhan adalah kuantitatif. Daya sintas adalah suatu sifat dengan dua kemungkinan ekspresi pada setiap tanaman (hidup atau mati). Kesehatan tanaman juga kualitatif dengan dua ekspresi saja (infeksi atau tidak terinfeksi) atau dicatat dalam kelas diskrit (Finkeldey 2005).

Beberapa sifat yang dicatat dalam pengujian lapangan berasosisasi erat dengan kondisi keteradaptasian pohon terhadap kondisi lingkungan di tempat pengujian dan fitness dari tanaman. Hal ini berlaku jelas untuk daya sintas dan sifat-sifat yang mencirikan kesehatan tanaman. Sifat-sifat pertumbuhan tidak selalu

Ketika dilakukan pengukuran secara berturut-turut terhadap sifat yang ada pada sekelompok individu, superioritas atau inferioritas yang dimiliki sebelumnya akan berelasi sama seperti biasa pada pengukuran selanjutnya. Konsistensi posisi relatif ini dari relasi subjek satu sama lain selama pengukuran yang dilakukan

secara berturut-tutut disebut repeatability (Tunner & Young 1969 dalam Carvalho

III.METODE PENELITIAN

3.1.Tempat dan Waktu

Kegiatan penelitian dilakukan pada tanaman klon Jati Unggul Nusantara (JUN) di Desa Sukatani, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Jawa

Barat. Penelitian dilakukan pada empat tapak mikro (microsite) dengan kondisi

umum seperti pada Tabel 3. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2011.

Tabel 2 Kondisi umum microsite

Microsite Kondisi Umum dan Tanaman Sela

Lokasi Kesuburan Lahan

Jumlah Petani Penggarap 1 Singkong, cabai, kacang ijo, ubi jalar. Secara umum,

keempat microsite

merupakan lahan yang kurang subur. Namun, jika disesuaikan tipe kesesuaian lahan untuk jati (Sumarna 2003), keadaan tanahnya cenderung baik kecuali untuk Ca dan tekstur (hasil analisis disajikan pada Lampiran 8–9).

3 2 Ubi jalar, pisang, keladi, ditumbuhi

semai sengon, cabe, singkong, jagung.

3 3 Kedelai, ubi jalar, singkong, cabe.

Tanah pada bagian pangkal batang. digemburkan, dan pada beberapa klon ditaburi dengan arang.

3

4 Pada umumnya, microsite ini kurang digarap dengan baik (rumput atau gulma banyak). Namun, terdapat juga beberapa tanaman sela seperti jagung, ubi, kedelai, dan cabai, kacang panjang, singkong dan kacang tanah.

4

3.2.Alat dan Bahan

Penelitian ini dilakukan pada tanaman klon Jati Unggul Nusantara (JUN) berumur 0 sampai 6 bulan dengan jumlah perlakuan klon sebanyak 41 klon dan 1 lot kontrol (jati lokal yang diambil dari Purwakarta). Dalam pelaksanaannya, di dalam penelitian ini digunakan beberapa alat dan bahan seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3 Alat dan bahan penelitian Jenis

Kegiatan Pengambilan Data

Pertumbuhan

Analisis Morfologi

Daun Pengolahan Data

Alat Kaliper, galah berskala metrik, kamera digital, dan alat tulis

Pita meter dan alat tulis

Komputer, Software SAS versi 9.1, dan Software Microsoft Office Excel 2007 Bahan Tally sheet Tally sheet Data primer

3.3.Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian pada uji klon ini adalah rancangan acak lengkap berblok

(randomized complete block design/RCBD). Penelitian ini terbagi dalam 4

replikasi sebagai ulangan dan ditanam pada 4 lokasi (microsite/MS) dengan

kondisi sebagai berikut (Peta Sketsa Lapangan Percobaan disajikan pada Lampiran 1).

1. Microsite 1: jarak tanam 3 x 4 m dan pupuk dasar 3 kg 2. Microsite 2: jarak tanam 3 x 4 m dan pupuk dasar 5 kg 3. Microsite 3: jarak tanam 5 x 2 m dan pupuk dasar 3 kg 4. Microsite 4: jarak tanam 5 x 2 m dan pupuk dasar 5 kg

Line plot yang digunakan terdiri atas 4 individu (ramet) atau 4 tree plot.

Pupuk dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah pupuk kandang dengan dosis 3 kg dan 5 kg. Pupuk dasar diberikan pada setiap lubang tanam sebelum

Dokumen terkait