• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gelora Bung Karno

Dalam dokumen no 10th viiioktober 2014 (Halaman 80-82)

Angka pada jarum jam menunjuk tepat pukul 5 sore. Udara cerah, langit bersih dan ratusan ribu orang serentak bertepuk tangan riuh rendah mengiringi kata-kata Bung Karno. Sebuah stadion megah di Jakarta pada hari itu sudah selesai dibangun. Stadion, yang menurut kata-kata Bung Karno pada pidato resmi dalam acara pembukaan, “Ini merupakan stadion terhebat di seluruh dunia, milik bangsa Indonesia. Saya sudah berkeliling dunia, sudah melihat stadion di Rio de Janeiro, sudah melihat stadion di

Warsawa, sudah melihat stadion di Meksiko, sudah melihat stadion di negeri-negeri lain ...wah, Stadion Utama Jakarta adalah stadion terhebat di seluruh dunia.”

Salah satu keunikan yang kemudian menjadi ciri khas memang telah dimiliki stadion baru ini. Hal tersebut secara langsung sengaja disinggung Bung Karno melalui kalimat, “Tidak ada satu stadionpun di dunia ini atapnya temu gelang. Tidak ada. Stadion Rio de Janeiro di Brasil yang lebih besar sedikit daripada stadion ini, tetapi atapnya tidak temu gelang dan konstruksinya kalah jauh dengan konstruksi stadion kita...”

Dalam kondisi sebagai bangsa dan negara yang baru saja lahir serta dihimpit segala macam keterbatasan dana dan sumber daya manusia, pada 8 Februari 1960 Bung Karno dengan gagah dan bersemangat meman- cangkan tiang pertama tanda dimulainya secara fisik pembangunan Stadion Utama Senayan. Stadion ini semula akan digunakan untuk perlombaan olahraga bangsa-bangsa Asia yang dimulai pada 24 Agustus 1962.

Ibukota Jakarta ditetapkan sebagai tempat penyelenggaraan Asian Games IV. Terpilih- nya Jakarta sebagai tuan rumah penye- lenggara Asian Games IV merupakan sebuah perjuangan tersendiri. Pada saat proses penghitungan suara dalam sidang Federasi Asian Games di Wasenkei Keikan, Tokyo, Jakarta berhasil mengumpulkan 22 suara pendukung, menang tipis dari Karachi, ibu kota Pakistan, yang memperoleh 20 suara, sementara satu suara dinyatakan batal.

Terpilihnya Jakarta menjadi tugas berat

dan besar. Sebab, persyaratan minimum yang langsung menghadang adalah keharusan dibangunnya sebuah multi-

sports complex. Sesuatu yang pada masa

itu masih langka dan belum ada dalam bayangan masyarakat.

Untuk memastikan lokasi pusat kegiatan olahraga yang direncanakan itu, Bung Karno bersama arsitek Frederik Silaban terbang dengan helikopter kepresidenan. Ketika berada di atas kawasan Senayan, seketika lahir ide Bung Karno. Dengan dukungan penuh dari Silaban, Bung Karno kemudian memilih lokasi perkampungan Senayan dan sekitar sebagai calon lokasi kompleks pusat kegiatan olahraga yang bakal dibangun.

Kawasan yang pada masa itu harus dibebaskan mencakup wilayah empat kampung. Meliputi Kampung Senayan, Pertunduan, Kebun Kelapa dan Bendungan Hilir. Tanpa menemui hambatan berarti, areal seluas kurang lebih 300 hektar dengan cepat bisa dibebaskan. Para penghuninya, sekitar 600.000 jiwa, dengan berangsur-angsur mulai dipindahkan ke wilayah Tebet.

Pemancangan tiang ke seratus secara simbolis dilakukan oleh Perdana Menteri Uni Republik Republik Soviet Sosialis (URSS). Sesuatu yang dimaklumi karena proyek pembangunan stadion tersebut memperoleh bantuan dukungan kredit lunak sebesar 12,5 juta dolar AS yang disediakan pemerintah Uni Soviet.

Stadion Utama tampak megah dengan lima lantai di dalamnya. Lantai satu sampai tiga dikenal sebagai Tribun Bawah. Kemudian lantai empat dan lima disebut Trubun Atas.

Sumbu bangunan tersebut membujur dari arah utara ke selatan sepanjang 354 meter. Sumbu pendeknya melintang dari arah timur menuju ke barat sepanjang 325 meter.

Stadion Utama dikelilingi oleh jalan lingkar (ring road) sepanjang 920 meter ring dalam dan 1.100 meter ring luar. Sedangkan di bagian dalam stadion terdapat lapangan olahraga berikut track berbentuk elips seluas 1,75 hektar dengan sumbu panjang 176,1 meter dan sumbu pendek 124,32 meter. Lapangan sepakbola berukuran 105 x 70 meter.

Nama “Gelanggang Olahraga Bung Karno” diumumkan pertama kali oleh Ir. Djuanda, selaku pejabat presiden selama Presiden Soekarno (waktu itu) berada di luar negeri. Usai Asian Games nama Gelora Gelora Bung Karno resmi digunakan dengan status sebagai yayasan, yaitu Yayasan Gelora Bung Karno (YGBK) yang dibentuk secara resmi melalui Keppres No. 318 Tahun 1962 tanggal 24 September 1962.

Pada masa Orde Baru, nama Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan. Namun setelah bergulirnya era reformasi, pada 19 Februari 2001, Presiden Abdurrahman Wahid melalui Keppres No. 7 Tahun 2001 menetapkan pemakaian kembali nama Gelora Bung Karno dan Stadion Utama GBK, sampai sekarang.

Di samping sebagai tempat arena pertandingan olahraga, di Stadion Utama juga sering dimanfatkan untuk beragam pagelaran kebudayaan atau pertunjukan kesenian dan kegiatan politik dari partai-partai politik. ❏

BS

80 EDISI NO.10/TH.VIII/OKTOBER 2014

80 EDISI NO.10/TH.VIII/OKTOBER 2014

B

ILA kita rajin melihat Sosialisasi

Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, di TVRI, yang diselenggarakan oleh MPR periode 2009-2014, pasti tak asing dengan wajah Dyra Mayori. Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, 13 Oktober 1983, itu adalah penyegar acara di setiap jeda. Dengan mengalunkan lagu-lagu pop yang dibawakan, membuat acara sosialisasi menjadi lebih cair dan tidak menjadi kaku. Perempuan yang masih tercatat sebagai mahasiswi Politeknik Manufaktur Astra itu mengaku dirinya suka menghibur orang lewat suaranya yang merdu, selain karena suka menyanyi juga karena dunia itu sebagai lahan hidupnya. Sebab sebagai lahan hidupnya maka Dyra sering berada di acara gathering, corporate, launching

product, wedding, dan kegiatan lainnya.

“Pastinya untuk menyanyi,” ujarnya dengan tersenyum. Perempuan bertubuh jangkung itu dengan berkelakar mengatakan dirinya akan terus menyanyi sampai tidak ada panggilan untuk melakukan pekerjaan itu.

Dunia menyanyi diakui oleh perempuan yang bisa menjadi MC itu sebenarnya dunia yang tidak didukung ketrampilannya. Ketrampilan sebenarnya adalah melukis. Di dunia gambar menggambar dan mewarnai itu, dirinya malah pernah berprestasi. “Pernah juara melukis antar mahasiswa,” akunya. Dunia itu sekarang sebatas menjadi hobby.

Sebagai penyegar dalam sosialisasi, pastinya Dyra suka nguping ketika narasumber memberi paparan mengenai Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan nguping tersebut membuat dirinya jadi paham dasar dan pilar-pilar negara. “Senang jadi tahu dasar dan pilar negara itu,” ucapnya dengan senyum manis. ❏

AW

Dalam dokumen no 10th viiioktober 2014 (Halaman 80-82)

Dokumen terkait