BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.3 Gender
Istilah gender adalah sesuatu yang jauh dari istilah biologis mengenai laki-laki
dan perempuan. Gender tidak sama dengan jenis kelamin ‘sex’, melainkan suatu
karaktek yang diharapkan berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan ‘sex’ dan karakter tingkah laku
tertentu yang berkaitan dengan jenis kelamin berhubungan dengan ‘gender’; laki-laki
dan perempuan berhubungan dengan ‘sex’ dan maskulin dan feminim berhubungan
dengan ‘gender’ (Goddard, 2000: 1-3)
Penelitian awal mengenai perbedaan jenis kelamin memberikan landasan yang
kuat bagi keyakinan terhadap peran-peran sosial yang ‘alami’ bagi laki-laki dan
perempuan. Peran-peran sosial inilah yang disebut sebagai gender (Basow, 1992: 2-
berikut: it’s ‘only natural’ that Jane should like babies, it’s ‘only natural’ that Jim
should like football; Jane is ‘naturally’ better than Jim at ironing, Jim is ‘naturally’ better than Jane at building cupboards. And ‘it’s only natural’ that they should together, of course.
Isu gender dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam masyarakat, sehingga isu
ini berkembang secara berbeda dalam satu masyarakat tertentu dan dipengaruhi oleh
perjalanan waktu (Young dan Fitzgerald, 2006: 36). Isu gender menjadi penting
khususnya dalam perspektif feminisme karena adanya praktek-praktek kekuasaan
yang menyebabkan dominasi satu faktor seksual terhadap faktor seksual lainnya,
misalnya dominasi pria terhadap wanita (Mills, 1997: 78).
Salah satu acuan dalam studi gender adalah hasil penelitian yang dilakukan
oleh Mead pada tahun 1965 terhadap tiga kelompok etnik di Papua Timur yang
dirangkumnya dalam Sex and Temperament in Three Primitive Societies
(/id/Wikipedia.org/wiki/Margareth_Mead, 17 Desember 2009). Anggapan
sebelumnya mengenai peran-peran berdasarkan jenis kelamin adalah mitos yang
muncul dari perbedaan karakter laki-laki dan perempuan yang dikaitkan dengan ciri
kepribadian tertentu, misalnya perempuan dikaitkan dengan watak keibuan, lembut,
altruisif, emosional, mandiri, peduli, sementara laki-laki dikaitkan dengan ciri agresif,
dominan. Penelitian Mead terhadap suku Arapesh, Mundugumor, dan Tschambuli
menunjukkan keadaan yang berbeda dengan karakter-karakter yang disebutkan
Penduduk suku Arapesh, baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kepribadian yang cenderung kepada sifat tolong menolong, tidak agresif, penuh
perhatian terhadap kepentingan orang lain, tidak ada seksualitas kuat, dan tidak ada
pihak yang lebih dominan dalam hal kekuasaan. Berbeda dengan penduduk suku
Mundugumor, baik laki-laki dan perempuan diharapkan untuk memiliki kepribadian
agresif, perkasa, kuat, dan disertai seksualitas yang kuat. Pada penduduk suku
Arapesh, mereka justru memiliki peran-peran yang bertentangan dengan anggapan
umum terhadap gender. Dalam masyarakat Arapesh, kaum laki-laki justru memiliki
kepribadian emosional dan cenderung tidak bertanggung jawab, sementara kaum
perempuan memiliki dominasi yang lebih besar dan kuat terhadap kekuasaan.
Maccobby dan Jacklin (1974) dalam Sarwono (2002: 174) menemukan
beberapa anggapan mengenai ciri jenis kelamin yang ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan: (1) perempuan lebih bersifat sosial dari laki-laki, kenyataannya menurut
penelitian laki-laki sama tertariknya dengan perempuan pada situasi sosial; (2)
perempuan lebih mudah terpengaruh, kenyataannya tidak ada pengaruh jenis kelamin
kepada mudah tidak mudahnya seseorang untuk dipengaruhi; (3) perempuan
mempunyai harga diri yang lebih rendah dari laki-laki, kenyataannya penilitian
menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai harga diri di bidang yang
berbeda-beda; (4) perempuan lebih baik pada tugas-tugas yang sederhana dan
berulang-ulang, sedangkan laki-laki lebih baik pada tugas yang menuntut pemikiran
dalam hal ini; (5) laki-laki memiliki daya analisis yang lebih tinggi dari perempuan,
kenyataannya laki-laki dan perempuan sama kemampuan logikanya, walaupun laki-
laki memiliki kemampuan sedikit lebih baik dalam analisis spatial atau ruang; (6)
perempuan kurang mempunyai motif berprestasi, kenyataannya tidak ada perbedaan
seperti itu (walaupun laki-laki sering lebih memandang dirinya sendiri lebih
mempunyai motif berprestasi).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dapat dilihat bahwa ternyata gender
tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis, melainkan merupakan hasil dari
konstruksi sosial. Dengan kata lain, gender bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir,
melainkan hasil dari proses sosialisasi. Sosialisasi dapat berlangsung melalui agen-
agen sosialisasi, seperti keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa
(Basow, 1992: 118).
Media massa sebagai salah satu agen konstruksi sosial gender menggunakan
bahasa sebagai alat konstruksi. Teks media massa memiliki struktur sedemikian rupa
dalam mengkonstruksi gender. Analisis terhadap isi media menunjukkan adanya dua
ideologi utama yang menerangkan, menjelaskan, dan membenarkan tingkah laku
tertentu berdasarkan gender. Pertama, ideologi seksis yang memandang bahwa derajat
laki-laki lebih tinggi dibandingkan derajat perempuan. Kedua, ideologi non-seksis
yang memandang bahwa laki-laki dan perempuan memeiliki derajat yang sama dalam
Ideologi seksis dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu patriarki,
familialisme, ibuisme, dan umum. Ideologi patriarki memandang bahwa laki-laki
(ayah) memiliki hak mutlak atas keluarganya, termasuk perempuan di dalamnya (istri
dan anak perempuan). Ideologi familialisme memandang perempun sebagai bagian
sentral dalam peran-peran rumahtangga. Ideologi familialisme menuntut perempuan
untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik, sehingga sejak dini seorang
perempuan telah dipersiapkan untuk hal tersebut. Ideologi ibuisme merupakan
ideologi seksis yang berkembang pertama kali pada masa pemerintahan Ratu Victoria
di Inggris. Ideologi ibuisme digunakan untuk mengontrol ruang gerak perempuan
dengan dengan cara memantapkan konsep ‘kodrat’ yang melekat pada diri
perempuan. Ideologi umum merupakan ideologi yang menekankan nilai pingitan
(seclusion) perempuan, pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu
(exclusion), dan mengutamakan feminitas perempuan (Darma, 2009: 215-221).