• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGI GERAKAN EKONOMI ISLAM GERAKAN Islam di Indonesia perlu disimak kemhali,

Dalam dokumen Fiqih Sosial KH Sahal Mahfudz (Halaman 62-70)

[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ] AGENDA MORAL

BAGI GERAKAN EKONOMI ISLAM GERAKAN Islam di Indonesia perlu disimak kemhali,

direfleksikan lebih dalam, kemudian dibentangkan ke depan agar lebih jelas relevansinya dengan berbagai masalah kekinian dan keakanan sebagai tantangan yang harus dihadapi oleh umat di Indonesia. Penyimakan gerakan Islam secara multi dimensional yang mengacu pada agenda-agenda riil yang dihadapi umat Islam, akan membantu memudahkan pencarian strategi yang utuh, obyektif dan efektif untuk mencapai sasaran bagi gerakan itu sendiri.

Dimensi sosial-ekonomi sebagai garapan utama bagi gerakan, yang menjadi tolok ukur bagi kesejahteraan kehidupan umat Islam di Indonesia, ia tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan erat dengan ihwal dan sikap mental masyarakat sebagai pelaku ekonomi, sekaligus sebagai sasaran gerakan. Pengaruh dan tantangan bagi gerakan ini, juga muncul dari kompleksitas masalah politik, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pluralitas garapan bagi gerakan Islam di Indonesia yang ada saat ini, pada dasarnya merupakan potensi tersendiri, bila

aktualisasinya mampu memenuhi pluralitas pandangan dan wawasan di berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek itu meskipun dibedakan secara diferensial, namun satu dengan yanglain saling berinteraksi dalam proses pencapaiannya.

Karena itu, aktualisasi gerakan Islam yang beragam menuntut

adanya interaksi dalam prosesnya yang strategis, untuk menghindarkan benturan-benturan atau kesenjangan. Antara gerakan ekonomi yang terkesan berwatak material dan gerakan dakwah yang lebih berwatak material dan gerakan dakwah yang lebih berkesan mengedepankan moralitas dan spiritualitas misalnya, mesti ada interaksi, untuk menghindari ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan yang bertentangan dengan gagasan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

***

HARUS diakui, belakangan ini muncul gerakan Islam yang beragam bentuk dan aksinya. Mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, kaum remaja sampai golongan tua, terlibat dalam berbagai gerakan Islam, yang bergerak secara sporadis dan parsial mau pun yang diwadahi oleh lembaga, yayasan dan organisasi kemasyarakatan Islam. Secara umum kenyataan ini lahir lahir dari adanya kesadaran kritis atas aneka ragam tantangan, akibat

transformasi sosial, teknologisasi dan globalisasi di berbagai bidang.

Gerakan sebagai wahana dinamisasi gagasan itu telah mampu memperluas wawasan sosial dan mempertajam kepekaan

masyarakat untuk mengantisipasi masalah keakanan, meski belum menawarkan solusi alternatif. Meskipun visi dan motifnya sama, gerakan Islam punya titik tekan dan strategi yang beragam. Ada yang menitiktekankan dakwah Islamiyah, pendidikan kebudayaan, kesenian, kesehatan dan perekonomian.

Namun gerakan yang bergerak di bidang ekonomi masih sangat kecil secara kuantitatif maupun kualitatif. LSM/LPSM (Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga Pengembangan Swadaya

Masyarakat) Islam yang pada umumnya menekankan kegiatannya pada peningkatan kualitas hidup masyarakat (khususnya ekonomi) masih sangat sedikit. Kalau toh ada, sebagian besar terbatas pada lingkup daerah, belum berskala nasional. Dari segi manajemen, mereka belum mapan. Soal dana juga masih sangat dependen,

tergantung pada founding atau lembaga donor luar negeri.

Sekian banyak ormas Islam yang ada juga belum serius menangani peningkatan ekonomi umat Islam di sektor taktis mau pun

strategis. Di sana sini, gerakan mereka sekadar merespon peluang-peluang sesaat yang muncul di sela-sela kompetisi pelaku ekonomi dominan. Tentu saja kondisi itu tidak memberikan harapan dan prospek bagi umat Islam, kecuali hanya mengatasi kendala-kendala internal.

Tantangan di masa depan hampir dapat dipastikan makin berat. Berat karena kesiapan umat Islam menghadapi era tingggal landas dan era industrialisasi sangat lemah, akibat rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan dan permodalan. Tidak mustahil, mereka kembali akan terposisikan sebagai obyek mobilisasi dan

eksploitasi pelaku-pelaku ekonomi di tengah kompetisi global. Gerakan-gerakan Islam di bidang ekonomi sekaligus dituntut mampu menggerakkan solidaritas sosial di kalangan umat Isam. Agenda lain adalah menumbuhkan etos kerja dan kepedulian akan perlunya sistem manajerial yang mempunyai daya saing untuk menghadapi kemungkinan dominasi ekonomi golongan tertentu. Lemahnya etos kerja selama ini, adalah karena kecilnya sumber daya insani di kalangan kaum muslimin. Sementara itu, sikap konsumtif cenderung meningkat tanpa diimbangi sikap yang produktif. Salah satunya, ini merupakan dampak dari

kecenderungan hidup serba praktis dan pragrnatis. Lebih ironis lagi, bersamaan dengan sikap konsurntif itu, muncul sikap materialis.

***

PANDANGAN orang tentang hidup ini selalu beda-beda. Bagi umat Islam, hidup bukan sekedar untuk hidup. Hidup bukanlah tujuan. Kehidupan manusia merupakan proses yang akan berakhir di dunia ini dengan datangnya kematian. Sebagai proses, maka hidup tentu memerlukan berbagai sarana. Sarana yang paling

mendasar secara fisik adalah kesehatan dan ekonomi. Namun dua hal ini mempunyai dimensi moral dan spiritual bagi manusia. Model pembangunan yang difokuskan padaa pertumbuhan ekonomi, cenderung memisahkan dan mengasingkan aspek moralitas ini. Akibatnya, gerakan ekonomi selalu berhadapan secara antagonis dengan sistem nilai moral dan spiritual. Gerakan ekonomi berjalan bebas tanpa nilai dan menciptakan logikanya sendiri. Kompetisi yang muncul berjalan tanpa kontrol, dan cenderung ke arah individualisme, materialisme dan

konsumerisme.

Kemiskinan nilai moral dan spiritual itu, mendorong masyarakat ekonomi maju berpandangan eksploitatif terhadap manusia dan alam. Gerakan Islam di bidang ekonomi dituntut mampu

membentuk masyarakat Islam yang mempunyai integritas aspek moral dan aspek ekonomi secara utuh.

Pengembangan aspek ekonomi itu sendiri merupakan proses interaksi dari serangkaian upaya peningkatan sarana yang

menunjang bagi kehidupan manusia. Penumbuhan etos kerja yang diarahkan pada kualitas sumber daya manusia yang seimbang dengan sumber daya alam mau pun penyediaan dan penciptaan lapangan kerja, merupakan agenda besar bagi gerakan ekonomi Islam. Ini akan menjamin pada penciptaan keadaan ekonomi yang seimbang, dan diilhami oleh moralitas spiritual.

Harus diakui, selama ini gerakan-gerakan ekonomi di kalangan Islam belum mempunyai strategi jangka pendek mau pun jangka panjang. Sementara peta ekonomi masyarakat Islam belum dirumuskan secara kongkrit. Masyarakat Muslim di Indonesia yang jumlahnya tidak kurang dari 80%, dan berada di pedesaan, masih banyak yang tergolong dlu'afa. Namun secara persis, berapa persen mereka yang di bawah garis kemiskinan? Apa sebab

mereka jadi dlu'afa, apa karena kebodohan, keterbelakangan, kesulitan mendapatkan pekerjaan? Apakah karena alam yang tidak mendukung? Ataukah sistem dan struktur politik, budaya dan

lingkungan tidak kondusif?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat penting dicari jawabnya secara kongkrit, sebagai agenda bagi perumusan strategi pengembangan ekonomi masyarakat Islam yang sarat dengan nilai-nilai moral, di tengah krisis sistem ekonomi kontemporer yang bebas nilai. Tanpa dipandu strategi yang jelas, gerakan ekonomi Islam sering terjebak pada pola monoton, yang tampaknya bergerak, tapi hakikatnya mandeg.

Sekarang ini memang sudah mulai muncul pengusaha-pengusaha muslim kelas menengah yang cukup maju. Namun pada umumnya mereka masih sibuk membenahi dan memantapkan dirinya sendiri dan masih sering mengalami pasang surut. Kelompok ini be lum mampu atau belum tertarik untuk menumbuhkan jaringan-jaringan kerja ekonomi di kalangan masyarakat muslim yang lemah

terutama di pedesaan. Pengalaman dan keterampilan teknik mereka belum terakumulasi secara luas di tengah masyarakat muslim yang lemah, sehingga proses transformasi masih terasa lamban.

www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt

[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ] PAJAK DAN PERANAN KIAI

ADALAH fenomena baru dan masih menimbulkan berbagai pertanyaan, jika masalah perpajakan dikaitkan dengan peranan kiai atau ulama. Pada umumnya para kiai belum banyak yang

mengetahui tentang seluk-beluk perpajakan yang berlaku. Mengapa ada pajak, apa dasar penentuan wajib pajak, untuk apa hasil pajak dan apa standarisasi penentuan jumlah pajak yang

dipungut? Semna itu belum banyak diketahui para kiai, meskipun dalam hal ini para kiai -hampir dapat dipastikan- telah mentolelir dengan sikap sedia membayar pajak yang telah ditentukan. Sikap toleran seperti itu mungkin didasarkan, atas konsekuensi logis dari pendapat mereka tentang kewajiban nashbu al-imamah (menegakkan kepemimpinan) dan kewajiban mentaati Imam dalam hal yang menyangkut al-mashalih al-‘ammah (kepentingan umum). Sikap ini lalu mempengaruhi masyarakat muslim di tingkat bawah, yang pada umumnya juga aktif membayar pajak (paling tidak PBB), meskipun seringkali dirasa amat

memberatkan.

Sikap ini akan berbeda bila dibandingkan dengan siasat sebagian masyarakat kelas menengah ke atas, yang justru mencari-cari jalan untuk menghindari pungutan pajak atau paling tidak

meminimalkan jumlah pungutan pajak usahanya.

Bila kiai akan diperankan dalam perpajakan, maka dapat dipastikan, keterlibatannya hanya pada penyadaran para wajib pajak untuk membayar- kewajibannya. Dengan kata lain, para kiai hanya akan dibebani rnengkampanyekan perpajakan yang pola, sistem dan pengelolaannya telah ditetapkan. Ini berarti para kiai tidak dapat melakukan pendekatan partisipatif secara penuh, di mana beliau-beliau terlibat dalam perumusan konsepsi perpajakan. Pendekatan kepada kiai hanya dilakukan secara teknokratis dan dilakukan oleh sekelompok ahli. Pada gilirannya para kiai akan dilibatkan dalam pengerahan dan penyadaran pengumpulan pajak. ***

TERLEPAS dari istilah apapun dan batasan apapun dalam perpajakan di negeri ini, dari sudut pandangan (Islam) fiqih, apakah jizyah, khoroj, dloribah atau apakah PBB, PPn, PPh, retribusi dan lain-lain, peranan kiai hanyalah komplementer. Peranan seperti ini biasanya cenderung statis, apalagi bila tidak didukung keyakinan dan kebenaran atas substansi masalah yang akan diperankan. Akan fatal lagi bila paran kiai hanya akan

diperankan sebagai legitimator seperti sering terjadi dalam berbagai kegiatan pembangunan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, yang dinilai menghadapi hambatan dari persepsi hukum fiqihnya.

Kiai dengan potensi yang dimiliki berupa ilmu fiqih, wibawa dan kharismanya di tengah masyarakat, selalu menjadi rujukan dan referensi. Namun potensi dasar itu mempunyai gradasi berbeda-beda dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah transformasi sosial. Aktualisasi diri artinya memaksimalkan potensi dirinya untuk kepentingan masyarakat. Ini berarti, kiai dituntut

peranannya dalam hal perpajakan dengan pendekatan timbal-balik, tidak sepihak.

Dengan motivasi saja tidak akan banyak berpengaruh atas kesadaran wajib pajak. Bahkan mungkin dapat mengakibatkan kecemburuan sosial dari pihak sasaran terhadap para kiai. Akan tetapi secara simultan, motivasi mesti dibarengi dengan

pendekatan kebutuhan. Sehingga pada gilirannya, masyarakat terangsang memenubi kewajibannya sebagai warga negara setelah hak-haknya terpenuhi.

Pendekatan motivasi memerlukan kesamaan persepsi para kiai tentang perpajakan, tidak hanya dari sisi legalitas fiqih, tetapi juga menyangkut latar belakang kebijakan, sistem dan pemanfaatannya. Di samping itu kiai juga perlu memiliki wawasan politik.

Mengingat kegiatan motivasi perpajakan ini pada dasarnya tidak lepas dari kebijakan politis yang sering diduga masyarakat -meski tidak sepenuhnya benar- bahwa pajak itu semata-mata kepentingan pemerintah, bukan untuk rakyat.

Sedangkan pendekatan kedua (kebutuhan) sulit dilakukan oleh kiai secara individual, hanya dapat dilakukan secara institusional. Tentu saja ini harus didukung oleh sistem manajerial yang baik dan sarana yang lengkap. Barangkali kiai dengan pesantrennya dapat difungsikan sebagai lembaga pendekatan kebutuhan dimaksud.

***

PERSONIFIKASI ajaran Islam bukan hanya ada pada ulama dan kiai, meskipun mereka adalah pewaris para Nabi. Namun begitu, peranan ulama dalam berbagai gerakan nasional yang memberi imbas pada pranata keagamaan Islam cukup banyak dan sangat bermakna. Peranan kiai lalu sarat dengan muatan kemaslahatan umat. Para ulama yang antara lain dicirikan oleh Imam Ghazali sebagai faqih fi mashalihi al-khalqi fi dunyaha, masih sering bersikap apriori terhadap apa yang disebut maslahah. Sehingga kadang-kadang peranan dan potensi itu ketika diperankan menjadi kurang tepat pada sasaran. Alkibat selanjutnya malah

menimbulkan kesalahfahaman masyarakat, yang akan berpengaruh pada timbulnya degradasi kewibawaannya.

Karenanya, adalah sangat mendesak upaya pengembangan wawasan keagamaan Islam dan wawasan sosial di kalangan masyarakat muslim oleh para ulama dan kiai. Ini penting sebagai modal menentakan ukuran-ukuran mashlahah yang baku,

berhubungan dengan masalah diniyah maupun dunyawiah yang tidak menyimpang dari kaidah al-kulliyyat al-khamsah. Hal ini sama pentingnva dengan konsepsi-konsepsi ma’ruf dan al-dirasat al-Islamiyyah al-ijtima'iyyah, yang nampaknya sangat diperlukan dalam konteks memerankan kiai dan ulama dalam proses kegiatan pembangunan nasional termasuk perpajakan. Peranan ulama dan kiai dengan demikian tidak statis dan hanya menunggu permintaan dari pihak lain. Tetapi peranan itu akan menjadi lebih dinamis dalam setiap perubahan dan pengembangan yang terjadi. Bahkan lebih dari itu para kiai dengan potensi, peranan dan kepekaan sosialnya yang tajam akan menjadi pemandu terjadinya proses transformasi sejalan dengan era globalisasi. Ini berarti menuntut adanya kemampuan analisis terhadap perkembangan yang sedang terjadi untuk dapat

ditindaklanjuti dengan rencana pengembangan yang antisipatif dan strategis.

bagaimana prosesnya, ke mana uangnya dipergunakan dan lain-lain. Kiai dengan demikian akan berperan lebih positif dalam persiapan sosial di masyarakat. Paling tidak kiai turut membentuk kepribadian muslim yang tangguh dan tanggap terhadap segala bentuk perubahan, memiliki sikap mental yang kuat tetapi lentur, tidak menutup mata terhadap realitas yang plural, tetapi sekaligus tidak silau terhadap berbagai bentuk inovasi dan modernitas yang semakin canggih dan spektakuler.

Peranan kiai seperti itu mutlak diperlukan oleh semua pihak, ketika muncul fenomena yang mengisyaratkan adanya sikap individualistik, materialistik dan konsumeristik akibat dominasi sektor ekonomi di satu sisi dan keterbukaan kultur di sisi lain. Akhirnya, potensi apapun yang dimiliki kiai akan diperankan ke dalam proses kegiatan pembangunan, termasuk dalam kegiatan perpajakan. Pertanyaannya adalah, seberapa jauh porsi yang diberikan kepada kiai untuk itu? Apakah porsi yang akan diberikan cukup untuk mempengaruhi kebijakan pengambilan keputusan? Ataukah yang akan diberikan hanya satu porsi pemasaran dan sosialisasi kebijakan, di mana kiai tinggal mengkampanyekan kesadaran wajib pajak?.

Pilihan untuk mengetahui secara mendasar apa yang akan dilakukan, nampaknya merupakan jalan terbaik bagi kiai, untuk terlibat dalam pembangunan yang partisipatif.

www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt

[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ] MORAL DAN ETIKA DALAM PEMBANGUNAN

MANUSIA pada dasarnya adalah makhluk terbaik dari sekian makhluk lain yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi kehormatan atau karamah bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai “khalifah Allah" di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai dengan pemberianNya yang sangat bermakna tinggi, sehingga menjadikan manusia dapat menguasai alam ini.

Pemberian itu berupa "akal dan pikiran'' yang mampu mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan akal pikiran, manusia dapat menerima, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kelebihan manusia, di samping karena akal pikirannya, juga karena nafsu dan perasaan. Manusia dengan nafsunya mempunyai semangat, etos dan sikap-sikap emosional lain yang positif. Manusia dengan intuisinya mempunyai daya estetik dan etik yang juga mampu mengangkat harkatnya.

Sebagai “khalifah Allah", manusia pada dasarnya telah dibekali dengan tiga potensi di atas, yaitu akal pikiran, nafsu dan perasaan. Dengan bekal inilah manusia mampu menjalankan kekhalifahan untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain, kelompok mau pun orang perorang.

Masalahnya adalah, seberapa jauh manusia melaksanakan kemampuannya itu. Hal ini akan banyak dipengaruhi oleh kemampuan mewujudkan keseimbangan antara tiga potensi tersebut ketika diperankan dalam sikap dan perilaku kekhalifahan. Keseimbangan dimaksud memerlukan ukuran-ukuran tertentu, berkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan manusia, baik lingkungan alam mau pun lingkungan komunitas yang

berpengaruh besar dan akan menjadi pertimbangan. Bila

keseimbangan itu hanya diukur dengan subyektivitasnya sendiri, justru sering rnenimbulkan kerawanan tertentu dan tidak mustahil mengakibatkan keresahan pada dirinya sendiri.

MORAL dan etika di dalam Al-Qur'an disebut "akhlaq" yang berarti budi pekerti atau tata susila, sebenarnya telah ada sejak adanya kehidupan manusia. Persoalan "baik-buruk" telah muncul sejak tingkat peradaban awal, meskipun ukuran yang dipakai berbeda-beda. Kadang-kadang diukur dengan akal yang paling sederhana tanpa melibatkan perasaan atau sebaliknya, atau hanya dengan penilaian perasaan dan malahan hanya dengan nafsu. Penilaian baik-buruk atas tindakan dan amal perbuatan rnanusia dengan ukuran-ukuran tertentu itulah yang disebut moral atau etika.

Biasanya ukuran-ukuran itu dipengaruhi oleh budaya, lingkungan dan ajaran agama, sehingga terjadi perbedaan penilaian antara satu daerah dengan daerah lain. Suatu perbuatan dinilai baik di satu daerah, belum pasti dinilai sama di daerah lain. Hal ini akan bergantung pada kesepakatan sosial yang terjadi baik atas pengaruh budaya, lingkungan maupun ajaran agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Oleh karenanya ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat perubahan sosial yang terjadi. Kecuali tolok ukur yang bersumber dari ajaran agama yang dogmatik, maka ukuran ini bersifat permanen.

Meskipun moral dan etika penilaiannya hanya pada tindakan dan amal perbuatan manusia, namun tindakan dan perilaku seseorang pada dasarnya muncul atas dorongan batiniyahnya yang sering juga didukung oleh tekanan-tekanan lingkungan. Dorongan-dorongan instinktif dalam dirinya, misalnya ingin berkuasa, ingin berkelamin dan lain sebagainya menumbuhkan kecenderungan berperilaku etis atau sebaliknya, akan sering bergantung pada dukungan lingkungan.

Kesusilaan seseorang sering diukur dengan kesanggupan mengatur instink-instink itu dengan baik dan seimbang, sehingga tidak membahayakan dirinya sendin dan masyarakat lingkungannya. Kiranya dapat disepakati, bahwa penilaian etika dan moral tidaklah sama untuk setiap pelakunya, meskipun substansinya rnempunyai nilai yang sama. Kesalihan moral yang dilakukan orang dewasa akan berbeda nilainya dengan kesalihan moral yang

sama, yang dilakukan oleh anak kecil.

Sebaliknya tindakan amoral yang dilakukan oleh seorang mu'allim, pejabat dan tokoh masyarakat misalnya, mempunyai nilai yang berbeda dengan tindakan yang sama dan orang yang bukan mu'allim, bukan pejabat dan bukan tokoh rnasyarakat. ***

DALAM hal bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, keadilan, ketaatan, kejujuran misalnya merupakan bentak-bentuk moral yang tinggi yang sepanjang masa memperoleh pujian dari

manusia. Dalam sejarah tidak pernah dicatat bahwa, ketidakadilan, kelaliman, kepalsuan dan pemungkiran janji boleh ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Persaudaraan, kasih sayang dan kemurahan hati juga telah dinilai tinggi sepanjang masa. Sedangkan keakuan, kebengisan, kekikiran dan kecongkakan tidak pernah dibenarkan oleh masyarakat mana pun. Manusia yang mempunyni rasa tanggung jawab besar dan melakukan tugasnya dengan penuh bakti selalu dikagumi, dan sebaliknya manusia yang tidak bertanggung jawab dan melalaikan tugasnya tidak pernah mendapat pembenaran dari pihak mana pun. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa, ukuran-ukuran moral pada hakikatnya universal dan telah dikenal oleh umat manusia sejak berabad-abad yang lalu. Manusia telah mengenal moral. Bahkan pada dasarnya moral inheren dalam watak kemanusiaan. Permasalahannya sekarang adalah, mengapa manusia sering bertindak, berperilaku amoral dan tidak etis?

Manusia mempunyai naluri menjaga kelangsungan hidupnya. Sikap etis atau amoral yang diperbuat manusia sering dipengaruhi oleh naluri tersebut. bahkan manusia mempertaruhkan kebaikan dan keburukannya demi mempertahankan naluri kelangsungan hidupnya. Manusia selalu mengalami perubahan, seiring dengan perubahan sosial. Suatu kondisi sosio-historis tertentu, dapat melahirkan struktur psiko-sosial yang disebut karakter. Karakter ini sering kali tidak berdiri sendiri, tetapi ia mendapatkan

rangsangan dari seluruh struktur sosial, politik dan ekonomi di sekelilingnya.

Struktur sosial yang otoriter dan represif misalnya, mudah merangsang sifat agresif dalam diri rnanusia. Di samping itu, struktur yang menekan juga akan mengakibatkan kebosanan. Kebosanan biasanya merangsang tumbuhnya sikap apatis, yang pada gilirannya dapat mematikan kreativitas dan produktivitas. Akibat lebih jauh adalah, di dalam kehidupan masyarakat

berkembang aktivitas yang kontra-produktif, semata-mata sebagai kompensasi membebaskan diri dari kebosanan, dengan

melancarkan berbagai bentuk kejahatan, sikap amoral dan tidak etis.

Pelanggaran etik tidak hanya dipahami .sebagai sesuatu yang membuat pihak lain merasa dirugikan. Sering terjadi bahkan, pelanggaran etik tidak terdeteksi akibat pihak sasaran tidak menyadari atau tidak tahu dirinya dirugikan, diganggu harga dirinya, atau karena kepentingan tertentu, justru merasa diuntungkan.

Dengan demikian etika akan berjalan secara murni, tergantung pada mekanisme kendali dari dalam diri individu sendiri dan bukan oleh adanya kendali dari luar. Di sini terlihat kebenaran adanya penyatuan etika dengan agama. Nilai-nilai agama, baik yang berupa nilai etik maupun non-etik, akan berjalan atas dorongan kesadaran dari dalam diri individu, suatu mekanisme kendali internal yang bersumber pada keimanan dan ketakwaan. ***

ISLAM telah meletakkan dasar-dasar untuk menentukan tingkah laku yang baik dan buruk. Ia tidak mendasarkan konsep al-ma’ruf (yang baik) dan al-munkar semata-mata pada rasio, nafsu, intuisi dan pengalaman-pengalaman yang muncul lewat panca indera yang selalu mengalami perubahan. Tetapi ia telah memberikan

Dalam dokumen Fiqih Sosial KH Sahal Mahfudz (Halaman 62-70)