• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geredja Pasundan

Dalam dokumen Sedjarah Geredja di Indonesia (Halaman 156-160)

Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen- Djakarta. Halaman 191-195.

Djelaslah kepada kita kedudukan Geredja Kristen Pasundan, djika kita ingat akan salah suatu utjapan Dr. Kraemer, jang bunjinja seperti berikut: "Djawa Barat merupakan daerah jang paling lama didjadjah oleh Belanda. Tetapi pendjadjahan itu baik menurut sistim tua maupun menurut sistim baru, selalu berarti pengluasan dan mengukuhnja agama Islam." Latar belakang dalil itu ialah adanja dua matjam kesulitan jang merintangi usaha Pekabaran Indjil. Pada satu pihak ialah sikap banjak orang Eropa terhadap kekristenan an pengkristenan. "Hal itu menundjukkan suatu "kebutuhan" jang berbahaja, baik dilapangan rohani maupun dilapangan kebudajaan dan politik: tetapi terutama mengenai hal-hal rohani." Malahan Kraemer berani menjatakan, bahwa pengkristenan Djawa tidak dipedulikan oleh Geredja Prostestan. Pada pihak lain harus dikatakan, bahwa pendjadjahan jang ber-abad-abad lamanja menjebabkan agama Islam se-olah-olah telah mentjengkeram suku Sunda djauh lebih kuat daripada di-daerah-daerah lain dipulau Djawa.

Selain daripada kedjadian-kedjadian di-daerah-daerah lain, maka para pekabar Indjil jang pertama mengalami kesukaran jang luar biasa untuk mendapat kedudukan mereka. Tidak ada pertolongan sedikitpun, baik atas inisiatif perseorangan -- seperti tampak didalam sedjarah Geredja-geredja jang lain dipulau Djawa -- maupun dari pihak masjarakat Sunda sendiri. Keadaan jang mengetjewakan itu terutama kelihatan benar didaerah Priangan. Disekitar Djakarta dan Banten berbedalah keadaannja, oleh karena disana Pekabaran Indjil jang pertama dilakukan oleh pihak partikelir. Buah-buahnja merupakan suatu keuntungan bagi Geredja Pasundan.

1. Para pekabar Indjil jang mula-mula bekerdja di Pasundan diutus oleh NZV pada tahun 1863. Mereka tinggal di Bandung, namun izin kerdja tidak diberikan oleh Pemerintah. Dikota itu mereka bekerdja diantara orang-orang Kristen Ambon bekas tentara dll, tetapi masjarakat Sunda tetap tertutup bagi mereka. Pada tahun 1865 Albers diizinkan untuk tinggal di Tjiandjur, tempat mana Klinkert, penterdjemah Alkitab itu (lih. hlm. 189) telah tinggal

beberapa tahun lamanja. Adakah harapan bahwa Albers akan berhasil mengumpulkan sebuah djemaat di Tjiandjur, jang sangat berpegang kepada tradisi priaji Sunda? Sesudah bekerdja dua tahun dapatlah ia membaptiskan dua orang, dan sesudah 12 tahun (pada tahun 1875) ia melaporkan: "Terdapatlah sekarang 4 orang Kristen di Tjiandjur, diantaranja seorang bisu- tuli. Bagi saja pintu-pintu tertutup, tambahan pula ada sebuah sekolah jang tidak berdjalan lagi". Delapan tahun kemudian djumlah tersebut meningkat mendjadi 9 laki-laki, 10 perempuan dan 12 anak-anak. Baru sesudah 40 tahun, jaitu pada tahun 1916, djemaat Tjiandjur mempunjai lebih dari 70 djiwa.

Gambaran tersebut tak ada bedanja dengan gambaran di-tempat-tempat lain. Di Sukabumi misalnja, jang sudah dikerdjakan sedjak tahun 1872, terkumpullah 25 djiwa setelah berlalu 10 tahun (1883). Di Bandung, jang sudah dikerdjakan dengan resmi sedjak tahun 1870, tertjatat 25 anggota pada tahun 1877, diantaranja 13 anak perempuan. Di Bogor sesudah 14 tahun tertjatat pada tahun 1883 : 6 orang Kristen 4 orang Sunda beserta 2 orang Tionghoa.

Menurut tjontoh di Djawa Timur dan Djawa Utara, timbullah harapan supaja dapat didirikan desa Kristen. Pada tahun 1877 di Tjideres dibelilah sedjumlah hektar sawah. Pada tahun 1886 dekat Tjikembar didirikan sebuah desa Kristen jaitu "Pengharapan" di dalam suatu perkebunan jang telah dibeli oleh NZV. Pada tahun 1902 didirikan Palalangon untuk orang- orang Kristen di Tjiandjur dan pada tahun 1920 Tamiang, dekat Djatibarang. Akan tetapi tak dapat disangkal, bahwa "salahlah metode membuka tanah dengan maksud supaja memperoleh sedjumlah orang untuk didjadikan Kristen. Barangkali hal itu dapat dikerdjakan oleh orang Sunda sendiri, misalnja seorang priaji atau bupati, tetapi tidak oleh orang-orang asing" (Kraemer).

Dengan giat sekali NZV mentjoba supaja berakar didalam dunia Pasundan. Pada tahun 1908 dibukalah 26 sekolah jang mempunjai lebih dari 1700 murid. Pada tahun 1920 djumlah itu meningkat mendjadi 33 sekolah dengan kurang lebih 2000 murid, termasuk sebuah HIS dan sebuah MULO. Maksudnja tak lain supaja kiranja terdapat djuga pengaruh sampai kepada tingkatan-tingkatan jang tinggi didalam masjarakat. Pada tahun 1938 bekerdjalah 36 SR jang mempunjai 3866 murid, selain daripada itu 14 buah HIS, sebuah HIS dan sebuah MULO dengan djumlah 3428 murid. Sebuah sekolah guru dibuka untuk mendidik guru-guru jang diperlukan.

Usaha pengasihan mendapat pula perhatian sepenuhnja. Rumah sakit "Immanuel" jang besar di Bandung (1910) diikuti dengan pendirian sedjumlah poliklinik-poliklinik, klinik-klinik bersalin dll.

Akan tetapi kedjadian-kedjadian jang paling penting untuk perkembangan Geredja itu ialah masuknja sedjumlah orang-orang Tionghoa kedalam djemaat-djemaat Sunda jang ketjil itu. Dengan tidak di-sangka-sangka orang-orang Tionghoa tertarik kepada Indjil, sehingga djemaat-djemaat Pasundan sebenarnja merupakan djemaat-djemaat "tjampuran" Sunda- Tionghoa. Kedjadian itu dimulai Tjirebon pada tahun 1863, dan berlaku didalam hampir semua djemaat Sunda, sehingga pada tahun 1936 rata-rata djumlah anggota-anggota

Tionghoa didalam djemaat-djemaat tjampuran itu adalah lebih dari satu pertiga. Tetapi mulai tahun 1930 ber-angsur-angsur kedua pihak berpisah satu dari jang lain dengan mendirikan djemaat-djemaat Pasundan disamping djemaat-djemaat Tionghoa. Seluk beluk sedjarahnja akan dibentangkan dalam fasal jang chusus mengenai sedjarah Geredja-Geredja Tionghoa. 2. Kedjadian jang paling berarti untuk Geredja Pasundan ialah masuknja djemaat-djemaat disekitar Djakarta kedalam wilajahnja. Disitu sudah terkumpul beberapa djemaat dan golongan Kristen berkat kegiatan Mr. Anthing. Djemaat-djemaat Anthing masuk kedalam lingkungan Geredja Pasundan pada tahun 1885 setelah Mr. Anthing meninggal dunia pada tahun 1883. Dengan diperolehnja djemaat-djemaat tersebut maka Geredja Pasundan meluas sampai kedaerah hilir Djawa Barat.

Adapun riwajat Anthing serta sedjarah "djemaat-djemaat Anthing" adalah sebagai berikut. Mr. Anthing jang lahir pada tahun 1820, dapat dianggap sebagai seorang jang terkemuka dilapangan Pekabaran Indjil di Indonesia pada abad ke-19. Ia memegang djabatan jang paling tinggi dipengadilan Semarang, kemudian di Djakarta (1865). Inisiatif dan pengorbanannja dilapangan Pekabaran Indjil adalah demikian rupa, sehingga selajaknja namanja itu tidak dilupakan didalam sedjarah Geredja di Djawa. Ketika di Semarang ia sudah menjadari bahwa masjarakat Djawa sering tertutup bagi para pengindjil Eropa, sedangkan para pengindjil Djawa dengan lantjar bisa memperoleh hubungan dengan orang-orang sesukunja. Ia sendiri mempunyai perhubungan dengan sedjumlah orang-orang Djawa jang sedang mentjari kebenaran, diantaranja Tunggul Wulung, Sadrach dll. Di Djakarta kemudian ia menggunakan wang serta tenaganja untuk mendidik para pengindjil Djawa serta mengutus mereka. Terutama setelah ia dipensiun pada tahun 1870 ia menjurahkan segala tenaga dan waktunja untuk tudjuan tersebut.

Dirumahnja di Kramat, Djakarta, ia mengasuh murid-murid jang dididiknja mendjadi pengindjil. Tidak kurang dari 50 pengindjil jang sudah dididik serta diutus olehnja dan seluruhnja itu berlangsung atas biajanja sendiri. Ia meminta kepada mereka supaja djanganlah mereka bekerdja sebagai alat-alat Belanda, tetapi sebagai pengindjil-pengindjil Djawa asli. Pada permulaannja ia mendapat banjak pertolongan dari "Perhimpunan Pekabaran Indjil didalam dan diluar Geredja," jang didalamnja ia sendiri adalah seorang jang terkemuka. Kemudian ia mentjoba untuk memperoleh pertolongan dari perhimpunan-perhimpunan Pekabaran Indjil di Belanda. Akan tetapi usahanja itu gagal, sehingga ia ketjewa dan tertarik kepada bidat "Kerasulan" jang baru muntjul ketika itu di Eropa. Ia sendiri mendjadi anggota bidat itu, serta diangkat mendjadi "rasul" di Djawa. Sesudah bertjuti ke Eropa, kembalilah ia ke Djakarta pada tahun 1880, akan tetapi disebabkan ketjelakaan trem ia meninggal dunia pada tahun 1883.

Ber-angsur-angsur terbentuklah disekitar Djakarta 9 tempat kebaktian serta evangelisasi, tempat mana djemaat-djemaat Anthing itu berhimpun. Diantaranja 3 tempat dekat Tangerang, 2 buah di Djatinegara, 2 lagi di Bogor, satu di Banten dan satu di Krawang. Terketjuali

sebuah rumahtangga dari suku Badui maka semuanja itu berasal dari Islam, diantaranja djuga sedjumlah orang-orang santri. Djumlah orang Sunda jang masuk Kristen serta jang dibaptiskannja, adalah kurang lebih 750 orang.

Sesudah ia meninggal dunia maka NZV mentjoba untuk melakukan pemeliharaan jang sewadjarnja terhadap djemaat-djemaat jang telah ditinggalkan sedirian itu. Akan tetapi kesulitan untuk mengambil alih mereka itu hampir sama dengan apa jang dialami oleh NGZV dalam soal gerakan Sadrach di Djawa Tengah. Telah dikatakan diatas tadi, bahwa Anthing achirnja masuk bidat "Kerasulan". Malahan, ia telah mengangkat seorang Sunda dari Gunung Putri (dekat Bogor) mendjadi "rasul". Oleh karenanja rasul itu beserta dengan penganut- penganutnja tidak setudju untuk bekerdjasama dengan NZV. Tetapi pada achirnja kebanjakan dari para penganutnja masuk lingkungan Geredja jang dikerdjakan oleh NZG. Tidak sadja mereka memperbesar djumlah anggota-anggota Geredja Pasundan, tetapi mereka membawa djuga tenaga-tenaga kedalam Geredja itu, jaitu beberapa pengindjil. Kita tjatat djemaat- djemaat jang terutama, jakni: Kampung Sawah, Tjikuja, Gunung Putri, Tjilegam (dekat Krawang) dan Rangkasbitung didaerah Banten.

Selain daripada itu djemaat "Rehoboth" di Djatinegara termasuk Geredja Pasundan. Djemaat itu didirikan oleh pendeta King (lih. hlm. 204) pada tahun 1863. Anggota-anggotanja berasal dari pelbagai golongan. Ada diantaranja jang tadinja mendjadi pengikut Anthing, ada djuga jang terhisab kepada "Perhimpunan untuk Pekabaran Indjil didalam dan diluar Geredja" (lih. hlm. 204) dan ada pula jang berasal dari "Djemaat Melaju" jang dahulunja berada didalam lingkungan Geredja Inggris. Djustru djemaat tjampuran itu mendjadi pusat dari Geredja Pasundan di Djakarta.

3. Atas andjuran Kraemer, jang telah menjelidiki keadaan Geredja Pasundan itu pada tahun 1931, maka pada tanggal 14 Nopember 1934 dilantiklah Synode Geredja Kristen Pasundan. Pimpinan Geredja terletak ditangan Rad Agung (synode), meskipun klasis-klasis belum dibentuk. Pada waktu itu tertjatat 20 djemaat jang berdiri sendiri, disamping itu terdapat 15 djemaat jang belum mempunjai madjelis sendiri. Pada tahun 1936 didaftarkanlah 6215 orang (diantaranja 1460 orang Tionghoa), dan anggota-anggota tetap berjumlah 3300 orang. Pendidikan pendeta jang chusus tidak ada. Tetapi ada diadakan kursus-kursus pengindjil. Para pengindjil itu kemudian menerima hak pendeta. Pendeta Titus adalah pendeta jang pertama ditahbiskan pada tahun 1918.

Tak dapat disangkal bahwa keadaan Geredja Pasundan di Djawa Barat masih sulit adanja. Memang djemaat-djemaat jang sudah ada dapat bertahan terhadap segala tjobaan pada masa perang dunia kedua dan sesudahnja, malahan kadang-kadang bertambahlah djumlah anggotanja. Tetapi tidak dapat ditjatat suatu perkembangan besar disana-sini.

Dalam dokumen Sedjarah Geredja di Indonesia (Halaman 156-160)