• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERINDRA : Diubah

Dalam dokumen RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN (Halaman 27-43)

Adanya kewenangan atau tidak pada pemberi perintah tidak bisa dijadikan alasan untuk pertanggungjawaban pidana pelaksana perintah, tetapi pada ada/tidaknya unsur kesalahan dari perintah tersebut.

F-DEMOKRAT :

Frasa “jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” bertentangan dengan adagium hukum “seseorang dianggap paham atas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian, frasa tersebut sebaiknya dihapus.

Pemerintah menjelaskan bahwa:

- Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah mengusulkan untuk dibahas dalam TIMUS.

- Terhadap usulan F-Demokrat untuk menghapus frasa “jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”, menurut Pemerintah merupakan syarat penting dalam menentukan hapusnya pidana bagi orang yang melaksanakan perintah bagi yang melaksanakan.

Contoh:

Seorang reserse yang diberi perintah untuk menangkap seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat penangkapan. Sedangkan reserse itu tidak mengetahui kondisi tersebut.

28 Pasal 47

Termasuk alasan pemaaf adalah:

a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1); b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit

jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 115 ayat (1). Penjelasan:

Pasal 47

Cukup jelas. F-PDIP :

Pasal 47 TIDAK PERLU ADA ATAU DIHAPUSKAN. Catatan:

Pasal 47 tidak perlu ada, atau dihapuskan saja. Sebab:

a. Ketentuan pada Pasal 47 huruf a. sudah diperjelas pada Penjelasan Pasal 43 Ayat (1), yang menyatakan bahwa “alasan pemaaf” adalah alasan yang meniadakan kesalahan pembuat tindak pidana, dan oleh karena itu pembuat tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Perbuatan pembuat tindak pidana tetap merupakan tindak pidana, tetapi karena terdapat alasan pemaaf tersebut maka pembuat tindak pidana tidak dipidana.

b. Ketentuan pada Pasal 47 huruf b. juga sudah diatur pada Pasal 40. c. Ketentuan pada Pasal 47 huruf c. pun sudah ada pada Pasal 115 Ayat

(1).

Pemerintah menjelaskan bahwa:

- Terhadap usulan F-PDIP, Pemerintah bersedia untuk membahas secara lebih mendalam dalam TIMUS dan TIMSIN.

- Ketentuan ini masih diperlukan karena pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 47 merupakan alasan pemaaf. Jika Pasal 47 dihapus maka perbuatan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai alasan pemaaf dan demi penegakan asas kepastian hukum. Ketentuan Pasal 47 bukan ketentuan yang sama dengan pasal-pasal sebelumnya karena pasal sebelumnya merupakan asas sedangkan Pasal 47 bagian dari kategori alasan pemaaf.

Pasal 47

Selain alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 46, termasuk juga alasan pemaaf:

a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1); b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa,

penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41; atau

c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1).

29 3. DIM No. 162 s.d DIM No. 164 (Pasal 53 dan Pasal 54)

Bab II Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Bagian Kedua

Paragraf 6 Korporasi Pasal 53

(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbang-kan apakah bagian hukum lain telah memberidipertimbang-kan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

dinyata-kan dalam putusan hakim. Perbaikan redaksional:

(1) Dalam menuntut atau menjatuhkan pidana terhadap korporasi harus dipertimbangkan bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyata-kan dalam putusan hakim.

Penjelasan: Pasal 53

Dalam hukum pidana, penjatuhan pidana selalu harus dipandang sebagai ultimum remedium. Oleh karena itu, dalam menuntut dan menjatuhkan pidana terhadap korporasi harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna dibandingkan dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna, maka tuntutan dan penjatuhan pidana atas korporasi tersebut dapat dikesampingkan.

Pengesampingan tuntutan pidana atas korporasi tersebut harus didasarkan pada motif atau alasan yang jelas, misalnya apakah korporasi tersebut didirikan dengan niat jahat untuk melakukan tindak pidana.

F-PDIP :

Tidak perlu ada atau dihapuskan, F-DEMOKRAT:

Frasa “memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana” sebaiknya tidak menghapuskan pemidanaan terhadap korporasi. Hal ini penting sebagai bagian dari fungsi penegakan hukum yakni sebagai efek jera terhadap masyarakat di samping memberikan fungsi pembinaan. Pemerintah menjelaskan bahwa hal tersebut hanya perubahan redaksional.

30 Pasal 54

Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.

Penjelasan: Pasal 54

Cukup jelas. F-PDIP :

Pasal 54 tidak perlu ada, atau dihapuskan.

Pemerintah menjelaskan bahwa pasal ini masih diperlukan karena sesuai dengan asas subsidiairitas.

4. DIM No. 190 s.d DIM No. 197 (Pasal 58) Bab III

Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Bagian Kesatu

Pemidanaan Paragraf 3

Perubahan atau Penyesuaian Pidana Pasal 58

(1) Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan serta tidak menciderai rasa keadilan masyarakat.

(2) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.

(3) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana.

(4) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau b. penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.

(5) Jika permohonan perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh pengadilan maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1 (satu) tahun sejak penolakan.

(6) Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut patut untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 (satu) tahun maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.

(7) Ketentuan mengenai syarat perubahan atau penyesuaian pidana dan tata caranya diatur dengan Undang-Undang.

31 F-GOLKAR :

Kebijakan seperti ini harus menjamin agar dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dan tidak diskriminatif.

Khusus untuk kejahatan khusus harus ada pembatasan terhadap hal ini. Sebagai contoh, yaitu lahirnya Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang di latar belakangi oleh pelaksanaan yang dipandang tidak adil khususnya terhadap narapidana korupsi.

Dalam konteks inilah diperlukan adanya kebijakan dalam menerapkan fasilitas “Perubahan atau Penyesuaian Pidana”, baik melalui kemungkinan adanya penjatuhan pidana tanpa kemungkinan untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu, atau diterapkannya persyaratan khusus untuk menjamin agar pelaksanaannya tidak melukai perasaan keadilan masyarakat.

F-DEMOKRAT : usul dicabut.

F-PKS : Harus diatur lebih rinci agar nantinya tidak diskriminatif yang kemudian dapat menciderai perasaan keadilan bagi korban ataupun masyarakat, serta membuka peluang obral perubahan putusan pidana.

Apa bedanya dengan remisi, grasi, asimilasi, pembebasan bersyarat, amnesty, abolisi?

F-NASDEM : Tetap, dengan tambahan kalimat “dengan tidak menciderai perasaan keadilan masyarakat

F-HANURA :

Kebijakan seperti ini harus menjamin agar dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dan tidak diskriminatif. Khusus untuk kejahatan khusus harus ada pembatasan terhadap hal ini.

Sebagai contoh, yaitu lahirnya Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang di latar belakangi oleh pelaksanaan yang dipandang tidak adil khususnya terhadap narapidana korupsi.

Dalam konteks inilah diperlukan adanya kebijakan dalam menerapkan fasilitas “Perubahan atau Penyesuaian Pidana”, baik melalui kemungkinan adanya penjatuhan pidana tanpa kemungkinan untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu, atau diterapkannya persyaratan khusus untuk menjamin agar pelaksanaannya tidak melukai perasaan keadilan masyarakat.

F-GOLKAR :

Perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan petusan Judicial, bukan keputusan eksekutif lewat menhukham, eksekutif hanya sebagai eksekutor

32 dari keputusan Hakim karena itu ketentuan ini harus merubah sistem yang telah ada.

Oleh karena itu harus di perjelas bahwa yang memutuskan perubahan atau penyesuain ini adalah pengadilan

F-DEMOKRAT : usul dicabut

F-PKS : Kalaupun ada perubahan atau penyesuaian putusan pidana atau tindakan harus dengan putusan hakim

F-NASDEM : Perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan putusan Judicial, bukan keputusan eksekutif lewat menkumham, eksekutif hanya berposisi sebagai pelaksana dari keputusan Hakim karena itu ketentuan ini harus merubah system yang telah ada.

Harus diperjelas bahwa yang memutuskan perubahan atau penyesuaian ini adalah pengadilan.

F-HANURA : Perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan petusan Judicial, bukan keputusan eksekutif lewat menhukham, eksekutif hanya berposisi sebagai pelaksana dari keputusan Hakim karena itu ketentuan ini harus merubah sistem yang telah ada.

Harus di perjelas bahwa yang memutuskan perubahan atau penyesuain ini adalah pengadilan

F-DEMOKRAT : usul dicabut Penjelasan:

Pasal 58

Dengan memperhatikan salah salah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, maka kepada terpidana yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Penyesuaian tersebut diperhitungkan atas dasar:

a. kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana; dan

b. perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi.

Setiap perubahan atau penyesuaian harus disetujui oleh terpidana yang bersangkutan agar benar-benar dapat menunjang kemajuan yang telah dicapai. Perubahan atau penyesuaian ini dilakukan dengan putusan pengadilan atas dasar permohonan yang diajukan ke pengadilan dan tidak mengurangi kewenangan yang ada pada Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum untuk memberikan remisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

33 5. DIM No. 198 s.d DIM No. 202 (Pasal 59)

Bab III

Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Bagian Kesatu

Pemidanaan Paragraf 4

Ketentuan Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif

Pasal 59

(1) Jika seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.

(2) Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika: a. tanpa korban;

b. korban tidak mempersalahkan; atau c. bukan pengulanggan tindak pidana.

(3) Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana denda paling banyak menurut Kategori V dan pidana denda paling sedikit menurut Kategori III.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (delapan belas) tahun.

(5) Jika tujuan pemidanaan tidak dapat dicapai hanya dengan penjatuhan pidana penjara maka untuk tindak pidana terhadap harta benda yang hanya diancam dengan pidana penjara dan mempunyai sifat merusak tatanan sosial dalam masyarakat, dapat dijatuhi pidana denda paling banyak Kategori V bersama-sama dengan pidana penjara.

Penjelasan: Pasal 59 Ayat (1)

Ketentuan ini memberi kemungkinan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar hakim dapat tidak menjatuhkan pidana penjara ialah:

a. terdakwa melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara;

b. hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan:

- tujuan pemidanaan; - pedoman pemidanaan;

- pedoman penjatuhan pidana penjara;

c. terdakwa belum pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (delapan belas) tahun.

Kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, dimaksudkan untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya

34 menjatuhkan pidana penjara. Di samping itu, dimaksudkan pula untuk menghindari penjatuhan pidana penjara yang pendek.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Berdasarkan ketentuan ini kewenangan hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibatasi yaitu pembuat tindak pidana tetap dijatuhi pidana penjara meskipun diancam dengan pidana tunggal apabila yang bersangkutan pernah dijatuhi pidana perjara karena tindak pidana yang dilakukannya setelah berumur 18 (delapan belas) tahun. Ayat (5)

Kewenangan hakim untuk mengganti pidana penjara dengan pidana denda, dilakukan pembatasan penggunaannya terhadap tindak pidana harta benda yang diancam pidana penjara secara tunggal, tetapi mempunyai sifat merusak tatanan dalam masyarakat (bersifat koruptif). Untuk tindak pidana ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana denda bersama-sama dengan pidana penjara.

6. DIM No. 212 s.d DIM No. 215 (Pasal 64 dan Pasal 65) Bab III

Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Bagian Kesatu

Pemidanaan Paragraf 5

Lain-lain Ketentuan Pemidanaan Pasal 64

(1) Jika narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.

(2) Jika terpidana yang berada di luar lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara mengajukan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.

F-GERINDRA : Diubah

F-PDIP : Menambahkan kalimat ”setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung ”, setelah frasa ” Presiden ”.

Penambahan itu sejalan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan

35 F-GERINDRA : Dihapus. Diganti dengan ayat baru.

F-PKS : Maksud Presiden menentukan lain itu apa. Penjelasan:

Pasal 64

Cukup jelas.

Usul Penyempurnaan rumusan Pemerintah:

Pasal 64

(1) Jika narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.

(2) Jika terpidana yang berada di luar lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara mengajukan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.

(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan grasi diatur dalam Undang-Undang.

Penjelasan: Pasal 64 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “narapidana” adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “terpidana” adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya terpidana mati, karena terpidana mati hanya menunggu eksekusi mati.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

7. DIM No. 218 s.d DIM No. 415 (Pasal 66 s.d Pasal 102) Bab III

Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Bagian Kedua

Pemidanaan Paragraf 1 Jenis Pidana Pasal 65A (1) Pidana terdiri atas:

a. pidana pokok; dan b. pidana tambahan.

36 (2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga terdapat pidana

mati yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Penjelasan:

Pasal 65A

Cukup jelas.

Pasal 66

(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65A ayat (1) huruf a terdiri atas:

a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak.

Penjelasan: Pasal 66

Ketentuan ini memuat jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua hanya meliputi jenis pidana penjara, pidana denda, dan/atau pidana mati. Pidana tutupan dan pidana pengawasan pada dasarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Sedangkan pidana kerja sosial, merupakan jenis pidana baru yang di pelbagai negara sudah dilaksanakan secara luas. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekwensi diterimanya hukum pidana yang bersifat “daad daderstrafrecht” yang sejauh mungkin berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana kemerdekaan. Melalui penjatuhan jenis pidana ini terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Pasal 67

(1) Dalam hal terjadi tindak pidana yang sangat serius yang membahayakan dan merugikan masyarakat, maka pidana mati dapat diancamkan sebagai pidana pemberatan yang perumusannya selalu dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana selama 20 (dua puluh) tahun.

(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Penjelasan: Pasal 67

Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (tahun).

37 Pasal 68

(1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti kerugian; dan

e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.

(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

(5) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.

Penjelasan: Pasal 68 Ayat (1)

Pidana tambahan dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana.

Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu, apabila terpidananya adalah korporasi dalam keadaan tertentu mempunyai efek penangkalan yang lebih efektif. Karena itu hakim dapat mengenakan pidana pencabutan hak yang dimiliki suatu korporasi meskipun dalam rumusan pidana ancaman tersebut tidak dicantumkan.

Begitu pula pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hakim bebas untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan pidana tambahan ini, meskipun tidak tercantum sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena dilakukannya suatu tindak pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.

38 Pasal 69

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur tersendiri dengan Undang-Undang. Penjelasan: Pasal 69 Cukup jelas. Paragraf 2 Pidana Penjara Pasal 70 (1) Pidana penjara dijatuhkan untuk:

a. seumur hidup; atau b. waktu tertentu.

(2) Pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.

(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun berturut-turut. Penjelasan:

Pasal 70

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini di samping menganut asas maksimum khusus juga ketentuan minimum khusus. Maksimum khusus dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat maksimum ancaman pidananya, sedangkan untuk batas pemidanaan yang paling rendah ditetapkan minimum umum. Minimum umum untuk pidana penjara adalah satu hari. Minimum khusus dalam arti untuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat.

Seseorang yang melakukan tindak pidana hanya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, akan tetapi hakim dapat menjatuhkan pidana selama 20 (dua puluh) tahun berturut-turut bilamana tindak pidana itu diancam pidana mati atau seumur hidup, atau ada pemberatan pidana. Tetapi dalam keadaan bagaimanapun hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 71

(1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling sedikit 15 (lima belas) tahun dengan berkelakuan baik maka terpidana dapat diberikan pembebasan bersyarat.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pembebasan bersyarat terpidana seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

39 Penjelasan:

Pasal 71

Ketentuan ini memberi kewenangan kepada pejabat yang berwenang yang ditentukan dalam Keputusan Presiden untuk memberi keringanan pidana bagi terpidana seumur hidup, yaitu dengan mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dengan ketentuan apabila terpidana telah menjalani pidananya sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dengan berkelakuan baik.

Karena putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang diberi wewenang menetapkan keringanan pidana adalah eksekutif.

Pasal 72

(1) Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal 56, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan, jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:

a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun;

b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; c. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;

e. terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;

f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut; h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang

tidak mungkin terulang lagi;

i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;

j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;

k. pembinaan yang bersifat non-institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;

l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat

Dalam dokumen RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN (Halaman 27-43)

Dokumen terkait