HASIL DAN PEMBAHASAN
12. Golongan bahan aktif insektisida 38, 83 0,0011 13.Jumlah pestisida yang digunakan petani dalam
sekali semprot
2,83 0,5865 14.Interval penyemprotan insektisida 39,09 0,0033
15.Dosis pupuk N 13,00 0,0113
16.Dosis pupuk P 5,71 0,2211
17.Dosis pupuk K 9,15 0,0575
18.Penggunaan pupuk organik 4,95 0,0840 19.Umur bibit saat pindah tanam 3,88 0,1433
20.Jarak tanam 6,54 0,1620
22
Dalam tabel tersebut juga terlihat adanya dua varietas Hibrida, salah satunya berasal dari Taiwan. Di kalangan petani, varietas hibrida umumnya adalah bantuan benih unggul dari pemerintah melalui program P2BN. Walaupun sedikit jumlahnya (2 petak), namun statusnya sebagai varietas unggul introduksi dari luar perlu diperhatikan. Dalam sejarahnya, wereng coklat mulai dikenal sebagai hama utama tanaman padi setelah adanya introduksi varietas baru pada era revolusi hijau. Introduksi hal baru ke dalam ekosistem menimbulkan ketidakstabilan sesaat, dan hal tersebut sering direspon organisme oportunis dengan strategi reproduksi “r” seperti wereng coklat untuk secepatnya memanfaatkan sumber daya dalam bentuk ledakan populasi (Soemawinata & Sosromarsono 1986).
Seperti diduga sebelumnya, populasi wereng coklat per rumpun padi memiliki keterkaitan nyata dengan tingkat kerusakan hamparan. Hamparan dengan tingkat kerusakan berat didominasi petak sawah dengan tingkat populasi wereng tinggi (22 petak), sebaliknya hamparan dengan tingkat kerusakan ringan didominasi petak sawah dengan tingkat populasi wereng rendah (20 petak). Kenyataannya, rata-rata tingkat populasi wereng di hamparan dengan tingkat serangan berat bisa mencapai lebih dari 1000 ekor/rumpun (Gambar 2). Rata-rata jumlah wereng di hamparan dengan tingkat kerusakan sedang dan ringan tidak jauh berbeda, namun proporsi imago makroptera di hamparan dengan tingkat kerusakan ringan lebih tinggi. Artinya, di hamparan tersebut baru saja terjadi migrasi dari daerah lain. Dengan demikian, dapat diramalkan bahwa populasi wereng di hamparan tersebut akan meningkat sejalan dengan waktu.
Keberadaan musuh alami wereng coklat yang meliputi predator dan cendawan entomopatogen berkaitan nyata dengan tingkat kerusakan hamparan, namun dengan pola yang berbeda-beda. Petak dengan predator lebih dari dua kali lipat petak tanpa predator di setiap tingkat kerusakan hamparan (123:50, 159:65, dan255:104 di petak dengan tingkat serangan berat, sedang, dan ringan).
0 100 200 300 400 500 600 700
berat sedang ringan
populasi wereng (ekor/rumpun)
tingkat kerusakan hamparan
nimfa instar awal
nimfa instar akhir + imago brakhiptera
imago makroptera
Gambar 2 perbandingan rata-rata jumlah wereng coklat per rumpun di hamparan dengan tingkat kerusakan berbeda
Pada tabel tersebut terlihat bahwa predator paling banyak ditemukan dalam hamparan dengan tingkat kerusakan ringan (255 petak) dan jumlahnya turun sejalan dengan bertambahnya tingkat kerusakan hamparan. Settle et al. (1996) menyatakan faktor predator generalis memegang peran dominan dalam mengendalikan tingkat populasi hama-hama padi.
Sementara itu, populasi cendawan entomopatogen justru paling banyak ditemukan pada hamparan dengan tingkat kerusakan sedang (19 petak), dan hanya ditemukan di 2 petak pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat. Respon cendawan entomopatogen tampaknya lebih lambat dibandingkan predator, atau ada faktor lain yang menyebabkan cendawan entomopatogen tidak berkembang. Mengingat sifat cendawan entomopatogen yang lebih spesialis dibandingkan predator, diperlukan waktu dan tingkat populasi minimal wereng coklat agar cendawan entomopatogen mampu mengendalikan populasi inangnya.
Apabila tingkat kerusakan hamparan berkaitan nyata dengan peran predator dan cendawan entomopatogen, maka fenomena ledakan populasi wereng coklat di Klaten dapat dijelaskan berdasarkan data pada Tabel 5. Terlihat bahwa populasi predator dan cendawan entomopatogen sebagai musuh alami wereng coklat tergolong rendah. Dibandingkan populasi wereng coklat yang bisa mencapai lebih dari 1000 ekor pe rumpun, total populasi predator di berbagai tingkat kerusakan hamparan tidak lebih dari 5 ekor per rumpun. Dalam penelitian di lapangan, Preap et al (2001) menyampaikan bahwa perbandingan predator terhadap wereng coklat sebesar 1:3 hingga 1:11 telah dapat menyebabkan kematian wereng sebesar 78-91%. Pada agroekosistem padi yang sehat, peran musuh alami seperti predator, parasitoid, cendawan entomopatogen, dan mikro organisme endofit telah mencukupi untuk mengendalikan hama wereng coklat (Settele et al. 2008; Gurr 2009; Heong 2009; Ooi 2010).
Berdasarkan pengamatan di lapangan, populasi predator relatif rendah pada lahan yang terendam banjir. Faktor rendaman air berkaitan erat dengan populasi wereng coklat di Jawa Barat (Buchori et al. 1999), namun tidak disebutkan keterkaitannya dengan turunnya populasi musuh alami.
Tabel 5 gambaran keberadaan musuh alami hama pada hamparan sawah yang terserang wereng coklat di Kabupaten Klaten
Kategori musuh alami
Rata-rata populasi musuh alami (ekor/rumpun) pada hamparan dengan tingkat
kerusakan
Persentase kejadian ditemukannya
musuh alami dari seluruh pengamatan Berat Sedang Ringan Berat Sedang Ringan
Predator dominan Laba laba 1,54 0,83 0,80 15,9 14,4 18,2 Staphylinidae 1,04 0,95 0,60 13,6 15,9 11,1 Coccinellidae 0,74 0,98 0,23 11,1 13,1 6,3 Cendawan entomopatogen Hirsutella citriformis 0,51 0,22 0,03 0,3 3,3 0,8 Beauveria bassiana 0,00 0,00 0,02 0,0 0,0 0,5
24
Selain rendaman banjir, pengolahan tanah yang cepat tanpa penambahan pupuk organik yang mencukupi banyak teramati di Kabupaten Klaten. Mengingat bahan organik diketahui dapat meningkatkan kelimpahan mangsa alternatif yang kemudian dapat meningkatkan populasi predator (Settle et al. 1996), maka kondisi sawah seperti di atas berpotensi merugikan musuh alami wereng.
Secara relatif, populasi cendawan entomopatogen Hirsutella citriformis
selalu lebih tinggi dibandingkan Beauveria bassiana, padahal cendawan yang disebut terakhir telah diformulasi secara komersial dan telah diaplikasikan oleh petani. Apabila perbanyakan masal dan formulasinya berhasil dilakukan,
Hirsutella citriformis adalah kandidat pengendali hayati wereng yang menjanjikan.
Keberadaan serangga/hama lain ternyata juga berkaitan erat dengan tingkat kerusakan hamparan akibat wereng coklat. Pada saat pengamatan di lakukan, ketiadaan hama lain tercatat dalam jumlah yang lebih tinggi pada semua kategori tingkat kerusakan hamparan (123:50, 152:71, dan 122:86 pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan). Artinya, kondisi hamparan saat itu tidak mendukung populasi hama/serangga lain namun menguntungkan wereng coklat. Celah ketiadaan pesaing ini yang dimanfaatkan oleh wereng coklat untuk berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh data bahwa hamparan yang terserang berat adalah hamparan dengan petak tanpa serangga lainnya lebih sedikit (50 petak), sementara yang terserang ringan memiliki petak dengan serangga lain lebih banyak (86 petak). Settle et al. (1996) juga menekankan pentingnya keberadaan serangga lain sebagai alternatif mangsa bagi predator agar bisa efektif menekan hama-hama padi. Gurr (2004) menyebut persaingan dan segala tekanan dari level trofik yang lebih rendah dari hama (bottom up suppression) tidak kalah pentingnya dengan pengendalian hayati seperti predasi dan parasitisasi yang menekan populasi hama dari arah level trofik yang lebih tinggi (top down suppression).
Populasi cendawan endofit yang berhasil diisolasi dari hamparan yang terserang wereng ternyata juga menunjukkan keterkaitan yang nyata dengan tingkat kerusakan hamparan. Acremonium sp mendominasi jumlah koloni, namun keberadaannya cenderung lebih rendah di hamparan dengan kerusakan ringan (48, 43, dan 39 koloni di hamparan dengan kerusakan berat, sedang, dan ringan) sehingga perannya tidak berhubungan dengan pengendalian populasi wereng coklat. Pyrenochaeta dan Rhizopus ditemukan dalam jumlah terbanyak di hamparan dengan tingkat kerusakan sedang (masing-masing 11 koloni), dan 6 koloni Curvularia ditemukan dalam hamparan dengan tingkat kerusakan tinggi. Layak diduga apakah tiga spesies ini, terutama Curvularia,adalah spesies yang secara alami berkontribusi terhadap ketahanan tanaman padi terhadap serangan wereng.
Komposisi cendawan endofit dari tanaman padi di Klaten diperlihatkan dalam Tabel 6. Dominansi Acremonium sp tidak ditemukan pada populasi cendawan endofit dari daerah-daerah lain. Biasanya, komposisi cendawan endofit didominasi oleh Nigrospora sp (Irmawan 2007). Sementara itu, beberapa isolat
Nigrospora sp terbukti menghambat pertumbuhan wereng coklat (Budiprakoso 2010). Diduga telah terjadi perubahan komposisi populasi cendawan endofit pada pertanaman padi di Klaten dan hal tersebut terkait dengan ketahanan tanaman terhadap serangan wereng coklat.
Tabel 6 cendawan endofit pada pelepah daun padi pada hamparan yang terserang wereng coklat
Spesies
Tingkat kolonisasi (%) cendawan endofit yang ditemukan pada hamparan dengan tingkat
kerusakan
Berat Sedang Ringan
Acremonium sp. 76,2 64,3 64,9 Pyrenochaeta sp. 11,1 15,7 7,0 Curvularia sp. 3,2 2,9 10,5 Gliocephalotrichum sp. 0,0 1,4 0,0 Rhizopus sp. 4,8 5,7 17,5 Trichotesium sp. 4,8 7,1 0,0 Scopulariopsis sp. 0,0 2,9 0,0 Kolonisasi total 85,0 100,0 100,0
Indeks keragaman spesies
Indeks Simpson1 (D) 1,67116 2,23133 2,13609 Indeks Shannon1 (H) 0,85080 1,19076 1,00927 1
penghitungannya mengikuti metode dalam Begon et al. (2006).
Mengingat fungisida sistemik dapat mematikan sejumlah spesies cendawan endofit (Gaitan et al. 2005), perubahan komposisi tersebut bisa disebabkan oleh penggunaan formulasi komersial difenokonazol atau heksakonazol. Seratus persen petani yang diwawancara pernah mengenal formulasi tersebut, namun bukan sebagai formulasi fungisida. Petani lebih mengenalnya sebagai perangsang pertumbuhan yang mempercepat masaknya bulir padi. Formulasi tersebut digunakan dua kali: saat malai padi mulai keluar dan setelah padi mulai menunduk. Tujuannya agar padi terlihat kuning bernas dan harga jual borongannya di sawah lebih tinggi. Apabila hendak dikonsumsi sendiri, penyemprotan tidak dilakukan karena hal tersebut tidak terbukti meningkatkan hasil panen.
Dari faktor-faktor yang termasuk praktik budidaya, jenis bahan aktif insektisida dan golongannya berkaitan nyata dengan tingkat kerusakan hamparan. Imidakloprid, BPMC, etofenproks, fipronil, dan karbofuran adalah bahan aktif insektisida yang paling banyak digunakan petani. Kecuali fipronil, kecenderungan penggunaan insektisida tersebut lebih banyak pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat. Tidak mudah membedakan fenomena ini sebagai sebab timbulnya ledakan populasi wereng coklat atau sebagai akibatnya, yaitu petani merespon ledakan populasi wereng dengan semakin banyak menyemprot insektisida. Namun fenomena yang terjadi kemudian adalah sama, yaitu terbentuknya lingkaran sebab akibat yang berulang-ulang antara peningkatan penyemprotan insektisida dengan kenaikan populasi wereng coklat.
Penyemprotan insektisida menyebabkan ledakan populasi hama melalui mekanisme resurjensi dan resistensi. Faktor penyebab resurjensi adalah kematian musuh alami, dan sejumlah mekanisme seperti peningkatan keperidian wereng coklat dan turunnya tingkat kompetisi dengan serangga herbivora lain (Hardin et al. 1995). Dutcher (2007) menyebutkan fenomena hormoligosis, yaitu senyawa
26
kimia (misalnya DDT, deltametrin, karbaril, imidakloprid) yang dalam dosis tinggi menghasilkan respon penghambatan metabolisme serangga namun dalam dosis rendah justru menghasilkan respon rangsangan metabolisme.
Etofenproks, alfa sipermetrin, sipermetrin, deltametrin, lamda sihalotrin dan siflutrin termasuk dalam kelompok bahan aktif piretroid yang secara akumulatif penggunaannya menempati urutan kedua di Kabupaten Klaten. Indikasi resurjensi wereng coklat telah terjadi akibat penyemprotan beberapa jenis piretroid di Klaten (Harahap 2011, komunikasi pribadi). Penelitian Defaosandi (2010) di rumah kaca menunjukkan populasi predator wereng yang turun setelah penyemprotan buprofezin, BPMC, dan tiametoksam, sedangkan populasi werengnya meningkat. Mengingat pentingnya peranan predator pada agroekosistem padi, maka penurunan populasinya akibat penyemprotan buprofezin, BPMC, dan tiametoksam adalah indikasi terjadinya resurjensi. Resurjensi akibat imidakloprid juga teramati pada peningkatan keperidian tungau setelah diperlakukan dengan dosis subletal (James dan Price 2002).
Lima besar insektisida yang paling banyak digunakan oleh petani seperti disebutkan di atas adalah bahan aktif yang juga digunakan petani di negara-negara Asia. Banyak diantaranya yang telah menimbulkan resistensi wereng coklat. Resistensi wereng terhadap imidakloprid telah dilaporkan di Asia Timur dan Indochina, sedangkan resistensi terhadap fipronil terjadi di Asia Timur dan Tenggara (Matsumura et al. 2009, Matsumura & Sanada-Morimura 2010). Wereng coklat juga telah menjadi resisten terhadap BPMC di Thailand (Catindig
et al. 2009). Chau (2007) melaporkan resistensi wereng terhadap imidakloprid, buprofezin, fipronil, dan etofenproks di Vietnam. Dalam seleksi terarah di laboratorium, wereng coklat asal Yogyakarta telah meningkat 27,3 kali resistensinya terhadap fipronil hanya dalam empat generasi (Melhanah et al.
2002), menunjukkan betapa cepatnya kemungkinan resistensi terhadap insektisida dapat terjadi di lapangan.
Walaupun secara formal prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) telah diadopsi untuk mengelola populasi wereng coklat, pada kenyataannya insektisida tetap menjadi sarana pengendali utama. Imidakloprid digunakan oleh 61% petani, sedangkan BPMC dan etofenproks masing-masing sebesar 46% dan 30% (Tabel 7). Formulasi imidakloprid dan BPMC paling banyak diperjualbelikan, masing-masing 6 dan 8 merek dagang. Setelah izin formulasi piretroid untuk wereng coklat tidak akan diperpanjang lagi oleh Kementerian Pertanian, formulasi imidakloprid dan BPMC mungkin akan semakin banyak ditemukan di pasaran. Mengingat potensi gangguannya terhadap agroekosistem padi, perhatian lebih besar layak diberikan kepada masalah ini.
Apabila dikelompokkan menurut golongannya, maka karbamat, neonikotinoid, dan piretroid, masing-masing digunakan oleh 66,9%, 64,8%, dan 62,0% petani yang diwawancarai. Proporsi karbamat sebagian besar disumbangkan oleh BPMC dan karbofuran. Aplikasi karbofuran biasanya dicampur dengan pupuk dasar dan ditaburkan ke lahan, sehingga karbofuran dalam persepsi petani sering dikira pupuk. Sementara itu, kelompok piretroid ditemukan dalam berbagai bahan aktif dengan bahan aktif utama adalah etofenproks. Apabila digabungkan, ternyata mencapai 8 merek dagang, setara dengan neonikotinoid dan karbamat.
Tabel 7 berbagai bahan aktif insektisida yang digunakan untuk mengendalikan wereng coklat oleh petani di Kabupaten Klaten
Bahan aktif Golongan bahan aktif
Jumlah merek dagang Persentase pengguna Imidakloprid Neonikotinoid 6 61,3 BPMC=fenobucarb Karbamat 8 45,8 Etofenproks Piretroid 1 29,6 Fipronil Fiprol 1 19,7 Karbofuran Karbamat 1 14,8
Lamda sihalotrin Piretroid 2 12,7
Alfa sipermetrin Piretroid 1 11,3
Buprofezin Buprofezin 2 10,6
Dimehipo/ tiosultap Analog
2- dimetilaminopropane-1-3-ditiol
2 8,5
Lamda sihalotrin & tiametoksam
Piretroid & neonikotinoid
1 3,5
MIPC= isoprocarb Karbamat 1 3,5
Siflutrin Piretroid 1 2,8 Diazinon Organofosfat 3 2,1 Deltametrin Piretroid 1 1,4 Etiprol Fiprol 1 1,4 Karbosulfan Karbamat 1 1,4 Endosulfan Cyclodiene 1 0,7 Karbaril Karbamat 1 0,7 Kartap hidroklorida 2- dimetilaminopropane-1-3-ditiol 1 0,7 Sipermetrin Piretroid 1 0,7 Propoksur Karbamat 1 0,7
Dalam survei tercatat juga penggunaan sejumlah insektisida yang tidak terdaftar sebagai pengendali wereng coklat, bahkan ada yang masuk dalam daftar larangan pada Inpres no 3 tahun1986. Insektisida tanpa merek (ilegal) juga beredar di kalangan petani, bahkan penipuan dengan menjual deterjen bubuk yang dipasarkan sebagai insektisida pun terjadi di Kabupaten Klaten.
Interval penyemprotan juga berkaitan dengan kerusakan hamparan. Sebagian besar petak (20 petak, 34 petak, dan 33 petak di hamparan dengan tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan) disemprot dalam interval 3-7 hari. Penyemprotan yang biasa dilakukan petani adalah seminggu sekali atau lima hari
(sepasar) sekali. Pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat, interval
28
dua hari sekali. Kondisi paling ekstrem adalah penyemprotan berganda yaitu pencampuran lebih dari satu jenis insektisida, dosis dinaikkan dua kali lipat, dan penyemprotan dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore. Terhadap semua intensifikasi penggunaan insektisida tersebut, semua petani yang diwawancarai berpendapat tidak ada insektisida di pasaran yang efektif mengendalikan wereng. Ada pula petani yang tidak menyemprot padinya yang terserang wereng, dengan alasan belum sempat disemprot wereng telah menyebabkan tanaman puso.
Dari faktor pemupukan, hanya dosis pupuk N yang menunjukkan keterkaitan nyata dengan tingkat kerusakan hamparan. Sebagian besar petani (82 dari 139) di Klaten menggunakan pupuk N dengan dosis lebih dari 300 kg/ha setara urea, sedangkan tiga perempat dari sisanya menggunakan dosis pupuk 150-300 kg/ha setara urea. Sebagian besar petani (37) yang menggunakan dosis pupuk N tinggi (>300 kg/ha) ditemukan pada hamparan dengan tingkat kerusakan sedang, sementara yang menggunakan dosis pupuk sedang (150-300 kg/ha) dan ringan (<150 kg/ha) mayoritasnya juga berada dalam hamparan dengan tingkat kerusakan berat (22 dan 7). Hal ini bertentangan dengan survei sebelumnya oleh Buchori et al.(1999) di Jawa Barat yang menyatakan dosis pupuk N yang tinggi berkaitan nyata dengan ledakan wereng coklat. Dalam survei tersebut juga ditemukan pemupukan dengan K dapat menghindarkan padi dari serangan wereng coklat, sementara dalam penelitian ini keterkaitan dosis pupuk K dan ledakan populasi wereng berada dalam titik perbatasan penerimaan hipotesis (p=0,05), walaupun polanya konsisten.
Penjelasan yang mungkin adalah, dosis pupuk N dan K bukan faktor yang saling lepas. Petani yang memupuk N dosis tinggi juga memupuk K dengan dosis sebanding. Hal ini terjadi karena banyak petani yang menggunakan pupuk NPK. Dalam hal ini terjadi kompensasi efek negatif N oleh efek positif K dalam hubungannya dengan ketahanan tanaman terhadap serangan hama wereng. Itulah sebabnya mengapa kenaikan dosis pupuk N tidak jelas menyebabkan ledakan populasi, sama seperti rendahnya dosis pupuk K yang juga tidak terlihat nyata menyebabkan serangan wereng.
Kontribusi pupuk organik juga mungkin saja berpengaruh dalam hal petak dengan dosis N tinggi mendapatkan serangan ringan. Sebab, walaupun dosisnya berada dalam kisaran rendah (13,7 kg pada petak terserang berat, 51,1% pada petak terserang sedang, dan 86,8% pada petak terserang berat, lihat Tabel 8) kecenderungannya jelas terlihat bahwa hamparan dengan tingkat kerusakan ringan mendapatkan pupuk organik dengan dosis lebih tinggi.
Dosis pupuk yang biasa diberikan petani disajikan dalam Tabel 8. Pada semua kategori tingkat kerusakan, dosis unsur N dan P terlihat tinggi. Pemupukan N dan P yang tinggi berinteraksi dengan kadar K sehingga tanaman peka terhadap gangguan. Selain itu, nisbah unsur Si dan K dibandingkan dengan N disebutkan mempengaruhi keragaan tanaman yang akhirnya berpengaruh terhadap tingkat serangan wereng coklat (Soepardi 1986).
Dosis pupuk N yang tinggi telah dilaporkan menjadi sebab berkembangnya wereng coklat, bukan hanya karena tanaman menjadi sukulen (Soepardi 1986), namun juga karena kandungan asam aspartat dan asam glutamat yang dikenal sebagai pemacu aktivitas makan juga meningkat (Lu & Heong 2009).
Tabel 8. Pemupukan yang biasa dilakukan petani padi di Kabupaten Klaten 1 Unsur
hara
Penambahan pupuk (kg/ha)
pada hamparan dengan tingkat kerusakan Rata-rata
Berat Sedang Ringan
N2 156,2 (347,0) 184,3 (409,5) 173,1 (384,8) 171,2 (380,4) P3 55,2 (153,5) 72,5 (201,3) 56,1 (155,8) 61,3 (170,2) K) 29,2 (48,7) 35,3 (58,9) 39,1 (35,3) 34,6 (57,6) S 33,3 37,0 37,8 36,0 Organik 13,7 51,1 86,8 50,5 1
pupuk yang dipakai adalah urea, ZA (mes), NPK Ponska, NPK pelangi, SP36, KCl, dan pupuk organik formulasi komersial
2
angka dalam kurung menunjukkan nilai kesetaraan pemupukan dengan urea 3
angka dalam kurung menunjukkan nilai kesetaraan pemupukan dengan SP36 4
angka dalam kurung menunjukkan nilai kesetaraan pemupukan dengan KCl
Lu et al. (2004) melaporkan peningkatan semua indikator kebugaran pada semua fase wereng coklat (telur, mimfa, imago) sejalan dengan kenaikan kandungan N pada tanaman inang. Lebih lanjut Lu & Heong (2009) bahkan menghasilkan model dimana terjadi peningkatan populasi wereng hingga 40 kali untuk setiap 2 kali peningkatan kandungan N dalam tanaman. Data tentang pemupukan N di atas menggambarkan secara tidak langsung kondisi tanaman yang dibudidayakan dalam sistem dengan kandungan N tinggi, dan hal tersebut telah berlangsung lama. Artinya, populasi wereng yang hidup pada tanaman tersebut memiliki kebugaran ekologis yang tinggi dan ledakan populasi wereng tinggal menunggu pemicunya.
Pupuk organik tidak banyak digunakan petani Klaten. Walaupun dosis rata-ratanya juga lebih tinggi pada hamparan dengan tingkat kerusakan lebih ringan, jumlahnya kurang dari yang dibutuhkan. Padahal bahan/pupuk organik terutama pupuk kandang berperan ganda, selain memberikan unsur hara juga meningkatkan populasi detrivora dan pemakan plankton sebagai mangsa alternatif predator wereng coklat, yang pada gilirannya akan meningkatkan ketahananan ekosistem sawah (Settle et al. 1996).
Keterkaitan Antara Berbagai Faktor dengan Populasi Wereng Coklat di Tiga Tingkat Kerusakan Hamparan
Setelah diketahui sejumlah faktor lingkungan dan budidaya yang berkaitan erat dengan tingkat kerusakan hamparan, dan telah diketahui pula keterkaitannya yang nyata dengan tingkat populasi wereng coklat (Tabel 4), menarik untuk diketahui keterkaitan langsung antara sejumlah faktor dengan populasi wereng coklat dalam skala petak sawah. Sejumlah faktor yang diduga berkaitan langsung dengan populasi wereng coklat pada petak sawah dibuat tabulasi silangnya(Tabel 9) dan hasil pengujian statistiknya disajikan dalam tabel 10. Dengan dugaan ada variasi dalam hamparan dengan kerusakan yang berbeda, data juga dipecah sehingga dapat dilihat pola keterkaitan tiap-tiap faktor dengan populasi wereng coklat di hamparan dengan kerusakan berat, sedang, dan ringan.
30
Tabel 9 tabel kontingensi antara berbagai faktor pengamatan dibandingkan dengan tingkat populasi wereng coklat pada hamparan dengan tingkat kerusakan berbeda di Kabupaten Klaten
Faktor Populasi wereng (ekor/rumpun) di semua hamparan Populasi wereng (ekor/rumpun) di hamparan terserang berat
Populasi wereng (ekor/rumpun) di hamparan terserang sedang Populasi wereng (ekor/rumpun) di hamparan terserang ringan
10 1 ‐ 40 40 Total 10 1 ‐ 40 40 Total 10 1 ‐ 40 40 Total 10 1 ‐ 40 40 Total
Varietas padi
Ciherang 7 14 44 65 0 0 15 15 15 8 7 30 7 4 9 20
IR 64 110 63 117 290 23 28 29 80 49 26 35 110 50 22 28 100
Mamberamo 50 24 36 110 0 2 13 15 24 13 13 50 35 8 2 45
Way Apo – Buru 36 20 4 60 4 1 20 25 3 3 4 10 9 14 2 25
203 121 201 525 27 31 77 135 91 50 59 200 101 48 41 190 Umur 2‐5 MST 27 31 82 140 6 17 2 25 26 10 9 45 34 15 21 70 6‐9 MST 117 69 124 310 17 13 65 95 40 32 43 115 73 19 8 100 >9 MST 99 41 20 160 9 6 40 55 25 14 26 65 13 15 12 40 243 141 226 610 32 36 107 175 91 56 78 225 120 49 41 210 Keberadaan predator Tidak ada 57 22 41 120 3 1 12 16 8 5 34 47 17 17 23 57 Ada 186 119 185 490 70 39 50 159 53 40 85 178 92 39 22 153 243 141 226 610 73 40 62 175 61 45 119 225 109 56 45 210
Tabel 9 lanjutan Faktor Populasi wereng (ekor/rumpun) di semua hamparan Populasi wereng (ekor/rumpun) di hamparan terserang berat
Populasi wereng (ekor/rumpun) di hamparan terserang sedang Populasi wereng (ekor/rumpun) di hamparan terserang ringan
10 1 ‐ 40 40 Total 10 1 ‐ 40 40 Total 10 1 ‐ 40 40 Total 10 1 ‐ 40 40 Total
Keberadaan cendawan entomopatogen
Tidak ada 226 132 225 583 32 36 105 173 90 44 71 205 115 49 41 205
Ada 17 9 1 27 0 0 2 2 1 12 7 20 5 0 0 5
243 141 226 610 32 36 107 175 91 56 78 225 120 49 41 210
Keberadaan hama lain
Tidak ada 123 92 185 400 27 23 74 124 69 33 51 153 68 27 28 123
Ada 120 49 41 210 5 13 33 51 22 23 27 72 52 22 13 87
243 141 226 610 32 36 107 175 91 56 78 225 120 49 41 210
32
Tabel 10 hasil pengujian keterkaitan antara beberapa faktor dengan tingkat populasi wereng coklat di tiga tingkatan kerusakan hamparan
Faktor
Populasi wereng (ekor/rumpun) pada Keseluruhan
hamparan
Hamparan dengan kerusakan
Berat Sedang Ringan
Varietas padi χ2
56,17 37,81 2,16 34,19
P 2,70E-10 1,20E-06 0,9048 6,20E-06
Umur padi χ2
79,54 46,17 8,71 26,89
P 2,20E-16 2,30E-09 0,0687 2,10E-05
Keberadaan predator χ2
4,02 12,13 9,08 20,71
P 0,1343 0,0023 0,011 3,20E-05
Keberadaan cendawan entomopatogen χ2
13,55 1,29 17,69 3,84
P 0,0011 0,5257 0,0001 0,1465
Keberadaan hama lain χ2
50,63 3,83 4,92 2,02
P 1,00E-11 0,1475 0,0853 0,3643
Dari kelima faktor yang diuji (varietas padi, umur tanaman padi, keberadaan predator, keberadaan cendawan endofit, dan keberadaan hama lain), semuanya menunjukkan keterkaitan yang nyata dengan populasi wereng coklat, minimal dalam satu kondisi hamparan (Tabel 10). Dari Tabel 10 juga terlihat adanya variasi keterkaitan pada hamparan dengan tingkat kerusakan berbeda-beda.
Varietas padi menunjukkan keterkaitannya dengan populasi wereng pada keseluruhan hamparan serta pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat dan ringan. Varietas Ciherang cenderung berkaitan dengan populasi wereng yang tinggi di semua kasus. Varietas IR64 lebih banyak berkaitan dengan populasi wereng yang rendah (50) di hamparan dengan kerusakan ringan namun lebih banyak berkaitan dengan populasi wereng yang tinggi (29) pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat. Di keseluruhan hamparan, populasi rendah dan populasi tinggi menduduki dua puncak yang setara (110 dan 117). Pola serupa juga terlihat pada pada varietas Mamberamo (35 kejadian pada populasi rendah di hamparan dengan kerusakan ringan, 13 kejadian pada populasi tinggi di hamparan dengan kerusakan berat, dan 50:36 pada populasi rendah: tinggi di keseluruhan hamparan). Varietas Way Apo Buru sedikit berbeda polanya, yaitu dominan pada populasi sedang (14) di hamparan dengan kerusakan ringan, dan dominan pada populasi tinggi (20) di hamparan dengan kerusakan berat. Di keseluruhan hamparan, dominansinya berada di populasi rendah (36).
Data ini menandakan bahwa varietas Ciherang cenderung bersifat rentan karena konsistensinya menjadi tempat hidup wereng dengan populasi tinggi. Tiga varietas lain mempunyai persamaan yaitu pada hamparan dengan tingkat