• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Perspektif Mad’u

2. Mad’u dan Golongannya

Unsur dakwah yang kedua adalah Mad’u, yaitu manusia yang menjadi sasaran

dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama islam maupun tidak, atau dengan kata lain

manusia secara keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba’ 28:45

ِس ﺎﱠﻨﻟا َﺮَﺜْﻛ َا ْﻦِﻜَﻟ َو ا ًﺮْﯾ ِﺬَﻧ َو اًﺮْﯿِﺸَﺑ سِ ﺎﱠﻨِﻟ ِﺔﱠﻓ ﺎَﻛ ﱠﻻِا َك ﺎَﻨْﻠَﺳْرَا ﺎَﻣَو

ن ْﻮُﻤَﻠْﻌَﯾ َﻻ

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan , tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS. Saba: 28)

Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam, sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas Iman, Islam dan Ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mitra dakwah daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan kedua lebih mencerminkan kepastian penerima dakwah, padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain

sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari’ah, dan akhlak kemudian untuk

diupayakan dihayati dan diupayakan bersama-sama.

Al-Qur’an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad’u. Secara umum

mad’u terbagi tiga, yaitu mukmin, kafir dan munafik. Dan dari tiga klasifikasi besar

ini mad’u masih bisa dibagi lagi dalam berbagai macam pengelompokan. Orang 45Mohd Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, edisi 1, 2004, hal 90.

mukmin umpamanya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: dzalim linafsih, muqtashid, dan sabiqun bil-khairat. Kafir dibagi menjadi kafir zimmi dan kafir harbi. Di dalam

al-Qur’an selalu digambarkan bahwa, setiap Rasul menyampaikan risalah, kaum yang

dihadapinya akan terbagi dua: mendukung dakwah dan menolak. Hanya saja kita tidak menemukan metode yang mendetail di dalam al-Qur’an bagaimana berinteraksi dengan pendukung dan bagaimana menghadapi penentang. Tetapi isyarat corak

mad’u sudah tergambar cukup signifikan dalam al-Qur’an.

Mad’u (mitra dakwah) sangat luas cakupannya. Ia dapat dipandang dan

dikelompokkan dari berbagai sudut sesuai disiplin ilmu sosial yang digunakan. Dari kacamata sosial ekonomi, mitra dakwah dapat digolongkn berdasarkan ketenagakerjaan, pekerjaan, penghasilan dan penguasaan sumber ekonomi.

Berdasarkan ketenagakerjaan, ada mitra dakwah yang masih menganggur dan ada yang telah bekerja. Menurut penguasaan sumber ekonomi, mitra dakwah dapat dibedakan antara pemilik (shahih al-mal) dan pekerja (amil). Borjuis dan proletal menurut istilah Karl Marx.

Max Weber pernah mengadakan penelitian sosial keagamaan yang memfokuskan pada pengaruh statifikasi sosial ekonomi terhadap sifat agama seseorang. Ada lima golongan yang sifat keagamaannya ditelaah Weber:46

a. Golongan petani. Mereka lebih religius. Hal-hal yang diperhatiakn dalam menyampaikan pesan dakwah kepada mereka adalah dengan cara yang sederhana dan menghindarkan hal-hal abstrak, menggunakan lambing dan perumpamaan yang ada di lingkungan dan tidak terikat kepada waktu dan tenaga.

b. Golongan pengrajin dan pedagang kecil. Sifat agamanya dilandasi pada perhitungan ekonomi dan rasional. Mereka menyukai doa-doa yang memperlancar rezeki serta etika agama tentang bisnis. Mereka akan meolak keagamaan yang tidak rasional.

c. Golongan karyawan. Mereka cenderung mencari untung dan kenyamanan (opportunistic utilitarian). Makin tinggi kedudukan seseorang, ketaatan beragamanya semakin cenderung berbentuk formalitas.

d. Golongan kaum buruh. Mereka lebih menyuarakan teknologi pembebasan. Mereka mengecam segala bentuk penindasan, ketidakadilan dan semacamnya. e. Golongan elit dan hartawan. Kecenderungan beragama mereka adalah ke arah

santai. Mereka haus akan kehormatan, sehingga menyukai pujian agama atas kekayaan mereka. Mereka setuju dengan doktrin qadariyah, karena menghargai tindakan individu, kekayaan mereka adalah hasil kerja mereka. Karena masih menikmati kekayaannya, mereka masih menunda ketaatan beragama untuk hari tua.

Dari segi usia, mitra dakwah terbagi kepada empat golongan, yaitu :47

1) Anak-anak, yaitu masa antara umur tiga tahun hingga 12 tahun dengan mencakup tiga tahapaan, yaitu masa prasekolah (3-5 tahun), masa peralihan (5-6 tahun) dan masa sekolah (6-12 tahun). Perkembangan agama pada anak-anak terbagai pada tiga tingkatan.

a. Tingkat dongeng (the fairy tale stage). Fantasi dan emosi mempengaruhi anak-anak yang berusia 3-6 tahun dalam memahami ajaran agama.

b. Tingkat kenyataan (the realistic stage). Sejak masuk sekolah dasar, anak-anak tertarik pada perilaku keagamaan orang-orang dewasa di sekitar mereka. Keteladanan orang tua lebih diperhatikan daripada saran-sarannya.

c. Tingkat individu (the individual stage). Pengetahuan dan pengalaman bersama lingkungan sekitarnya telah membentuk pribadi keagamaan anak-anak. Sifat-sifat keagamaan anak-anak adalah sebagai berikut: menerima ajaran agama secara kurang mendalam dan tanpa kritik, menuntut agama yang sesuai dengan kepentingan dan kesenangan pribadinya, menyamakan sifat Allah SWT. Dengan sifat manusia sesuai fantasi mereka, hanya mempelajari bacaan dan praktik ritual, meniru keagamaan orang lain, kagum dan heran pada aspek luar dari ajaran agama.

2) Remaja, masa yang merupakan kelanjutan dari masa anak-anak, masa remaja terbagi kedalam empat tahap, yaitu:

a. Praremaja (perempuan: 11-13 tahun, laki-laki: 13-15 tahun). b. Remaja pemula (permpuan: 13-15 tahun, laki-laki: 15-17 tahun) c. Remaja madya (perempuan: 15-18 tahun, laki-laki: 17-19 tahun)

d. Remaja akhir (perempuan: 18-21 tahun, laki-laki: 19-22 tahun). Pada masa ini, sifat keagamaan yang menonjol adalah perkembangan pikiran dan mental. Mereka mulai berpikir kritis dan memiliki pandangan tersendiri tentang agama. Bukan tidak mungkin mereka dapat meragukan ajaran agama. Mereka juga memiliki nilai sendiri yang berbeda dengan

sebelumnya. Agama juga di pertimbangkan oleh mereka dari sisi moral dan material. Pendek kata, pembinaan agama masa anak-anak akan memepengaruhi pola keagamaan masa remaja. Demikian pula, keagamaan remaja menentukan keagamaan masa dewasa.

3) Dewasa, pada masa ini, akal pikiran dan emosi semakin matang. Sejak usia 22 tahun hingga 50 tahun, seseorang akan mengalami masa ketakutan, baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Inilah usia produktif. Pada masa ini, orang pada umumnya giat dan kuat bekerja, berpikir secara logis, kemauan menjadi kuat, bahkan banyak memunculkan kreativitas. Meski demikian, pola kejiwaan mitra dakwah yang dewasa sangat terkait dengan lingkungan sekitarnya serta pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Jika pada usia anak-anak dan remaja belum diperkenalkan ajaran Islam dengan baik, maka pada masa dewasa ia dapat menjadi anti Islam, setidaknya acuh tak acuh terhadap Islam. Seseorang dapat memiliki kesadaran tentang islam, memang fitrahnya adalah Islam ketika ia mengalami apa yang dinamakan konversi agama. Konversi agama adalah terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula. Menurut Zakiah Daradjat, meskipun pengalaman konversi agama berbeda satu sama lain, namun terdapat proses konversi agama yang umum, yaitu:48

a. Masa tenang pratama, yakni segala sikap, timgkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh menetang agama.

b. Masa ketidaktenangan, konflik dan pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya, gelisah, putus asa, tegang dan panik.

c. Orang merasa tiba-tiba mendapat petunjuk Allah SWT. Serta mendapat kekuatan dan semangat.

d. Keadaan tenteram dan tenang.

e. Seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan-aturan yang diajarkan agama.

4) Orang tua. Seseorang disebut sebagai orang tua tidak saja karena usianya sudah lanjut, yakni lebih dari 50 tahun, tetapi juga dinilai dari aspek sosiologis. Misalnya, seseorang yang masih muda dari segi usia, tetapi perilakunya berperan sebagai orang tua (psikologi transaksional) atau ia memiliki kedudukan sebagaimana orang tua pada umumnya, seperti memiliki cucu, rambut yang beruban, wajah yang berkerut dan sebagainya maka ia bisa disebut orang tua. Secara psikologis, orang tua memiliki jiwa yang sangat matang. Ia tidak gegabah dalam mengambil keputusan, kurang berani menghadapi risiko, lebih mengedepankan kemapanan daripada perubahan, serta berkeinginan hidup lebih lama, meski kenyataannya ia dekat dengan kematian. Berdakwah kepada golongan orang tua perlu menekankan kehidupan akhirat daripada dunia, agar mental menghadapi maut lebih dipersiapkan. Untuk itu beberapa pondok pesantren dan majlis taklim yang khusus untuk orang tua perlu mendapat apresiasi, mengingat kehidupan modern sering memandang orang tua sebagai masaa yang kurang produktif.49

Mad’u bisa juga dilihat dari derajat pemikirannya sebagai berikut:50

a. Umat yang berfikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan yang selalu berfikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan kepadanya.

b. Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru tanpa menimbang-nimbang secara mantap apa yang dikemukakan kepadanya.

c. Umat bertaklid, yaitu golongan yang fanatic, buta berpegang pada tradisi, dan kebiasaan turun temurun tempat menyelidiki salah satu benarnya.

Sedangkan M. Abduh membagi mad’u menjadi 3 golongan, yaitu:51

a. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir secara kritis, cepat menangkap persoalan.

b. Golongan awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berfikir secra kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi.

c. Golongan yang berbeda dengan golongan di atas mereka senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup mendalam benar.

Namun demikian, tidaklah berarti bahwa menghadapi golongan awan akan selalu lebih mudah dari pada menghadapi golongan cerdik-cendikiawan. Kepada golongan awam, cukuplah bagi mereka untuk dikemukakan bahan-bahan yang sederhana, tidaka ada gunanya membawakan pikiran yang tinggi kepada mereka. Dan disini letak sulitnya.

50Mohd Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004, edisi 1. Hal 92 51Ibid hal 92

Demikian pula mehadapi golongan ketiga, yang letaknya berada diantara golongan cerdik-cendikiawan dan golongan awan, dan harus menghadapi dengan mujadalah billati hiya ahsan. Maka dari itu, ada satu hal yang harus direkam dari ingatan pembawa dakwah (da’i), bahwa ia harus menguasai isi dari materi dakwah yang hendak disampaikannya, serta memahami intisari dan maksud yang terkandung dalammnya, harus dapat menilai corak atau golongan apakah yang akan dihapi: harus peka sehingga dirinya bisa merasakan keadaan dan suasana, ruang dan waktu, dimana ia menyampaikan dakwah: harus dapat memilih metode dan kata-kata yan tepat, setelah memahamkan semua itu.

Berdasarkan respons mad’u terhadap dakwah mereka dapat digolongkan:52

a. Golongan simpati aktif, yaitu mad’u yang menaruh simpati dan secar aktif

memberi dukungan moril dan materil terhadap kesuksesan dakwah. Mereka juga berusaha mengatasi hal-hal yang dianggapnya merintangi jalannya dakwah dan bahkan mereka bersedia berkorban segalanya untuk kepentingan Allah.

b. Golongan pasif, yaitu mad’u yang masa bodoh terhadap dakwah, tidak

merintangi dakwah.

c. Golongan antipati, yaitu mad’u yang tidak rela atau tidak suka akan terlaksanya

dakwah. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk merintangi dan meninggalkan dakwah.

Demikian heteroginitas manuisa penerima dakwah. Kesemuanya ini harus dicermati oleh setiap da’i agar ia tidak salah dalam memilih pendekatan metode, teknik serta media dakwah.

Da’i yang tidak memilki pengetahuan yang cukup tentang masyarakat yang

akan menjadi mitra dakwahnya adalah calon da’i yang akan mengalami kegagalan dalam dakwahnya. Pengetahuan tentang mad’u ini dapat diperoleh melalui penelitian secara formal atau secara informal, dan lebih secara empiris.

Dokumen terkait