• Tidak ada hasil yang ditemukan

dengan perbedaan bulan basah dan kering yang sangat mencolok yaitu 10,9 bulan basah dan 0,9 bulan kering. Debit sungai maksimum (Qmax) yang tercatat di Stasiun Katulampa tahun 2008 sebesar 91,87 m3/detik dan debit sungai minimum (Qmin) sebesar 3,28 m3/detik. (BPDAS Citarum-Ciliwung, 2008).

Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi order Andisol, Ultisol, Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38%, 11%, 48%, dan 2,1%. Sedangkan jenis tanah di Desa Tugu Utara yaitu Andisol dan Inceptisol yang berasal dari bahan induk andesit, dengan landform kaki volkan, lereng volkan tengah dan lereng volkan atas (Janudianto, 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum, seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Dalam mengelompokkan penggunaan lahan perlu dilihat tipe penggunaan lahan tersebut. Tipe penggunaan lahan bermacam-macam seperti tipe penggunaan lahan terperinci, tipe penggunaan lahan ganda dan tipe penggunaan lahan majemuk (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Penggunaan lahan merupakan indikator penting untuk mengetahui bagaimana dampak aktivitas manusia terhadap lahan di suatu wilayah. Aktivitas manusia berhubungan dengan karakteristik lahan, sehingga secara umum kesejahteraan kehidupan manusia berhubungan pada ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya lahan (Nagasawa 2009).

Dari hasil digitasi Citra Ikonos 2012, terdapat 10 kelas penggunaan lahan secara umum dan 14 kelas untuk penggunaan lahan secara detail. Kelas penggunaan lahan tersebut dibedakan berdasarkan 7 kunci interpretasi citra dan hasil koreksi turun lapang. 14 tipe penggunaan lahan skala detail yaitu hutan berkerapatan tinggi, hutan berkerapatan rendah, sawah, kebun teh berkerapatan tinggi, kebun teh berkerapatan rendah, kebun campuran, tegalan, villa, perumahan penduduk padat, perumahan penduduk sedang, perumahan penduduk jarang/tidak padat, lahan terbuka, emplasmen, dan semak belukar.

Hasil digitasi citra ikonos, luas penggunaan lahan terbesar di Desa Tugu Utara yaitu kebun teh dengan luas sebesar 454,9 ha. Luas kebun teh berkerapatan tinggi seluas 364,3 ha dan kebun teh berkerapatan rendah seluas 90,6 ha. Kebun teh Desa Tugu Utara di kelola oleh perusahaan swasta yaitu Perkebunan Teh Ciliwung Hulu. Menurut salah satu pegawai Perkebunan Teh Ciliwung Hulu Bapak Sujito, Kebun teh di Desa Tugu Utara berdiri sejak tahun 1970 dengan luas total 822 ha. Dahulu, hasil dari kebun teh diolah langsung menjadi produk, tetapi semenjak pabrik perkebunan teh mengalami kendala perkebunan teh Ciliwung juga mengalami penurunan produktivitas. Luas lahan kebun teh yang masih produktif saat ini yaitu 560 ha.

Menurut Faudina (2014), pemanfaatan kebun teh sesuai di daerah pegunungan dengan jenis tanah Andisol dan Inceptisol seperti di desa Tugu Utara. Selain kebun teh, hutan juga merupakan penggunaan lahan yang didominasi di Desa Tugu Utara, baik sebagai hutan lindung maupun hutan konservasi. Saat ini, hutan lindung di Desa Tugu Utara dikelola oleh Perhutani dan dimanfaatkan

16 0 50 100 150 200 250 300 350 400 KtRt HtRt HtRr KtRr Kc Tgl Lt PPPd PPSd Vl Em PPTp Swh

sebagai taman wisata. Sebagian lahan hutan di Desa Tugu Utara telah dikonversi menjadi lahan-lahan terbangun seperti villa dan perumahan. Sehingga luas lahan hutan saat ini semakin menurun. Luas lahan terendah yaitu penggunaan lahan semak belukar dan sawah. Luas semak belukar sebesar 5,4 ha dan sawah sebesar 7,5 ha. Tabel luas penggunaan lahan Desa Tugu Utara disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Luas (ha) dan Proposi Luas (%) Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara

No Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase %

1 Emplasmen 11,9 1,0

2 Hutan berkerapatan rendah 104,1 9,2

3 Hutan berkerapatan tinggi 288,3 25,4

4 Kebun campuran 83,3 7,3

5 Kebun teh berkerapatan tinggi 364,3 32,1

6 Kebun teh berkerapatan rendah 90,6 8,0

7 Lahan terbuka 40,8 3,6

8 Pembangunan villa 21,7 1,9

9 Perumahan penduduk padat 31,0 2,7

10 Perumahan penduduk sedang 26,9 2,4

11 Perumahan penduduk tidak padat 11,1 1,0

12 Sawah 7,5 0,7

13 Semak belukar 5,4 0,5

14 Tegalan 47,5 4,2

Luas total 1134,6 100,0

Sumber: Hasil digitasi citra ikonos 2012 dan koreksi lapang

Penggunaan lahan sawah di Desa Tugu Utara sangat rendah disebabkan daerah Tugu Utara memilki kemiringan lereng yang curam, sehingga tidak sesuai dengan penggunaan lahan sawah yang lebih sesuai di lereng yang datar. Selain itu, menurut warga Desa Tugu Utara sawah juga sudah banyak dikonversi ke lahan terbangun seperti villa dan perumahan. Grafik penggunaan lahan dan peta penggunaan lahan Desa Tugu Utara disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Keterangan: Em = Emplasmen, HtRr = Hutan berkerapatan rendah, HtRt = Hutan berkerapatan tinggi, Kc = Kebun campuran, KtRt = Kebun teh berkerapatan tinggi, KtRr = Kebun teh berkerapatan rendah, Lt = Lahan terbuka, Vl = Villa, PPPd = Perumahan penduduk padat, PPSd = Perumahan penduduk sedang, PPTp = Perumahan penduduk tidak padat, Sblk = Semak belukar, Tgl = Tegalan

17 Em HtRr HtRt Kc KtRt KtRr Lt Vl PPPd PPSd PPTp Swh Sblk Tgl Gambar 5 Peta Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara

Gambar 6 Proporsi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara (%) 1,0 9,2 7,3 32,1 8,0 3,6 1,9 2,8 2,4 1,0 0,6 0,5 4,1 Perumahan sedang Perumahan Padat Emplasmen

Kebun teh berkerapatan tinggi Kebun teh

berkerapatan rendah Perumahan tidak

padat

Sawah

Keterangan: Em= Emplasmen, HtRt= Hutan berkerapatan tinggi, HtRt= Hutan berkerapatan rendah, KtRt= Kebun teh berkerapatan tinggi, KtRr= Kebun teh berkerapatan rendah, Lt= Lahan terbuka, PPPd= Perumahan penduduk padat, PPSd= Perumahan penduduk sedang, PPTp= Perumahan penduduk tidak padat, Sblk= Semak belukar, Kc= Kebun campuran, Vl= Villa, Swh= Sawah, Tgl= Tegalan

18

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 Berhasilnya suatu pembangunan dapat dilihat dari sesuai atau tidaknya arahan perencanaan tata ruang (Dwikorawati 2012). Kebijakan penataan ruang wilayah meliputi kebijakan pengembangan struktur ruang dan kebijakan pengembangan pola ruang. Bedasarkan Peraturan Presiden No 54 tahun 2008, tata ruang kawasan puncak telah diatur dalam Peta Rencana Tata Ruang Jabodetabekpunjur. Sebelumnya penataan kawasan puncak juga telah diatur dalam Keppres No 48 tahun 1983 (Jabopunjur). Dalam Keppres No 48/1983, telah diatur mengenai RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). RUTR kawasan Puncak/Jabopunjur meliputi rencana alokasi peruntukan ruang yang membedakan wilayah sesuai dengan fungsinya menjadi 4 bagian yaitu:

1. Kawasan Lindung, meliputi hutan lindung dan suaka alam

2. Kawasan Penyangga, meliputi perkebunan karet, perkebunan teh, tanaman tahunan dan hutan produksi

3. Kawasan Budidaya Pertanian, meliputi tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman tahunan

4. Kawasan Budidaya Non Pertanian, meliputi permukiman perkotaan, lokasi industri dan bahan baku semen, lokasi industi tanpa polusi air, lokasi industri yang dibatasi dan lokasi pariwisata.

Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, kawasan lindung memiliki luas lahan yang lebih besar dibandingkan kawasan budidaya. Total luas kawasan lindung sebesar 886,87 ha dengan persentase 78,17 % dari luas keseluruhan. Sedangkan luas kawasan budidaya sebesar 247,69 ha dengan persentase 21,83 % dari luas keseluruhan. Peruntukan lahan Desa Tugu Utara berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 dapat disajikan sesuai Tabel 4. Tabel 4 Luas Peruntukan Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara Menurut

RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025

No Tipe

Kawasan

Penggunaan Lahan menurut RTRW Luas Lahan (ha) Total Luas (ha) Persentase

1 Lindung Kawasan Hutan Konservasi 28,1 886,9 78,17

2 Kawasan Hutan Lindung 858,8

3

Budidaya

Kawasan Perkebunan 65,0

247,7 21,8

4 Kawasan Permukiman Perdesaan

(Hunian Rendah) 6,7

5 Kawasan Permukiman Perdesaan

(Hunian Sedang) 30,4

6 Kawasan Permukiman Perkotaan

(Hunian Rendah) 75,2

7 Kawasan Permukiman Perkotaan

(Hunian Sedang) 18,9

8 Kawasan Pertanian Lahan Kering 51,5

Total 1134,6 1134,6 100

19

Luas peruntukan lahan terbesar yaitu kawasan lindung dengan pemanfaatan sebagai kawasan hutan lindung seluas 858,8 ha dan luas peruntukan terkecil yaitu kawasan budidaya dengan pemanfaatan sebagai kawasan permukiman perkotaan (hunian sedang) seluas 18,9 ha. Gambar peta RTRW Desa Tugu Utara disajikan pada Gambar 7.

Analisisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Desa Tugu Utara

Peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Desa Tugu Utara (Gambar 8) merupakan hasil tumpang tindih peta penggunaan lahan dan peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025. Peta hasil tumpang tindih di-query berdasarkan matriks logika inkonsistensi. Hasil analisis menunjukkan 550,8 ha atau 48,5% lahan konsisten terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, sedangkan 583,7 ha atau 51,5% lahan inkonsisten terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025. Diagram proporsi dan tabel luas Inkonsistensi akan disajikan pada Gambar 9 dan Tabel 5.

Tabel 5 Luas (ha) Penggunaan Lahan Konsisten dan Inkonsisten Terhadap RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025

No Penggunaan Lahan Luas ( ha ) Persentase

1 Konsisten 566,1 49,9

2 Inkonsisten 568,5 50,1

Total 1134,6 100,0

Gambar 7 Peta RTRW Desa Tugu Utara

Batulawang Tugu Selatan Megamendung Batulayang Sukamakmur Tugu Utara

20

Konsisten

Inkonsisten

50,1%

49,9%

Gambar 8 Peta Inkonsistensi Tata Ruang Desa Tugu Utara

Gambar 8 Peta Inkonsistensi Desa Tugu Utara

Gambar 9 Diagram Proporsi Penggunaan Lahan Konsisten dan Inkonsisten Terhadap RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025

Proporsi penggunaan lahan kosisten dan tidak konsisten tidak berbeda jauh. Tetapi dari hasil analisis, luas penggunaan lahan yang tidak konsisten terhadap RTRW lebih besar dibandingkan penggunaan lahan yang konsisten. Hal ini menunjukkan banyaknya terjadi konversi lahan di Desa Tugu Utara. Konversi lahan akan terjadi terus menerus yang disebabkan oleh semakin meningkatnya

Tugu Selatan Batulawang Batulayang Megamendung Sukamakmur Tugu Utara

21

kebutuhan lahan untuk perumahan, industri, perkantoran, jalan raya dan infrastruktur lain untuk menunjang perkembangan masyarakat. Menurut Pakpahan et al. (2007), konversi lahan merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan karena dampak dari konversi lahan bersifat permanen. Irawan (2005) mengungkapkan bahwa konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding dengan komoditas non pertanian. Oleh karena itu pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan komoditas pertanian.

Pada peta inkonsistensi Desa Tugu Utara, terdapat 10 bentuk inkonsistensi lahan. Perubahaan penggunaan lahan terbesar terdapat pola ruang kawasan hutan lindung dengan perubahan penggunaan lahan aktual sebagai kebun teh berkerapatan tinggi seluas 329,98 ha. Menurut Antoko et al. (2008), perubahan fungsi hutan menjadi penggunaan lahan lainnya pada umumnya berlangsung dari aktivitas dengan environment rent tinggi ke rendah sehingga secara keseluruhan dapat dilihat bahwa aktivitas kehidupan cenderung menuju sistem penggunaan lahan dengan kapasitas daya dukung yang semakin menurun. Kondisi ini tentunya akan memberikan dampak yang cukup serius terhadap lingkungan dan pemicu terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya, salah satu penyebab bencana alam adalah semakin berkurangnya luas hutan dan atau berubahnya fungsi hutan.

Berdasarkan poligon, terdapat 10 besar inkonsistensi penggunaan lahan, yaitu: kawasan hutan lindung menjadi tegalan, kawasan hutan lindung menjadi kebun teh berkerapatan rendah, kawasan hutan lindung menjadi kebun campuran, kawasan hutan lindung menjadi villa, kawasan hutan lindung menjadi perumahan, kawasan hutan lindung menjadi lahan terbuka, kawasan perkebunan menjadi kebun campuran, kawasan perkebunan menjadi tegalan, kawasan perkebunan menjadi villa dan kawasan pertanian lahan kering menjadi villa.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kawasan hutan lindung merupakan kawasan yang mengalami konversi terbanyak dibandingkan penggunaan lahan yang lain. Tidak hanya menjadi lahan perkebunan, kawasan hutan lindung juga banyak dikonversi menjadi lahan lahan terbangun, seperti perumahan, emplasmen dan villa. Hutan lindung menjadi tegalan sebanyak 62 poligon, hutan lindung menjadi kebun campuran sebanyak 46 poligon, hutan lindung menjadi kebun teh berkerapatan rendah sebanyak 34 poligon, hutan lindung menjadi villa sebanyak 30 poligon, hutan lindung menjadi kebun teh berkerapatan tinggi sebanyak 27 poligon dan hutan lindung menjadi lahan terbuka 21 poligon.

Tingginya bentuk inkonsistensi di kawasan hutan lindung berpengaruh terhadap eksistensi sumberdaya hayati yang terkandung dalam hutan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Hayati pada prinsipnya telah mengatur prinsip perlindungan meliputi jenis-jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang tidak dilindungi. Penggunaan lahan di kawasan hutan lindung diarahkan untuk tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan (Ardhana 2011). Luas inkonsistensi Desa Tugu Utara disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Luas Inkonsistensi Desa Tugu Utara Terhadap RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025

Keterangan: - : Tidak ada bentuk Inkonsistensi Sumber: Hasil analisis (2015)

No Pola Ruang Penggunaan Lahan ( ha ) Hutan Kebun teh berkerapatan tinggi Kebun teh

berkerapatan rendah Kebun campuran Sawah Tegalan Semak

1 Kawasan Hutan Konservasi - 0,77 - - - - - 2 Kawasan Hutan Lindung - 329,98 65,51 40,98 7,53 26,67 1,72 3 Kawasan Perkebunan - - - 7,82 - 3,49 1,26 4 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) - - - - 5 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Sedang) - - - - 6 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) - - - - 7 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) - - - - 8 Kawasan Pertanian Lahan Kering - - - - 22

Tabel lanjutan 6

Keterangan: - : Tidak ada bentuk Inkonsistensi Sumber: Hasil analisis (2015)

No Pola Ruang

Luas Penggunaan lahan ( ha ) Lahan Terbuka Perumahan penduduk padat Perumahan penduduk sedang Perumahan penduduk

tidak padat Villa Emplasmen

1 Kawasan Hutan Konservasi - - - - 2 Kawasan Hutan Lindung 21,36 3,18 12,12 8,59 8,23 2,56 3 Kawasan Perkebunan - 3,93 1,81 1,39 3,66 0,26 4 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) - - - - 5 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Sedang) - - - - 6 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) - - - - 7 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) - - - - 8 Kawasan Pertanian Lahan Kering 3,07 0,89 - 0,01 4,75 3,71 23

24

Tabel 7 Jumlah Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

No Pengggunaan Lahan Luas (ha) Jumlah

Poligon

Rata-rata luas/poligon

1 Hutan Lindung--> Tegalan 26,7 62 0,43

2 Hutan Lindung--> Kebun Campuran 41 46 0,89

3 Hutan Lindung--> Kebun Teh Berkerapatan rendah 65,5 34 1,93

4 Hutan Lindung--> Villa 8,2 30 0,27

5 Hutan Lindung--> Kebun Teh Berkerapatan tinggi 330 27 12,22

6 Hutan Lindung--> Lahan Terbuka 21,4 21 1,02

7 Kawasan Perkebunan--> Kebun Campuran 41 20 2,05

8 Kawasan Perkebunan--> Tegalan 26,7 18 1,48

9 Kawasan Perkebunan--> Villa 3,7 13 0,28

10 Kawasan Pertanian Lahan Kering--> Villa 4,8 8 0,59

Total Luas 569 279 21,16

Tabel 7 merupakan jumlah poligon inkonsistensi pemanfaatan ruang di Desa Tugu Utara. Berdasarkan hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa penggunaan lahan dengan luas lahan sedikit tetapi memiliki jumlah poligon yang tinggi, akan lebih terancam terkonversi dibandingkan dengan penggunaan lahan dengan luas terbesar tetapi memiliki jumlah poligon yang sedikit. Hal ini dikarenakan, penggunaan lahan dengan jumlah poligon yang tinggi mengalami fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan menurut Binns (1950) adalah suatu tahapan dalam evolusi pengelolaan pertanian dimana suatu unit terdiri dari sejumlah persil yang terpisah dan terpencar dalam suatu area luas. Berdasarkan hasil analisis, hutan lindung menjadi penggunaan lahan aktual villa memiliki luasan yang kecil yaitu sebesar 8,2 ha, tetapi memiliki jumlah poligon yang tinggi yaitu sebanyak 30 poligon. Hal ini dapat dikatakan bahwa, fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi blok-blok kecil akibat pembangunan jalan maupun pembangunan lainnya.

Semakin tinggi penduduk maka semakin tinggi pula kebutuhan lahan disuatu daerah, begitu pula yang terjadi Desa Tugu Utara. Dari hasil analisis lapang, sebagian besar penduduk di wilayah Desa Tugu Utara bermatapencaharian sebagai petani, buruh teh dan penjaga villa. Sehingga banyak lahan-lahan di kawasan hutan lindung yang terkonversi akibat kebutuhan akan lahan tersebut. Grafik poligon inkonsistensi dan peta inkonsistensi Desa Tugu Utara disajikan pada gambar 10.

25

Gambar 11 Sebaran Lokasi Villa dan Pemukiman Serta Peruntukan Kawasan Hutan Lindung Menurut RTRW Kabupaten Bogor

Gambar 11 menunjukkan lahan kawasan hutan lindung yang dikonversi menjadi lahan terbangun seperti villa dan perumahan. Menurut Ketua Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) pak Ujang Yahya, villa di Desa Tugu Utara merupakan investasi bagi masyarakat sekitar. Beberapa masyarakat beralih profesi dari petani menjadi penjaga villa disebabkan penghasilan yang lebih menjanjikan dibanding bertani. Villa tersebut sebagian besar bukan milik masyarakat asli Desa Tugu Utara, melainkan milik masyarakat luar seperti warga Jakarta, Bekasi dan lain sebagainya. Pada dasarnya villa didirikan untuk kepentingan keluarga, tetapi semakin besar kebutuhan ekonomi manusia maka villa dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi sebuah usaha. Di Desa Tugu Utara, beberapa villa belum memiliki surat izin/sertifikat IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Hal ini yang menyebabkan beberapa villa dibongkar dan menjadi lahan terlantar.

Dari hasil pengecekan lapang secara langsung, beberapa perumahan di Desa Tugu Utara berada disekitar bantaran sungai. Umumnya warga yang menempati wilayah bantaran sungai bermatapencaharian sebagai pekerja buruh di Perusahaan Teh Ciliwung. Perkebunan teh di Desa Tugu Utara merupakan perkebunan swasta milik perusahaan Cilliwung. Luas awal perkebunan teh Perusahaan Cilliwung seluas 820 ha, dan saat ini luas lahan yang masih produktif seluas 560 Ha dan sisanya sudah tidak produktif. Hal ini yang menyebabkan terjadinya konversi lahan perkebunan teh menjadi lahan terbangun seperti villa dan perumahan. Villa Batulawang Tugu Selatan Batulayang Megamendung Sukamakmur Tugu Utara

26

Wilayah bantaran sungai termasuk kawasan yang dilindungi, sehingga perumahan yang berada dibantaran sungai tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang.

Gambar 12 Sebaran Lokasi Villa dan Pemukiman Serta Peruntukan Kawasan Perkebunan Menurut RTRW Kabupaten Bogor

Analisis Land Rent Pertanian dan Non Pertanian

Perubahan penggunaan lahan akan terus terjadi diakibatkan salah satu faktor yaitu land rent. Land rent merupakan nilai sewa lahan yang dihasilkan dari suatu penggunaan lahan. Penggunaan lahan akan berubah dari nilai land rent terendah hingga tertinggi. Land rent pertanian dan non pertanian berbeda. Nilai land rent pertanian selalu lebih rendah dibandingkan nilai land rent non pertanian. Hal itulah yang meyebabkan lahan di Desa Tugu Utara mengalami perubahan lahan yang sangat cepat. Dalam penelitian ini dihitung nilai land rent di setiap penggunaan lahan. Tetapi, ada beberapa penggunaan lahan yang tidak dapat dihitung nilai land rent disebabkan tidak ada pemasukan pada penggunaan lahan tersebut.

Dari hasil analisis, 11 dari 14 penggunaan lahan dapat dihitung nilai land

rent, sementara itu penggunaan lahan lain belum dapat dihitung disebabkan

keterbatasan data (tegalan, semak belukar, hutan berkerapatan rendah dan hutan erkerapatan tinggi). Penggunaan lahan yang dihitung yaitu: villa, perumahan penduduk padat, perumahan penduduk sedang, perumahan penduduk jarang/tidak padat, lahan terbuka, kebun campuran, sawah, kebun teh berkerapatan tinggi, kebun teh berkerapatan rendah, emplasmen dan hutan. Sementara itu, 3 penggunaan lahan belum dapat dihitung nilai land rent disebabkan keterbatasan

Pemukiman Pemukiman dibantaran sungai Batulawang Batulayang Tugu Selatan Megamendung Sukamakmur Tugu Utara

27

data. Nilai land rent hutan belum dapat dihitung secara detail, sehingga pada penelitian ini land rent hutan dianalisis berdasarkan hasil penelitian Pramono. . Nilai land rent pada berbagai penggunaan lahan akan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Nilai Land Rent Pada Setiap Penggunaan Lahan

*rata-rata land rent menurut Pramono (2006), **tidak dihitung

Nilai land rent tertinggi terdapat pada penggunaan lahan aktual perumahan penduduk padat sebebsar 165.233,92 Rp/m2/tahun, kemudian diikuti penggunaan lahan aktual emplasmen yaitu sebesar 161.476,745 Rp/m2/tahun, kemudian villa sebesar 118.825,09 Rp/m2/tahun, selanjutnya perumahan penduduk sedang sebesar 117.253,14 Rp/m2/tahun, perumahaan penduduk jarang sebesar 86.076,00, kemudian lahan terbuka sebesar 19 520 Rp/m2/tahun, kemudian kebun campuran sebesar 1.560,48 Rp/m2/tahun, kebun teh berkerapatan tinggi sebesar 691,65 Rp/m2/tahun, kemudian hutan sebesar 553 Rp/m2/tahun, kebun teh berkerapatan rendah sebesar 414,73 Rp/m2/tahun serta sawah sebesar 219,27 Rp/m2/tahun.

Pada penelitian terdapat dua tipe emplasmen yang dapat dihitung nilai sewa lahan, yaitu emplamen bunga potong dan emplasmen kebun teh. Emplasmen bunga potong memiliki nilai land rent sebesar sebesar 197.363,90 Rp/m2/tahun. Bunga potong merupakan perusahaan swasta milik salah satu warga Jakarta yang telah dibangun sejak tahun 1992 dengan status lahan HGU (Hak Guna Usaha) yaitu Perusahaan Allecia Kebun. Perusahaan Allecia Kebun sampai saat ini masih produktif dan aktif, hasil produksi di ekspor ke luar kota di berbagai daerah di Indonesia. Sehingga pemasukan dana pada perusahaan Allecia Kebun masih berjalan dengan baik. Hal inilah yang menyebabkan land rent emplasmen perusahaan tersebut tinggi. Berbeda dengan emplasmen bunga potong, emplasmen kebun teh memiliki nilai land rent lebih rendah dibandingkan emplasmen tersebut. Hal ini disebabkan perusahaan Ciliwung yang merupakan perusahaan kebun teh swasta di Desa Tugu Utara mengalami banyak kendala sehingga produksi kebun teh tidak begitu baik. Nilai land rent emplasmen kebun teh sebesar 125.589,59 Rp/m2/tahun.

No Penggunaan Lahan Rata-rata Land Rent

1 Perumahan Penduduk Padat 185.234

2 Emplasmen 161.477

3 Villa 118.825

4 Perumahan Penduduk Sedang 117.253

5 Perumahan Penduduk Jarang 86.076

6 Lahan Terbuka 19.520

7 Kebun Campuran 1.560

8 Kebun Teh Berkerapatan Tinggi 692

9 Hutan 553*

10 Kebun Teh Berkerapatan Rendah 415

11 Sawah 219

12 Tegalan 0**

28

Gambar 13 Peta Penggunaan Lahan Emplasmen Bunga Potong dan Emplasmen Kebun Teh

. Menurut interpretasi citra, penggunaan lahan perumahan dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu: perumahan penduduk padat, perumahan penduduk sedang dan perumahan penduduk tidak padat/jarang. Ketiga jenis perumahan ini memiliki land rent yang berbeda. Dari hasil analisis, nilai land rent perumahan penduduk padat lebih tinggi dibandingkan dengan perumahan penduduk sedang dan perumahan penduduk tidak padat. Hal ini disebabkan kegiatan perekonomian di perumahan penduduk padat lebih tinggi dibandingkan lainnya. Kegiatan perekonomian tersebut antara lain sewa menyewa rumah maupun dagangan/kios. Faktor yang mempengaruhi kegiatan perekonomian pada penggunaan lahan perumahan penduduk padat lebih tinggi salah satunya adalah kepadatan penduduk. Semakin tinggi penduduk maka kebutuhan ekonomi juga semakin tinggi. Nilai land rent untuk penggunaan lahan perumahan penduduk sedang sebesar 117.253,14 Rp/m2/tahun dan land rent perumahan penduduk tidak padat sebesar 86.076,00 Rp/m2/tahun

Villa juga merupakan salah satu penggunaan lahan non pertanian yang memiliki nilai land rent yang tinggi sebesar 118.825,09 Rp/m2/tahun. Tingginya nilai land rent pada penggunaan lahan villa menyebabkan lahan di Desa Tugu Utara mengalami alih fungsi lahan dan beberapa penduduk juga beralih pekerjaan menjadi penjaga villa. Villa merupakan salah satu investasi yang menguntungkan.

Dokumen terkait