120 130 140 150 160 170 180 190 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jarak (m) Suhu ( C )
Gambar 28. Suhu rata-rata sepanjang silinder (tanpa kontrol) Pengujian dengan kontrol suhu
Pengujian kinerja pengering rotari dengan kontrol suhu dibagi menjadi dua bagian yaitu tanpa beban dan dengan beban (sawut ubijalar). Pengujian dengan kontrol suhu dengan cara mengontrol suhu pada inlet. Alat yang berfungsi mengontrol suhu inlet adalah panel kontrol, dimana pada bagian ini terdiri dari dua terminal yaitu termokopel dihubungkan ke inlet dan arus listrik yang terhubung pada burner. Tipe kontrol pada alat ini adalah ON-OFF, apabila suhu inlet telah melampaui suhu yang di set pada panel kontrol maka akan OFF dan sebaliknya. Pada penelitian ini suhu diset pada 135 oC.
Pengujian pengering rotari tanpa beban dilakukan dengan 2 pengujian masing-masing selama 3 jam. Profil suhu inlet dan ruang pengering pada pengujian II dapat dilihat pada Gambar 28 sedangkan data pengujian I dapat dilihat pada Lampiran 9. Suhu inlet meningkat pada awal proses pemanasan dan kemudian konstan. Suhu rata-rata inlet pada pengujian 1 dan 2 masing-masing adalah 132.7 oC dan 130.9 oC, dimana pada kedua percobaan suhu inlet cenderung konstan pada menit ke-18.
Suhu ruang pengering pada setiap jarak pengukuran mempunyai pola yang sama dengan suhu inlet yaitu mengalami kondisi konstan pada waktu tertentu. Pada Gambar 29 juga terlihat bahwa semakin lama grafik suhu ruang pengering pada setiap jarak akan menempel, hal ini dapat diduga bahwa titik-titik pengukuran pada ruang pengering mempunyai suhu yang hampir sama.
0 20 40 60 80 100 120 140 0 20 40 60 80 100 120 Waktu (menit) S uhu ( C ) T inlet T 1.36 m T 8.22 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet
Gambar 29. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban Suhu rata-rata udara pengering sepanjang silinder dapat dilihat pada Gambar 30. Pada keadaan steady, suhu rata-rata ruang pengering tertinggi berada pada jarak 1.36 m dari inlet, dimana pada pengujian I dan II masing-masing sebesar 110.2oC dan 111.7oC. Tingginya suhu ini dikarenakan titik pengukuranya lebih dekat ke inlet. Suhu rata-rata ruang pengeringan terhadap jarak pada silinder dari kedua percobaan tersebut berbeda, hal ini karena suhu inlet kedua pengujian tersebut berbeda juga.
80 90 100 110 120 130 140 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jarak (m) S uhu ( C ) Uji I Uji II
Suhu rata-rata ruang pada bagian ujung (8.22 m, 9.58 m, dan 10.94 m) pengering lebih rendah dibandingan dengan suhu outlet, hal ini dikarenakan pada bagian outlet, panas terakumulasi sehingga suhu di bagian ini lebih tinggi. Suhu rata-rata pada bagian tengah silinder sulit untuk diukur. Pendugaan dapat dilakukan dengan melihat suhu rata-rata pada titik pengukuran sebelum dan sesudahnya yaitu titik 1.36 m dan 8.22 m. Selisih suhu rata-rata pada kedua titik tersebut untuk pengujian I dan II masing-masing adalah 1.7 oC dan 2.9 oC maka dapat diduga suhu rata-rata udara di bagian tengah silinder yaitu mendekati atau antara suhu kedua titik tersebut.
Pengujian pengering rotari dengan beban (sawut ubijalar) dibagi menjadi 4 percobaan berdasarkan laju pengumpanan. Empat tingkat laju pengumpanan sawut basah ke pengering rotari yaitu 3 kg/1 menit, 3 kg/2 menit, 3 kg/3 menit, dan 3 kg/4 menit. Suhu rata-rata inlet yang tecatat pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing adalah 131.4 oC, 130.3 oC, 135.1 oC, dan 132 oC. Suhu inlet tersebut adalah suhu inlet rata-rata dalam kondisi ruang pengering penuh dengan sawut (hold-up). Suhu inlet pada masing-masing percobaan cenderung konstan pada waktu tertentu, dimana suhu inlet tidak berpengaruh terhadap insersi sawut basah ke ruang pengering. Suhu inlet rata-rata setiap percobaan berbeda-beda walaupun sudah dikontrol dengan menggunakan pengontrol suhu (termostat) pada suhu yang sama yaitu 135 oC, hal ini dipengaruhi oleh suhu pembakaran minyak tanah di dalam tungku yang sangat berfluktuatif. Suhu inlet pada percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lainnya, hal ini merupakan gambaan dari suhu pembakaran di tungku dan suhu cerobong yang dihasilkan, dimana percobaan III memiliki suhu yang tertinggi di kedua titik pengukuran tersebut. Suhu cerobong yang terukur pada masing-masing percobaan adalah percobaan I (78.5 oC), II (80.9 oC), III (100.1 oC), dan IV (80.9 oC).
Sawut basah yang diumpankan ke ruang pengering menyebabkan suhu ruang pengering menurun, hal ini dikarenakan udara pengering memberikan panas ke sawut untuk menguapkan air, semakin banyak sawut yang masukkan semakin besar panas yang harus diberikan udara panas ke sawut dan semakin besar penurunan suhu udara pengering. Grafik suhu udara pengering terhadap waktu
dapat dilihat pada Gambar 31 (percobaan II) dan Gambar 32 (percobaan IV), sedangkan percobaan I dan III dapat dilihat pada Lampiran 10.
Hampir semua percobaan mengalami fenomena penurunan suhu udara di ruang pengering. Penurunan suhu udara pengering dihitung berdasarkan selisih antara suhu udara pengering sebelum dan sesudah kondisi hold up. Penurunan suhu udara pengering pada jarak 9.58 m dan 10.94 m tertinggi terjadi pada percobaan I masing-masing sebesar 34.3 oC dan 33.7 oC, sedangkan penurunan suhu terendah pada jarak tersebut terjadi pada percobaan IV masing-masing sebesar 3.7 oC dan 5.5 oC. Sama dengan kedua titik pengukuran tersebut, penurunan suhu udara di outlet (12.3 m) tertinggi juga terjadi pada percobaan I dan terendah pada percobaan IV masing-masing sebesar 31.6 oC dan 7.7 oC. Laju pengumpanan berpengaruh terhadap penurunan suhu udara pengering jarak 9.58 m, 10.94 m, dan suhu outlet. Semakin banyak bahan yang masuk ke dalam ruang pengering semakin besar penurunan suhunya. Penurunan suhu udara pengering pada jarak 1.36 m tidak berpengaruh terhadap laju pengumpanan, hal ini dapat diduga karena sensor suhu pada jarak 1.36 m tertutup oleh sawut basah sehingga suhu yang terukur bukan sepenuhnya suhu udara. Letak titik pengukuran 1.36 m lebih dekat dengan lubang feeder sehingga kemungkinan sawut menutup sensor suhu cukup besar.
0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 30 60 90 120 150 180 210 240 Waktu (menit) S uhu ( C ) T inlet T 1.36 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet
0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 40 80 120 160 200 240 280 Waktu (menit) S uhu ( C ) T inlet T 1.36 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet
Gambar 32. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/4 menit Kelembaban Relatif di Outlet
Jumlah uap air di dalam ruang pengering dapat diduga dari nilai RH di outlet. Uap air yang dikeluarkan oleh sawut pada saat pengeringan akan ditampung oleh udara pengering, apabila uap air yang dikeluarkan oleh bahan lebih banyak maka RH udara pengering akan meningkat sehingga tekanan uap air udara juga meningkat sehingga kemampuan perpindahan uap air dari bahan ke udara akan menurun karena beda tekanan lebih rendah, hal ini kurang menguntungkan untuk proses pengeringan. Fluktuasi RH yang terukur di outlet dapat dilihat pada Lampiran 11. Kelembaban relatif di outlet pada percobaan I lebih tinggi dari percobaan lainnya, dengan rata-rata pada saat kondisi hold-up sebesar 81.7%, hal ini mengindikasikan bahwa pada percobaan I lebih banyak uap air yang dilepaskan ke udara pengering. Nilai RH pada kondisi hold-up pada percobaan III dan IV berturut-turut adalah 56.8% dan 19.3%. Pada percobaan II nilai RHnya tidak terekam dengan baik, tetapi dapat diduga kecenderungannya berdasarkan nilai RH pada percobaan I, III, dan IV. Semakin banyak bahan yang diumpankan ke dalam pengering maka semakin besar nilai RH udara yang dikeluarkan melalui outlet.
Kecepatan Udara
Kecepatan udara merupakan faktor yang mempengaruhi proses pengeringan. Profil kecepatan udara dalam silinder dapat dilihat pada Lampiran 12. Kecepatan udara ini diukur pada saat silinder dalam keadaan kosong (tanpa beban) dan diukur tepat di tengah silinder dengan arah aksial.
Kecepatan udara di dalam silinder akan mulai konstan pada jarak 3.69 m dari inlet, menurunnya kecepatan udara di dalam silinder karena adanya pelebaran diameter yang mana semakin jauh jarak tempuhnya maka akan semakin kecil dan cenderung tetap kecepatannya, sedangkan jarak yang dekat dengan inlet, kecepatan udaranya lebih besar. Kecepatan udara rata-rata pada jarak 3.69-11.07 m berkisar antara 0.88-1.48 m/s. Kecepatan udara rata-rata pada inlet sebesar 15.72 m/s, tinggi kecepatan di inlet karena adanya vena contracta sedangkan kecepatan udara rata-rata pada outlet adalah 5.707 m/s.
Waktu tinggal dan lama operasi pengeringan
Waktu tinggal (residence time) sawut ubijalar di ruang pengering rotari didapatkan dengan menghitung lamanya sawut berada di ruang pengering mulai dari sawut basah pertama yang diumpankan sampai sawut kering yang pertama kali keluar dari pengering rotari. Waktu tinggal juga merupakan lamanya proses pengeringan sawut setiap pengumpanan (sekali melintas dalam ruang pengering). Menurut Kelly (2005), semakin lama waktu tinggal maka semakin lama waktu pengeringan berlangsung dalam satu kali lewat dan semakin banyak terjadi proses pindah panas dan pindah massa. Hal ini akan berpengaruh terhadap kadar air akhir sawut kering.
Pada penelitian ini diperoleh waktu tinggal yang sama pada semua percobaan yaitu 18 menit, hal ini dikarenakan faktor kemiringan dan rpm silinder pada semua percobaan adalah sama dan konstan. Sawut bergerak sepanjang silinder dengan kecepatan rata-rata 0.011 m/s. Kecepatan sawut di sepanjang ruang pengering kenyataannya tidak sama karena pada bagian yang lebih dekat inlet kecepatan sawut agak lambat karena sawut lebih berat atau masih tinggi kadar airnya jika dibandingkan dengan kecepatan sawut yang dekat dengan outlet. Menurut Yliniemi (1999) pergerakan bahan di dalam pengering dipengaruhi oleh
mekanisme berikut yaitu lifting (mengangkat), cascade action (mencurah), slinding (meluncur) dan bouncing (melambung).
Hold-up merupakan banyak sawut yang mengisi penuh ruang pengering. Berdasarkan rumus persamaan 11) maka diperoleh hold-up dari semua percobaan. Hold-up pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing sebesar 36, 18, 12, dan 9 kg sawut. Semakin besar laju pengumpanan sawut ke pengering rotari maka semakin besar hold-upnya
Perhitungan waktu pada masing-masing percobaan meliputi lama pre heating, lama total pengeringan, dan lama operasi pengering rotari. Tabel 13 menjelaskan waktu-waktu dalam operasi pengering pada pengering rotari. Pengoperasian pengering rotari dimulai dari pemanasan awal (pre-heating) yang bertujuan untuk memanaskan cangkang silinder bagian dalam sampai diperoleh suhu inlet yang konstan. Indikator dari waktu pre-heating telah selesai adalah kontrol suhu telah berjalan dengan baik dimana burner mati dan hidup. Setelah waktu pre-heating berlangsung, selanjutnya dilakukan proses pengumpanan sawut ke dalam ruang pengering.
Tabel 13. Waktu operasi pengeringan dan waktu tinggal Percobaan Waktu (menit) Pre-heating Lama pengeringan Lama alat beroperasi Waktu tinggal I 19 111 130 18 II 16 154 170 18 III 23 201 224 18 IV 18 255 273 18
Lama total pengeringan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan seluruh sawut basah. Percobaan I membutuhkan lama total pengeringan yang singkat dibandingkan percobaan yang lain, sedangkan percobaan IV membutuhkan waktu yang paling lama. Lama total pengeringan berbanding lurus dengan laju pengumpanan, semakin rendah laju pengumpanan maka semakin besar lama total pengeringan, dan sebaliknya. Lama total pengeringan masing-masing percobaan dapat dilihat pada Tabel 7. Lama operasi pengering rotari dimulai dari burner dan kipas dihidupkan sampai proses pengeringan semua sawut basah selesai.
Kadar air sawut
Pengukuran kadar air sawut di dalam ruang pengering untuk melihat penurunan kadar air selama waktu tinggal sangat sulit dilakukan karena sawut bergerak di sepanjang ruang pengering secara kontinu. Kadar air sawut yang hanya dapat diukur adalah kadar air akhir sawut kering yang keluar dari lubang outlet bahan Data pengukuran kadar air umbi, sawut basah,dan kering dapat dilihat pada Lampiran 13. Grafik kadar air awal dan akhir dari sawut dapat dilihat pada Gambar 33. Kadar air sawut kering rata-rata yang diperoleh pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing 64.98, 36.23, 19.29, dan 9.01%bk.
216.76 64.98 199.58 36.23 210.17 19.29 220.62 9.01 0 50 100 150 200 250 K a d a r a ir ( % b k ) I II III IV Percobaan
Kadar air aw al (%bk) Kadar air akhir (%bk)
Gambar 33. Kadar air awal dan akhir sawut
Laju pengumpanan sawut berpengaruh terhadap kadar air sawut kering. Laju pengumpanan yang rendah akan menyebabkan sawut lebih sedikit berada di dalam ruang pengering, hal ini menyebabkan penurunan suhu di ruang pengering relatif rendah sehingga suhu udara masih tinggi selain itu RH yang terbentuk juga lebih rendah. Kedua faktor tersebut menyebakan proses penguapan air dari sawut berjalan dengan cepat, begitu juga sebaliknya dengan laju pengumpanan tingg.i Kadar air sawut kering dengan pengumpanan yang lambat lebih rendah dibandingkan dengan pegumpanan cepat. Kelemahan dari pengumpanan lambat adalah kapasitas produksinya lebih kecil dibandingkan dengan pengumpaan cepat. Proses pindah panas antara udara dan bahan serta perpindahan massa air dari bahan ke udara terjadi secara simultan. Laju perpidahan uap air dipengaruhi oleh laju pengumpanan sawut ke ruang pengering serta kadar air awal dan akhir dari
sawut. Tabel 14 menjelaskan bahwa laju penguapan air rata-rata dan laju padatan dari sawut. Laju penguapan air rata-rata yang dapat dihitung. Pada kenyataannya laju penguapan air pada awal proses pengeringan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan akhir dari proses pengeringan. Sedangkan, laju padatan sawut adalah konstan sepanjang proses pengeringan dan selama pergerakan bahan di dalam ruang pengering. Percobaan I dengan laju pengumpanan yang tinggi memiliki laju penguapan air rata-rata dan laju padatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lain, jadi semakin tinggi laju pengumpanan sawut maka semakin tinggi laju penguapan air rata-rata dan laju padatan dari sawut dan begitu juga sebaliknya.
Tabel 14. Laju aliran massa rata-rata uap air dan padatan Percobaan
Laju aliran massa Uap air rata-rata
(gH2O/detik) padatan (g/detik) I 23.96 15.79 II 13.63 8.35 III 10.26 5.37 IV 8.25 3.90
Jumlah air yang diuapkan selama pengeringan (waktu tinggal) masing- masing percobaan I, II, III, dan IV adalah 25.9, 14.7, 11.1, dan 8.9 kg H2O.
Jumlah air yang diuapkan pada percobaan I lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lain, hal ini dikarenakan laju pengumpanan sawut yang tinggi sehingga laju penguapan airnya juga tinggi. Faktor lain yang juga perpengaruh terhadap jumlah air yang diuapkan adalah waktu tinggal. Tetapi, dalam penelitian ini semua percobaan memiliki waktu tinggal yang sama sehingga tidak terlihat pengaruhnya terhadapjumlah air yang diuapkan.
Kebutuhan Energi Pengering Rotari
Konsumsi bahan bakar
Bahan bakar yang digunakan sebagai sumber energi adalah minyak tanah. Penggunaan minyak tanah mempunyai banyak kelebihan diantaranya memiliki nilai kalor yang cukup tinggi (43 028 kJ/kg) dan panas yang dihasilkan lebih stabil
dibandingkan dengan biomassa dan batu bara. Kelemahan dari penggunaan minyak tanah adalah harganya yang mahal. Panas dari pembakaran minyak tanah menggunakan kompor bertekanan (burner). Menurut Manalu (2002), penggunaan burner cukup baik karena panas yang dihasilkan cukup tinggi dan jelaga yang dihasilkan hampir tidak ada, sedangkan kelemahannya adalah nosel atau spuyernya mudah tertutup kotoran dari minyak tanah. Konsumsi minyak tanah pada masing-masing percobaan dapat dilihat dari Tabel 15.
Tabel 15. Konsumsi minyak tanah
Percobaan Konsumsi minyak tanah (liter/menit) (kg/menit) Kontrol suhu Tanpa beban 0.185 0.151 I 0.207 0.170 II 0.184 0.151 III 0.184 0.151 IV 0.183 0.150
Tanpa kontrol suhu 0.256 0.210
Konsumsi minyak tanah tertinggi terdapat pada percobaan tanpa kontrol suhu (termostat) yaitu sebesar 0.256 liter/menit, sedangkan percobaan dengan kontrol suhu menunjukkan nilai yang hampir sama kecuali percobaan I. Tingginya konsumsi minyak tanah pada percobaan tanpa kontrol suhu karena burner terus menyemprotkan minyak tanah ke tungku pembakaran tanpa berhenti.
Konsumsi Energi
Sumber energi yang digunakan pada pengering rotari terdiri dari energi minyak tanah dan energi listrik. Total input energi adalah total energi dari minyak tanah dan listrik yang dipakai pada proses pengeringan. Total input energi masing-masing percobaan adalah percobaan I (142.7 MJ), II (127.6 MJ), III (127.9 MJ) dan IV (127.3 MJ). Percobaan I memiliki total input energi terbesar, hal ini dikarenakan konsumsi penggunaan minyak tanah pada percobaan I lebih besar dibandingkan dengan percobaan lainnya walaupun waktu tinggal sama. Sedangkan percobaan II, III dan IV memiliki total input energi yang sama besarnya. Energi yang bersumber dari minyak tanah merupakan energi terbesar yang digunakan pada pengering rotari. Persentase energi minyak tanah dari total
input energi yang digunakan pada masing-masing percobaan berkisar antara 91.4- 92.3%, hal ini terlihat bahwa percobaan yang konsumsi minyak tanahnya paling besar berarti input energinya juga paling besar. Energi hasil pembakaran minyak tanah digunakan untuk memanaskan udara yang selanjutnya menguapkan air dari bahan dan menaikan suhu bahan. Energi dari minyak tanah dihitung berdasarkan laju konsumsi minyak tanah, lama penggunaan dan nilai kalor dari minyak tanah.
Energi listrik yang dikonsumsi pada pengering rotari sangat kecil pemakaiannya sekitar 7.7-8.6% dari total input energi, pemakaian energi listrik digunakan untuk menggerakkan silinder, mengoperasikan kipas, dan burner. Energi listrik dihitung dari lamanya penggunaan peralatan listrik selama proses pengeringan dikalikan dengan daya yang dipakai oleh peralatan tersebut. Penggunaan energi motor penggerak dan kipas pada masing-masing percobaan adalah sama, hal ini dikarenakan durasi peralatan tersebut beroperasi adalah sama yaitu berdasarkan waktu tinggal. Total energi listrik yang digunakan tiap-tiap percobaan adalah 10.96 MJ. Penggunaan energi listrik untuk mengerakan silinder lebih besar dibandingkan dengan mengoperasikan kipas dan burner. Persentase besarnya energi listrik tiap-tiap peralatan terhadap total energi listrik adalah motor penggerak (66.8%), kipas (30.7%) dan burner (2.5%). Penggunaan energi listrik untuk motor penggerak dan kipas digunakan secara terus-menerus atau tidak intermiten dari mulai pengoperasian alat hingga proses pengeringan selesai, sedangkan pengunaan energi burner tergantung dari sistem kontrol.
Energi panas dari pembakaran minyak tanah dimanfaatkan langsung untuk pemanasan udara, pemanasan bahan, dan penguapan air. Besar pemanfaatan energi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Pemanfaatan energi untuk pengeringan sawut ubijalar
Parameter Percobaan
I II III IV
Energi pemanasan udara (MJ) 76.64 77.29 77.73 77.17 Energi pemanasan produk (MJ) 4.14 3.16 3.02 2.59 Energi penguapan (MJ) 58.40 33.22 25.01 20.11
Pada tiap-tiap percobaan menunjukan bahwa energi untuk menguapkan air dari bahan lebih besar dibandingkan dengan energi untuk memanaskan bahan. Energi penguapan terbesar ditemukan pada percobaan I sebesar 58.4 MJ, hal ini
dikarenakan laju penguapan air pada percobaan I lebih besar dibandingkan dengan percobaan lainnya. Laju penguapan air yang besar membutuhkan energi penguapan yang besar pula, hal ini juga terlihat pada percobaan IV yang memiliki energi penguapan dan laju penguapan air yang paling kecil dibandingkan dengan percobaan lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi energi penguapan adalah laju penguapan air, massa air yang diuapkan, dan panas laten penguapan. Energi pemanasan bahan pada masing-masing percobaan menunjukan nilai yang berbeda. Energi yang dibutuhkan untuk memanaskan sawut dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah percobaan I (4.14 MJ), II (3.16 MJ), III (3.02 MJ), dan IV (2.59 MJ). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi energi pemanasan sawut adalah laju pengumpanan, suhu udara pengering, suhu produk, dan panas jenis dari sawut.
Konsumsi energi spesifik merupakan total jumlah energi per jumlah air yang diuapkan selama proses pengeringan. Konsumsi energi spesifik dapat dilihat pada Gambar 34 dan Tabel 10. Konsumsi energi spesifik terbesar terdapat pada percobaan IV yaitu sebesar 14.26 MJ/kgH2O dan terkecil terdapat pada percobaan
I yaitu sebesar 5.51 MJ/kgH2O. Tingginya konsumsi energi spesifik disebabkan
pengeringan dilakukan dengan kapasitas kecil. Proses pengeringan dikatakan baik apabila nilai konsumsi energi spesifiknya kecil.
5514.82 8668.45 11543.64 14286.55 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 K o n su m si en er g i sp esi fi k (kJ/ kg H 20) I II III IV Percobaan
Konsumsi energi panas spesifik merupakan total jumlah energi panas per total jumlah air yang diuapkan selama pengeringan. Nilai konsumsi energi panas spesifik hampir sama dengan konsumsi energi spesifik, hal ini dikarenakan energi panas merupakan kontribusi yang paling besar dari total energi yang digunakan pada pengering rotari. Konsumsi energi mekanik spesifik adalah total jumlah energi mekanik per total jumlah air yang diuapkan selama waktu tinggal. Konsumsi energi panas spesifik jauh lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi energi mekanik spesifik. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa konsumsi energi mekanik spesifik terkecil terdapat percobaan I yaitu sebesar 283.2 kJ/kg H2O. Faktor yang mempengaruhi konsumsi energi mekanik spesifik pada setiap
percobaan adalah jumlah uap air yang dihasilkan dari pengeringan, sedangkan durasi pengoperasian motor penggerak bukan merupakan faktor penentu karena durasi pengoperasian berdasarkan waktu tinggal yang nilainya sama setiap percobaan.
Tabel 17. Konsumsi energi dan efisiensi pengering rotari
Parameter Percobaan
I II III IV
Energi total pengeringan (MJ) 62.55 36.39 28.02 22.70 Energi bahan bakar (MJ) 131.74 116.64 116.95 116.33
Energi kipas (MJ) 3.36 3.36 3.36 3.36
Energi motor penggerak (MJ) 7.33 7.33 7.33 7.33 Energi total sistem (MJ) 142.43 127.33 127.64 127.02 Konsumsi energi spesifik
(MJ/kg H2O)
5.51 8.65 11.52 14.26 Konsumsi energi panas
spesifik ( MJ/kg H2O)
5.09 7.92 10.55 13.06 Konsumsi energi mekanik
spesifik (MJ/kg H2O)
0.28 0.49 0.66 0.82
Efisiensi pengeringan (%) 81.61 47.08 36.06 29.42 Efisiensi total (%) 43.91 28.58 21.96 17.87 Efisiensi pengeringan tertinggi diperoleh dari percobaan I yaitu 81.61%, sedangkan yang terendah terdapat pada percobaan IV sebesar 29.42%. Tingginya efisiensi dikarenakan banyaknya energi udara panas yang termanfaatkan untuk proses penguapan air dan pemanasan bahan. Efisiensi total pengering rotari dari keempat percobaan berturut-turut adalah I (47.41%), II (31.15%), III (23.93%), dan IV (19.49%). Efisiensi total sistem pengering yang tertinggi terdapat pada
percobaan I dengan pengumpanan bahan 3 kg/menit. Rendahnya efisiensi pengering rotari dikarenakan banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pengoperasiannya.
Mutu Pengeringan
Sifat fisik sawut kering yang dilihat sebagai parameter mutu pada penelitian ini adalah kadar air akhir dan warna. Mutu sawut kering dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Mutu fisik sawut kering
Parameter Percobaan
I II III IV
Kadar air akhir (%bb) rata-rata 39.39 26.60 16.17 8.26 Nilai L rata-rata 73.93 79.76 79 82.76
Perlakuan sebelum proses pengeringan adalah proses perendaman dengan natrium bisulfit 0.3%, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi browning sehingga diperoleh warna sawut kering yang cerah. Data warna sawut kering dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai L pada sistem warna hunter