• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

D. Sel Darah Putih

1. Granulosit

Granulosit terdiri dari neutrofil, basofil, dan eosinofil. Disebut

granulosit karena adanya granula khusus yang terbungkus membran pada

sitoplasma netrofil, basofil, dan eosinofil. Namun, setiap sel juga memiliki

sebuah nukleus yang berbelah banyak dengan bentuk variasi, yang mana

membuat sel darah putih bergranula ini juga disebut polimorfonuklear leukosit

(Fischbach, 2004).

a. Neutrofil. Neutrofil merupakan garis pertahanan penting dalam sistem

fagositik. Granula neutrofil memiliki sifat kimia yang netral sehingga susah

untuk diwarnai dengan pewarna asam atau basa. Fungsi utama neutrofil adalah

pertahanan tubuh berupa migrasi ke tempat-tempat infeksi dan peradangan,

pengenalan dan pengolahan antigen asing, fagositosis dan pemusnahan, dan

pencernaan debris jaringan dan mikroorganisme (Sacher dan McPherson,

2004). Neutrofil menjadi komponen leukosit pertama yang tiba di tempat

terjadinya luka. Neutrofil bekerja dengan cepat tetapi tidak mampu bertahan

lama. Neutrofil tidak mampu bertahan lama karena cadangan energi yang

terbatas dan tidak dapat diisi kembali sehingga kemampuan fagositosisnya

terbatas. Pada manusia dan karnivora, neutrofil merupakan bagian terbesar dari

Gambar 2. Neutrofil (Weiss dan Wardrop, 2010)

b. Basofil. Basofil merupakan leukosit granular yang memiliki jumlah paling

sedikit di antara komponen leukosit lainnya. Basofil memiliki inti yang bulat

atau oval dengan banyak granula kecil berwarna gelap yang terwarnai kuat

dengan zat warna yang bersifat basofilik seperti hematoksilin (Tizard, 2009).

Basofil sangat terkait dengan reaksi alergi, mengandung granula yang dipadati

dengan histamin, heparin, dan zat kimia lain yang meningkatkan inflamasi.

Biasanya, stimulus yang menyebabkan basofil melepaskan kandungan

granulanya merupakan suatu alergen (Fischbach, 2004).

Gambar 3. Basofil (Weiss dan Wardrop, 2010)

c. Eosinofil. Eosinofil adalah komponen sel darah putih yang memiliki afinitas

terhadap pewarna merah eosin. Eosinofil efektif melawan parasit multiseluler

meningkat selama infeksi parasit. Eosinofil menyerang parasit dengan cara

mengeluarkan molekul toksik dari sitoplasma granulanya. Namun, molekul

toksik yang dikeluarkan eosinofil kadang membahayakan karena molekul

toksik ini juga dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan normal dan juga

dapat menimbulkan reaksi alergi. Eosinofil juga memiliki kemampuan untuk

fagositosis (Martini and Nath, 2009). Namun, tingkat fagositosisnya lebih

rendah bila dibandingkan dengan neutrofil. Eosinofil bergerak lebih lamban

dan kurang efisien dalam fagositosis dan pemusnahan bakteri. Walaupun

mampu melakukan fagositosis, eosinofil tidak bersifat bakterisidal (Sacher and

McPherson, 2004)

Gambar 4. Eosinofil (Weiss dan Wardrop, 2010)

2. Agranulosit

Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit. Kedua sel ini tidak memiliki

granula khusus dan memiliki satu nukleus besar yang tidak berbelah. Monosit

dan limfosit juga disebut mononuclear leukosit (Fischbach, 2004).

a. Monosit. Di darah, monosit adalah sel yang berbentuk bulat, memiliki

nukleus yang besar dan bentuknya oval atau seperti kacang merah. Monosit

berkembang menjadi fagosit profesional dan berfungsi untuk melawan

dan beredar kurang lebih 72 jam. Sel-sel ini kemudian bermigrasi dari

pembuluh darah ke dalam jaringan dan akan mengalami perubahan menjadi

makrofag yang merupakan bentuk matang dari monosit ( Tizard, 2009).

Makrofag adalah sel besar yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam

jumlah besar. Makrofag mencerna sel yang memiliki ukuran yang sama bahkan

makrofag juga dapat mencerna sel yang ukurannya lebih besar. Makrofag dapat

memfagositosis sel darah merah dan sel darah putih yang telah lisis. Makrofag

bekerja lebih lambat tetapi mampu melakukan fagosit berulang-ulang kali

(Corwin, 2009).

Gambar 5. Monosit (Weiss dan Wardrop, 2010)

b. Limfosit. Limfosit merupakan leukosit kedua terbanyak di darah perifer. Sel-

sel ini merupakan komponen esensial pada sistem pertahanan imun terutama

pada sistem imun spesifik. Fungsi utamanya adalah berinteraksi dengan antigen

dan menimbulkan respons imun. Terdapat dua subtipe utama, limfosit-T dan

limfosit-B, yang masing-masing melakukan fungsi imunologik tersendiri.

Limfosit-T berperan dalam imunitas selular dan memodulasi responsivitas

sel kanker. Limfosit-B terutama bertanggung jawab untuk imunitas humoral

dan pembentukan antibodi (Sacher dan McPherson, 2004).

Gambar 6. Limfosit (Weiss dan Wardrop, 2010)

E. Imunomodulator

Imunomodulator adalah substansi yang dapat mengembalikan

ketidakseimbangan sistem imun. Cara kerja imunomodulator meliputi 1)

mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu (imunorestorasi); 2)

memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi) dan 3) menekan respons imun

(imunosupresan).

Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun

yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti

immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati, dan timus (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Imunostimulator yaitu suatu senyawa yang dapat merangsang sistem

imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Imunostimulator dapat digolongkan

Imunostimulator spesifik adalah senyawa yang dapat memberikan spesifitas

antigenik dalam respon imun, seperti vaksin atau antigen lain. Imunostimulator

non spesifik adalah suatu senyawa yang tidak memiliki spesifitas antigenik, tetapi

dapat meningkatkan respon imun terhadap antigen lain atau menstimulasi

komponen dari sistem imun tanpa sifat antigenik spesifik, seperti adjuvant dan imunostimulator non spesifik lainnya (Saxena, Sharma, Bharti, dan Rathore,

2012).

Imunosupresor adalah suatu senyawa yang dapat menekan sistem imun

tubuh (Saxena et al., 2012). Pemberian radiasi dan interferon dalam dosis tinggi merupakan contoh dari penggunaan imunosupresor yang telah digunakan secara

eksperimental dalam klinik. Selain itu, imunosupresor juga merupakan

pendekatan umum dalam usaha mencegah dan menangani reaksi penolakan dalam

proses transplantasi (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).

F. Landasan Teori

Sistem imun merupakan bentuk pertahanan yang diperlukan untuk

melindungi tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan dari berbagai bahan dalam

lingkungan hidup. Bila sistem imun tidak berada dalam kondisi yang baik, maka

zat asing yang berasal dari luar tubuh mudah menginfeksi dan menimbulkan

penyakit. Usaha yang dapat dilakukan untuk menjaga sistem imun dalam kondisi

yang baik, salah satunya dengan penggunaan imunomodulator dari alam

Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan madu dan jahe dapat

meningkatkan jumlah sel darah putih yang merupakan lini pertama dalam sistem

imun tubuh. Tonks (cit., Manyi-Loh, et al., 2011) menyatakan madu dapat berperan dalam sistem imun dengan mempengaruhi leukosit dan makrofag. Madu

mengandung flavonoid dan hasil penelitian Khumairoh dkk (2012) menyatakan

bahwa flavonoid dapat meningkatkan jumlah leukosit tikus putih. Sivagurunathan

et al., (2011), menyatakan jahe yang mengandung gingerol dan shogaol dapat mempengaruhi jumlah leukosit total, limfosit, dan neutrofil.

Penggunaan campuran tanaman yang berkhasiat obat telah terbukti

memberikan efek yang lebih baik daripada diberikan dalam bentuk tunggal

tunggal. Omoya dan Akharaiyi (2012) menyatakan bahwa penggunaan campuran

madu dan jahe menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan

pada penggunaan tunggal. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa campuran

antara madu dan jahe ini juga akan memiliki pengaruh terhadap jumlah sel darah

putih.

G. Hipotesis

Campuran madu kelengkeng (Nephelium longata L.) dan ekstrak etanolik jahe emprit (Zingiber officinale Roscoe) memiliki pengaruh terhadap jumlah sel darah putih pada hewan uji tikus putih jantan galur Wistar dan pengaruh yang

ditimbulkan lebih baik bila dibandingkan dengan madu kelengkeng tunggal dan

27

Dokumen terkait