• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grasi dalam Sistem Hukum Indonesia

BAB II PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA

A. Grasi dalam Sistem Hukum Indonesia

1. Sejarah Penerapan Grasi

Pemberian grasi telah dikenal dan diberlakukan sejak lama yaitu di pada abad ke-18 di zaman kerajaan absolut di Eropa. Pada mulanya grasi merupakan hadiah atau anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan kepada orang yang dijatuhi hukuman. Tindakan pengampunan ini didasarkan kepada kemurahan hati raja yang berkuasa. Raja dipandang sebagai sebagai sumber dari kekuasaan termasuk sumber keadilan dan hak mengadili sepenuhnya berada di tangan raja.

Grasi menjadi hak kepala negara karena didasarkan atas pendapat masyarakatnya sendiri yang menyatakan bahwa hak tunggal untuk menghukum (ius puniendi) adalah negara (pemerintah) melalui alat kekuasaannya. Dalam hal ini Utrecht mengatakan: “Disamping negara tiada suatu subyek hukum lain yang mempunyai ius puniendi itu.”35

Sejalan dengan tumbuhnya negara-negara modern dan dikenal ajaran Trias Politica yang menyatakan adanya pemisahan kekuasaan suatu negara dimana kekuasaan kehakiman terpisah dengan kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan

35

pemerintahan tidak dapat campur tangan dalam kekuasaan kehakiman. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan pandangan mengenai grasi, yang mana grasi dipandang sebagai suatu tindakan keadilan atau upaya koreksi untuk menghapuskan atau mengurangi ketidakadilan dalam pelaksanaan undang-undang.

Sesuai dengan anggapan ini, maka meskipun grasi itu tidak diminta oleh terhukum, presiden dapat saja memberikannya, jikalau untuk itu adalah alasannya. Dan grasi yang tidak dimintanya itu, tidak dapat ditolaknya oleh orang kepada siapa diberikan grasi itu.36

Di Indonesia, pengaturan mengenai prosedur acara permohonan grasi sudah ada sejak masa penjajahan Hindia Belanda yang mana telah diatur dalam satu peraturan perundang-undangan tersendiri yaitu Gratieregeling yang termuat dalam Staatsblad 1933 No. 22 dan pada masa penjajahan Jepang pengaturan mengenai grasi termuat dalam Osamu/Sei/Hi/No. 1583 hanya untuk permohonan grasi atas keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan biasa (sipil).

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan grasi diatur dalam pasal 14 ayat (1) UUD Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1947 yang

36

memuat perubahan terhadap Peraturan Pemerintah sebelumnya. Masih pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1947 yang isinya memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya dan pada tahun 1948 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1948 mengenai perubahan peraturan grasi sebelumnya.

Pada tanggal 27 Desember 1949 terbentuk negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur grasi dalam pasal 160, yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) Presiden mempunyai hak untuk memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-Undang Federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasehat.

Ayat (2) Jika hukuman mati dilakukan maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Federal, diberikan kesempatan memberi ampun.

Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan Undang-undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40, yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. Undang-undang ini disebut pula undang tentang Permohonan Grasi. Materi muatan

Undang-undang ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah lainnya mengenai permohonan grasi yang dikeluarkan berdasarkan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen.

Ketentuan mengenai hal-hal yang baru diatur dalam undang-undang grasi ini. Misalnya, tenggang waktu penundaan pelaksanaan hukuman mati yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkan grasi kepada terpidana mati tersebut sekalipun terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Undang-undang No. 3 Tahun 1950 mengatur tenggang waktunya tiga puluh (30) hari, sementara dalam peraturan-peraturan sebelumnya 14 hari.

Pada tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 yang mengubah Konstitusi RIS untuk menjadi undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950 menyatakan, UUDS RI ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Pasal 107 UUDS RI menyatakan bahwa ada hak yang diserahkan kepada alat-alat yang bukan perlengkapan pengadilan yang dapat melemahkan kekuasaan kehakiman yaitu grasi, amnesti dan abolisi.

Pasal 107 menyatakan sebagai berikut:

1. Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan.

Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekadar dengan undang-undang tidak ditunjuk pengadilan lain untuk memberi nasihat.

2. Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberi grasi.

3. Amnesti dan abolisi hanya dapat diberikan dengan undang-undang ataupun atas kuasa undang-undang, oleh Presiden sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung.

Pada masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai dengan perihal pasal 142 UUDS 1950 yang menentukan segala peraturan yang ada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku selama peraturan-peraturan tidak dicabut, ditambah, diubah atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Pada masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi sehingga ia tidak harus menjalani hukumannya. Jika terdapat alasan-alasan yang penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini ditujukan kepada ketua-ketua Pengadilan Negeri dan

Kepala-kepala Kejaksaan Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Grasi.

UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui Dekritnya tanggal 5 Juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya UUD 1945 mempengaruhi status hukum badan-badan kenegaraan dan peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959, namun hal ini dapat diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli 1959 dan masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3 tahun 1950. Ketentuan-ketentuan yang terbit berkenaan dengan masalah grasi, misalnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/42/11, tanggal 5 Nopember 1969.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat kini dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat saat itu maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 pun masih banyak memiliki kelemahan sehingga dilakukan revisi (perubahan) terhadap beberapa ketentuan dan terbentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.

2. Grasi dalam UUD 1945

Didalam Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan mengenai grasi diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Grasi merupakan salah satu dari hak prerogatif Presiden dalam hal peradilan. Hak prerogatif adalah hak istimewa yg dipunyai oleh kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, hak prerogatif yang dimiliki Presiden tidak bersifat mutlak, hal ini dilakukan agar dapat terciptanya sistem check and balances dalam sistem pemerintahan sehingga dalam pemberian grasi Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam memberikan keputusan untuk menolak atau mengabulkan grasi.

3. Grasi dalam KUHP

Ketentuan mengenai grasi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu dalam pasal 33 a. Pasal 33 a menyatakan bahwa : “Jika dimasukkan permohonan ampun oleh orang yang mendapat hukuman kurungan, yang ada dalam tahanan sementara, atau oleh orang lain dengan persetujuan siterhukum maka tempo dihari memasukkan permohonan dan hari keputusan Presiden tentang permohonan tersebut, tidak terhitung sebagai tempo hukuman, kecuali jika dengan memperhatikan keadaan tentang hal itu, Presiden menetapkan dalam keputusannya, bahwa tempo tadi sama sekali atau sebagiannya dihitung sebagai tempo hukuman”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33a KUHP diatas terlihat bahwa pengaturan mengenai grasi tidak diatur secara jelas. Namun hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan.

4. Grasi dalam KUHAP

Selain diatur dalam KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun mengatur mengenai hak grasi ini, yaitu diatur dalam Pasal 196 ayat (3). Pasal 196 ayat (3) KUHAP berbunyi:

“Segera setelah putusan, hakim ketua sidang wajib memberitahukan terdakwa tentang haknya, yaitu: menerima dan menolak putusan, mempelajari putusan, meminta grasi, mengajukan banding dan lain-lain”

Dokumen terkait