• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Perubahan pola sebaran spasial konsentrasi partikel Pb terjadi karena ada jalur hijau jalan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat peta isopleth

sebaran spasial konsentrasi partikel timbal dengan metode interpolasi Kriging. Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah ArcGIS 9.3.1. Jumlah kelas nilai konsentrasi partikel timbal bervariasi tergantung dari perbedaan nilai konsentrasi tertinggi dengan nilai konsentrasi terendah. Pengaruh jalur hijau jalan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal di udara pada peta isopleth

ditunjukkan adanya perubahan pola kontur, yaitu dari kontur rapat ke kontur yang renggang. Peta isopleth yang dihasilkan mempunyai beberapa kelemahan yaitu: (a) kelas konsentrasi partikel timbal pada titik emisi (T0) mempunyai perbedaan, (b) pada jalur dan jarak yang sama mempunyai perbedaan jumlah kelas nilai konsentrasi partikel timbal.

Kata kunci: peta isopleth, konsentrasi partikel Pb, kriging

Abstract

Change of spatial dispersion pattern of Pb particle concentration was caused by roadside vegetation. The objective of the research was to determine isopleth map of spatial dispersion of Pb particle concentration by Kriging interpolation method. Software ArcGIS 9.3.1 was used in the research. The number of lead particle concentration range were varied depend on the difference between the highest and the lowest of lead particle concentration. Effects of roadside vegetation in reducing lead particle concentration in the air of isopleth map was showed on a contour change, from dense contour to rare contour. The isopleth maps had several weakness as follows: (a) there was a difference of lead particle concentration range on emission source, (b) on same plot and distances had a difference of the number of lead particle concentration range.

Pendahuluan

Sumber utama pencemaran partikel Pb di sekitar jalan raya berasal dari emisi kendaraan bermotor berbahan bakar bensin. Nilai konsentrasi partikel Pb tergantung dari jumlah kendaraan yang lewat per satuan waktu (Dahlan 1989; Taihuttu 2001; Suyanti 2008). Selanjutnya partikel Pb akan mengalami dispersi oleh angin dan difusi (Pasquill 1974; Vesilind 1990; Purnomohadi 1995; Santosa 2004). Partikel-partikel yang berukuran besar akan dijatuhkan dekat dengan sumber pencemar, sedangkan partikel yang berukuran kecil akan dibawa oleh angin dan dijatuhkan pada areal yang lebih jauh (Chamberlain et al. 1978)., Kurang dari 10% timbal, yang terutama berasosiasi dengan partikel < 0,1 µm, dijatuhkan pada jarak 100 m dari jalan kendaraan yang sibuk (Little dan Wiffen 1978 diacu dalam Cavanagh 2006).

Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi partikel Pb di berbagai titik yang dilakukan pada Topik Penelitian 1, akan dibuat peta isopleth sebaran spasial konsentrasi partikel Pb di sekitar Jalan Tol Jagorawi dengan menggunakan metode interpolasi Kriging. Dari peta isopleth dapat diketahui jarak atau lokasi yang mempunyai konsentrasi partikel Pb yang sama. Apabila hasil pengukuran konsentrasi partikel Pb sudah melebihi baku mutu, maka dapat diketahui batas-batas wilayah yang mempunyai konsentrasi yang membahayakan bagi kesehatan manusia. Dengan demikian diketahui batas-batas wilayah yang menjadi prioritas dalam pengendalian pencemaran.

Metode interpolasi Kriging adalah estimasi dimana menggunakan kombinasi linear dari weight untuk memperkirakan nilai diantara sampel data. Metode ini diketemukan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan nilai dari bahan tambang. Kriging juga digunakan untuk ilmu kesehatan, geokimia dan modeling polutan (Child 2004). Asumsi dari metode ini adalah jarak dan orientasi antara sampel data menunjukkan korelasi spasial yang penting dalam hasil interpolasi (Pramono 2008; Child 2004).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan isopleth sebaran spasial konsentrasi partikel Pb di sekitar jalur hijau jalan dan jalur terbuka dengan menggunakan metode interpolasi Kriging.

Metode Penelitian

Untuk membuat isopleth sebaran spasial konsentrasi partikel Pb dengan metode interpolasi Kriging digunakan software ArcGIS versi 9.3.1. Data yang diperlukan adalah konsentrasi partikel timbal udara pada berbagai titik pengukuran yaitu: (a) jalur hijau: T0, T1, T2 dan T3 yaitu berturut-turut titik emisi (pinggir jalan), 5 m, 15 m, 30 m di belakang jalur hijau; (b) jalur terbuka: T0, T1, T2 dan T3 yaitu berturut-turut titik emisi (pinggir jalan), berturut-turut adalah titik 5 m, 15 m, 30 m dari titik emisi. Selain itu, juga diperlukan data koordinat

Global Position System (GPS) dengan merk Garmin GPS76. Data hasil pengukuran konsentrasi partikel timbal di udara ambien yang digunakan untuk pembuatan isopleth seperti disajikan pada Lampiran 13.

Hasil dan Pembahasan

Isopleth Sebaran Spasial Konsentrasi Partikel Timbal di Udara Ambien

Hasil pengolahan data dengan metode interpolasi kriging menggunakan software ArcGIS 9.3.1, maka diperoleh isopleth sebaran spasial konsentrasi partikel timbal. Isopleth merupakan garis-garis atau wilayah yang mempunyai nilai yang sama, dalam hal ini adalah konsentrasi partikel timbal di udara ambien. Selang nilai konsentrasi partikel timbal yang digunakan adalah 0,05 µg.m-3 . Peta

isopleth sebaran spasial konsentrasi partikel timbal pada berbagai plot penelitian seperti disajikan pada Gambar 31 sampai dengan Gambar 34.

Gambar 31 Pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di sekitar jalur terbuka

Gambar 32 Pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di sekitar jalur satu baris

Gambar 33 Pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di sekitar jalur dua baris

Gambar 34 Pola sebaran spasial konsentrasi partikel timbal di sekitar jalur lebih dua baris

Berdasarkan Gambar 31 sampai dengan Gambar 34 terlihat adanya pola gradasi penurunan konsentrasi partikel timbal dari pinggir jalan ke arah lebih jauh dari jalan. Dalam pola sebaran spasial ini terdapat jumlah kelas nilai konsentrasi partikel timbal yang bervariasi (Tabel 16). Jumlah kelas nilai konsentrasi partikel timbal semakin besar dengan semakin besarnya perbedaan konsentrasi partikel timbal antara nilai yang paling tinggi dengan nilai yang paling rendah.

Tabel 16 Jumlah kelas nilai konsentrasi partikel timbal pada isopleth di setiap jalur

Jalur Jumlah Kelas Nilai Konsentrasi Partikel

Timbal

Terbuka 2

Jalur Satu Baris 2 Jalur Dua Baris 8 Jalur Lebih Dua baris 17

Tabel 16 menunjukkan bahwa pada jalur terbuka dengan jalur satu baris mempunyai jumlah kelas yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kedua lokasi mempunyai perbedaan konsentrasi yang relatif sama antara konsentrasi pada titik emisi (T0) dengan titik pada jarak 5m, 15 m dan 30 m di belakang jalur. Apabila dibandingkan dengan konsentrasi partikel timbal di jalur dua baris dan jalur lebih dua baris, terlihat bahwa kedua jalur ini mempunyai kemampuan penurunan konsentrasi partikel timbal relatif tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh jumlah kelas nilai konsentrasi yang relatif besar, yaitu pada jalur dua baris terdapat delapan kelas dan pada jalur lebih dua baris terdapat 17 kelas.

Perbedaan Isopleth antara Jalur Terbuka dan Jalur Hijau

Secara teori jalur hijau jalan mempunyai kemampuan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal yang diemisikan oleh kendaraan bermotor. Jalur hijau jalan berperan sebagai penghalang dan sekaligus sebagai penyerap dan penjerap partikel-partikel yang melaluinya. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pola spasial konsentrasi partikel timbal. Jalur hijau jalan menurunkan konsentrasi partikel dari sumber emisi, sehingga wilayah downwind mengalami penurunan konsentrasi lebih besar (Grey & Deneke 1986; Miller 1988; Fuller et al. 2009a)

Efektivitas jalur hijau jalan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal tergantung dari strukturnya. Hasil penelitian Topik I menunjukkan bahwa jalur satu baris dengan jalur terbuka mempunyai kemampuan yang sama dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal, artinya jalur satu baris belum efektif. Hal ini terlihat pada isopleth yang menunjukkan jumlah kelas nilai konsentrasi yang sama yaitu terdapat dua kelas. Dengan demikian jalur satu baris belum memberikan pengaruh dalam penurunan konsentrasi partikel timbal udara ambien. Hal tersebut berbeda dengan penurunan konsentrasi partikel timbal pada jalur dua baris dan jalur lebih dua baris. Gambar 32 dan Gambar 33 menunjukkan konsentrasi partikel timbal udara ambien sebelum melewati jalur hijau jalan mempunyai kontur yang relatif rapat; kondisi paling jelas dapat dilihat pada jalur lebih dua baris. Setelah melewati jalur hijau, maka kontur yang terbentuk relatif lebar atau renggang. Perbedaan kerapatan kontur dari yang rapat ke renggang menunjukkan adanya peran jalur hijau jalan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal udara ambien. Hal ini berarti bahwa keberadaan jalur hijau jalan mempunyai peran yang signifikan dalam penurunan konsentrasi partikel timbal.

Kelemahan Penelitian

Penggunaan metode interpolasi kriging dengan Software ArcGIS versi 9.3.1 dapat menghasilkan peta isopleth sebaran spasial konsentrasi partikel timbal udara ambien di sekitar jalur hijau jalan. Dari peta isopleth yang dihasilkan, secara umum menunjukkan adanya pola gradasi penurunan konsentrasi partikel timbal dari pinggir jalan ke lokasi yang lebih jauh dari jalan. Selain itu, dari peta yang dihasilkan sudah dapat memberikan gambaran pengaruh keberadaan jalur hijau jalan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal udara ambien. Walaupun demikian, ada kelemahan dalam peta isopleth yang dihasilkan.

Beberapa kelemahan yang teridentifikasi pada peta isopleth yaitu: (1) pada lokasi pinggir jalan atau yang disebut titik emisi (T0) mempunyai konsentrasi partikel timbal yang tidak sama sehingga mempunyai kelas nilai konsentrasi yang tidak sama, secara teoritis lokasi ini seharusnya mempunyai kelas konsentrasi partikel timbal sama; (2) pada jalur dan jarak yang sama dari pinggir jalan

mempunyai jumlah kelas nilai konsentrasi partikel timbal yang berbeda pada titik yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh: (1) pengambilan sampel udara ambien tidak dilaksanakan secara serentak, sehingga perbedaan waktu diduga menyebabkan perbedaan kondisi klimatis yang mempengaruhi konsentrasi di udara ambien; (2) jumlah titik sampel udara ambien yang terbatas; (3) penelitian ini tidak melakukan validasi.

Simpulan

1) Jumlah kelas nilai konsentrasi partikel timbal bervariasi tergantung dari perbedaan nilai konsentrasi tertinggi dengan nilai konsentrasi terendah. Jumlah kelas nilai konsentrasi yang paling banyak adalah pada jalur hijau lebih dari dua baris, sedangkan yang paling rendah adalah jalur hijau satu baris dan jalur terbuka.

2) Pengaruh jalur hijau jalan dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal udara ambien pada isopleth ditunjukkan adanya perubahan pola kontur, yaitu dari kontur rapat ke kontur yang renggang.

3) Peta isopleth yang dihasilkan mempunyai kelemahan: (a) kelas konsentrasi partikel timbal pada titik emisi (T0) mempunyai perbedaan, (b) pada jalur dan jarak yang sama mempunyai perbedaan jumlah kelas nilai konsentrasi yang berbeda pada titik yang berbeda.

Daftar Pustaka

Cavanagh JE. 2006. Potential of Vegetation to Mitigate Road-Generated Air Pollution. [terhubung berkala]. http://niwa.co..nz/default/files/import/ attachments/ co1x0405_p05.pdf [26 Nov 2011]

Childs C. 2004. Interpolating surfaces in ArcGIS Spatial Analyst. ESRI Education Services

Dahlan EN. 1989. Studi kemampuan tanaman dalam menjerap dan menyerap timbal emisi dari kendaraan bermotor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Fuller M, Bai S, Eisinger D, Neimeier D. 2009a. Practical Mitigation Measures for Diesel Particulate Matter: Near Road Vegetaion Barriers. UC DAVIS. [terhubung berkala] http://www. dn. engr.ucdavisedu/images/AQMit-Report5.pdf [26 Nov 2011]

Grey GW, Deneke FJ. 1986. Urban Forestry (Second Edition). New York: J. Wiley

Miller RW. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. New Jersey: Prentice Hall.

Pasquill F. 1974. Atmospheric Diffusion: the Dispersion of Windborne Material from Industrial and other Sources. New York: J Wiley.

Pramono PH. 2008. Akurasi metode IDW dan Kriging untuk interpolasi sebaran sedimen tersuspensi di Maros, Sulawesi Selatan. Forum Geografi 22: 145-158.

Purnomohadi S. 1995. Peran ruang terbuka hijau dalam pengendalian kualitas udara di DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santosa I. 2005. Model penyebaran pencemar udara dari kendaraan bermotor menggunakan metode volume terhingga: studi kasus di Kota Bogor [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suyanti L. 2008. Penurunan polusi timbal oleh jalur hijau tanjung (Mimusops

elengi Linn.) di Taman Monas Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Instituty Pertanian Bogor.

Taihuttu, HN. 2001. Studi kemampuan tanaman jalur hijau sebagai penjerap partikulat hasil emisi kendaraan bermotor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi partikel Pb setelah melalui jalur hijau jalan. Jawaban dari tujuan ini telah diuraikan pada Topik Penelitian I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur hijau lebih dua baris mempunyai kemampuan paling besar dalam menurunkan konsentrasi rata-rata Pb seteleh melalui jalur hijau yaitu sebesar 0,3920 µg. m-3, secara statistik jalur ini mempunyai pengaruh yang sama dalam penurunan konsentrasi partikel Pb dengan jalur hijau dua baris yaitu sebesar 0,1767 µg. m-3. Besarnya nilai penurunan ini belum dapat digunakan untuk menyimpulkan efektivitas suatu jalur hijau dalam menurunkan konsentrasi partikel Pb dari udara ambien, hal ini karena nilai konsentrasi partikel Pb pada titik emisi di setiap jalur mempunyai kondisi yang berbeda-beda. Rata-rata konsentrasi partikel Pb berbeda berdasarkan jalurnya.

Nilai persentase penurunan konsentrasi partikel Pb yang paling tinggi adalah pada jalur dua baris dan jalur lebih dua baris berkisar antara 40,58%-66,21% . Penurunan yang cukup besar terjadi pada 5 m di belakang jalur hijau yaitu mencapai nilai 40,58-41,15 %, sedangkan penurunan pada titik 15 m di belakang jalur hijau berkisar antara 64,17-64,33 %. Penurunan persentase konsentrasi partikel timbal pada jarak 15 m dan 30 m di belakang jalur hijau menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 64,17 sampai dengan 66,21 %. Di sini terlihat bahwa jalur hijau mempunyai peran dalam menurunkan konsentrasi partikel Pb di udara. Semakin lebar jalur, maka semakin besar dalam mengurangi besarnya konsentrasi partikel timbal di udara. Dengan semakin lebar jalur hijau artinya bahwa semakin lebar halangan yang harus dilalui oleh dispersi partikel. Baris tanaman yang terletak dekat sumber emisi atau jalan mempunyai efektivitas yang tinggi dalam mereduksi besarnya konsentrasi partikel timbal di udara. Hal ini terlihat bahwa jalur hijau dua baris mempunyai kemampuan yang sama dengan jalur hijau lebih dua baris, artinya baris tanaman

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara.

Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif apabila struktur penyusun vegetasi mempunyai kemampuan tinggi dalam menjerap konsentrasi partikel timbal. Semakin banyak partikel Pb yang dapat dijerap, maka akan semakin kecil partikel Pb yang lolos yang ada di udara ambien untuk daerah yang berada di belakang jalur hijau.

Sifat-sifat vegetasi yang mempunyai kemampuan tinggi dalam penjerapan partikel telah dibahas oleh banyak peneliti sebelumnya (Purnomohadi 1995; Beckett et al. 1998; Taihuttu 2001; Smith 2011) yaitu mempunyai ciri: a) daunnya berbulu atau permukaan kasap; b) nilai indeks luas daun yang tinggi; c)

bentuk percabangan tanaman V atau mendatar, tidak mengarah ke bawah; d) bentuk tajuk. Selain sifat yang dimiliki oleh tanaman, keefektifan penjerapan

juga dipengaruhi oleh penataan tanaman. Penataan tanaman ini meliputi pengaturan kerapatan dan strata tanaman. Penanaman yang rapat akan memberikan efek yang relatif besar dalam penjerapan, tetapi jarak tanam yang sangat rapat akan menyebabkan jalur hijau mempunyai sifat seperti dinding suara. Artinya bahwa vegetasi yang ada bersifat non-permeable, tidak bisa ditembus oleh angin. Dalam kondisi yang demikian partikel yang diemisikan hanya sedikit yang dapat dijerap oleh vegetasi, kemungkinan hanya vegetasi bagian depan saja yang menjerap, partikel lebih banyak dibawa oleh angin yang melalui atas tajuk pohon dan akan dijatuhkan di belakang jalur hijau, sehingga konsentrasi partikel akan relatif tinggi.

Hal tersebut berbeda, kalau jalur hijau bersifat permeable, dapat ditembus angin sehingga ada lebih banyak partikel yang bisa dibawa angin melalui sela-sela tajuk dan batang pohon. Porositas jalur hijau yang baik untuk penjerapan partikel sesuai dengan kemampuannya sebagai windbreak yaitu tidak boleh terlalu rapat dan juga tidak boleh terlalu renggang. Kalau terlalu rapat akan menyebabkan terjadinya turbulensi, tetapi kalau terlalu renggang kurang memberikan manfaat sebagai agen penjerap karena banyak partikel yang lolos melalui sela-sela batang dan tajuk. Gardiner et al. (2006) diacu dalam Fuller et al.

40-60% mempunyai peran penting dalam penyaringan partikel karena membantu dalam mengarahkan udara melalui pohon serta memungkinkan jatuhan partikel melalui impaction dan difusi. Dengan keberadaan vegetasi jalur hijau yang terdiri dari beberapa baris mempunyai potensi untuk memaksimalkan jatuhan partikel dengah proses difusi karena pengurangan kecepatan angin di dalam tajuk. Pengurangan kecepatam angin dalam tajuk menyebabkan waktu tinggal partikel lebih lama sehingga memungkinkan terjadi difusi ke permukaan tanaman (Chakre 2006; Fuller et al. 2009b). Pola ini mirip dengan penelitian gas NO2 yang berada vegetasi sekitar jalan raya yang menyimpulkan bahwa vegetasi mempunyai peran dalam mereduksi NO2 melalui dua mekanisme yaitu mengabsorpsi dan menghambat dispersi NO2 secara horizontal (Nasrullah et al. 1994; Sulistijorini 2009).

Jalur hijau mangium mempunyai ILD berkisar antara 0,746 sampai dengan 1,023 yang mempunyai kemampuan berbeda dalam menurunkan konsentrasi partikel Pb. Ada kecenderungan bahwa dengan semakin tinggi nilai ILD, maka semakin besar persentase penurunan konsentrasi partikel timbal. Penelitian ini hanya menggunakan tiga nilai ILD, sehingga belum dapat diketahui pola penurunan konsentrasi partikel timbal pada nilai ILD yang lebih besar. Tetapi hal ini dapat diduga bahwa besarnya penurunan konsentrasi partikel timbal akan semakin meningkat dengan meningkatnya nilai ILD, sampai pada titik tertentu akan tetap, karena nilai ILD pada titik tertentu akan relatif tetap.

Selain itu, juga diduga bersifat spesifik tergantung dari jenis tanaman yang digunakan sebagai jalur hijau. Dengan nilai ILD yang sama belum tentu kemampuan jerap suatu jalur hijau mempunyai kemampuan yang sama, karena juga dipengaruhi oleh sifat daun dan percabangan tanaman tersebut. Daun mangium, kalau menggunakan kriteria pengelompokan Taihuttu (2001), termasuk daun besar, permukaan kasar dan berbulu yang mempunyai kemampuan tinggi dalam menjerap partikel.

Studi ini tidak melakukan pengkajian terhadap strata tanaman, lebih memfokuskan pada struktur vegetasi secara horizontal yaitu pada lebar jalur, jumlah baris, indeks luas daun dan kerapatan (jarak tanam). Strata tanaman dapat dipastikan akan memberikan pengaruh terhadap besarnya partikel Pb yang dapat

ditangkap. Ruang-ruang kosong yang terdapat di sela-sela tajuk atau batang dapat diisi dengan tanaman yang mempunyai tajuk yang lebih rendah. Dengan adanya tanaman dengan tajuk yang lebih rendah, diduga akan meningkatkan efektivitas di dalam reduksi partikel timbal. Hal ini sesuai dengan penelitian Irwan (1997) yang melakukan pengujian terhadap berbagai bentuk dan struktur hutan kota dengan salah satu kesimpulannya bahwa hutan kota berstrata banyak mempunyai efektifitas yang tinggi dalam mengatasi permasalahan pencemaran udara, antara lain timbal.

Konsentrasi partikel Pb di udara yang dapat dijerap oleh tanaman, dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain: konsentrasi partikel Pb dari emisi, jarak sumber emisi ke reseptor (jalur hijau), arah dan kecepatan angin, suhu dan kelembaban. Faktor meteorologi yang mempunyai peran dominan dalam dispersi konsentrasi dan penyebaran polutan udara adalah arah dan kecepatan angin. Semakin tinggi kecepatan angin, pengenceran polutan udara semakin intensif; konsentrasi polutan udara di satu titik searah angin berbanding terbalik dengan kecepatan anginnya (Purnomohadi 1995). Di plot-plot penelitian mempunyai arah angin yang berubah-ubah dan jarang sekali ditemui dengan arah yang tegak lurus dengan jalur hijau. Hal ini diduga akan berpengaruh tehadap besarnya konsentrasi partikel Pb yang dapat dijerap oleh tanaman. Arah angin yang tegak lurus diduga akan lebih banyak membawa konsentrasi partikel Pb yang relatif tinggi dibandingkan arah angin yanng miring, sejajar atau bahkan menjauh dari jalur hijau.

Cavanagh et al. (2009) menjelaskan bahwa konsentrasi partikulat di udara ambien dipengaruhi oleh suhu dan interaksi antara kecepatan angin dan suhu udara. Dengan meningkatnya suhu, menyebabkan turunnya konsentrasi partikulat. Pada suhu yang rendah (< 6oC), konsentrasi partikulat meningkat dengan meningkatnya kecepatan angin; sedangkan pada suhu yang lebih tinggi, konsentrasi partikulat meningkat dengan menurunnya kecepatan angin. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Chan et al. (1998), menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi kelembaban udara, maka konsentrasi RSP (respirable particulate) semakin menurun.

Besarnya jerapan partikel Pb selain dipengaruhi oleh kondisi tanaman, juga dipengaruhi faktor lingkungan yang berperan sebagai media atau pembawa partikel Pb. Angin merupakan agen yang menyebabkan terjadinya dispersi partikel.

Pengambilan sampel udara pada penelitian tidak dilakukan secara serempak. Untuk mengurangi keragaman, maka pengambilan sampel dilakukan pada kondisi cuaca dan waktu yang kurang lebih sama. Disamping itu, untuk mengetahui pengaruh sumber emisi terhadap konsentrasi Pb di udara, dilakukan penghitungan jumlah kendaraan bermotor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor yang melewati plot-plot penelitian tidak ada perbedaan. Oleh karena itu perbedaan konsentrasi diduga disebabkan oleh struktur jalur hijau jalan yang ada. Konsentrasi partikel timbal pada titik emisi jalur dua baris dan lebih dua baris lebih tinggi dibandingkan pada jalur satu baris dan jalur terbuka. Hal ini diduga adanya penumpukan partikel Pb, karena terdapat halangan yang relatif rapat, sehingga partikel tidak bebas untuk didispersikan.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan sehingga relatif sulit untuk melakukan pengendalian faktor-faktor lain yang tidak diteliti. Oleh karena itu, untuk mengetahui kemampuan suatu jalur hijau dalam menurunkan konsentrasi partikel timbal, tidak digunakan nilai konsentrasi pada masing-masing titik