• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

F. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian

1. Hak Anak

Adapun yang menyangkut hak dan kewajiban seorang anak diatur dalam Bab III Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 19. Hak anak dalam UU tersebut meliputi :

Pasal 4 :

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5 :

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6 :

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7 : (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Pasal 8 :

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9 :

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10 :

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12 :

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13 :

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14 :

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15 :

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. Pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16 :

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17 :

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18 :

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19 :

Setiap anak berkewajiban untuk :

a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

2. Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtua

Kedudukan anak diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (vide Pasal 42 UUP).24 Sementara perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.25

Anak sah menempati kedudukan (strata) yang paling tinggi dan paling sempurna didalam hukum dibandingkan dengan kelompok anak yang lain, karena anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak waris dalam peringkat yang paling tinggi, diantara golongan-golongan ahli waris yang lain, hak sosial dimana ia akan mendaptkan status terhormat ditengah-tengah

24

C.S.T.Kansil, op.cit., hlm.129

25

lingkungan masyarakat dan hak alimentasi yaitu hak untuk mendapatkan penamaan ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya.26

Akibat adanya perceraian seperti yang dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2

KUH Perdata “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau

memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dan anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua yang akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua. Penetapan itu berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak. Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan

banding tidak boleh dimajukan.”

Sesuai dengan bunyi pasal di atas, maka dalam hal ini diserahkan kepada hakim untuk menunjuk siapa yang akan menjadi wali, hanya saja dalam penunjukan ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan sepenuhnya perihal kepentingan anak-anak tersebut, kepada siapa anak-anak ini lebih terjamin kepentingan dan kehidupannya.27 Namun demikian pihak yang tidak ditunjuk menjadi wali berhak mengajukan perlawanan dengan alasan-alasan yang tepat.

Kekuasaan orang tua yang dimaksud terhadap diri anak-anak tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak tersebut berupa pendidikan dan pemeliharaannya.

Pemeliharaan terhadap anak dimaksudkan adalah upaya dari orang tua untuk memenuhi memenuhi segala kebutuhan anak baik dari kebutuhan akan pendidikan

26

D.Y.Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Prestasi Putra Karya, Jakarta, 2012, hlm.37.

27

maupun kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani dan rohaninya, seperti perhatian, kesehatan, kasih sayang, dan perkembangan si anak itu sendiri.

Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan atas kehidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah tanggung jawab ayahnya.28 Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Jika anak tersebut memilih ibunya, maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, tetapi jika anak itu memilih ikut ke ayahnya, maka hak mengasuh ikut berpindah kepada ayahnya.

Pendapat yang sama dengan pendapat Soemiyati tersebut, dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, yang menjelaskan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak setelah putusnya perkawinan karena perceraian.29 Jika bapak dalam kenyataannya tidak dapat melaksanakan kewajibannya membiayai kehidupan dan pendidikan si anak, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul tanggung jawab membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak itu.

28

Soemiyati, op.cit., hlm.30 29

37

HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR

A. Anak

1. Pengertian Anak

a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Pengertian anak diatur di dalam Pasal 42 UUP, yaitu anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Seorang suami akan mengingkari seorang anak dikatakan sah adalah apabila :

1) Anak itu dilahirkan kurang dari tenggang waktu yang ditentukan, yaitu sebelum hari yang keseratus delapan puluh semenjak perkawinan dilakukan. 2) Suami dapat membuktikan bahwa sejak tiga puluh sampai seratus delapan puluh hari sebelum lahirnya anak itu, baik karena perpindahan atau secara kebetulan, ia berada dalam ketidakmampuan yang nyata untuk bersetubuh dengan isterinya.

3) Suami dapat membuktikan bahwa isterinya melakukan perbuatan zina dan anak itu sebagai akibat dari perbuatan itu.

4) Anak itu dilahirkan tiga ratus hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh kekuatan hukum mutlak.

Dalam hal terjadi perceraian antara suami isteri, dimana isterinya dalam keadaan hamil pada saat perceraian, maka anak yang dilahirkan kemudian, yaitu anak yang ada dalam kandungannya saat perceraian adalah anak sah suami isteri yang bersangkutan. Anak yang dilahirkan setelah putusnya perkawinan yang menjadi anak sah adalah hanya anak yang telah ada pada saat putusnya perkawinan tersebut.

Apabila terdapat anak yang lahir dari akibat perzinahan atau di luar perkawinan yang sah menurut Undang-Undang, maka anak tersebut dapat dikatakan sebagai anak yang tidak sah.30

Seorang anak yang tidak sah tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya dan keluarganya. Akan tetapi seorang anak yang tidak sah memiliki hubungan perdata hanya dengan ibunya dan juga keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Dengan adanya hubungan perdata antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan, demikian juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu, maka anak tersebut di bawah pengawasan dari ibunya, serta timbullah kewajiban dari ibunya itu untuk memelihara dan mendidik anak itu, dan berhak atas warisan yang timbul antara ibu dan anak tersebut, demikian juga antara keluarga ibu dengan anak.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya tetapi anak tersebut tidak mempunyai ayah, karena anak tersebut

30

tidak mempunyai hubungan hukum dengan laki-laki yang membenihkannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak yang demikian dinamakan anak luar kawin atau anak alam.31

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal anak luar kawin, karena anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Bagaimanapun juga lahirnya seorang anak tidak dapat dielakkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Karena tidak mungkin seorang anak dapat lahir tanpa ibu.

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) memberikan definisi anak yaitu “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 18 (delapan

belas) tahun dan belum pernah kawin”.

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Memberikan batasan pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Seperti yang terdapat dalam Pasal 330 yang berbunyi “belum dewasa adalah mereka yang

belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.”

31

Vina Hanika, Kewajiban Asuh Setelah Perceraian Orang Tua, FH UI, Jakarta, 2010, hlm.33

e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Dalam Pasal 1 ayat (5) didefenisikan bahwa Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

g. Pengertian anak menurut Konvensi tentang Hak-Hak Anak

(Convention on The Right of The Child)

Pengertian anak menurut konvensi ini, tidak jauh berbeda dengan pengertian anak menurut beberapa perUndang-Undangan lainnya. Anak menurut konvensi hak anak adalah sebagai berikut:

“Anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut Undang-Undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai

lebih awal”.

Berdasarkan beberapa pengertian yang terdapat diatas, definisi seorang anak dalam tiap-tiap hukum yang berlaku adalah berbeda-beda. Namun dalam pengertian secara umum yang dimaksud dengan anak adalah sesuatu yang baru tumbuh yang belum mencapai usia tertentu, dimana masih memerlukan perlindungan serta pembinaan dari mereka yang telah dewasa dan berakal.32

2. Anak Sah Dan Anak Luar Kawin

a. Anak Sah

Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari kedua orang tuanya yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Anak sah sama dengan anak kandung

32

yang mendapatkan posisi yang istimewa terhadap kedua orang tuanya bila dibandingkan dengan anak luar kawin atau anak tidak sah.33 Pasal 250

KUHPerdata menentukan bahwa “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau

ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenal istilah anak yang dilahirkan dalam perkawinan, anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan, dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan.34

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pengertian tentang anak sah yang bunyinya sebagai berikut :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah”.

Maka dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa anak yang sah adalah: 1) Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan

2) Kelahirannya harus dari perkawinan yang sah

3) Bapak dan ibunya telah resmi terikat dalam suatu perkawinan yang sah Sementara menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam :

“Anak yang sah adalah :

1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri

tersebut”

Menurut Djaren Saragih, anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan hubungan perkawinan yang sah mempunyai kedudukan sebagai anak sah. Dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah maksudnya adalah bahwa ketika

33

Munir Fuady,op.cit.,hlm.8. 34

Tan Kamello dan Syarifah Liza Andriati, Hukum Orang Tua dan Keluarga, USU Press, Medan, 2011, hlm.67-68.

anak itu dilahirkan, wanita yang melahirkannya berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan seorang pria.35

Menurut Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.36

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo seorang anak adalah sah jika lahir dalam suatu perkawinan yang sah atau karena adanya perkawinan yang sah. Seorang anak yang dilahirkan selama perkawinan makaa wanita yang melahirkan adalah ibunya dan pria yang mengawini yang membenihkan anak tersebut adalah ayahnya.37

Yusuf al Qadhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya.38

Seorang anak mendapatkan kedudukan hukum sebagai anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak tersebut dibenihkan pada saat orang tuanya telah melangsungkan perkawinan yang sah atau karena kelahirannya itu berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Menurut dari beberapa pengertian di atas maka pengertian anak sah mengandung beberapa unsur, antara lain :

35

Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984, hlm.134. 36

Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm.95. 37

Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986, hlm.28-29.

38

Yusuf al Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hlm.256.

1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

2) Seorang anak dibenihkan di luar perkawinan tetapi dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

3) Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar perkawinan.

4) Khusus Kompilasi Hukum Islam seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh si isteri.

Ketentuan tentang asal-usul anak diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disebutkan dalam ketentuan itu, bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Bilaman akte kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul anak berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Dan berdasarkan ketentuan pengadilan tersebut di atas, maka pegawai pencatat kelahiran yang ada di daerah pengadilan tersebut mengeluarkan akte kelahiran si anak.

Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya. Orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan harapan kedua orang tuanya sekaligus menjadi penerus keturunannya.

Anak yang sah menempati kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan anak luar kawin, karena menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak waris dalam tingkatan yang paling tingi di antara

golongan-golongan ahli waris yang lain, hak sosial di mana ia akan mendapatkan status yang terhormat di tengah-tengah lingkungan masyarakat, hak alimentasi untuk mendapatkan penamaan ayah dalam akta kelahirandan hak-hak lainnya.39

b. Anak Luar Kawin

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak terikat dengan ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama yang dianutnya.40

Dari defenisi yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut agamanya masing-masing.

Menurut H. Herusko banyak faktor penyebab terjadinya anak luar kawin, antara lain:

1) Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi wanita tersebut tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria yang menyetubuhinya.

2) Anak yang dilahirkan dari seorang wanita, dan kelahiran anak tersebut diketahui dan dikehendaki oleh salah satu pihak, hanya saja salah satu atau kedua orangtuanya itu masih terikat dengan perkawinan yang lain.

3) Anak yang lahir dari seorang wanita, tetapi pria yang menghamilinya itu tidak diketahui asal usulnya, misalnya karena pemerkosaan.

39

D.Y.Witanto, op.cit., hlm. 37.

40

Indri Hafni Paramita Harahap, Pelimpahan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian, FH USU, Medan, 2010, hlm.45

4) Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah perceraian, tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Ada kemungkinan anak di luar kawin ini dapat diterima oleh keluarga kedua belah pihak secara wajar jika wanita yang melahirkan itu kawin dengan pria yang menyetubuhinya.

5) Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih dari 300 hari, anak tersebut tidak diakui suaminya sebagai anak yang sah.

6) Anak yang lahir dari seorang wanita, sedangkan pada mreka berlaku ketentuan Negara melarang mengadakan perkawinan, misalnya Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) tidak mendapat izin dari Kedutaan Besar untuk mengadakan perkawinan karena salah satu dari mereka telah mempunyai suami atau istri, tetapi mereka tetap melakukan perkawinan campuran dan melahirkan seorang anak. Maka anak ini dinamakan juga anak luar kawin.

7) Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mengetahui siapa kedua orang tuanya.

8) Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan/atau Kantor Urusan Agama.

9) Anak yang lahir dari perkawinan secara adat, tidak dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya serta tidak didaftar di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.41

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas memberikan penjelasan tentang isilah anak luar kawin, tetapi hanya menjelaskan

41

Herusko, Anak Luar Kawin, Makalah pada Seminar Kowani, Jakarta, tanggal 14 Mei 1996, hlm.6.

pengertian anak sah dan kedudukan anak luar kawin. Hal ini sebagaimana dalam

bunyi Pasal 43 UUP yang pokoknya menyatakan “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Hal tersebut juga terdapat di dalam Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.”

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak luar nikah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan yang sah. Selain itu juga menurut Kitab

Dokumen terkait