• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM

D. Hak dan Kewajiban Dokter

Pribadi yang luhur adalah pribadi yang selalu mengutamakan kewajiban diatas hak-hak ataupun kepentingan pribadi. Termasuk seorang dokter. Dalam menjalankan tugasnya, bagi seorang dokter berlaku asas Aegroti Salus Lex

Suprema yaitu berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.103 Namun

demikian halnya sebagai manusia, seorang dokter memiliki tanggung jawab terhadap pribadi dan keluarga, disamping tanggung jawab profesinya kepada masyarakat.

Surarjo Darsono menghimpun dan mengemukakan bahwa hak dan kewajiban dokter menurut hukum dan kepustakaan, meliputi : 104

103

. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Op.Cit h. 54

104

Surarjo Darsono. Hak dan Kcwajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, (Semarang: Makalah Seminar Hukum Kesehatan Konflik Antara Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, PERHUKI Cabang Semarang, don PERSI Wilayah Jawa Tengah, , 3 November 2001), hal. 3-5

Hak dokter :

a) Mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan

profesinya.

b) Bekerja menurut standar profesi, berdasrkan hak otonomi dan keyakinan menurut Etik Kedokteran.

c) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan profesi, etik kedokteran dan hati nuraninya.

d) Menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila hubungan

dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi, kecuali pasien dalam keadaan gawat darurat dan setelah menyerahkan pasien kepada dokter lain.

e) Hak atas privacy

f) Menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan

atau tindakan yang mrlecahkan atau memalukan.

g) Mendapat informasi lengkap dari pasien atau keluarga yang dirawatnya.

h) Mendapat informasi atau pemberitahuan pertam dalam menghadapi

pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.

i) Diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun pasien.

j) Mendapat imbalan jasa atas profesi yang diberikannya berdasar perjanjian atau ketentuan/peraturan yang berlaku dirumah sakit tertentu.]

k) Menolak pasien yang tidak gawat darurat dan datang di luar jam bicara / jam dinas rutin / jam dinas jaga dan di luar daerah rayon atau dari spesialis lain yang tersedia dengan mudah. Dokter tidak berkewajiban menerima pasien untuk pengobatan dan boleh menolak setiap orang untuk menjadi pasiennya dengan alasan apapun maupun tanpa alasan sekalipun, kecuali pasien dalam keadaan gawat darurat.

l) Memutuskan hubungan dengan pasiennya secara sepihak, setelah syarat-

syarat tertentu terpenuhi; yaitu dengan pemberitahuan lebih dahulu kepada pasiennya sehingga ia dapat memperoleh dokter pengganti dan dokter pengganti mendapat informasi mengenai pemeriksaan dan mengenai pemeriksaan dan pengobatan yang telah diperoleh pasien.

m)Meminta konsultasi kepada dokter lain yang lebih ahli, setelah mendapat persetujuan dari pasien. Jika paien dalam keadaan gawat darurat, tidak sadar dan tidak ada keluarga terdekat yang dapat dihubungi, maka persetujuan tersebut tidak diperlukan.

n) Hak undur diri dalam kewajibannya memberikan keterangan yang sekiranya merugikan pasiennya dan tidak merugikan orang lain atau kepentingan umum.

Kewajiban dokter :

a) Mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara

dokter dan rumah sakit.

b) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

menghormati hak-hak pasien.

c) Merujuk pasien ke dokter lain atau ruamh sakit yang mempunyai keahlian dan kemampuan yang lebih baik, apabila dokter yang bersangkutan tidak mampu melakukan sesuatu pemeriksaan atau pengobatan.

d) Memberi kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan

dengan keluarganya dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.

e) Merahasiakan segala sesuatu yang di ketahuinya tentang seorang

penderita, bahkan juga setelah penderita tersebut meninggal dunia.

f) Melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan kecuali bila dokter tersebut yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.

g) Memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik

yang akan dilakukan, serta resiko yang dapat ditimbulkannya.

h) Membuat rekam medis yang baik secara berkesimbungan berkaitan

dengan keadaan pasien.

i) Terus menerus menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.

j) Memenuhi hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian yang telah

dibuatnya.

k) Mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.

l) Bekerjasama dengan profesidan pihak lain yang terkait secara timbal

balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

Kewajiban dokter yang terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri dibahas dalam Bab 3 KODEKI, yaitu :

a. Kewajiban umum dokter (pasal 1 sampai dengan pasal 9 KODEKI), meliputi:

(1) Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan

Sumpah Dokter.

(2) Setiap dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi.

(3) Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh

dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

(4) Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan

mahkluk insani, baik jasmani maupun rohani hanya diberikan untuk kepentingan penderita.

(5) Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan

menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.

(6) Seorang dokter dalam melakukan pekerjaannya harus mengutamakan

kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat.

(7) Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat harus memelihara saling pengertian sebaik-baiknya.

b. Kewajiban dokter terhadap pasien (pasal 10 sampai dengan pasal 14 KODEKI):

(1) Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi

hidup mahkluk insani.

(2) Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu

dan keterampilannya untuk kepentingan penderita.

(3) Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar

senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

(4) Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.

(5) Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

c. Kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya (pasal 15 sampai dengan pasal 16 KODEKI). Meliputi :

(1) Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri

ingin diperlakukan.

(2) Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya, tanpa persetujuannya.

d. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri (pasal 17 sampai dengan pasal 18

(1) Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.

(2) Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan tetap setia kepada cita-cita yang luhur.

e. Penutup (pasal 19 KODEKI):

Setiap dokter harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghayati dan mengamalkan KODEKI dalam pekerjaanya sehari-hari.

E.Tanggung Jawab Dokter

Kata tanggung jawab dokter berasal dari dua kata, yaitu tanggung jawab dan hukum. Kata tanggung jawa berasal dari terjemahan kata ”verantwoordelijkheid”, sedangkan kata hukum merupakan terjemahan dari kata “recht” (Belanda), “law” (Inggris). Kata “verantwoordelijkheid”, diartikan sebagai kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila dituntut) baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi.105

Ada dua jenis tanggung jawab dalam definisi ini, yakni tanggung jawab dan administrasi. Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. Sehingga yang bersangkuan dapat dituntut membayar ganti rugi dan atau menjalankan pidana. Sedangkan tanggung jawab

105

administrasi adalah suatu tanggung yang dibebankan kepada orang yang melakukan kesalahan administrasi.

Berkaitan dengan tanggung jawab hukum dokter, maka tanggungjawab ini dapat dibebankan antara tanggung jawab hukum yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan profesinya dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya. Tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya masih dapat dibedakan antara tanggung jawab terhadap ketentuan- ketentuan profesional (verantwoordelijkheid atau responsibility), yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Menkes/SK/X/1983 dan tanggung jawab terhadap ketentuan hukum (aansprakelijkheid atau liability) yang meliputi bidang Hukum Administrasi, Hukum Pidana dan Hukum Perdata.

1. Tanggung jawab dokter atas pelanggaran Etik

Tanggung jawab profesional dokter diatur dalam ketentuan- ketentuan professional dokter yaitu KODEKI dan Tuchresht atau hukum pengendalian, artinya seorang dokter mempunyai tanggung jawab profesional terhadap sejawatnya dan profesinya. Dengan demikian apabila dokter melakukan kesalahan atau kelalaian yang melanggar ketentuan etik, ia diadili secara intern berdasarkan hukum pengendalian itu. Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI) dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), telah tercantum secara garis besar perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak

dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya, Namun tetap saja terdapat dokter yang melakukan pelanggaran etik dan pelanggaran hukum

(etikolegal). Dalam hal ini, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK),

merupakan badan yang bertugas membina dan mengawasi pelaksanaan etik anggota yang berada di bawah struktur organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi ikatan profesi medis terhadap anggotannya. Selain itu berdasarkan Keputusan presiden No. 56 Tahun 1995 Tanggal 10 Agustus 1995 ditetapkan tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (termasuk dokter) dalam menerapkan standar profesi.

Landasan hukum untuk mengatakan bahwa seorang dokter melakukan kesalahan profesi, adalah apabila ia melakukan suatu tindakan medik yang tidak sesuai dengan standard profesinya. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi tidak sama dengan kesalahan/kelalaian menurut hukum. Tolak ukur kesalahan/kelalaian dalam hukum adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum dalam masyarakat, sedangkan tolak ukur kesalahan atau kelalaian melaksanakan profesi adalah standart profesi.106

Menurut Leenen, standar profesi medis meliputi: 107 a. Tindakan yang teliti dan hati-hati

106

Hermien Hadiati Koeswadji, Tinjauan dari Segi Hukum Terhadap

Kesalahan/Kelalaian dalam Melaksanakan Profesi dalam Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum, Penerbit Karya Abadi Tama, Surabaya 2000, h.15-16

107

Leenen dalam Danny Wiradharma. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran,. Op. Cit, h. 78-80.

Setiap anggota masyarakat, termasuk dokter harus mentaati norma ketelitian dan kehati-hatian yang wajar yang dianut di dalam masyarakat.

b. Standar Medis

Standart medis merupakan cara bertindak secara medis dalam suatu peristiwa yang nyata, berdasarkan ilmu kedokteran dan pengalamannya yang nyata, berdasarkan ilmu kedokteran dan pengalamannya sebagai dokter.

c. Kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama

Pasal 2 KODEKI menurut standar yang tertinggi dengan menyatakan bahwa dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi. Hukum masyarakatkan ukuran minimal rata-rata bagi dokter, penilaian kemampuan didasarkan atas pendapat saksi-saksi ahli dari kelompok keahlian yang sama.

d. Situasi dan kondisi yang sama

Keadaan yang sama diperlukan untuk membuat perbedaan dengan keadaan yang berlainan dengan perawatan medis yang telah dilakukan, sebagai bahan perbandingan.

e. Asas proporsionalitas

Harus ada keimbangan antara sarana upaya yang dilakukan dengan tujuan konkrit yang ingin dicapai sehingga tidak timbul suatu

diagnostic overkill atau therapeutic overkill yang selanjutnya akan

berkembang menjadi defensive medicine.

Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut dapat digambarkan :

a. Pelanggaran etik murni

1) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.

2) Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.

3) Memuji diri sendiri di depan pasien.

4) Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang

berkesinambungan.

5) Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.

b. Pelanggaran etikolegal

1) Pelayanan dokter di bawah standar.

2) Menerbitkan surat keterangan palsu.

3) Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum.

4) Melakukan tindakan medis tanpa indikasi.

5) Pelecehan seksual.

6) Membocorkan rahasia pasien108

2. Tanggung Jawab dokter menurut Hukum Perdata

Secara umum, pertanggungjawaban dalam kesalahan perdata dapat disebabkan oleh; pelanggaran hak, unsur kesalahan dan kerugian yang diderita oleh penggugat. Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak-hak pribadi maupun hak-hak kebendaan, dan akan melindungi serta memaksa pihak yang melanggar hak itu supaya membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya. Pertanggungjawaban dalam kesalahan perdata biasanya memerlukan suatu unsur kesalahan atau kesengajaan yang diperlukan biasanya lebih kecil. Suatu unsur yang esensial dari banyak kesalahan perdata adalah

108

Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Op.Cit h. 17

bahwa penggugat harus sudah menderita kerugian fisik atau finasial sebagai akibat dari perbuatan tergugat.

Tanggung jawab dokter di bidang perdata, dapat timbul disebabkan karena dokter tidak melaksanakan prestasi (Wanprestasi) dan atau melakukan perbuatan melawan hukum. Prestasi dokter berupa melakukan upaya penyembuhan secara sungguh-sungguh terhadap pasien. Apabila dokter lalai dan tidak tidak melaksanakan prestasi dengan sebaik mungkin, sehingga hak pasien atas tindakan medis sesuai dengan standar tidak terpenuhi, dan oleh karena itu pasien menderita kerugian, maka dokter dapat digugat oleh pasien untuk membayar ganti rugi. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 1346 KUH perdata, yaitu:

a. Kerugian yang telah diterimanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian

b. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh

Begitu juga dalam hal dokter melakukan perbuatan melawan hukum, maka dokter yang bersangkutan dapat dituntut membeyar ganti kerugian,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Timbulnya ganti rugi ini disebabkan dokter yang bersangkutan melakukan kesalahan

terhadap pasien. Kesalahannya berupa dokter melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Misalnya; antara dokter dengan

pasien, telah sepakat untuk melakukan operasi terhadap tumor , tetapi yang dioperasi adalah usus buntu. Dalam hal ini dokter jelas-jelas melakukan perbuatan hukum.

Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik

pertanggungjawaban perdata. Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata yaitu sebagai berikut:

a. Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata

Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Undang-undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang, jadi suatu perbuatan melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap tindakan atau kelalaian baik yang : (1) Melanggar hak orang lain (2) Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri (3) Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik) (4) Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang

seorang dalam pergaulan hidup. Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan. Untuk menentukan seorang pelaku perbuatan melanggar hukum harus membayar ganti rugi, haruslah terdapat hubungan erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.

b. Berdasarkan Pasal 1366 KUH Perdata

Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

c. Berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata

Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. (Pasal 1367 KUH Perdata).

Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut. Dengan hal itu seorang dokter juga harus bertanggung

jawab atas tindakan yang dilakukan oleh rekan kerjanya yaitu para perawat, bidan dan sebagainya. Kesalahan seorang perawat karena menjalankan perintah dokter adalah tanggung jawab dokter.

3. Tanggung jawab Dokter dalam hukum administrasi

Aspek Hukum Administrasi Negara meliputi perijinan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh dokter sebagai salah satu tenaga kesehatan profesional dan rumah sakit sebagai penyedia sarana pelayanan kesehatan. Menurut peraturan yang ada, seorang dokter dapat melakukan upaya kesehatan apabila memenuhi persyaratan memiliki; ijazah dokter yang terdaftar, ijin praktek, dan hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sebuah rumah sakit harus memenuhi persyaratan menyangkut perijinan, ketenagaan, dan kelengkapan sarana pelayanan kesehatan.

Aspek hukum lain yang bersifat administrasi adalah pembinaan dan pengawasan, baik yang bersifat administrasi dan pengawasan. Pembinaan untuk meningkatkan mutu profesi dokter dilakukan melalui pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan. Pengawasan dilaksanakan sesuai standar profesi dokter dan pelanggarannya dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran dan pencabutan ijin melakukan upaya kesehatan.

Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaha negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai

administrative malpractice adalah menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan

tindakan medis yang tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis.

Menurut Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, seseorang calon dokter yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis lisensi memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan.

Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif, seperti yang disebutkan pada pasal 69 ayat (3) Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yaitu : pemberian peringatan tertulis; rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau; kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

4. Tanggung Jawab Dokter menurut Hukum Pidana

Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana. Tanggung jawab pidana di sini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan atau perawatan.

Dari segi hukum, kesalahan / kelalaian akan selalu berkait dengan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu untuk menentukan niat / kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan.

Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 KUH Pidana. Ada perbedaan

penting antara tindak pidana biasa dengan ‘tindak pidana medis’. Pada tindak pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah ‘akibatnya’, sedangkan pada tindak pidana medis adalah ‘penyebabnya’. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat

dipersalahkan. Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa

kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia, menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli.

Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari

Taylor, 109 dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan

digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4 – D, yaitu : Duty (Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan kewajiban), Damage (Kerugian), Direct Causal Relationship (Berkaitan langsung).

Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractus) atau

menurut undang-undang (ius delicto) juga adalah kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk

109

Mariyanti, Ninik, Malpraktek Kedokteran, dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, , : PT Bina Aksara , Jakarta, 1988. h. 15

memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan tentang persetujuan tindakan medis (informed consent) sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989.

Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of

Dokumen terkait