• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Penggunaan

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku usaha

Didalam kesepakatan, satu pihak memperoleh hak atas suatu prestasi,

26 R. Soeroso,1989, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta,Balai Pustaka , hlm. 40.

sedangkan pihak lainnya wajib melaksanakan pencapaian tersebut sesuai dengan Pasal 1234 KUHPerdata. Dalam Pasal 1234KUHPerdata “Tiap-tiap perikatan adalah untuk mememberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu”. Apabila debitur gagal melaksanakan kewajibannya yaitu melaksanakan perjanjianmaka kreditur dapat menuntut pelaksanaan haknya.

Hak dan kewajiban ini sebenarnya merupakan realisasi adanya prestasi di satu pihak dan kesanggupan di satu pihak lagi, sehubungan dengan diterimanya prestasi tersebut dalam suatu perikatan bertimbal balik. “Hak ini adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang (subjek hukum)”.27

Karena terjadinya perjanjian antara penerima dan pengirim (penghantar jasa) maka lahirlah hak dan kewajiban diantara para pihak.

1. Hak Dan Kewajiban Konsumen

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang, pemakai barang dan/atau jasa, yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain, maupun mahluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Munir fuady mengatakan konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/

atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.28

Hak konsumen dalamUndang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8

27C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm.120.

28 Munir Fuady ,Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung .PT. Citra Aditya Bakti, 2008 , hlm. 227.

27

Tahun 1999 pada Bab III Bagian Pertama pasal 4, yaitu konsumen mempunyai hak sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan;

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin kemaanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.

2. Hak untuk memperoleh informasi;

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk yang diinginkannya sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk, tanggal kadaluarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut.

Informasi tersebut dapat secara lisan maupun tulisan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, iklan–iklan mapun media elektronik.

3. Hak untuk memilih;

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada konsumen untuk memilih produk – produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa adanya tekanan dari pihak luar.

4. Hak untuk di dengar;

Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk – produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk

tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, tau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkiatan dengan kepentingan konsumen.

5. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi;

Hak ini dimaksudkan agar konsumen mendapatkan perlayanan benar dan jujur terhadap barang dan/atau jasa yang ditawarkan dari pelaku usaha, dan melarang pelaku usaha untuk membeda–bedakan perlakuan terhadap setiap konsumen.

6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian;

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang memenuhi harapan konsumen

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi kritis dn teliti daam memilih sutau produk yang dibutuhkan

8. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar.karena dalam keadaan tertentu konsumen

29

dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya.

9. Hak untuk mendapat upaya penyelesaian sengketa yang patut;

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, melalui jalur hukum.

Konsumen sebagai pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat memiliki hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right safety);

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. Hak untuk memilih (the right to choose); dan 4. Hak untuk didengar (the right to heard).

Empat hal dasar ini diakui secara Internasional, dalam perkembangannya organisasi- organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat.29

Selain mengatur mengenai Hak Konsumen, UUPK Pasal 5 juga mengatur mengenai kewajiban konsumen, yaitu :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

29 Hidarta, Hukum Perlindungan konsumen Indonesia, Jakarta ,Penerbit Grasindo, 2002, hlm. 20.

jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yag disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

2. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang – perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Pengertian Pelaku Usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen untuk menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menentukan , kepada pihak siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat.30

Hak-hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan konsumen, yaitu :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

30 Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta , Rajawali, 2004, hlm. 54.

31

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan untuk kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dan dalam perlindungan konsumen, terdapat beberapa pihak yang terkait terutama dalam hubungan hukum, yaitu antara pihak pelaku usaha dan pihak konsumen. Pihak pelaku usaha dalam hal ini adalah jasa pengiriman barang yaitu PT. Citra Van Titipan Kilat (TIKI), sedangkan konsumen dalam hal ini adalah si pengirim barang yang menggunakan jasa PT. Citra Van Titipan Kilat (TIKI).

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, yaitu:

1.Masyarakat (konsumen), 2. Pelaku usaha,

3. Dan Pemerintah.

Peran pemerintah sangat dibutuhkan, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh warga negara (termasuk konsumen dan pelaku usaha) melaksanakan dan menjamin kepastian hukum, sesuai dengan otorisasi Pasal 29 – 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, mengingat keamanan pangan merupakan aspek penting dalam penentuan perlindungan konsumen, maka pemerintah berhak mengawasi pelaksanaan perlindungan konsumen (khususnya dibidang pangan). Tanggung jawab terkait bimbingan.

Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kesehatan dan gizi produk yang dikonsumsi.

33

Dengan memperjelas Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Perlindungan Konsumen, pemerintah telah mengembangkan perlindungan konsumen dalam hal ini untuk menjamin akses terhadap hak konsumen dan pelaku usaha, serta untuk memenuhi kewajibannya masing-masing. , misalnya melalui peningkatan kualitas penyidik, peningkatan kualitas peneliti atau penguji produk dan / atau jasa, serta pengembangan pengujian teknis produk dan / atau jasa serta standar mutu yang akan dilaksanakan.

Sementara itu, dari sisi pasar, terdapat berbagai macam barang dan/atau jasa yang beredar di wilayah Indonesia yang sangat luas, Pemerintah, masyarakat, dan LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) secara bersama-sama mengawasi perlindungan konsumen. Mengawasi penjualan barang dan/atau jasa mulai dari proses produksi, penawaran promosi, dan iklan hingga penelitian, pengujian atau investigasi barang dan / atau jasa yang diduga tidak sesuai dengan keamanan, keselamatan, serta kesehatan konsumen.

Pembinaan kepada pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar tidak hanya ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen, tetapi juga untuk kepentingan pelaku usaha dalam upaya meningkatkan daya saing barang barang dan/atau jasa dipasar global. Selain itu, diharapkan terjalin hubungan bisnis yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen sehingga tercipta lingkungan usaha yang kondusif.

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Ekspedisi Pengangkutan Barang

Munir Fuady berpendapat bahwa pada dasarnya seseorang yang merugikan

orang lain baik karena kecelakaan murni maupun karena mempertahankan diri, kepadanya diwajibkan untuk memberi ganti rugi terhadap kerugian orang lain tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar dari tanggung jawab adalah penciptaan suatu akibat yang berbahaya terhadap anggota masyarakat yang lain.

Selanjutnya dikatakan bahwa kesalahan itu sendiri mempunyai arti yang sangat luas, sehingga lebih baik tidak digunakan kata kesalahan sama sekali, tetapi sebaliknya menggunakan istilah tanggung jawab mutlak terpisah dari kesengajaan untuk berbuat salah satu kesalahan.31

Terhadap tanggung jawab pelaku usaha, telah diatur dalam BAB VI Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut : Pasal 19 UUPK menyebutkan :

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan

atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pergantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

31 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, hlm 164-166

35

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Ada beberapa prinsip tanggung jawab dalam pengangkutan, yaitu:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas dasar unsur kesalahan (fault liability principle);

Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dalam beberapa literatur di bidang angkutan dikenal juga dengan istilah liabi-lity based on fault principle ataupun fault liability principle. Berdasarkan prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim/penerima barang atau pihak ketiga, karena kesalahannya dalam melaksanakan angkutan.32

Unsur kesalahan dalam prinsip ini merupakan isu sentral yang harus diperhatikan, jika hendak menuntut pertanggungjawaban pengangkut. Dimana diawali dengan konsepsi tentang “kewajiban pengangkut” untuk menyelenggarakan angkutan sampai ke tempat tujuan “dengan selamat”, yang merupakan tanggung jawab hukum pengangkut.33 Apabila penyelenggaraan angkutan tersebut tidak selamat dan menimbulkan kerugian pada penumpang, pengirim/penerima barang atau pihak ketiga, maka pengangkut dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas kerugian itu.

32 Wiwoho Soedjono, 1980, Hukum Perkapalan Dan Pengangkutan Laut Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 129

33HMN.Purwosutjipto, 1987, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid III – Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, hlm. 52.

Tuntutan terhadap tanggung jawab pengangkut atas kerugian tersebut berdasarkan prinsip ini (liability based on fault) dapat terpenuhi “jika kerugian dikarenakan kesalahan pengangkut” dalam melaksanakan angkutan. Persoalan ini tidaklah sederhana, karena dalam praktek belum tentu setiap pengangkut secara sukarela akan mengakui kesalahannya. Jika demikian, maka pihak penumpang, pengirim/penerima barang atau pihak ketiga tidak boleh bertindak sepihak dan harus dapat membuktikan bahwa kerugian terjadi karena kesalahan pengangkut..34 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (presumption of liability principle);

Tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah adalah bahwa pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, kecuali jika pengangkut dapat membuktikan bahwa pengangkutan tersebut sudah diselenggarakan secara patut/layak.35 Apabila timbul kerugian dalam suatu penyelenggaraan angkutan, maka berlakulah asumsi/anggapan bahwa pengangkut berkewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.Asumsi/anggapan tersebut dapat ditiadakan/dikesampingkan apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi di luar kesalahannya atau di luar kesalahan pegawainya, yang oleh Wiwoho Soedjono dikemukakan dalam kalimat kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa pengangkutan telah diselenggarakan secara patut/layak.36

Menurut pendapat R. Soekardono, untuk membuktikan pengangkut telah menyelenggarakan angkutan dengan patut/layak, cukuplah dengan cara

34Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 5.

35 Wiwoho Soedjono, Op.cit., hlm. 35.

36Ibid., hlm. 139

37

menunjukkan dokumen-dokumen atau surat-surat yang berhubungan dengan keselamatan angkutan seperti SIM pengemudi, Surat Layak Jalan bagi alat/armada angkutan, dan lain-lain.

3. Prinsip tanggungjawab mutlak (absolute liability principle).

Pada awalnya pemikiran mengenai prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan merupakan dasar dari prinsip pertanggungjawaban dalam hukum perdata, dimana adanya perjanjian sebagai dasar adanya hubungan hukum antara pengangkut dengan penumpangnya (privity of contract) yang secara kumulatif diperlukan sebagai syarat timbulnya pertanggungjawaban hukum.37 Pada bidang perlindungan konsumen pemikiran ini menimbulkan doktrin caveat emptor, yakni bahwa pihak konsumen harus berhati-hati dalam mengkonsumsi suatu produk (let the buyer beware),38 karena apabila konsumen mengkonsumsi produk cacat dan mengalami kerugian, maka ia harus membuktikan berbagai unsur (kesalahan) dalam gugatan ganti kerugian terhadap pelaku usaha (produsen).

Teori pertanggungjawaban hukum berdasarkan kesalahan tidak memberikan perlindungan yang maksimal terhadap konsumen, karena konsumen mengalami dua kesulitan dalam pengajuan gugatan kepada pelaku usaha.39

Adapun kedua kesulitan tersebut, yaitu:

a. keharusan adanya hubungan kontrak; dan

b. argumentasi pelaku usaha bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui atau tidak dapat diduga, sehingga

37 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 48.

38 Malcolm Leder et al., 1996, Frameworks Consumer Law, Financial Times Pitman Publishing, London, hlm 28

39 Inosentius Samsul, Op.cit., hlm. 144.

unsur kesalahan tidak terbukti.40

Prinsip tanggungjawab yang dianut di Indonesia yaitu tanggungjawab berdasarkan atas praduga, artinya dari setiap kerugian yang terjadi akibat kegiatan pengangkutan merupakan tanggungjawab dari pengangkut.41 Kecuali apabila pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan akibat dari kesalahannya, maka ia dapat terhindar dari kewajiban membayar ganti kerugian, sesuai ketentuan pasal 468 ayat (2), 477, dan 522 ayat (2) KUHD.

Dalam Undang-Undang Pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur. Hal ini tidak diatur kemungkinan karena alasan bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Pihak-pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan, dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya dokumen pengangkutan.

D. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Yang Menerima Kerusakan Barang Yang Diakibatkan Oleh Kelalaian Jasa Pengiriman Barang Oleh PT. Citra Van Titipan Kilat (TIKI)

Setiap orang, pada satu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersamaan dengan orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk tertentu. Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan

40Ibid.

41Jurnal Vol 1, no. 4 Anantyo, Sendy, and Budiharto Herman Susetyo."TANGGUNG Jawab Pengangkut Terhadap Barang Muatan Pada Pengangkutan Melalui Laut." Diponegoro Law Journal Vol 1, no. 4 ,2012, hlm 1-6

39

perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen (pelaku usaha). Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Kerugian – kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut dapat ditimbulkan sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha

.

42

Kondisi Konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak – hak konsumen dapat di tegakkan. Namun sebaliknya, perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak boleh justru mematikan usaha pelaku usaha. Karena keberadaan pelaku usaha merupakanb suatu yang esensial dalam perekonomian negara. Oleh karena itu, ketentuan yang memberikan perlindungan kepada pelaku usaha, sehingga perlindungan konsumen tidak justru membalik kedudukan konsumen dari kedudukan yang lemah menjadi lebih kuat, dan sebaliknya pelaku usaha yang menjadi lemah. Di samping itu, untuk melindungi diri dari kerugian akibat adanya tuntutan dari konsumen, pelaku usaha juga dapat mengasuransiakan tanggung gugatnya terhadap konsumen tersebut.43

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 huruf h menyatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yangditerima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

42Ahmadi Miru, Prinsip – prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2013, hlm 1

43 Ahmadi Miru, 2013, op.cit., hlm. 4

mestinya. Jika konsumenmerasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas, dengan jumlah ganti kerugian yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.44 Perlindungan yang diberikan selain adanya perlindungan hukum prenventifjuga adanya perlindungan hukum represif yang mana pada hal ini perlindungan yang diberikan setelah adanya sengketa yg timbul yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) menyebutkan: Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Produk dikualifikasikan mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi kemanan (safety) yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek, antara lain:

a. penampilan produk (the presentation of the product);

b. maksud penggunaan produk (intended use of the product);

c. saat ketika produk ditempatkan di pasaran (the time when the product was put into circulation).45

Perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada konsumen pengiriman barang secara online terdiri dari 2 macam yaitu

1. perlindungan Hukum secara prenventif artinya perlindungan hukum yang

44 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

Sinar Grafika), hlm, 37

45 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 102.

41

bersifat mencegah terjadinya sengketa antara konsumen pengirim barang secara online dengan jasa pengiriman barang yaitu PT. TIKI yang mana perlindungan hukum ini terdapat didalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. perlindungan hukum secara represif artinya penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi antara konsumen pengirim barang secara online dengan jasa pengangkutan, dalam hal ini PT. TIKI yang mengalami sengketa yang mana perlindungan hukum ini terdapat didalam pasal 45 sampai dengan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam kasus yang telah terjadi dalam artian konsumen sudah dirugikan oleh pelaku usaha maka perlindungan hukum yang di tempuh yaitu perlindungan hukum secara represif, pada Pasal 45 UUPK dan apabila pelaku usaha menyebabkan wanprestasi maka ganti kerugian yang di berikan kepada konsumen harus sesuai dengan nilai barang yang rusak atau hilang dan apabila tidak sesuai dengan nilai barang maka pelaku usaha telah melanggar Undang Undang perlindungan konsumen pada Pasal 19 yaitu: Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan

Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan

Dokumen terkait