• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.2 Pembahasan

4.2.2 Hak dan Kewajiban Suami istri Beda Agama dalam Pola

Pertumbuhan dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan yang dialami dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat dan sekolahnya. Karena manusia menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya ditempuh melalui pendidikan, maka pendidikan anak sejak awal kehidupannya, menempati posisi kunci dalam mewujudkan cita-cita “menjadi manusia yang berguna”.

Eksistensi anak melahirkan adanya hubungan vertikal dengan Tuhan Penciptanya, dan hubungan horizontal dengan orang tua dan masyarakatnya yang bertanggung jawab untuk mendidiknya menjadi manusia yang taat beragama. Walaupun fitrah kejadian manusia baik melalui pendidikan yang benar dan pembinaan manusia yang jahat dan buruk, karena salah asuhan, tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama.

102

Anak sebagai amanah dari Tuhan, membentuk 3 (tiga) dimensi hubungan, dengan orang tua sebagai sentralnya. Pertama, hubungan kedua orang tuanya dengan Tuhan yang dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, hubungan anak dengan Tuhan melalui orang tuanya. Ketiga, hubungan anak dengan kedua orang tuanya di bawah bimbingan dan tuntunan dari Tuhan

Dalam mengemban amanat dari Tuhan, berupa anak yang fitrah beragama tauhidnya harus dibina dan dikembangkan, maka orang tua harus menjadikan agama yang dianutnya, sebagai dasar untuk pembinaan dan pendidikan anak, agar menjadi manusia yang bertaqwa dan selalu hidup di jalan yang diamanatkan Tuhan, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun juga keadaannya, pribadinya sebagai manusia yang taat beragama tidak berubah dan tidak mudah berubah.

Mendidik anak-anak menjadi manusia yang taat beragama ini, pada hakekatnya adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri pribadi

manusia, yaitu beragama tauhid, agama Islam. Seorang anak itu mempunyai “dwi potensi”yaitu bisa menjadi baik dan buruk. Oleh karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik anaknya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Tuhan dalam agama-Nya, agama Islam agar anak-anaknya dapat berhubungan dan beribadah kepada Tuhan dengan baik dan benar. Oleh karena itu anak harus mendapat asuhan, bimbingan dan pendidikan yang baik, dan benar agar dapat menjadi remaja, manusia dewasa dan orang tua yang beragama dan selalu hidup agamis. Sehingga dengan demikian, anak sebagai penerus generasi

dan cita-cita orang tuanya, dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat memenuhi harapan orang tuanya dan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Kehidupan keluarga yang tenteram, bahagia, dan harmonis baik bagi orang yang beriman, maupun orang kafir, merupakan suatu kebutuhan mutlak. Setiap orang yang menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut untuk dapat menjalankan bahtera keluarga itu dengan baik. Kehidupan keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan masalah besar yang tidak bisa dianggap mudah dalam mewujudkannya. Apabila orang tua gagal dalam memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik dalam membina hubungan masing-masing pihak maupun dalam memelihara, mengasuh dan mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, perhiasan dunia, akan terbalik menjadi masalah dalam keluarga.

Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sedangkan cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang dilakukan dengan sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan.

104

Dalam situasi seperti ini yang diharapkan muncul dari anak adalah efek-instruksional yakni respon-respon anak terhadap aktivitas pendidikan itu.

Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan antara orang tua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi di mana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.

Terdapat beberapa dampak sosial dalam pernikahan beda agama. Salah satunya adalah masalah perndidikan agama pada anak. Bukan sesuatu yang mudah bagi keluarga beda agama khususnya orang tua dalam menerapkan polah asuh dan menanamkan nilai spiritual pada anak. Tujuan penulis ingin membahas permasalahan ini menggambarkan pengalaman orang tua anak untuk mendeskripsikan pola asuh yang diterapkan orang tua beda agama kepada anak untuk memilih agamanya.

Latar belakang dari penelitian ini, adalah pernikahan beda agama terkadang menimbulkan kontroversi dari kalangan masyarakat. Persoalan yang timbul apabila anak dilahirkan dikeluarga beda agama, anak-anak akan merasa bingung dalam menetukan pilihan agamanya. Orang tua seharusnya tidak mengintervensi anak-anaknya dalam menentukan pilihan agamanya, sebagai orang tua memperhatikan masa depan anak-anaknya dan yang harus ditekankan oleh anak-anak adalah bagaimana ia memahami setiap perilaku atau amal yang baik akan memperoleh balasan yang baik pula dari lingkungannya. Jika berbuat jelek atau jahat, akan memperoleh kejahatan pula. Penelitian ini, bertujuan untuk

mendiskripsikan, bagaimana pola asuh anak dan status hukum anak dari orang tua yang berbeda agama. Sedangkan obyek penelitiannya adalah pasangan keluarga beda agama. Hasil dari penetian ini, peneliti menyimpulkan

Pertama, terdapat berbagai macam variasi pola orang tua dalam menentukan pilihan agama anak-anaknya, antara lain:

a. Orang tua memberi kebebasan kepada anak-anaknya dalam memilih agama.

b. Masing-masing kedua orang tua memaksa anak-anak mengikuti agamanya, sehingga anak-anak berbeda agama dengan orangtua Kedua, penentuan pilihan agama bagi anak-anak dari keluarga lintas dalam mewujudkan keluarga sakinah, antara lain

a. Beda agama tetap sakinah, ditandai dengan pola komunikasi yang baik bagi orangtua, anak sudah mempunyai kebebasan untuk menentukan agama, sebagai orang tua tanggungjawab mendidik anak menjadi yang baik. Baik itu bentuk kegiatan ibadah, mereka saling menjaga dan saling menghormati atau bentuk pola komunikasi antar anggota keluarga

b. Beda agama tidak sakinah, karena salah satu penyebabnya dari anggota keluarga merasa kecewa terhadap anak-anaknya memilih beda agama. Sehingga pola komunikasi antar anggota keluarga ada batasnya.

Mengenai status anak dari perkawinan beda agama, para Ahli Agama sepakat bahwa anak itu tetap mempunyai hubungan yang sah dengan ibunya dan

106

keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun sprituiil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pula dengan hak waris mewaris. Menurut Hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua yaitu anak sah dan anak tidak sah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Yang dimaksud dengan anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak sah atau diluar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan Perudang-undangan Nasional Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status hukum anak tidak sah hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Implementasinya adalah bahwa anak tidak sah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Mafhum mukhalafahnya adalah anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak dalam status hukum, hak dan kewajiban baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hampir tidak ada perbedaan antara hukum Islam dengan Hukum perkawinan Nasional dalam menetapkan status hukum anak tidak sah, walaupun tidak menyatakan secara tegas.

Perkawinan Beda Agama yang ada pada saat ini, agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri harus didasari rasa persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus perkawinan beda agama, karena perkawinan beda agama adalah tidak sah dan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah sehingga anak yang hadir di antara mereka bisa dikatakan anak zina atau anak tidak sah. Fatwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Perkawinannya dianggap tidak sah, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memperbolehkan kawin beda agama, seharusnya Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menganut aturan Hukum di Indonesia yang berlaku sekarang ini.

Harapan akan lahirnya keluarga sakinah akan sulit dicapai pasangan suami istri yang berbeda agama, bagaimana mendidik anak-anak mereka. Seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya. Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.

108

BAB V

PENUTUP

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut

1 a. Berdasarkan Undang-Undang sudah secara tegas menjelaskan bahwa perkawinan campuran merupakan perkawinan antara dua orang Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia, bukan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. b. Hakim sebagai judicial activisme yang mempunyai kewenangan untuk

membentuk hukum bertugas untuk menciptakan kekosongan hukum yang ada di dalam peraturan perundang-undangan sehingga tercapai keadilan di dalam permasalahan di masyarakat dan penetapan permohonan Perkawinan Beda Agama tidak selaras dengan asas lex specialis derogate legi generali karena di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah jelas mengatur tentang perkawinan beda agama dan alasan Hakim mengabulkan permohonan perkawinan beda agama berdasarkan Hak Asasi Manusia kiranya tidak tepat dan menjadikan sebuah penetapan tersebut sebagai yurisprudensi untuk kedepannya dalam menetapkan permohonan yang sama yaitu permohonan perkawinan beda agama

sehingga dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak berfungsi lagi.

2. Aspek Psikologis perkawinan beda agama menimbulkan tidak adanya harmonisasi dan ketidaknyamanan dalam hidup berumah tangga sedangkan aspek religius perkawinan beda agama adalah bahwa semua agama baik Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindhu, Budha dan Kong Hu Cu melarang adanya perkawinan beda agama. Untuk itu adanya keinginan untuk membuat aturan yang berbeda agama merupakan cermin kurangnya penghayatan terhadap ajaran agama.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis dapat menyarankan

1.a. Hakim selaku pembuat keadilan dapat mengikuti aturan-aturan yang ada di Indonesia bahwa sudah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dan Hakim seharusnya bisa memberi keputusan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku sekarang ini yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. b. Pemerintah selaku pembuat Undang-Undang agar segera melaksanaan

110

Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga setiap Warga Negara mendapatkan kepastian hukum

2. Untuk mencapai tujuan perkawinan yang bahagia dan sejahtera diharapkan dapat mentaati aturan-aturan agama yang dianut oleh masing-masing individu dan aturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang akan banyak menimbulkan masalah kedepannya.

111

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Asmin. 1986. Status Perkawinan antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta: Dian Rakyat

el-Muhtaj, Majda. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana

Eoh, O.S. 1996. Perkawinan Antaragama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum perkawinan di Indonesia. Bandung: PT. Mandar Maju

Hafidhuddin, Didin. 2004. Perniikahan Lintas Agama. Jakarta: Iqra Insan Press Makarao, Taufik. 2004. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT. Rineka

Cipta

Moleong, Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.Muchtar, Kamal. 1992. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang

Prodjodikoro, Wiryono. 1984. Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya. Bandung: Shantika Darma

Ramulyo, Mohd Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi

112

Siddik, Mr. Haji Abdullah. 1983. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta

Sosroatmodjo, Arso. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang

Subekti, R. 1982. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Binacita.Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R &D). Bandung: Alfabeta

Sudikno,Mertodikusumo. 1988. Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Liberty. Sukarja, Ahmad. 1996. Perkawinan Berbeda Agama menurut Hukum Islam.

Jakarta : PT.Pustaka Firdaus

Sumiarni, Endang. 2004. Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (KajianKesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin). Yogyakarta: Wonderful Publishing Company

Trisnaningsih, Mudiarti. 2007. Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Bandung: CV. Utomo

Yunus, Mahmud. 1981. Hukum perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Hidayakarya Agung

Z, Djuher. 1983. Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya dengan Kesadaran Hukum Masayarakat. Jakarta:PT. Dewaruci Press

Peraturan Undang-Undang :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen ke IV

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Undang-Undang KUHPerdata tentang Perkawinan Campuran

Staatblad 1898 No. 158 Tentang Perkawinan Campuran

Fatwa MUI tentang Perkawina Beda Agama

Kompilasi Hukum Islam

Jurnal :

Kamil, Faizal. 2007. Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Sorotan.Yustisi. Vol.2. Hal 20-25

Mubarok, Jaih, Akar-Akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di Indonesi, Khazanah, Vol. 1, Nomor 3

Internet :

Rumaysho. 2011. Nikah Beda

Agama.http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/3146-nikah-beda-agama.html diakses 7 Februari 2013

Raharjo, M. Dawam. Dasasila Kebebasan Beragama.

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925, akses 7 Juni 2013

114

INSTRUMEN PENELITIAN

PEDOMAN WAWANCARA

A. IDENTITAS INFORMAN (HAKIM)

Nama :

Tempat, Tanggal Lahir :

Pendidikan Terakhir :

Pekerjaan/ Jabatan :

Alamat :

B. DAFTAR PERTANYAAN

1. Apakah Perkawinan Beda Agama sering terjadi di daerah Surakarta ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya Perkawinan Beda Agama ?

3. Bagaimana prosedur yang harus dilakukan para pemohon untuk dapat melangsungkan Perkawinan Beda Agama ? Apakah sama dengan Perkawinan Seagama ?

116

4. Apa alasan dari pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk para pemohon diharuskan mendapatkan surat penetapan dari Pengadilan Negeri sebelum melangsungkan Perkawinan Beda Agama ?

5. Kesulitan apa saja yang dihadapi Hakim dalam menetapkan permohonan Perkawinan Beda Agama tersebut ?

6. Alasan apa yang membuat Hakim mengabulkan permohonan Perkawinan Beda Agama ?

7. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menetapkan permohonan Perkawinan Beda Agama Tersebut ?

8. Dasar Hukum apa yang digunakan Hakim dalam menetapkan permohonan tersebut ?

9. Dengan dikeluarkannya dasar hukum Perkawinan Beda Agama dari Hakim, apakah sudah cukup kuat di dalam menghadapi peraturan pemerintah yang ada ?

10.Dengan mengabulkan permohonan Perkawinan Beda Agama, bagaimana dengan eksistensi dari Undang-Undang Pasal 2 Ayat (1) tentang Perkawinan ?

11.Apakah ada permasalahan dalam menetapkan permohonan Perkawinan Beda Agama ?

12.Apakah hadirnya saksi para pemohon dalam persidangan mempengaruhi pututusan Hakim ?

Dokumen terkait