• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebab-Sebab Adanya Hak Mewaris Menurut Hukum Kewarisan

Dalam dokumen ANDI HUSNUL KHATIMAH B (Halaman 60-66)

F. Hukum Kewarisan Islam

3. Sebab-Sebab Adanya Hak Mewaris Menurut Hukum Kewarisan

Islam

Dalam hukum Islam, ada beberapa sebab seseorang berhak memperoleh warisan. Dalam literatur hukum Islam atau Fikih, dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu:

a. Hubungan Kerabat/Darah (Nasab)

Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup, adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan

49 ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran. Adanya hubungan darah atau famili dengan orang yang meninggal, misalnya hubungan anak dengan orang tua, cucu terhadap kakek/nenek dan orang-orang yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris.

b. Hubungan Perkawinan

Di samping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan darah atau kekerabatan, hak kewarisan juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan; dengan arti bahwa suami ahli waris bagi isterinya yang meninggal, dan isteri ahli waris bagi suaminya yang meninggal. c. Hubungan Agama (Islam)

Orang yang sesama agama (hubungan ke-Islaman) bisa saling mewarisi sekalipun tidak mempunyai hubungan darah atau perkawinan. Hal ini bisa terjadi apabila orang yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris, maka yang bisa mewarisinya adalah orang-orang yang seagama. Harta warisan itu dimasukkan dalam suatu pembendaharaan yang dikenal dengan nama Baitul Mal‟, dan harta dipergunakan untuk kepentingan ummat Islam dan kesejahteraan umum.

d. Hubungan Wala‟

Jika seseorang memerdekakan budak, maka terjadi hubungan yang disebut wala‟ul itqi dengan budak yang dimerdekakan itu,

50 dengan adanya hubungan tersebut, maka majikan yang menjadi ahli waris, apabila si bekas budak tersebut tidak mempunyai ahli waris asal sama sekali, baik dari hubungan nasab maupun perkawinan. 4. Syarat Kewarisan

Syarat kewarisan adalah sesuatu yang harus terpenuhi atau ada dalam pembagian harta waris. Adapaun syarat kewarisan adalah sebagai berikut:

a) Matinya orang yang Mewariskan

Matinya orang yang mewariskan yaitu kematian orang yag mewariskan, menurut ulama dibedakan menjadi tiga yaitu mati hakiki artinya hilangnya nyawa seseorang baik kematian itu disaksikan dengan pengujian seperti tatkala seseorang disaksiakan meninggal. Mati hukmiy (menurut putusan hakim) yaitu suatu kematian yang disebabkan oleh keputusan hakim seperti bila hakim memvonis kematian seseorang yang tidak diketahui kabar beritanya. Mati menurut perkiraan berarti sesuatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat.

Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris. Alasan dari syarat pewaris sudah meninggal dunia secara pasti atau secara hukmi, sebab orang yang masih hidup punya hak kuasa terhadap hartanya, tak boleh seorangpun dapat membelanjakan harta orang yang masih

51 hidup tapa izin dari pemiliknya. Namun apabila orang itu telah meninggal dunia, otomatis ia tidak dapat lagi membelanjakan hartanya, dan hak miliknya otomatis berpindah kepada orang-orang yang menjadi ahli warisnya.

Apabila pewaris dianggap mati oleh hukum (mati secara hukmi). Seperti orang yang hilang yang tidak diketahui keadaannya apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Jelasnya, apabila hakim telah memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka pada saat itu harta orang yang telah diputuskan mati secara hukum, boleh dibagikan kepada ahli warisnya.

b) Ahli Waris yang Hidup

Ahli waris yang hidup adalah ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun berdasarkan putusan hakim. Ahli waris hidup berdasarkan putusan hakim adalah anak yang berada didalam kandungan. Ia dapat mewaris dari si mayit, jika keberadaannya benar-benar terbukti disaat kematian si mayit, dengan syarat bahwasanya ia benar-benar hidup ketika dia dilahirkan.

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat ahli waris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak itu diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, setetlah pewaris meninggal dunia, maka ahli warisnya harus benar-benar hidup. Agar

52 perpindahan harta itu menjadi nyata. Orang yang telah meninggal dunia , tidak mempunyai hak lagi dalam memiliki harta, baik dengan cara waris ataupun lainnya, bahkan ia sudah tidak memerlukan harta lagi.

Jika dua orang atau lebih yang saling mewarisi meninggal dunia dalam suatu kecelakaan, dan tidak diketahui siapa diantara mereka yang meninggal dunia terebih dahulu, maka merkea tidak boeh saling mewarisi, dan salah seorang dari mereka tidak boleh memiliki tirkah yang lain. Hal ini sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh fuqoha yaitu tidak saling mewarisi antara dua orang yang mati tenggelam atau terbakar atau sama-sama tertimpa reruntuhan. Demikianlah ketentua-ketentuan hukum Islam

c) Mengetahui Sebab-Sebab yang Mengikat Ahli Waris dengan si Mayit Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris degan si mayit seperti garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian artinya ahli waris harus mengetahui bahwa dirinya adalah termasuk ahli waris dari kerabat nasab, atau garis perkawinan serta garis kerabat nasab dan perkawinan.

Mengetahui status keluarganya dan keadaan warisan. Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, haruslah jelas antara hubungan keduanya. Dengan demikian, status kewarisan harus diketahui, seperti hubungan suami atau istri,

53 hubungan orang tua anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu. Hubungan kerabat dan derajat kekerbatannya, sehingga hakim yang mengetahui ilmu faraidh dapat menerapkan hukum sebagai mana mestinya.

Telah diungkapakan bahwa pembagian harta warisan berbeda-beda, sesuai dengan jihad warisan dan status kekerabatannya. Dengan demikian tidak cukup kita berkata: Sesungguhnya orang itu termasuk saudara orang yang mati, tetapi harus diketahui juga apakah saudara sekandung, saudara seayah atau saudara seibu, karena masing-masing saudara tersebut mempunyai bagiannya tersendiri. Sebagian dari mereka ada yang mendapatkan waris sebagai golongan ashabah dan sebagian lagi ada yag tidak mendapat warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak dan seterusnya

54 BAB III

Dalam dokumen ANDI HUSNUL KHATIMAH B (Halaman 60-66)

Dokumen terkait