BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN
2.2 Pemutusan Hubungan Kerja
2.2.3 Hak pekerja dalam pemutusan hubungan kerja
Jika terjadi PHK yang perlu diperhatikan adalah hak-hak yang wajib
diberikan kepada pekerja setelah terjadinya PHK tersebut. Hak-hak tersebut
sepatutnya diberikan mengingat jasa-jasa yang telah dilakukan oleh pekerja kepada
pengusaha selama ia bekerja. Selain itu, PHK tentu saja membawa penderitaan bagi
pekerja karena kehilangan pekerjaan berarti kehilangan penghasilan yang akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Untuk itu
pemberian hak kepada pekerja setelah terjadinya PHK sangat diperlukan untuk
mengurangi penderitaan daripada pekerja.
UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur hak yang wajib diberikan oleh
pengusaha kepada pekerja yakni sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 156
ayat (1) yang menentukan bahwa “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
UU No. 13 Tahun 2003 tidak memuat pengertian mengenai uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian. Pengertian tersebut merujuk
pada Permenaker No: KEP-150/MEN/2000. Berdasarkan Pasal 1 angka 6
Permenaker No: KEP-150/MEN/2000 menentukan “Uang pesangon adalah uang pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya
pemutusan hubungan kerja”. Kemudian Pasal 1 angka 7 Permenaker No: KEP- 150/MEN/2000 menentukan “Uang penghargaan masa kerja adalah uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 sebagai
penghargaan pengusahaan kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa
kerja”. Selanjutya dalam Pasal 1 angka 8 Permenaker No: KEP-150/MEN/2000
menentukan “Ganti kerugian adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha
kepada pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang ketempat dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan,
fasilitas perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia
Pusat sebagai akibat adanya pengakhiran hubungan kerja”. Istilah ganti kerugian
sekarang dikenal sebagai uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156
UU No. 13 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha
membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak. Dalam Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah;
Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;
Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan di tetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pemberian hak kepada pekerja harus dilihat berdasarkan kebenaran alasan
PHK dan jenis perjanjian kerja. Karena hal tersebut akan mempengaruhi jumlah
pemberian hak kepada pekerja.
2.3 Keadaan Memaksa (force majeure)
1.3.1 Pengertian keadaan memaksa
Keadaan memaksa merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
force majeure dan dalam bahasa Belanda disebut overmacht. Ketentuan mengenai
keadaan memaksa dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata yang
menentukan “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya,
rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang
tidak terduga pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun
jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Selain itu pengaturan keadaan
memaksa juga diatur dalam ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata yang menentukan
bahwa “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan
memkasa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-
hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata tidak memberikan definisi
mengenai keadaan memaksa. Untuk itu diperlukan beberapa pendapat para sarjana
untuk memberikan suatu definisi yang dapat menggambarkan secara jelas
pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure/overmacht)
diantaranya adalah:
a. R Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi- sanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu
“keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan itu “di luar
kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu
juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur.
b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar:
overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).
c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. 38
Selain itu, keadaan memaksa juga diartikan sebagai suatu keadaan ketika
debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan
adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti gempa bumi, banjir,
tanah longsor, dan lain-lain.39 Menurut undang-undang ada 3 (tiga) unsur yang
harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi;
38Rahmat S.S Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa,
Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hlm. 7. 39
H. Salim HS, H.Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU ), Cetakan V, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.110.
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur;
c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.40
1.3.2 Teori-teori dan akibat hukum keadaan memaksa
Terdapat 2 (dua) aliran atau ajaran tentang keadaan memaksa (force
majeure) yakni:41
a. Ajaran yang objektif (de objectieve overmachtsleer) atau absolut
Menurut ajaran keadaan memaksa objektif, debitur berada dalam
keadaan memaksa apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada
unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap
orang. Keadaan memaksa yang dimaksud dalam ajaran objektif ini
adalah tertuju pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat sehingga
dalam keadaan tersebut siapapun tidak dapat memenuhi prestasi.
b. Ajaran yang subjektif (de subjectieve overmachtsleeer) atau relatif
Menurut ajaran keadaan memaksa subjektif (relatif) keadaan memaksa
itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi
praktis dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar (ada unsur
diffikultas), sehingga dalam keadaan yang demikian itu kreditur tidak
dapat menuntut pelaksanaan prestasi.
Terdapat 3 (tiga) akibat keadaan memaksa (force majeure), yaitu:
a. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
40
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 25.
b. Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;
c. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi kecuali untuk yang disebut dalam pasal 1460 KUH Perdata. 42
Akibat keadaan memaksa tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam
yaitu akibat keadaan memaksa absolut yakni akibat huruf a dan c, dan akibat
keadaan memaksa relatif yakni akibat huruf b.
1.4 Perselisihan Hubungan Industrial
1.4.1 Pengertian dan macam-macam perselisihan hubungan industrial
Perselisihan merupakan masalah yang umum terjadi dalam kehidupan
manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan
manusia lainnya. Di dalam interaksi tersebut manusia yang satu dengan manusia
yang lain tidak selalu satu pemahaman. Ketidaksamaan pemahaman tersebut dapat
menimbulkan terjadinya perselisihan. Joni Emirzon yang mengutip dalam buku
Lalu Husni memberikan pengertian konflik/perselisihan/percekcokan adalah
adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang
mengadakan hubungan atau kerja sama.43
Sebelum diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004, dasar hukum yang
digunakan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
42Salim HS, 2005, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 184-185.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 1 ayat (1) huruf c menentukan
bahwa “Perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau beberapa serikat buruh
berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,
syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan”.
Setelah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004,
pengertian perselisihan perburuhan diganti dengan perselisihan hubungan
industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No. 3 Tahun 2003 jo Pasal 1 angka 1
UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa “Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Perselisihan Hubungan Industrial dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam hal ini sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 yakni perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
1. Perselisihan Hak
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan
“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama”.
2. Perselisihan Kepentingan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan,
“Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. 3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan
“Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak”. Dengan demikian perselisihan PHK timbul setelah adanya PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang mana ada salah
satu pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas adanya PHK tersebut.
Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran
kompensasi atas PHK.
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu
Perusahaan
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa
“Perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/
serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan.
1.4.2 Tahap-tahap penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Untuk dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, maka UU
telah memberikan alternatif penyelesaian yakni sebagaimana yang diatur dalam UU
No. 2 Tahun 2004. Adapun prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial
tersebut dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi) dan melalui pengadilan
(litigasi).
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dapat
dilaksanakan melalui penyelesaian perundingan bipartit dan perundingan tripartit
(mediasi, konsiliasi, arbitrase). Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui Pengadilan dilaksanakan pada Pengadilan Hubungan Industrial
(Selanjutnya disingkat PHI).
1. Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit
Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terbaik adalah
dengan penyelesaian melalui perundingan bipartit. Melalui perundingan bipartit
atau dengan kata lain melalui musyawarah dan mufakat kedua belah pihak yang
berselisih dapat menyelesaikan perselisihan dengan win-win solution.
Ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa
“Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
Alternative Disputes Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara
negosiasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata negosiasi diartikan sebagai:
a. Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi yang lain),
b. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak- pihak yang bersengketa.44
Negosiasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu negotiation yang berarti
perundingan atau musyawarah. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun
2004 menegaskan bahwa “perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah
untuk mufakat”. Dengan demikian tanpa melalui penyelesaian dengan cara perundingan bipartit para pihak tidak dapat melalui mekanisme penyelesaian
selanjutnya. Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 adapun mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit yakni
sebagai berikut:
a. Penyelesaian melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan (Pasal 3 ayat (2)). b. Apabila dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kerja salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka upaya melalui bipartit dianggap gagal (Pasal 3 ayat (3)).
c. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak (Pasal 6).
d. Risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat: 1) Nama lengkap dan alamat para pihak;
2) Tanggal dan tempat perundingan; 3) Pokok masalah atau alasan perselisihan; 4) Pendapat para pihak;
5) Kesimpulan atau hasil perundingan; dan
44Lalu Husni, op.cit, hlm. 53.
6) Tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan (Pasal 6 ayat (2)).
e. Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak (Pasal 7 ayat (1)).
f. Perjanjian bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 7 ayat (3) dan (4)).
2. Penyelesaian Melalui Mediasi
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi
dilaksanakan apabila dalam perundingan bipartit telah gagal mencapai kesepakatan
antara para pihak yang berselisih untuk berdamai. Berdasarkan Pasal 1 angka 11
UU No. 2 Tahun 2004 menyatakan “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya
disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral”.
Penyelesaian melalui mediasi ditengahi oleh seorang mediator. Dalam Pasal
1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator
yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai
kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan”. Adapun mekanisme penyelesaian perselisihan melalui mediasi berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 yakni:
a. Apabila upaya melalui bipartit gagal, maka salah satu pihak atau kedua pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (Pasal 4 ayat (1)).
b. Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, maka kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimannya pengembalian berkas (Pasal 4 ayat (2)).
c. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat (3)) d. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 ayat (4)).
e. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota (Pasal 8).
f. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi (Pasal 10).
g. Apabila tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (pasal 13 ayat (1)).
h. Apabila tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka: 1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
2. Anjuran tertulis sudah disampaikan kepada para pihak selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak mediasi pertama;
3. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima anjuran tertulis, yang isinya menyetujui atau menolak anjuran;
4. Para pihak yang tidak memberikan pendapatnya (atau tidak memberikan jawaban) dianggap menolak anjuran tertulis;
5. Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertuis disetujui yang kemudian didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 13 ayat (2)).
i. Mediator menyelesaikan tugas mediasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pelimpahan perkara (Pasal 15).
3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 1 angka 13 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Konsiliasi Hubungan
Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja/ buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Sedangkan yang dimaksud dengan konsiliator dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh
dalam satu perusahaan”.
Penyelesaian secara konsiliasi, konsiliator ikut berperan serta secara aktif
untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang diperselisihkan oleh kedua
belak pihak. Adapun perbedaan konsiliator dengan mediator adalah konsiliator
merupakan pihak ketiga di luar daripada instasi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sedangkan mediator merupakan pihak ketiga yang merupakan
pegawai instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Adapun
mekanisme penyelesaian melalui konsilasi diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai
dengan Pasal 25 UU No. 2 Tahun 2004. Mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi tidak jauh berbeda dengan mekanisme
4. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase secara
umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase yang diatur dalam UU. No. 2
Tahun 2004 merupakan aturan khusus untuk penyelesaian perselisihan di bidang
hubungan industrial yang berlaku asas lex specialis derogate legi generalis.
Pengertian arbitrase diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 2 Tahun 2004
yang menyatakan “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan,
dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan, di luar
Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan yang dimaksud arbiter dalam ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentigan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”.
Mekanisme penyelesaian melalui arbitrase dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 29 sampai dengan Pasal 53 UU No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian melalui
arbitrase dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih yang
dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase. Penyelesaian
kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai maka arbiter atau majelis
arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani para pihak dan
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri wilayah
arbiter mengadakan perdamaian. Namun apabila upaya perdamaian gagal maka