• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SYARAT-SYARAT DAN PROSEDUR PENDAFTARAN

A. Hak Ulayat Sebagai Sumber Hak Perorangan Atas Tanah

Hak Ulayat adalah hak persekutuan hukum terhadap tanah, hak tersebut bukan hak perorangan. Mr. Maassen dan APG Hens dalam bukunya Agrarische regeling voor het Gouvernementsgebied van java en Madura (Peraturan peraturan agraris di daerah Gubernur Jawa dan Madura) Jilid I halaman 5, menerangkan tentang hak ulayat sebagai berikut :49

”Yang dinamakan hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi disitu yang belum dapat diselesaikan.”

Dalam perundang-undangan Indonesia sendiri yang hal ini tidak diterangkan dengan tegas. Oleh sebab itu dahulu hak tersebut ada yang menamakan hak milik asli (eigendomsrecht) atau hak milik komunal tidak dapat dimengerti dengan terang apa yang dimaksudkan. Van Vollenhoven menamakan hak tersebut beschikkingscrecht, perkataan istilah ini telah diterima oleh umum dan sekarang sudah lazim dipakainya. Beschikkingsrecht adalah suatu hak tanah yang ada hanya di Indonesia, sesuatu hak yang tidak dapat dipecah-pecahkan dan mempunyai dasar keagamaan (religie).

49Eddy Ruchiyat,Politik Nasional Sampai Orde Baru,(Bandung : Alumni Bandung, 1984),

Secara umum, pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban. Dalam pengertian tanah dalam lingkungan wilayahnya, itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh- tumbuhan dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Pemahaman ini penting karena pada umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya difokuskan pada hubungan hukum dengan tanahnya saja.50

Undang-Undang Pokok Agraria tidak menyebutkan penjelasan tentang Hak Ulayat yang dalam kepustakaan hukum adat disebutbeschikkingsrecht.51Hak Ulayat sebagai istilah teknis yuridis yaitu hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku kedalam maupun keluar.52

Dengan demikian Hak Ulayat menunjukkan hubungan hukum antara mayarakat hukum sebagai subyek hak dan tanah / wilayah tertentu sebagai obyek hak. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dan tanah menurut Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara

50aria S.W Sumardjono,Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial DanBudaya, (Jakarta :

Kompas, 2008), halaman, 170

51

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Kompas, 2005) Halaman 55.

Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian Hak Ulayat lebih lanjut merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Sebagai pendukung utama penghidupan dikehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian Hak Ulayat menurut Undang-Undang dapat dikutip dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dalam Pasal 3 sebagai berikut : Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat adalah sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasioanl dan negara, yang berdasarkan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Untuk memperjelas pengertian Hak Ulayat dan Tanah Ulayat, kita dapat membaca peraturan resmi yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasioanal Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Dalam Peraturan Menteri tersebut dijelaskan pada Pasal 1 sebagai berikut : "Dalam Peraturan ini yang dimaskud dengan :

a. Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat Hukum Adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriyah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

b. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

c. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

d. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (kini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2001 Tentang Pemerintahan Daerah).53

Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlalu dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :54

53

A. Bazar Harahap, Pososi Tanah Ulayat Menurut Hukum Nasional, (Jakarta: CV Yanis 2007), halaman 7-8.

54 Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah,(Jakarta : Djambatan,

1. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.

2. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G.Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya hukum tanah, jaminan UUPA bagi keberhasilan pendayagunaan tanah, menyatakan bahwa :

“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/ pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.55

Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan diatas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa

55G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, dkk, Hukum Tanah,Jaminan Undang-Undang Pokok

(Lebensraum). Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/ketua Adat.

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas didaerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.

Sedangkan obyek yang menjadi hak ulayat tidak hanya tanah tetapi meliputi juga hutan belakar, perairan (sungai-sungai, perairan pantai laut) dan tanaman yang tumbuh sendiri berserta binatang yang hidup liar. Menurut ketentuan hukum adat hak ulayat dapat berlaku kedalam dan berlaku keluar. Berlaku kedalam berarti anggota masyarakat dapat mengambil keuntungan dari tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang

yang terdapat disitu. Hak ulayat ini mempunyai hubungan yang timbal balik dengan hak perserorangan, bila hak perorangan kuat, hak ulayatnya melemah.

Sebaliknya bila seseorang yang meninggalkan hak perorangannya, maka hak ulayat berlaku kembali. Berlaku keluar berarti bahwa “orang luar” hanya boleh memunggut hasil tanah dan lain-lain dalam lingkungannya sesusah mendapat ijin dari kepala adat atau masyarakat dan membayar uang pengakuan yang disebut recognitie (mesi). Setelah berlakunya UUPA, hak ulayat menurut Pasal 3 masih tetap diakui dengan syarat :

1. Sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya masih ada.

2. Pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional

3. Tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain lebih tinggi. 2. Hak Ulayat Dalam UUPA.

Pada tanggal 24 September 1960 dibentuklah suatu produk hukum berupa Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam undang-undang ini ketentuan tentang tanah hak ulayat diatur Pasal 3 UUPA. Ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut mengatur tentang eksistensi dan pelaksanaannya. Tentang eksistensi dari hak ulayat ini diakui sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat masih ada dan tentang pelaksanaannya diberikan pembatasan yaitu harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lebih tinggi.

Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria ini menunjukkan kekuasaan pemerintah dalam mendudukkan hak ulayat didalam Undang-Undang Agraria karena disatu sisi Pemerintah mengakui dan mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan tetapi di satu sisi dalam peraturan Pemerintah membatasi ruang gerak dalam pelaksanaannya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lebih tinggi.

Lahirnya UUPA bukan berarti meniadakan keragaman yang ada dalam hukum adat khususnya mengenai tanah tetapi lebih mengatur ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh warga negara mengenai hukum pertanahan Indonesia. Sehingga untuk hukum adat pengaturannya diserahkan kepada peraturan hukum yang berlaku didaerahnya masing-masing dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum nasional dan kepentingan nasional serta peraturan lain yang lebih tinggi. Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak ulayat.

Walaupun tidak semua daerah atau wilayah di Indonesia mengakui keberadaan hak ulayat bukan berarti hak ulayat tidak diatur dalam UUPA sebagai hukum nasional. Hal ini karena sebagian besar materi diambil dari hukum adat. Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu pengakuan mengenai keberadaan dan pelaksanaannya. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan

bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan sepanjang kenyataannya masih ada.

Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasioanal bangsa dan negara serta peraturan perundang- undangan lainnya yang lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan sesuatu masyarakat hukum adat harus tunduk kepada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen), pengakuan dan penghormatan tentang keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) yang berbunyi :

Pasal 18B ayat (2)

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal ini, memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagaimana seharusnya komunitas diperlakukan. Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang :

a. Kewajiban konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat.

b. Hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya.

Apa yang termaktub dalam pasal 18B ayat (2) tersebut, sekaligus merupakan mandat konstitusi yang harus ditaati oleh penyelenggara negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan masyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang.56

Pasal 28i ayat (3)

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional, yang biasa disebut hak ulayat, sering kali tidak konsisten dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan disini bukanlah dalam arti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola.

Didalam Pasal 3 UUPA dan penjelasannya disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan keadaan negara kesatuan. Hak ulayat semula belum pernah diakui, diakui dengan 2 (dua) pembatasan :

1. Hak ulayat diakui sepanjang masih ada (tanpa penjelasan tentang kriteria masih ada).

56 Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional,

2. Biarpun hal ulayat diakui dan masih ada, kegunaannya harus disesuaikan dengan ketentuan bahwa masyarakat hukum adat sudah menjadi bagian integral masyarakat Indonesia.

Pengakuan atas hak ulayat ini hanya sebatas hak ulayat yang masih diakui sesuai dengan Penjelasan Umum II angka 3 UUPA, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa ini dari masyarakat-masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa hak ulayat masih diakui asalkan penguasaan hak ulayat tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya yang lebih tinggi dan selama menurut kenyataan hak ulayat tersebut diakui.

Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

UUPA mengakui adanya keberadaan hak ulayat. Hal ini menjadi dasar dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri Agraria tersebut mengatur mengenai kriteria dan atau tidak adanya

keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Setelah melalui penelitian yang melibatkan stakeholders, keberadaan hak ulayat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.57

Penegasan yang dikemukakan dalam penjelasan umum UUPA sebagaimana tersebut adalah merupakan landasan pemikiran tentang pengakuan dan sekaligus pembatasan hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara akan tetap memperhatikan keberadaan hak ulayat sepanjang hal tersebut dalam realitanya masih ada dan negara menempatkan hak ulayat untuk tunduk kepada kepentingan umum dan negara. Atas dasar kewenangan tersebut negara akan memberikan pengakuan, pengaturan dan pembatasan terhadap hak ulayat.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah Hak Ulayat masyarakat adat yang nyata- nyata masih ada didaerah yang bersangkutan.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap Hak Ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana

57Lihat Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Kebijaksanaan tersebut meliputi :

a. Penyamaan persepsi mengenai Hak Ulayat (Pasal 1).

b. Kriteria dan penentuan masih adanya Hak Ulayat hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5).

c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah Ulayatnya ( Pasal 2 dan Pasal 4 ).

3. Ciri-Ciri Hak Ulayat

Dalam kehidupan persekutuan hukum adat merupakan suatu kehidupan masyarakat di dalam badan-badan persekutuan bersifat kekeluargaan. Dalam hal ini merupakan satu kesatuan hidup bersama seperti berikut :

1. Mereka hidup dalam satu lingkungan sejak kecil.

2. Sejak masa kanak-kanak hingga tua mereka hidup seragam dalam satu hukum adat dan istiadatnya.

3. Mereka mengenal jelas sifat, corak dan tingkah laku mereka masing-masing. 4. Mempunyai kesamaan dan bertindak pada titik tolak dari hukum alam yang sama. 5. Mengulangi dan mengikuti segala persoalan hidup sejarah dan peristiwa lampau

menjadi satu dasar pemecahan segala masalah hidup mereka.

6. Kebahagiaan mereka, gotong royong dan ketentraman diharapkan semata-mata dari kawan sekelompok, baik secara berkelompok ataupun perseorangan.

7. Masing-masing tergabung dalam satu kelompok, bukan berdiri sendiri-sendiri.58 Untuk mengetahui tanda-tanda masih adanya hak ulayat disuatu masyarakat hukum adat harus ada unsur :

a. Masyarakat adat yaitu terdapatnya sekelompok orang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,

58J.U. Lontaan,Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, (Jakarta : Bumi

mengakui dalam penerapan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

b. Wilayah yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.

c. Hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. d. Adanya pemerintahan sendiri.

e. Ada harta kekayaan berwujud maupun tidak berwujud. f. Adanya kepala adat.

Menurut Van Vollenhovenadanya hak ulayat diberi enam tanda-tanda khusus yakni :

1. Hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta warganya dapat dengan bebas menggunakan tanah terletak dalam wilayahnya.

2. Orang asing (luas masyarakat hukum) hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin, jika penggunaannya tanpa izin dipandang sebagai suatu delik.

3. Untuk penggunaan tanah tersebut kadang-kadang bagi warga masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang luas masyarakat hukum selalu dipungut recognisi.

4. Masyarakat adat bertanggung jawab terhadap delik-delik tertentu terjadi dalam wilayahnya, delik mana tidak dapat dituntut pelakunya.

5. Masyarakat adat tidak dapat melepaskan hak ulayat, memindah tangankannya ataupun mengasingkan secara menetap.

6. Masyarakat adat masih mempunyai campur tangan (intensip atau kurang intensip) terhadap tanah-tanah sudah diolah.59

59

Maria A. Sumardjono, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, (Yogyakarta : Andi Offset, 1982), halaman 6-7.

Dalam berlakunya hak ulayat ke dalam masyarakat hukum beserta anggota- anggotanya dapat mempergunakan tanah secara bebas, namun dalam hal ini hak-hak perseorangan dari anggota masyarakat hukum dapat dibatasi bagi kepentingan masyarakat hukum pada umumnya. Disinilah letak keistimewaan hak ulayat itu, yaitu adanya hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak perseorangan.60

Tanah ulayat mempunyai hubungan hukum secara perdata yaitu hubungan hak bersama atas tanah ulayat tersebut, dimana setiap anggota persekutuan berhak untuk mengusahakan tanah yang merupakan hak bersama. Ada juga termasuk hukum publik, berupa tugas dan kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya.61 Hak publik ini menjadi tanggungjawab dari penguasa persekutuan tersebut. Disamping itu tanah ulayat juga mempunyai hubungan mengembang dan mengempis, artinya jika semakin kuat hak atas tanah perseorangan atas tanah ulayat itu maka secara alamiah tanah ulayat semakin lemah begitupun sebaliknya. Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Pebruari 1959 No. 59/K/SIP/1958.

”Menurut hukum adat karo sebidang tanah”kesain”yaitu sebidang tanah kosong yang letaknya dalam kampung, bisa menjadi hak milik perseorangan, setelah tanah itu diusahakan secara intensip oleh seorang penduduk kampung itu.”

Disamping pengaruh yang terjadi secara alamiah itu hilangnya tanah hak ulayat atau berkurangnya tanah hak ulayat tersebut bisa juga disebabkan pengaruh

60Ibid, halaman 9. 61

Boedi Harsono,Menuju Penyempurnaa Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Universitas Trisaksi, 2002), halaman 190.

yang datang dari luar berupa kebijaksanaan pemerintah dalam rangka kegiatan oleh

Dokumen terkait