• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HAL-HAL YANG DAPAT DIPERJANJIKAN DALAM

C. Hal-hal yang Diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan

Walaupun perjanjian perkawinan belum begitu biasa di masyarakat namun apabila diteliti dan dikaji sebenarnya terdapat manfaat yang baik dalam pembuatan perjanjian perkawinan. Seperti yang kita ketahui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas percampuran bulat (Algehele Gemeenschap Van Goederen) yang berarti bahwa kekayaan yang dibawa ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu.

Dengan kata lain semua harta yang dimiliki oleh suami sebelum dia kawin dan semua harta yang dimiliki oleh isteri sebelum dia kawin otomatis akan menjadi harta bersama ketika mereka telah melakukan perkawinan. Namun dengan membuat perjanjian perkawinan suami dan isteri bersepakat untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan mengenai harta dalam perkawinan atau harta kekayaan bersama suami-isteri sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 119 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Maka dengan membuat perjanjian perkawinan, para pihak dalam hal ini suami-isteri yang melangsungkan perkawinan, bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendaki atas harta kekayaan yang menjadi objeknya. Mereka (suami-isteri) dapat saja menentukan, bahwa di dalam perkawinan mereka sama sekali tidak akan terdapat kebersamaan harta kekayaan atau kebersamaan harta kekayaan yang terbatas.92

Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam undang- undang perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tidak menganut asas percampuran bulat, karena menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dari keterangan pasal di atas terlihat bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dicampurkan secara bulat adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan untuk harta bawaan tetap di bawah kekuasaan masing-masing kecuali disepakati bersama oleh suami dan/atau isteri untuk disatukan dalam harta bersama. Dengan demikian pertimbangan diadakannya perjanjian perkawinan adalah :

1. Dalam perkawinan dengan persatuan harta bulat, agar isteri terlindung dari kemungkinan tindakan suami yang tidak baik, yang meliputi tindakan atas harta tak bergerak dan harta bergerak tertentu lainnya, yang dibawa isteri ke dalam perkawinan. Tanpa adanya pembatasan yang diperjanjikan oleh isteri dalam perjanjian perkawinan, suami mempunyqai wewenang penuh bahkan tanpa harus melakukan atau memberikan pertanggung-jawaban atas tindakan-tindakannya atas harta persatuan, dalam persatuan mana termasuk semua harta, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dibawa

pihak isteri ke dalam persatuan tersebut. Untuk menghindari adanya tindakan atas barang-barang tak bergerak dan surat-surat berharga tertentu milik isteri, yang dianggap oleh isteri dapat merugikan dirinya dapatlah isteri memperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, bahwa tanpa persetujuan dari isteri suami tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebani barang-barang tak bergerak si isteri serta surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang piutang umum, surat berharga lainnya dan piutang atas nama isteri. Jadi disini yang diperjanjian adalah pembatasan atas wewenang suami.

2. Dalam perkawinan dengan harta terpisah

a. Agar barang-barang tertentu atau semua barang yang dibawa suami isteri dalam perkawinan, tidak masuk dalam persatuan harta bersama atau harta perkawinan, dengan demikian tetap menjadi harta pribadi dari masing-masing suami atau isteri. Adanya perjanjian perkawinan merupakan perlindungan bagi isteri, terhadap kemungkinan dipertanggung jawabkannya harta tersebut, terhadap utang yang dibuat oleh suami dan sebaliknya.

b. Agar harta pribadi tersebut terlepas dari suami, dan isteri dapat mengurus sendiri harta tersebut. Untuk itu dalam perjanjian perkawinan harus disebut secara tegas. Jadi yang diperjanjikan disini adalah adanya harta pribadi.93

Berdasarkan manfaat yang diberikan terlihat bahwa perjanjian perkawinan bukanlah menghalangi dalam perkawinan akan tetapi justru dapat membantu dalam perkawinan. Namun agar bermanfaat maka dalam pembuatan perjanjian harus sesuai dengan kaidah atau aturan hukum yang berlaku.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya mengenai syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian harus dibuat oleh atas dasar kata sepakat dari para pihak yang membuatnya. Pada perjanjian umur yang diatur dalam Pasal 13-13 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, perjanjian dapat dibuat oleh sekurang-kurangnya dua orang, namun bisa juga terjadi suatu perjanjian dibuat lebih dari dua orang, namun pada perjanjian perkawinan, yang menjadi para pihak tidak dapat dibuat oleh lebih dari dua orang tersebut.

Dalam perjanjian yang diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterangkan para pihak yang membuat suatu perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan saat berlakunya perjanjian terswebut apakah mulai berlaku sejak saat dibuatnya perjanjian atau pada suatu waktu tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi kebebasan untuk menentukan saat berlakunya perjanjian tidak terdapat dalam perjanjian perkawinan, bahkan calon

suami isteri dilarang untuk menentukan sendiri saat berlakunya perjanjian perkawinan yang mereka buat.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, saat berlakunya perjanjian perkawinan disebutkan adalah sejak perkawinan dilangsungkan, hal itu sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) saat berlakunya perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 50 yang berbunyi : perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah. Menurut ketentuan Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan namun perjanjian perkawinan mulai berlaku setelah perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan yang telah dibuat tidak akan berlaku apabila tidak diikuti dengan perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur mengenai harta kekayaan perkawinan. Harta perkawinan terbentuk sejak suatu perkawinan dilangsungkan, dan apabila perkawinan tidak dilangsungkan, maka tidak ada harta kekayaan perkawinan yang terbentuk sehingga tidak ada yang diatur oleh perjanjian perkawinan yang telah dibuat.

Mengenai hak dan kewenangan bertindak atas harta bersama dalam perkawinan poligami Undang-undang perkawinan tidak mengatur secara rinci. Pasal 56 huruf b Undang-undang perkawinan menentukan bahwa :

Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi; huruf c menentukan bahwa :

“semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.”

Dari ketentuan Pasal 65 huruf b dan c tersebut haruslah diartikan bahwa yang berhak dan/atau dapat bertindak atas harta bersama dalam perkawinan poligami haruslah dilihat dari masa perolehan harta bersama tersebut sebagai berikut :

Pertama, masa perkawinan suami dengan isteri pertama, maka harta bersama yang diperoleh selama perkawinan mereka mutlak merupakan hak mereka dan mereka berdualah yang berhak dan berwenang bertindak atas harta yang diperoleh mereka dalam perkawinan suami dengan isteri yang pertama.

Kedua, masa perkawinan suami dengan isteri kedua yaitu sejak dilaksanakannya perkawinan dengan isteri kedua, maka harta yang diperoleh dalam masa perkawinan suami dengan isteri kedua merupakan hak suami dan kedua isterinya tersebut dengan bagian yang sama dan mereka bertigalah yang berhak untuk bertindak atas harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan suami dengan isteri keduanya tersebut.

Ketiga, masa perkawinan suami dengan isteri ketiga, yaitu sejak saat dilaksanakannya perkawinan dengan isteri ketiga, maka harta yang diperoleh dalam masa perkawinan suami dengan isteri ketiga merupakan hak suami dan ketiga isterinya tersebut dengan bagian yang sama, dan mereka berempatlah yang berhak untuk bertindak atas harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan suami dengan isteri ketiganya tersebut.

Keempat, masa perkawinan suami dengan isteri keempat yaitu sejak saat dilaksanakannya perkawinan dengan isteri keempat, maka harta yang diperoleh dalam masa perkawinan suami dengan isteri keempat merupakan hak suami dengan keempat isterinya tersebut dengan bagian yang sama dan mereka berlimalah yang berhak untuk bertindak atas harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan suami dengan isteri keempatnya tersebut.

Ada berbagai persoalan yang mengganjal ketika perjanjian pranikah diterapkan oleh calon pengantin. Di samping persoalan budaya, ada juga persoalan yang berkaitan dengan keyakinan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sakral, suci, dan agung. Oleh karenanya, setiap pasangan yang akan menjalani pernikahan harus menjaga kesuciannya sejak dari proses menuju pernikahan dan terus sampai pada menjalani pernikahan. Sebuah keluarga harus mempertahankan perkawinannya sekuat tenaga demi kesakralan, kesucian, dan keagungan perkawinan tersebut.

Tragisnya, tidak jarang perempuan yang memperjuangkan ikatan perkawinannya, meskipun dirinya terus-menerus mengalami kekerasan oleh pasangannya.94

Dalam konteks pemberdayaan perempuan, perjanjian pranikah bisa menjadi alat perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Rabia Mills memberi point-point yang sebaiknya masuk dalam perjanjian pranikah menjadi hal yang penting. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat perjanjian pranikah adalah persoalan poligami, mahar, perceraian, keuangan, dan menempuh pendidikan bagi perempuan. Persoalan-persoalan yang dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam perjanjian. Bahkan jika perlu pembagian kerja, juga menjadi hal penting yang dimasukkan ke dalampointperjanjian.95

Menurut Muhammad Afandhi Nawawi, perjanjian pranikah sangat terkait dengan dua konsekuensi hukum, berkaitan dengan suatu perkawinan, yaitu tentang status anak sebagai buah perkawinan dan harta. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak membedakan antara “harta bawaan” dengan “harta bersama”, semuanya dianggap sebagai harta yang tunduk pada hukum perkawinan

(huwelijksvermogensrecht). Contoh, sebelum kawin, Tuan X telah memiliki harta senilai Rp. 100 milyar, kemudian melangsungkan perkawinan dengan Nona Y, yang tidak memiliki harta selain pakaian yang melekat di badannya. Sejak saat perkawinan, jumlah “harta perkawinan” (huwelijksgoederen) tersebut berjumlah Rp. 100 milyar. Ketika terjadi perceraian, maka Nyonya Y tersebut akan mendapat pembagian dari

94Jurnal Rahima online 95Ibid

Harta Perkawinan sebesar Rp. 50 milyar. Ketimpangan semacam inilah yang dikoreksi melalui lembaga hukum yang sering disebut sebagai Perjanjian Pisah Harta.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974, sebenarnya telah melakukan koreksi, dengan cara membedakan jenis harta, yaitu “harta bawaan”, harta yang telah dimiliki sebelum perkawinan, yang tunduk pada penguasaan masing-masing pihak, dan “harta bersama”, yakni harta yang diperoleh semasa perkawinan. Dengan demikian, perjanjian pranikah dalam konstruksi UU No. 1/1974, ternyata hanya melindungi pasangan yang kaya ketika menikah, dan tidak dapat dimiliki pasangan yang miskin, jika terjadi perceraian.96

Membuat suatu perjanjian sebelum perkawinan, terutama mengenai harta kekayaan tergantung kepada keinginan dan kesepakatan antara calon suami dan istri. Sejak dimulainya perkawinan, otomatis akan terjadilah percampuran harta kekayaan antara suami dan istri, kecuali sebelum dilangsungkannya perkawinan telah dibuat suatu perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta kekayaan masing-masing pihak. Perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, dan isinya tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Banyak terbukti bahwa perjanjian perkawinan tersebut dibuat adalah untuk melindungi kaum perempuan.97

96 Muhammad Afandhi Nawawi, “Perjanjian Pra-Nikah”, tanggal 9 September 2005,

(vandy@cbn.net.id). Tulisan ini adalah tanggapan terhadap artikel Jurnal Hukum Jentera online, “Perjanjian Pranikah : Solusi Untuk Semua?”, 31 Oktober 2005, (http://www.hukum.on-line.com), diakses pada 28 November 2005.

97Republika online,“Perjanjian sebelum Perkawinan, Perlukah?”, Minggu, 18 Februari 2001,

Menurut M. Rezfah Omar, pengacara LBH APIK Jakarta, perjanjian perkawinan sangat baik karena dapat melindungi hak kedua belah pihak. Jika terjadi perceraian dan sengketa diantara keduanya, perjanjian ini bisa dijadikan pegangan untuk penyelesaiannya. Perjanjian prapernikahan harus disahkan di depan pihak yang berwenang, seperti notaris atau pegawai pencatat perkawinan, agar kuat di mata hukum. Jika hanya dituliskan di atas kertas bersegel atau bermaterai, tidak akan kuat posisinya.98 Manfaat dari perjanjian pranikah adalah dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang mungkin akan timbul selama masa perkawinan, antara lain sebagai berikut.

1. Tentang pemisahan harta kekayaan, jadi tidak ada harta gono gini.

Syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan, kalau setelah menikah baru dibuat, jadi batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan perkawinan. Kalau sudah menikah, sudah tidak bisa lagi bikin pisah harta. Semuanya menjadi hartagono gini.

2. Mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja bikin perjanjian pembagian harta. Intinya dalam perjanjian pranikah bisa dicapai kesepakatan tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian.

98Kompas Cyb er Media Online, “Perjanjian Prapernikahan dan Manfaatnya”, Minggu, 30

3. Tentang pemisahan hutang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan hutang itu. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.

4. Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut. Terutama mengenai masalah biaya hidup anak, juga biaya pendidikannya harus diatur sedemikian rupa, berapa besar kontribusi masing-masing orangtua, dalam hal ini tujuannya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.99 Bahwa dalam hal hukum tentang persyaratan atau perjanjian salah satu isteri atau suami menjadi ikhtilaf dalam kalangan ulama mazhab, dalam hal apakah perjanjian tersebut dapat mempengaruhi sah atau tidaknya pernikahan ? Atau bagaimana hukum dari kebolehan persyaratan tersebut dalam suatu akad pernikahan ? Menurut Mazhab Hanafi, sebagaimana dikutip oleh Kamil Musa bahwa persyaratan yang diajukan oleh calon istri tidak wajib dilakukan oleh suami, dan tidak akan mempengaruhi akad nikah itu, baik dari segi ketidakabsahan maupun kelangsungan akad tersebut. Akad nikah tersebut tetap berlaku, jika suami dapat melakukan persyaratan tersebut, hal ini tidak menjadi problem. Namun, jika suami ternyata tidak menepatinya, maka suami harus berusaha membayarmaharyang telah diucapkannya. Misalnya, suami mengungkapkan untuk membayar mahar tertentu disertai syarat

99 Mike Rini, “Perlukah Perjanjian Pra-nikah?”, dalam Danareksa online, 2 Maret 2005,

yang menguntungkan isterinya, misalnya suami tidak akan keluar dari desanya, tidak akan menikah lagi, atau tidak akan menceraikannya.

Apabila suami dapat memenuhi persyaratan tersebut, itu semua dianggap sebagai mahar. Akan tetapi, jika tidak dapat melaksanakan persyaratan tersebut, sebaiknya suami memilihmahar yang lain. Menurut Syafi’i, persyaratan harus logis dan dapat dipenuhi dan tidak melenceng dari tujuan pernikahan. Seperti jika isteri mengajukan persyaratan kepada suaminya untuk tidak memindahkannya dari tempat tinggalnya maka persyaratan ini batal, namun akad nikahnya tetap berlaku. Akan tetapi, jika perjanjian tersebut bertentangan dengan keharusan dalam akad nikah seperti suami tidak akan mendapat bagian rumah sebagaimana yang didapat dari calon isteri, maka perjanjian tersebut batal dan akad nikahnya pun batal.100

Dalam perkembangan di kalangan umat Islam di Indonesia, banyak yang berpoligami. Namun, di sisi lain banyak perceraian yang disebabkan adanya poligami. Kemudian poligami yang banyak dilakukan pada dasarnya melalui persyaratan yang sangat ketat, yaitu suami yang akan melakukan poligami harus mempunyai sifat ‘adil yang komprehensif, dalam pembagian kasih sayang terhadap keluarga, dan dalam pembagian nafkah lahir batin. Fakta lain, bahwa poligami yang telah dilakukan oleh umat Islam lebih mengarah pada indikasi untuk memperlakukan perempuan yang menjadi isteri sebagai pemenuhan kebutuhan biologis.

100 Kamil Musa, Suami-isteri Islam, Cet. Ke-2, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000),

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk mencegah poligami dan menjaga harmonisasi suatu keluarga solusi dapat dilakukan dengan perjanjian pranikah yang dapat disetujui oleh sepasang suami isteri. Walaupun ini dilakukan seperti kurang etis, namun mencegah hal yang buruk karena isteri tidak ingin dimadu daripada mencari kebaikan dengan berpoligami, tetapi akan menimbulkan keretakan keluarga itu harus diutamakan dan dipertegas dengan perjanjian pranikah.

Dokumen terkait