• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran 1. Penentuan konsentrasi pada penelitian pendahuluan dan penelitian inti

a. Penelitian pendahuluan  Uji nilai kisaran

Menggunakan metode logaritmik berbasis 10 yaitu: A : Kontrol

B : 0.01 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.006 mg Hg/l)

C : 0.1 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.06 mg Hg/l)

D : 1 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.6 mg Hg/l)

E : 10 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (6 mg Hg/l)  Uji toksisitas akut

A : Kontrol B : 0.178 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.110 mg Hg/l) C : 0.316 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.195 mg Hg/l) D : 0.562 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.347 mg Hg/l) E : 1 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.618 mg Hg/l) b. Penelitian inti

Pada penelitian inti digunakan konsentrasi merkuri yang sama yaitu 10 % dari LC50 96 jam yaitu 0.02 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.012 mg

Lampiran 2. Metode pengenceran salinitas

Untuk mendapatkan media salinitas 10 ppt dan volume air yang dikehendaki 150 liter dengan air laut yang tersedia kadar salinitasnya 30 ppt, maka air laut yang diperlukan sebanyak 50 liter air laut dan air tawar sebanyak 100 liter. 30 10 10/30 x 150 liter = 50 liter (Air laut) 10 0 20 20/30 x 150 liter = 100 liter (Air tawar)

Lampiran 3. Prosedur pengamatan tingkat kerja osmotik atau gradien osmotik 1. Nyalakan main power (terletak dibelakang dekat kabel main power)

2. Posisi handle sampel di atas

3. Alat akan melakukan prosedur pemanasan dengan indikasi lampu spontcryst result dan no cryst menyala secara bergantian. Tunggu sampai mati hanya lampu sampel yang menyala.

4. Zero set:

a. Siapkan akuades dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel, masukkan ke sensor.

b. Tekan tombol zero sampai keluar angka 0.000

c. Turunkan handle sampel tunggu sampai display 0.000 dan lampu result menyala

d. Angkat handle

e. Bilas sensor dengan akuades dan bersihkan dengan tissue

5. Kalibrasi:

a. Siapkan cairan standar kalibrasi dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel dan masukkan ke sensor.

b. Tekan tombol Cal sampai keluar angka 0.300

c. Turunkan handle sampel tunggu sampai display 0.300 dan lampu result menyala

d. Angkat handle

e. Bilas sensor dengan menggunakan akuades dan bersihkan dengan tissue

6. Sampel:

a. Siapkan cairan sampel dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel dan masukkan ke sensor.

b. Tekan tombol sampel

c. Turunkan handle sampel tunggu sampai pengukuran selesai dan lampu resultnya menyala

d. Angkat handle

e. Bilas sensor dengan menggunakan akuades dan bersihkan dengan tissue

7. Setelah selesai melakukan pengukuran:

a. Bersihkan sensor menggunakan tissue yang dibasahi akuades

b. Pada saat tidak digunakan sensor harus ditutup dengan tabung kososng (handle dalam posisi turun)

c. Matikan main power: OFF

Lampiran 4. Prosedur pengamatan kondisi hematologi a. Pengamatan haemoglobin

pengamatan dilakukan menggunakan metode sahli dengan sahlinometer atas dasar konversi haemoglobin darah ke dalam bentuk asam hematin oleh asam klorida. Darah dihisap dengan menggunakan pipet sahli sampai 20 mm3 kemudian ujungnya dibersihkan dari sisa-sisa darah dengan kertas penyerap. Selanjutnya darah dipindahkan ke dalam tabung HBmeter yang telah diisi dengan HCl 0,1 N sebanyak 10 mm3. Kemudian kedua bahan tersebut dibiarkan selama 3-5 menit agar haemoglobin bereaksi dengan HCl untuk membentuk asam hematin. Selanjutnya sambil diaduk ditambahkan akuades sedikit demi sedikit sampai warna cairan dalam tabung sahli sama dengan warna standar. Pembacaan skala dilakukan dengan melihat tinggi permukaan larutan dan dicocokkan dengan skala lajur gram % yang menunjukkan Hb dalam gram setiap 100 ml darah (%Hb). b. Pengamatan Hematokrit

Kadar hematokrit diukur dengan metode Anderson dan Siwichki (1993). Darah dihisap dengan menggunakan tabung mikrohematokrit berlapis yang berfungsi untuk mencegah pembekuan darah dalam tabung, sampai volume darah mancapai ¾ bagian tabung kemudian salah satu ujung tabung disumbat dengan kristosel. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan membandingkan volume darah yang mengendap dengan volume seluruh darah menggunakan skala hematokrit dan dinyatakan dalam persentase hemtokrit (%Ht).

c. Pengamatan jumlah eritrosit

Sampel darah diencerkan dengan larutan Hayem untuk mengahancurkan sel darah putih agar jumlah sel darah merah dapat dihitung. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan pipet pencampur berskala maksimum 11 yang dilengkapi pengaduk. Darah dihisap dengan pipet hingga skala 1, kemudian dihisap larutan hayem hingga skala 11 dengan pipet yang sama. Pipet digoyang selama 15 menit agar darah tercampur secara merata, sedangkan larutan pada ujung pipet yang tidak tercampur segera dibuang. Darah yang teraduk diteteskan kedalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh

permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan dibawah mikroskop.

d. Pengamatan jumlah leukosit

Sampel darah diencerkan dengan larutan Turks untuk menghancurkan sel darah merah agar jumlah sel darah putih dapat dihitung. Untuk mengencerkan leukosit digunakan pipet berskala maksimal 11 yang dilengkapi batang pengaduk. Sebelumnya darah dihisap hingga skala 1, kemudian dilanjutkan dengan menghisap larutan Turks hingga skala 11. Pencampuran dilakukan dengan mengaduk pipet selama 15 menit agar darah tercampur secara merata. Setelah pencampuran selesai, larutan diteteskan kedalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan leukosit di bawah mikroskop.

Lampiran 5. Prosedur pembuatan preparat histokimia

Prosedur kerja dalam pembuatan preparat histokimia adalah: 1. Pengambilan sampel (sampling)

Pengambilan insang dan hati dari dalam tubuh ikan bandeng dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam dan selanjutnya dijadikan preparat. Potongan tersebut dicuci bersih dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis dan selanjutnya diawetkan dalam larutan Bouin sebagai pengawet dan dimasukkan kedalam botol sampel.

2. Pengawetan (Fiksasi)

Proses pengawetan dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan post mortem (pasca mati) pada jaringan, menjaga agar bagian padat dan bagian cair protoplasma sel tetap terpisah, merubah bagian-bagian sel agar menjadi bahan-bahan yang tidak larut pada proses berikutnya. Melindungi sel dari proses pengerutan saat dimasukkan ke dalam alkohol atau paraffin panas serta meningkatkan kemampuan dari tiap-tiap bagian jaringan agar dapat diwarnai serta meningkatkan indeks refraksi jaringan sehingga visibilitasnya naik.

Larutan fiksasi yang baik dapat melakukan penetrasi secara cepat untuk mencegah terjadinya perubahan pasca mati, mengkoagulasi substansi-substansi sel menjadi substansi yang tidak larut, melindungi jaringan dari pengerutan dan kerusakan baik pada saat dehidrasi, embedding, maupun pada saat pemotongan serta memudahkan pewarnaan bagian-bagian sel. Pada penelitian ini larutan pengawet yang digunakan adalah larutan pengawet Bouin.

Organ yang difiksasi selama 24 jam dalam larutan Bouin selanjutnya dicuci dalam alkohol 70 %. Pencucian ini dimaksudkan agar dapat menghilangkan sisa bahan pengawet yang terdapat dalam jaringan yang dapat mengganggu proses preparasi selanjutnya. Organ yang telah dicuci kemudian disimpan dalam alkohol 70 % sebelum proses selanjutnya.

3. Proses penghilangan air (dehidrasi)

Proses ini merupakan proses penarikan air dari jaringan yang dilakukan dengan merendam jaringan ke dalam alkohol secara bertingkat mulai dari alkohol 80 %, 90 %, 95 % sampai ke alkohol absolut. Penggunaan alkohol bertingkat ditujukan untuk menarik air dan dapat mencegah terjadinya pengerutan.

4. Proses penjernihan (Clearing)

Untuk menghilangkan pengaruh alkohol yang terdapat di dalam jaringan, maka selanjutnya jaringan tersebut direndam dengan Xylol. Setelah dilakukan proses penjernihan maka jaringan akan lebih transparan dan berwarna lebih tua. 5 Proses Infiltrasi (Infiltring)

Jaringan yang telah mengalami proses penjernihan selanjutnya direndam ke dalam paraffin secara bertingkat pada suhu 60 0C (paraffin keras). Penggunaan paraffin keras agar dapat dilakukan pemotongan yang tipis.

6. Proses penanaman (Embedding)

Proses ini harus dilakukan di dekat Bunsen dimana seluruh alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan hangat untuk mencegah agar paraffin tidak mengeras sebelum pekerjaan selesai. Peletakan jaringan di dalam wadah harus sedemikian rupa sehingga memudahkan pada saat pemotongan dan pengenalan kembali jaringan. Wadah yang telah berisi jaringan bercampur dengan paraffin didinginkan untuk mengeraskan parafinnya. Blok yang sudah mengeras kemudian diletakkan pada blok kayu untuk disimpan dalam kulkas minimal 6 jam sebelum dipotong.

7. Proses pemotongan blok jaringan

Blok jaringan dipotong dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan ditetapkan setebal 5 mikron. Hasil sayatan diapungkan terlebih dahulu pada air hangat (40 0C), lalu diletakkan diatas gelas obyek. Selanjutnya gelas obyek diletakkan di atas hotplate selama 10 sampai 15 menit sampai seluruh air yang berada diantara jaringan dan gelas obyek menguap. Gelas obyek disimpan di dalam incubator (37 0C – 40 0C) selama satu malam sebelum digunakan pada proses selanjutnya.

8. Proses pewarnaan

Untuk melihat akumulasi merkuri pada jaringan insang dan hati dilakukan pewarnaan logam berat dengan prosedur sebagai berikut:

 Objek glass dimasukkan kedalam akuades

 50 mg Haemotoxylin dimasukkan ke dalam 1 ml ethanol absolut. Selanjutnya dimasukkan ke dalam 99 ml deionized water.

 Kemudian irisan dalam objek glass diwarnai dengan larutan Haemotoxylin tersebut dan dibiarkan selama 2 jam.

 Selanjutnya objek glass dimasukkan ke dalam ethanol 95 % dan berikutnya ke dalam ethanol absolut sebanyak 2 kali.

 Dilakukan penjernihan dengan xylene

 Preparat diberi perekat dengan menggunakan kanada balsam, lalu ditutup dengan kaca penutup, dikeringkan dan diamati di bawah mikroskop. Preparat selanjutnya diberi label sesuai dengan perlakuan

Lampiran 6. Prosedur pengukuran kadar glukosa darah

Prosedur pengukuran glukosa darah ikan yaitu darah diambil dari ikan dengan menggunakan injeksi yang telah di isi dengan cairan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah. Darah yang tersedot dimasukkan ke dalam tabung ependorf, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Setelah itu akan terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih di bagian atas. Selanjutnya diambil sebanyak 10 µl lapisan plasma dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 1 ml reagen (glucose liquicolor). Kemudian divortex agar homogeny dan setelah itu diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Terakhir dibaca nilai absorbannya pada spektrofotometer dengan λ 500 nm.

Lampiran 7. Prosedur pengukuran kadar merkuri dengan AAS

Spektrofotometer serapan atom (AAS) adalah salah satu teknik analisis unsur yang dapat dilakukan dengan cepat serta mempunyai tingkat ketelitian yang sangat tinggi. Prinsip dasar analisis AAS adalah jika suatu contoh diaspirasikan ke dalam suatu sistem pembakaran, maka unsur-unsur yang ada pada senyawaan akan dikonversi menjadi atom. Apabila pada kondisi ini diberikan suatu energi radiasi yang sesuai maka energi tersebut akan diserap oleh atom. Besar kecilnya energi yang diserap akan berbanding lurus dengan konsentrasi unsur yang dianalisis.

Destruksi basah:

Timbang 1 gram contoh, masukkan ke dalam labu destruksi 100 ml, tambahkan 15 ml HNO3 pekat dan 5 ml HClO4. Kemudian biarkan semalam.

Selanjutnya didestruksi sampel jernih, dinginkan dan tambahkan 10-20 ml air bebas ion. Lanjutkan pemanasan ± 10 menit, angkat dan dinginkan. Larutan tadi dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml (bilas labu destruksi dengan air bebas ion dan masukkan ke dalam labu takar). Larutan ditambah air sampai tanda tera. Kemudian kocok dan saring dengan kertas saring Whatman no. 41 kemudian filtrate siap dianalisis.

Preparasi reagen:

1. Larutan SnCl2 (pereduksi)

Timbang 20 gram SnCl2.2H2O masukkan ke dalam labu takar 200 ml, lalu

tambahkan 40 ml HCl (p). Tera dengan akuades.

2. Larutan H2SO4 1 N (blanko)

Dipipet 5.5 ml H2SO4 98 %, masukkan ke dalam labu takar 200 ml. Tera

dengan akuades.

3. Larutan penyerap merkuri (buangan) adalah KMnO4 0.5 % dan H2SO4 5 %.

Ditimbang 5 gram KMnO4 + 51 ml H2SO4 98 %, masukkan ke dalam labu

takar 1000 ml. Tera dengan akuades. 4. Standar Merkuri (Hg)

Siapkan deret standar Hg (missal: 2, 4, dan 6 ppb)

Dipipet 0.4 µl standar Hg 1000 ppm + 5.5 ml H2SO4 98 %, masukkan ke dalam

Pengukuran:

1. Letakkan absorption cell pada burner head AAS 2. Siapkan larutan buangan

3. Isi pipa U dengan MgCl2

4. Setting MVU pada mode Circular-Close 5. Posisi switch power OFF > exhaust Measure

6. Siapkan larutan blanko dalam wadah reaksi + batang magnet 7. Atur switch power ON > speed magnetic stirrer

8. Masukkan larutan 5 ml SnCl2 (berlebih)

9. Tunggu sampai absorban stabil > klik Blank pada layar WizAArd AAS 10. Atur exhaust clear > tunggu sampai absorban mendekati nol

11. Atur posisi power OFF

12. Ganti wadah reaksi dengan larutan berikutnya. Ulangi langkah no. 4 – 9 Note : blanko > Blank

Standar > start Sampel > start

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Diantara berbagai macam logam berat, merkuri digolongkan sebagai pencemar yang paling berbahaya. Merkuri adalah salah satu logam berat yang terdapat di alam walaupun hanya dalam jumlah yang kecil. Kadar merkuri di air tawar secara alami berkisar antara 10 – 100 µg/l, sedangkan di perairan laut berkisar antara <10-30 µg/l (Moore 1991 dalam Saputra 2009). Selanjutnya Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa konsentrasi logam akan meningkat seiring menurunnya salinitas. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kadar merkuri di alam terus meningkat akibat penggunaannya diberbagai bidang yang cukup luas. Penggunaan merkuri antara lain pada pabrik alat-alat listrik seperti pembuatan baterai, pabrik klor alkali yang memproduksi klorin (Cl2), dibidang

pertanian sebagai pembasmi jamur, bahan campuran cat dan pertambangan seperti tambang emas yang marak dilakukan sekarang ini. Merkuri yang digunakan akan tercuci dan masuk ke perairan tawar seperti sungai, danau dan waduk, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air dan lingkungan sekitarnya. Selanjutnya merkuri akan dibawa oleh aliran sungai ke muara yang airnya payau dan akhirnya merkuri akan masuk ke perairan laut.

Logam merkuri yang masuk ke perairan baik dalam bentuk organik maupun anorganik bersifat toksik dan dapat diakumulasi dalam tubuh organisme yang hidup di perairan. Toksisitas merkuri di perairan berbeda antara perairan tawar, payau dan laut karena salinitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi akumulasi logam berat pada makhluk hidup.

Salah satu organisme perairan yang dapat mengakumulasi merkuri adalah ikan bandeng. Ikan bandeng memiliki sifat eurihalin yang mampu hidup pada rentang salinitas yang lebar yaitu antara 0 ppt sampai dengan 50 ppt. Apabila salinitas naik secara bertahap, bandeng mampu hidup hingga salinitas 70 ppt (Sihmiati 2009). Ikan ini kebanyakan di perlihara di kawasan tambak dan keramba jaring apung di daerah pesisir. Namun belakangan ini pemeliharaan ikan bandeng juga dilakukan di perairan tawar seperti di waduk. Kadar salinitas pada pemeliharaan ikan bandeng akan mempengaruhi osmoregulasi pada ikan tersebut.

Apabila energi yang digunakan untuk proses osmoregulasi sedikit maka akan banyak tersedia energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan ketahanan tubuh ikan terhadap penurunan kualitas lingkungan perairan akan lebih baik, begitu juga sebaliknya.

Waduk Djuanda Jatiluhur dan waduk Cirata Jawa Barat merupakan waduk yang berpotensi sebagai tempat pemeliharaan ikan bandeng. Triyanto (2010) menyatakan bahwa ikan bandeng yang diintroduksi di waduk Djuanda Jatiluhur mampu memanfaatkan plankton yang tersedia sebagai makanannya. Waduk Djuanda Jatiluhur menerima pasokan air dari sungai Citarum melalui waduk Saguling dan waduk Cirata. Wurdiyanto (2007) menyatakan bahwa sungai Citarum merupakan salah satu sungai di Jawa Barat yang tercemar oleh merkuri. Selanjutnya Saputra (2009) mengemukakan bahwa tahun 2008 akumulasi Hg telah terdapat dalam sedimen, air dan daging ikan yang dipelihara di waduk Cirata. Kandungan Hg dalam sedimen waduk Cirata mencapai 26,83 mg/kg, sedangkan di air 0.002 mg/l dan di daging ikan patin 0.0001 mg/kg. Oleh karena itu waduk Djuanda Jatiluhur dan waduk Cirata juga berpotensi tercemar oleh merkuri.

Dengan menurunnya kualitas perairan akibat adanya senyawa merkuri tentu akan memberikan pengaruh terhadap budidaya ikan bandeng terutama yang dipelihara di perairan tawar. Apabila ikan bandeng tersebut mengakumulasi merkuri maka akan dapat membahayakan masyarakat yang mengkonsumsi ikan tersebut. Sejauhmana pengaruh merkuri terhadap ikan bandeng yang dipelihara pada media salinitas yang berbeda belum banyak diketahui, oleh karena itu maka penelitian ini dilakukan.

Perumusan Masalah

Ikan bandeng merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan disukai oleh masyarakat. Karena ikan ini mampu hidup pada salinitas yang lebar, maka ikan ini banyak dipelihara di perairan yang bersalinitas dan sekarang mulai dipelihara di air tawar seperti di waduk. Perbedaan kadar salinitas pada pemeliharaan ikan bandeng ini tentu akan mempengaruhi proses osmoregulasi ikan tersebut. Pada media air tawar, air cenderung masuk ke dalam

tubuh ikan bandeng karena tekanan osmotik cairan dalam tubuh ikan bandeng lebih tinggi dibandingkan lingkungannya.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Peningkatan limbah merkuri akibat

penggunaan diberbagai bidang

Perairan (sungai, waduk dan kawasan pesisir

Ikan bandeng Lethal kronis Analisa probit Gradien osmotik LC50 TKO Glukosa darah Jumlah pakan GR Efisiensi Pakan Hematologi Akumulasi Hg di daging Histokimia Organ SR Perbedaan Salinitas Toksisitas Hg Tingkat stres

Sebaliknya ikan bandeng yang dipelihara di air yang bersalinitas mempunyai tekanan osmotik cairan tubuh lebih rendah dari lingkungannya, sehingga air cenderung keluar dari tubuh ikan. Untuk itu ikan banyak meminum air sehingga dapat mengganti kekurangan air dalam tubuhnya.

Apabila tempat pemeliharaan ikan bandeng tercemar merkuri, maka merkuri tersebut akan lebih mudah masuk kedalam tubuh ikan bandeng bersamaaan dengan air yang masuk dalam proses osmoregulasi pada ikan tersebut. Kondisi ini menyebabkan resiko ikan bandeng mengakumulasi merkuri dalam tubuhnya akan lebih besar. Sehubungan dengan tingginya peluang ikan- ikan yang dipelihara di air tawar tercemar merkuri, maka penelitian ini dilakukan.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini dilakasanakan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menentukan ambang batas dan toksisitas akut merkuri pada ikan bandeng yang dipelihara di air tawar.

2. Menganalisa pengaruh merkuri terhadap kondisi fisiologis ikan bandeng yang dipaparkan pada salinitas yang berbeda.

3. Menentukan salinitas yang ideal untuk mengurangi pengaruh toksik merkuri terhadap ikan bandeng

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi para pelaku budidaya perikanan mengenai bahaya toksisitas merkuri dalam perairan bagi organisme budidaya khususnya ikan bandeng pada salinitas yang berbeda sehingga lebih memperhatikan manajemen budidaya ikan bandeng tersebut agar tetap berkelanjutan.

Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian di atas maka hipotesis yang dikemukakan adalah salinitas dapat mempengaruhi tingkat toksisitas merkuri di air tawar, salinitas 10 ppt dan 20 ppt serta dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ikan bandeng.

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Bandeng

Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah ikan yang termasuk kedalam kingdom animalia, Filum Chordata, Kelas Pisces, Ordo Malacopterigii, Family Chanidae, Genus Chanos, Spesies Chanos chanos (Saanin 1984)

Ikan bandeng (Chanos chanos) mempunyai bentuk tubuh memanjang dan bersisik halus, putih seperti susu. Karena itu diluar negeri terkenal dengan nama “Milkfish” (Evy 2001). Jari-jari sirip semuanya lunak, dan jumlahnya pada sirip punggung antara 14 -16, pada sirip dubur antara 10 -11, pada sirip dada antara 16 -17, dan pada sirip perut antara 11-12. Sirip ekornya panjang dan bercagak. Jumlah sisik pada gurat sisi berkisar antara 75-80 keping (Djuhanda 1981).

Di alam, ikan ini merupakan ikan pemakan plankton dan makroalgae seperti Enteromorpha, Chaetomorpha dan Oscillatoria. Di tambak ikan ini biasanya memakan “klekap” yang terdiri atas berbagai jenis algae dasar dan berbagai hewan benthos. Ikan ini sangat responsif terhadap pakan buatan dengan kadar protein antara 20 – 30 % (Cholik 2005). Selanjutnya ikan ini memiliki sifat dapat mengimbangi keterlambatan tumbuh (compensatory growth) karena proses pembantutan (stunting). Gelondongan yang terlambat tumbuh karena kurang makan akan segera tumbuh dengan cepat setelah mendapat suasana lingkungan yang baik dan cukup makanan.

Ikan bandeng mempunyai nilai ekonomis yang cukup penting. Di alam bebas ikan ini hidup di air laut, disamping itu baik yang besar maupun yang kecil banyak ditemukan di daerah dekat pantai. Kalau memijah ikan bandeng (Chanos chanos) pergi ke laut lepas, telurnya di temukan pada jarak 8-26 km dari pantai pada laut yang dalamnya lebih dari 40 m. Telur ikan bandeng banyak sekali terapung melayang di permukaan perairan. Pemijahannya berlangsung diwaktu malam hari dan telur akan menetas setelah 24 jam. Dalam pertumbuhannya anak- anak ikan bandeng yang terdapat di tepi pantai, bentuknya berbeda dengan ikan bandeng dewasa yang dipelihara di tambak-tambak. Anak-anak ikan bandeng ini biasa disebut dengan nener (Djuhanda 1981).

Daerah penangkapan nener yang terkenal ialah Nusa Tenggara, Madura dan sulawesi selatan. Selanjutnya Evy (2001) menyatakan bahwa nener banyak didapatkan di daerah pantai yang landai, berpasir, berarus tenang dan berair jernih. Ikan bandeng tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di malaysia, Muangthai, Philipina, Taiwan, Jepang, India, Srilangka, Meksiko dan Hawaii (Evy 2001). Penyebaran ikan bandeng dari utara ke selatan mulai dari bagian selatan Jepang sampai di New South Wales, dan dari timur ke Barat mulai dari pantai timur Afrika sampai di kepulauan Paumotu bagian timur (Djuhanda 1981).

Merkuri

Nama kimia merkuri adalah Hydragynum yang berarti perak cair dengan lambang Hg. Pada tabel periodik unsur-unsur kimia, merkuri menempati urutan (NA) 80 dan mempunyai bobot atom (BA) 200,59 (Palar 1994). Secara umum merkuri memiliki sifat sebagai berikut:

1. Berwujud cair pada suhu kamar (25 0C) dengan titik beku paling rendah sekitar –39 0C.

2. Masih berwujud cair pada suhu 396 0C dan pada temperatur ini terjadi pemuaian secara menyeluruh.

3. Merupakan logam yang paling mudah menguap jika dibandingkan dengan logam-logam lainnya.

4. Tahanan listrik yang dimiliki sangat rendah sehingga merkuri dijadikan sebagai penghantar listrik yang baik

5. Dapat melarutkan bermacam-macam logam untuk membentuk alloy yang disebut juga dengan amalgam

6. Merupakan unsur yang sangat beracun untuk semua makhluk hidup. Baik itu dalam bentuk unsur ataupun dalam bentuk persenyawaan.

Menurut Darmono (1995) di perairan tawar, logam berat yang terkandung di dalamnya biasanya berasal dari buangan limbah industri, erosi dan dari udara secara langsung. Sedangkan di perairan laut, kontaminasi logam biasanya terjadi secara langsung dari tumpahan minyak dari kapal tanker yang melewati perairan laut tersebut. Biasanya daerah pantai lebih tinggi kandungan logamnya dari pada

Dokumen terkait