• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).

Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Misalnya, merasa melihat ada orang yang akan memukul, padahal tidak ada seorang pun disekitarnya. Sekalipun tidak nyata, tetapi bagi penderita gangguan jiwa, halusinasi dirasakan sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh (Baihaqi, Sunardi, Akhlan, Heryati, 2007).

Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas (Videbeck, 2008).

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa

suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat & Akemat, 2009).

2.3.2. Klasifikasi Halusinasi

Tabel 2.1 Klasifikasi Halusinasi Jenis

Halusinasi

Data Subjektif Data Objektif Halusinasi

dengar

(Auditory-hearing voices or sounds)

a. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya b. Mendengar suara atau bunyi c. Mendengar suara yang mengajak

bercakap-cakap

d. Mendengar seseorang yang sudah meninggal

e. Mendengar suara yang mengancam diri klien atau orang lain atau suara lain yang membahayakan.

a. Mengarahkan telinga pada sumber suara

b. Bicara atau tertawa sendiri

c. Marah-marah tanpa sebab

d. Menutup telinga e. Mulut komat-kamit f. Ada gerakan tangan

Halusinasi penglihatan (visual-seeing

persons or things)

a. Melihat seseorang yang sudah meninggal, melihat makhluk tertentu, melihat bayangan, hantu atau sesuatu yang menakutkan, cahaya. Monster yang memasuki perawat

a. Tatapan mata pada tempat tertentu

b. Menunjuk kearah tertentu

c. Ketakutan pada objek yang dilihat

Halusinasi penghidu (olfactory-smeeling odors)

a. Mencium sesuatu seperti bau mayat, darah, bayi, feses, atau bau masakan, farfum yang menyenangkan

b. Klien sering mengatakan mencium bau sesuatu

c. Tipe halusinasi ini sering menyertai klien demensia, kejang atau penyakit serebrovaskular

a. Ekspresi wajah seperti mencium sesuatu dengan gerakan cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu. Halusinasi perabaan (tactile-feeling bodily sensations)

a. Klien mengatakan ada sesuatu yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil, makhluk halus.

b. Merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat panas atau dingin, merasakan tersengat aliran listrik.

a. Mengusap, menggaruk-garuk meraba-raba permukaan kulit. Terlihat

menggerak-gerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.

Jenis Halusinasi

Data Subjektif Data Objektif Halusinasi Pengecapan (Gustatory-experiencing tastes) Cenesthetic & Kinestetic hallucinations

a. Klien seperti sedang merasakan makanan tertentu, rasa tertentu atau mengunyah sesuatu.

a. Klien dapat melaporkan bahwa fungsi tubuhnya tidak dapat terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan di otak, atau sensasi pembentukan urine dalam tubuhnya, perasaan tubuhnya melayang di atas bumi.

a. Seperti mengecap sesuatu. Gerakan menguyah, meludah atau muntah

a. Klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.

(Yosep, 2011).

2.3.3. Proses Terjadinya Halusinasi

Bentuk gangguan persepsi sensori yang paling sering terjadi pada klien dengan gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan. Bentuk halusinasi ini dapat berupa suara-suara dan gambaran-gambaran. Tetapi paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti: bicara sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan. Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati.

Halusinasi pendengaran dan penglihatan merupakan suatu tanda mayor dari gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik (Purba, Wahyuni, Daulay, Nasution, 2012).

2.3.4. Faktor Penyebab Halusinasi a. Faktor Predisposisi

1. Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

2. Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

3. Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine. 4. Faktor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi

masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

5. Faktor Genetik dan Pola Asuh

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini (Yosep, 2011).

Kebanyakan penelitian genetika berfokus pada keluarga terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, dan anak cucu untuk melihat apakah skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetik. Hanya sedikit penelitian yang memfokuskan pada kerabat yang lebih jauh. Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar yang menunjukkan bahwa kembar identik berisiko mengalami gangguan ini sebesar 50%, sedangkan kembar praternal berisiko hanya 15%. Penelitian penting lain menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki risiko 15% dan angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia. Anak-anak yang memiliki orang tua biologis dengan riwayat skizofrenia tetapi diadopsi pada saat lahir oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia masih memiliki risiko genetik dari orang tua biologis mereka. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa ada risiko genetik atau kecenderungan skizofrenia, tetapi ini bukan satu-satunya faktor. Kembar identik memiliki risiko 50%

walaupun gen mereka identik 100% (Cancro & Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008).

6. Faktor Ekonomi dan Pendidikan

Menurut penelitian Erlina, Soewadi, Pramono (2010), status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Pada analisis multivariabel, status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan status ekonomi tinggi dengan OR=7,482 (95%IK;2,852-19,657) dengan p=0,000. Artinya kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,48 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan kelompok ekonomi tinggi. Menurut Werner et al. dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), yang melakukan penelitian di Israel mengatakan orang yang dilahirkan mempunyai orangtua yang berstatus sosio ekonomi dan didaerah miskin berhubungan dengan dengan peningkatan risiko skizofrenia (OR1.39 (95%CI;1.10– 1.78),p<0,00.

Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Menurut Graham dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), keluarga adalah faktor perantara yang paling penting. Ketika kehidupan

keluarga dipengaruhi oleh penyebab lingkungan (rumah yang kecil, tidak adanya waktu dan rasa aman) maka hal ini merupakan beban bagi orangtua yang akibatnya akan mempengaruhi kesehatan anak. Kemiskinan ditandai dengan oleh sedikitnya dukungan, sedikitnya keselamatan, tidak adanya ruang sehingga terlalu sesak, tidak adanya kebebasan pribadi, ketidakpastian dalam masalah ekonomi yang akhirnya mungkin menimbulkan risiko kesehatan bagi keluarga.

Sementara dari segi pendidikan menurut penelitian Fakhari et al dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), dengan hasil yang ditemukan ada hubungan yang bermakna antara tidak punya pendidikan atau tidak tamat SD dengan timbulnya gangguan jiwa (p<0,001).

b. Faktor Presipitasi 1. Biologis

Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologik yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi dan adanya abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.

2. Pemicu Gejala

Pemicu atau stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu penyakit yang biasanya terdapat pada respons neurobiologis yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan perilaku individu.

a. Kesehatan, seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi, obat Sistem Saraf Pusat, gangguan proses informasi, kurang olahraga, alam perasaan abnormal dan cemas.

b. Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam hubungan interpersonal, masalah perumahan, stress, kemiskinan, tekanan terhadap penampilan, perubahan dalam kehidupan dan pola aktivitas sehari-hari, kesepian (kurang dukungan) dan tekanan pekerjaan (Trimeilia, 2011)

3. Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993) memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dalam dilihat dari lima dimensi yaitu:

a) Dimensi Fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

b) Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. c) Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

d) Dimensi Sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di dunia nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi akan interaksi sosial, kontrol diri dan haga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk

itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

e) Dimensi Spiritual

Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bemakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Yosep, 2011).

2.3.5. Tahapan Halusinasi

Gangguan persepsi yang utama pada pasien skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, gangguan harga diri, kritis diri, atau mengingkari rangsangan terhadap kenyataan. Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada pasien skizoprenia, suara-suara biasanya berasal dari tuhan, setan, tiruan atau relatif.

Ada empat tahapan halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan. Tabel 2.2

Tahapan, Karakteristik dan Perilaku Klien

Tahap Karakteristik Perilaku Klien

Tahap I - Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan. - Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.

- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas - Fikiran dan pengalaman

sensori masih ada dalam

kontol kesadaran, nonpsikotik.

- Tersenyum, tertawa sendiri - Menggerakkan bibir tanpa

suara

- Pergerakkan mata yang cepat

- Respon verbal yang lambat - Diam dan berkonsentrasi

Tahap II - Menyalahkan - Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati - Pengalaman sensori menakutkan

- Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut

- Mulai merasa kehilangan kontrol

- Menarik diri dari orang lain non psikotik

- Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah

- Perhatian dengan lingkungan berkurang

- Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja

- Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas Tahap III - Mengontrol - Tingkat kecemasan berat - Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi

- Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi)

- Isi halusinasi menjadi atraktif

- Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik

- Perintah halusinasi ditaati - Sulit berhubungan dengan

orang lain

- Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya

beberapa detik

- Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat

Tahap IV

- Klien sudah dikuasai oleh halusinasi

- Klien panik

Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik.

- Perilaku panik

- Resiko tinggi mencederai - Agitasi atau kataton

- Tidak mampu berespon terhadap lingkungan

2.3.6. Penatalaksanaan Medis pada Halusinasi

Penatalaksanaan klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu :

a. Psikofarmakologis

Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/skizofrenia biasanya diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain golongan butirofenon: Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer.

Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg via im. Pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien biasanya diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5 mg. Golongan fenotiazine: Chlorpromazine/Largactile/Promactile. Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1 x 100 mg pada malam hari saja (Yosep, 2011). b. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT)

Menurut Riyadi & Purwanto (2009), ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan alur listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall. Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien skizofrenia super katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari

selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12 kali terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik membutuhkan waktu lebih lama yaitu antara 10-20 kali terapi secara rutin. Terapi ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.

2.3.7. Penatalaksanaan Keperawatan pada Halusinasi 1. Terapi Generalis pada Klien Halusinasi

Menurut Keliat & Akemat (2009), tindakan keperawatan pada klien halusinasi adalah sebagai berikut:

1) Mengkaji isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, dan respons klien terhadap halusinasi (mengenal halusinasi)

Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku klien dan menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh klien. Kemudian perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh klien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk pencegahan terjadinya halusinasi. Kemudian untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respons klien

ketika halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul.

2) Melatih klien mengontrol halusinasi

Untuk membantu klien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut meliputi:

a. Menghardik halusinasi

Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. klien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, klien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan ini klien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi:

1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi. 2) Memperagakan cara menghardik.

3) Meminta klien memperagakan ulang.

4) Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien. b. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol halusinasi. Ketika klien bercakap-cakap

dengan orang lain maka terjadi distraksi; fokus perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.

c. Melatih klien beraktivitas secara terjadwal

Libatkan klien dengan terapi modalitas. Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien tidak akan mengalami banyak waktu luang yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi sebagai berikut:

1) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi

2) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh klien 3) Melatih klien melakukan aktivitas

4) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan klien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu. 5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan

d. Melatih klien menggunakan obat secara teratur

Agar klien mampu mengontrol halusinasi maka perlu dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Oleh karena itu klien dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan.

Berikut ini tindakan yang perlu dilakukan perawat agar klien patuh menggunakan obat:

1) Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa 2) Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program 3) Jelaskan akibat bila putus obat

4) Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis). 3) Memantau efek samping obat

Menurut Yosep (2011), perawat perlu memahami efek samping yang sering ditimbulkan oleh obat-obat psikotik seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah, hipersaliva, pergerakan otot tak terkendali. Untuk mengatasi ini biasanya dokter memberikan obat anti parkinsonisme yaitu Trihexyphenidile 3 x 2 mg. Apabila terjadi gejala-gejala yang dialami

oleh klien tidak berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul diminum atau tidak.

2. Terapi Generalis pada Keluarga

Menurut Kelliat, Helena, Farida (2011), cara keluarga dalam merawat klien halusinasi yaitu:

a. Mengatakan, “saya percaya kamu mendengar suara itu, tapi saya sendiri tidak mendengarnya”.

b. Tidak membantah halusinasi klien.

Sementara menurut Purba, Wahyuni, Daulay, Nasution (2012) tindakan perawatan pasien halusinasi yang harus diketahui oleh keluarga yaitu:

1) Mengetahui pengertian, tanda dan gejala halusinasi, dan jenis halusinasi yang dialami klien beserta proses terjadinya.

Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsang yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Misalnya, merasa melihat ada orang yang akan memukul, padahal tidak ada seorang pun disekitarnya. Sekalipun tidak nyata, tetapi bagi penderita gangguan jiwa, halusinasi dirasakan sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh (Baihaqi, Sunardi, Akhlan, Heryati, 2007).

Adapun jenis halusinasi beserta tanda dan gejalanya halusinasi yang harus diketahui oleh keluarga yaitu sebagai berikut:

a. Halusinasi dengar (Auditory-hearing voices or sounds)

Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah

tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit serta ada gerakan tangan yang tidak wajar.

b. Halusinasi penglihatan (visual-seeing persons or things)

Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu tatapan mata pada tempat tertentu, menunjuk kearah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihatnya sendiri.

c. Halusinasi penghidu (olfactory-smeeling odors)

Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu ekspresi wajah seperti mencium sesuatu dengan gerakan cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu.

d. Halusinasi perabaan (tactile-feeling bodily sensations)

Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu mengusap, menggaruk-garuk meraba-raba permukaan kulit. Terlihat menggerak-gerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.

e. Halusinasi pengecapan (gustatory-experiencing tastes)

Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu seperti mengecap sesuatu. Gerakan mengunyah, meludah atau muntah.

f. Cenesthetic & Kinestetic hallucinations

Tanda dan gejala yang dapat dilihat keluarga yaitu klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.

2) Merawat klien halusinasi

Menurut Yosep (2011), ada beberapa tindakan perawatan pasien halusinasi yang harus diketahui yaitu:

1. Membina hubungan saling percaya dengan klien

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membina hubungan saling percaya dengan klien. Tunjukkan sikap empati dengan: mendengarkan keluhan klien dengan penuh perhatian; tidak membantah dan tidak menyokong halusinasi klien; segera menolong klien jika pasien membutuhkan perawatan.

Menurut Nasir & Muhith (2011), ada beberapa sikap untuk menunjukkan cara mendengarkan penuh perhatian, antara lain

Dokumen terkait