• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hanbaliah dan Ideologi Korporealisme

ideologi korporealisme adalah dari orang-orang pemerintahan atau orang-orang Hasyawiah yang selalu menyebarkan riwayat-riwayat yang mereka nukil sendiri tanpa didasari pemahaman. Pada pembahasan selanjutnya akan kami kaji ucapan Ibnu Jauzi yang mengatakan, ″Telah banyak perawi yang bodoh dan para ahli hadis yang awam.″ Perlu diketahui bahwa perawi dan ahli hadis yang memiliki kriteria yang disebutkan Ibnu Jauzi banyak yang mengikuti ideologi (mazhab) Hanbali dibanding ideologi lainnya.

Sebagian orang senantiasa berusaha membersihkan ideologi kelompok Hanbaliah dari ideologi korporealisme. Namun hal ini (dipenuhinya pandangan Hanbaliah dengan konsep korporealisme) adalah kenyataan yang telah disebutkan oleh banyak ulama dalam kitab-kitab mereka. Telah populer bahwasanya mazhab Hanbali adalah salah satu mazhab yang berpegangan kepada ideologi korporealisme, sehingga Syekh Zamakhsyari mengatakan dengan membawakan bait syairnya,

″Jika mereka menanyakan kepadaku mengenai mazhabku, maka aku tidak akan hiraukan pertanyaan tersebut dan aku akan menyembunyikan mazhabku, karena menyembunyikannya lebih selamat bagiku.

“Jika aku mengatakan, bahwa aku adalah pengikut Hanafiah, maka mereka akan mengatakan bahwasanya aku menghalalkan arak padahal ia adalah minuman yang diharamkan.

“Jika aku mengatakan bahwa aku termaksud kelompok Hanbaliah, maka mereka akan mengatakan bahwasanya aku adalah seorang yang keras kepala yang berkeyakinan akan hulul-nya Allah Swt yang dipenuhi dengan kebencian dan memilki ideologi korporealisme.″ Demikian pula Fakhru Razi mengatakan, ″Bab ketiga, mengenai dalil- dali yang membuktikan kemustahilan disandangkannya Allah Swt dengan sifat-sifat jasmani.

“Dalam permasalahan ini, para ulama memiliki dua pandangan. Sebagian besar dari mereka bersepakat akan kesucian Allah Swt dari

sifat-sifat jasmani dan kemustahilan menetap-Nya di tempat tertentu. Sebagian lainnya mengatakan bahwasanya Allah Swt memiliki bentuk dan dapat berada di tempat tertentu, lalu kelompok inilah yang dikenal dengan kelompok Mujassimah (korporealis).

“Kemudian orang-orang yang berpendapat bahwa Allah Swt memiliki sifat ragawi (jasmani) berselisih pendapat dalam permasalahan- permasalahan sebagai berikut.

“Pertama: Dalam permasalahan rupa Allah Swt. Pendapat pertama mengatakan bahwasanya Allah Swt mirip dengan rupa manusia. Sedangkan pendapat kedua tidak mengatakan demikian. Menurut pendapat pertama yang diadopsi dari kelompok Muslimin yang berpegang kepada ideologi musyabbihah, mereka mengatakan bahwasanya Allah Swt berupa manusia yang muda. Dan pendapat satunya yang mengadopsi dari ideologi tasybih yang dianut oleh umat Yahudi mengatakan bahwasanya Allah Swt berupa manusia yang sudah tua.

“Kedua: Merupakan permasahan yang menjadi perselisihan di antara mereka adalah, apakah dibenarkan menisbahkan sifat-sifat seperti pergi, datang, bergerak dan menetap kepada Allah Swt? Sebagian dari kelompok Karramiah tidak membolehkannya dan sebagian kelompok lainnya mengatakan sebaliknya. Mayoritas pengikut Hanbaliah menyatakan bahwa sifat-sifat tersebut dapat dinisbahkan kepada Allah Swt.″ 1

Fakhru Razi menambahkan, ″Orang-orang yang meyakini ideologi korporealisme berselisih pendapat dalam permasalahan, apakah sifat, pergi dan datang dapat dinisbahkan kepada Allah Swt? Kelompok yang meyakini bahwa Allah Swt berupa cahaya, mereka menafikan anggota-angota tubuh seperti kaki, tangan, wajah dan kepala dari Zat Allah Swt. Akan tetapi, kebanyakan dari pengikut Hanbaliah menisbahkan anggota-angota tubuh tersebut kepada Allah Swt”. Khaththabi mengatakan, ″Pendapat para ulama dan imam-imam fiqih ialah memahami lafaz-lafaz yang berada dalam hadis-hadis ini (hadis- hadis sifat) sesuai makna lahirnya dan menghindari penafsiran hadis- hadis tersebut serta tidak menakwilkannya. Kemungkinan hal ini

dikarenakan keterbatasan ilmu mereka dalam mencapai maknanya. Sebagian ulama ahli hadis telah terjerumus dalam kesalahan saat mereka meriwayatkan dan berpegangan kepada hadis-hadis yang menceritakan turunnya Allah Swt dari langit. Dengan membuat pertanyaan bagi diri mereka, mereka mengatakan, ′Mengenai hadis yang menyatakan bahwa Tuhan kita turun ke langit terendah, apabila seorang bertanya, apakah Allah Swt benar-benar turun dari langit?′ Dijawab kepadanya, ′Jika Allah Swt berkehendak, jika tidak berkehendak maka Dia tidak akan turun. Jika ia bertanya kembali, ′Apakah Allah Swt bergerak?′ Dijawab, ′Jika Dia berkehendak, jika tidak maka Dia tidak akan bergerak.′″1

Sesungguhnya pernyataan Katthabi di atas berlandaskan kepada ideologi tafwidh. Jadi, saat ia mengatakan, ″memahami sifat-sifat dengan lafaz zahirnya″, maka yang dimaksudkannya ialah membiarkan lafaz-lafaz tersebut tetap sebagaimana lahirnya tanpa menafsirkannya. Sebenarnya kami menukil ucapan Khaththabi bertujuan untuk menjelaskan bahwa ucapan-ucapan yang keluar dari lisan sebagian pengikut kelompok tafwidh adalah sebagai bibit bagi terlahirnya kelompok ketiga (kelompok tajsim). Karena ucapan- ucapan mereka yang akan dijadikan pedoman dan landasan oleh orang-orang yang menganut ideologi korporealisme.

Berita yang mengabarkan bahwa para salaf telah memerintahkan untuk membiarkan ayat-ayat dan hadis-hadis sifat sebagaimana lafaznya, untuk meyakininya dan membacanya sesuai lafaz-lafaz yang tertera di dalamnya atau sebagaimana aslinya, telah diartikan berbeda oleh kelompok korporealis. Mereka mengatakan, ″Kita harus menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis sifat secara lahiriah arti bahasanya yang mengandung makna ragawi.″ Pengertian ini tidak lain kecuali pondasi dari ideologi korporealisme.

Imam Ghazali adalah salah seorang ulama yang pernah bangkit memerangi ideologi korporealisme dan para penganut ideologi ini, sebagaimana yang kita saksikan dalam akhir ucapan Dzahabi di bawah ini.

Dzahabi menuliskan, ″Aku katakan, sesungguhnya metode ini adalah metode para salaf yang diutarakan oleh Abul Hasan dan murid- muridnya, yaitu mengembalikan (makna sifat khabariyyah) kepada nas-nas Al-Quran dan hadis. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Baqalani, Ibnu Furak, dan ulama lainya. Sehingga, pada masa Abul Ma′ali Juwaini yang sezaman dengan Syekh Abul Hamid, terjadilah perselisihan pendapat dan pandangan, Kami memohon ampun kepada Allah Swt.″1

Dalam ucapan ini tampak bahwasanya kecondongan kepada ideologi korporealisme tampak menguat pada masa kekuasaan Saljuk dan berada di tangan Abul Ma′ali Juwaini Naisyaburi yang dikenal dengan sebutan Imam Haramain (w. 478 H), yang ia telah diusir dari kota Naisyabur oleh penduduk setempat. Kemudian ia dipelihara oleh pemerintah Saljuk dan dijadikan sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Ia tetap menganut ideologi korporealisme ini hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya ia adalah seorang yang meyakini metode takwil.

Kemudian setelah masa Abul Ma′ali, Imam Ghazali bangkit menentang ideologi yang diusung Ma′ali dengan mengeluarkan statemen-statemen yang menguntungkan kelompok takwil. Walaupun perlu diperhatikan, bahwa dalam penafsiran-penafsirannya, Imam Ghazali tampak berusaha untuk menarik kerelaan kelompok tajsim. Bagi yang ingin mengetahui lebih dalam lagi, alangkah baiknya jika merujuk ke kitab Al-′Aqô'id Al-Islâmiyyah, jilid 2, yang di dalamnya kami telah menjelaskan secara rinci mengenai mazhab korporealis dan antropomorfis dari referensi-referensi Ahli Sunnah.

BAB IV:

Dokumen terkait