• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Hapusnya Hak Menuntut Pidana karena Daluwarsa dalam KUHP 1.Pengertian Daluwarsa dan Dasar Hukum

4. Hapusnya Hak Menuntut Pidana karena Daluwarsa

Pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluwarsa”. Ketentuan ini juga berarti kewajibab terpidana untuk menjalankan atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewatnya waktu. Ketentuan lewatnya waktu yang menyebabkan hapusnya kewenangan Negara untuk menjalankan pidana ini berlatar belakang pada kepastian hukum baik bagi terpidana maupun Negara.52

Pada dasarnya daluwarsa hapusnya menjalankan pidana sama dengan daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana dengan ketentuan sebagai berikit

1. Tenggang waktu daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun.

2. Kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan, tenggang waktu daluwarsa adalah lima tahun.

3. Daluwarsa menjalankan pidana terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan dan pidana penjara paling lama 3 tahun adalah 4 tahun.

4. Daluwarsa menjalankan pidana terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun adalah 6 tahun

5. Kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau dengan pidana seumur hidup, tidak mengenal daluwarsa menjalankan pidana.

51

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka 2014), hlm 377

52

Adami Chazami, pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hlm 188

6. Tenggang waktu daluwarsa menjalankan pidana tidak boleh kurang an lamanya pidana yang dijatuhkan.

7. Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya mulai putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dijalankan. 8. Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka esok

harinya setelah melarikan diri, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. 9. Jika seorang terpidana pelepasan bersyarat dicabut, maka pada esok

harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.53

Sedangkan untuk pelaku anak-anak yang pada saat melakukan tindak pidana umurnya belum delapan belas tahun, menurut ayat (2) maka tenggang daluwahapusnya penuntutan pidana adalah dikurangi sepertiga dari ketentuanpada ayat pertamanya.

Menetapkan lamanya tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana yang didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat ringannya tindak pidana yang diperbuat, adalah bertitik tolak dari pandangan bahwa semakin berat atau besar tindak pidana yang diperbuat akan semakin lama ingatan orang atau masyarakat terhadap kejadian itu, yang juga artinya ialah lamanya penderitaan yang dirasakan orang dan atau masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana bergantung dari berat ringannya macam dan jenis tindak pidana yang diperbuat orang. Semakin berat tindak pidana diperbuat akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang atau masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana.54

Apabila tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana diperbandingkan dengan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan

53

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka 2014), hlm 379

54

Adami Chazami, pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) , hlm 176

menjalankan pidana (pasal 84), maka jelas lamanya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana ini lebih pendek. Perbedaan itu adalah wajar dan logis, sebab pada lamanya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menjalankan pidana si pembuat telah secara pasti (kepastian hukum) bersalah dan telah dijatuhinya pidana oleh pengadilan. Sedangkan pada tenggang daluwarsa hapusnya hak penuntutan pidana, si pembuat belum dinyatakan bersalah dengan jatuhnya suatu putusan pemidanaan oleh pengadilan.

Berhubung adanya pemberatan pidana (misalnya pengulangan) maupun pengurangan pidana (misalnya pembuat belum berumur 18 tahun), maka timbul kesulitan untuk menentukan apakah suatu kejahatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3 tahun. Dengan kata lain dalam hal untuk menentukan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3 tahun, apakah pemberatan pidana maupun pengurangan pidana ikut diperhitungkan ataukah tidak perlu diperhitungkan? Misalnya kejahatan pasal 380 KUHP yang diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan, yang apabila terjadi pengulangan maka ancaman pidananya ditambah dengan sepertiganya atau menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari. Kesulitannya ialah untuk menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana pada pengulangan pasal 380 ini, apakah berpedoman pada ancaman pidana tanpa memperhatikan pemberatan karena pengulangan (2 tahun 8 bulan) ataukah memperhitungkan juga pemberatan pada pengulangannya (ditambah sepertiganya) sehingga ancaman pidananya menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari? Dengan demikian tenggang daluwarsanya tidak sesudah 6 tahun, tetapi

sesudah 12 tahun. Undang-undang tidak memberikan petunjuk mengenai persoalan ini. Mengenai persoalan ini ada 2 pendapat yang saling bertentangan, yaitu:

a. Pendapat pertama, Noyon, Van Hattum dan Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa dalam hal menentukan suatu kejahatan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau lebih dari tiga tahun, tidaklah perlu memperhatikan pemberatan pidana ataupun pengurangan pidana, yang harus diperhatikan hanyalah sanksi pidana yang diancamkan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan

b. Pendapat kedua, sebaliknya seperti Jonkers menyatakan bahwa tenggang daluwarsa itu adalah didasarkan pada ancaman pidana maksimum tindak pidana yang pada kenyataannya diperbuat, oleh karena itu keadaan obyektif maupun subyektif yang memberatkan pidana atau meringankan pidana juga harus diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana.55

Adami Chazawi lebih condong pada pendapat kedua, dengan alasan berikut. Berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada penjelasan ataupun keterangan dalam Undang-undang dalam hal memperhitungkan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana terhadap pemberatan ataupun peringanan pidana pada kejahatan. Sedangkan menurut pasal 86 KUHP di mana menyatakan bahwa apabila disebut kejahatan maka disitu

55

Adami Chazami, pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 177

termasuk percobaannya dan pembantuan, kecuali ditentukan lain, yang artinya Undang-undang hanya memberi penjelasan tentang memperhitungkan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana bagi pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan adalah disamakan dengan si pembuat dan si pembuat kejahatan selesai. Oleh karena itu di luar apa yang diterangkan oleh pasal 86 KUHP (in casu pemberat pidana dan peringan pidana pada kejahatan) tetap diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana. Sebab apabila maksud pembentuk Undang-undang agar tidak diperhitungkan terhadap pemberatan dan atau peringanan pidana, tentulah diberikan keterangan sebagaimana halnya bagi pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan seperti pada pasal 86 KUHP tersebut.56

Sedangkan sejak kapan berlakunya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana itu, ditetapkan secara umum (pasal 79 KUHP), yaitu pada hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga hal, yaitu:

a. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;

b. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333 KUHP, dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia;

c. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 KUHP sampai dengan pasal 558a, KUHP, adalah dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu telah disampaikan/diserahkan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan.

Berjalannya waktu penghitungan lamanya tenggang daluwarsa, dapat

56

Adami Chazami, pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 178

dihentikan oleh adanya tindakan penuntutan, asalkan penuntutan ini diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan Undang-undang. Setelah jalannya tenggang daluwarsa dihentikan oleh adanya penuntutan ini, maka dimulainya lagi tenggang daluwarsa yang baru (pasal 80 KUHP). Yang dimaksud dengan tindakan penuntutan adalah tindakan Pejabat Penuntut Umum yang menyerahkan berkas perkara Pidana ke Pengadilan yang disertai dengan permintaan agar perkara itu diperiksa dan diputus (pasal 1 ayat 7 KUHAP). Jadi terbitnya hitungan hari penuntutan ialah pada hari di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyerahkan (berkas) perkara yang bersangkutan ke Pengadilan yang berkompetensi. Tindakan Penyidik melakukan penyidikan tidak termasuk pengertian penuntutan, dan oleh karenanya tindakan penyidikan tidak menghentikan berjalannya proses tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana.

Disamping proses berjalannya tenggang daluwarsa dapat dihentikan (dengan tindakan penuntutan), berjalannya tenggang daluwarsa dapat pula tertunda berhubung dengan adanya penundaan (schorsing) penuntutan, yakni apabila terjadi "perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu"/pra-yudisial (pasal 81 KUHP). Tertundanya proses berjalannya tenggang daluwarsa karena adanya penundaan penuntutan berhubung adanya perselisihan pra-yudisial (perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu) berbeda

denganpenghentian berjalannya tenggang daluwarsa karena penuntutan pidana.57 Perbedaan itu ialah, pada penghentian tenggang daluwarsa karena adanya penuntutan, maka setelah tenggang waktu itu dihentikan akan dimulai penghitungan yang baru lagi, tanpa memperhitungkan lamanya waktu sebelum tenggang daluwarsa dihentikan, artinya waktu yang berjalan sebelum penuntutan dihentikan tidak diperhitungkan lagi. Misalnya A melakukan pencurian tanggal 1 Januari 2001, pada tanggal 2 Januari mulai berjalan hari pertama penghitungan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana. Pada tanggal 30 Juni 2001 (berkas) perkara yang bersangkutan oleh Jaksa P.U dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang, maka terhentilah penghitungan tenggang daluwarsa pada tanggal 30 Juni 2001. Penghitungan tenggang daluwarsanya mulai hari pertama lagi pada keesokan harinya tanggal 1 Juli 2001.

Tetapi pada tertundanya jalan tenggang daluwarsa karena schorsing

penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, jalan proses tenggang daluwarsa tersebut dihentikan sementara yang setelah perselisihan pra-yudisial itu diselesaikan, maka penghitungan tenggang daluwarsa dilanjutkan lagi, yang artinya lamanya tenggang daluwarsa sebelum terhenti juga turut dihitung. Misalnya pada contoh diatas tadi, berhubung adanya perselisihan pra-yudisial di mana terdakwa mendalilkan barang yang diambilnya itu adalah miliknya sendiri karena telah dibelinya dari si pelapor,

57

Adami Chazami, pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 179

maka Majelis Hakim melakukan tindakan schorsing penuntutan pada tanggal 1 Qktober 2001 (sebelumnya tenggang daluwarsa telah berjalan sejak tanggal 1 Juli = 3 bulan). Kemudian, berhubung telah adanya putusan perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap tentang kepemilikan obyek barang yang dalam dakwaan telah dicuri oleh A, maka schorsing penuntutan dicabut dengan dibukanya persidangan kembali pada tanggal 30 Desember 2001. Dengan demikian penghitungan pada tanggal 30 Desember 2001 jalannya tenggang daluwarsa dilanjutkan lagi dengan tetap menghitung masa 3 bulan tenggang daluwarsa yang tertunda dahulu.58

Penundaan penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, maksudnya adalah tindakan penghentian sementara pemeriksaan suatu perkara pidana oleh Majelis Hakim yang memeriksa berhubung diperlukan adanya putusan Majelis perkara yang lain yang sangat penting dan menentukan dalam hal memutus perkara yang dischorsing tersebut. Jonkers memberi contoh seorang dituntut (diajukan ke sidang pengadilan) dengan didakwa melakukan pencurian suatu barang milik orang lain. Tetapi di persidangan dia memberikan keterangan bahwa barang itu adalah miliknya sendiri.

Apabila tentang kepemilikan ini terdapat kesukaran dalam hal pembuktiannya, karena Majelis Hakim pidana tidak dibenarkan menetapkan tentang kepemilikan dari barang ini, maka Majelis melakukan tindakan penghentian sementara penuntutan, dan meminta pada orang itu mengajukan

58

Adami Chazami, pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 180

gugatan perdata untuk menentukan milik siapa barang yang menurut dakwaan diambil oleh Terdakwa tersebut. Disini telah terjadi keadaan yang disebut perselisihan pra-yudisial sebagaimana contoh tersebut diatas.

Penghitungan tenggang daluwarsa schorsing oleh sebab adanya perselisihan pra-yudisial, tidak saja disebabkan oleh pentingnya suatu putusan perkara perdata yang menentukan terhadap putusan perkara pidana yang

dischorsing, tetapi juga dapat terjadi dalam hal diperlukannya putusan lain dari hakim perkara pidana. Misalnya Jaksa P.U telah membawa seseorang ke Pengadilan dengan mendakwanya "telah menggunakan surat palsu atau dipalsu" (263 ayat 2), sementara ternyata bahwa terhadap orang yang diduga membuat surat palsu atau memalsu surat itu diperiksa oleh Majelis Hakim yang lain, dengan maksud menghindari adanya dua putusan yang saling bertentangan dalam hal pokok perkaranya ada hubungan yang sangat erat, maka Majelis Hakim yang memeriksa dakwaan menggunakan surat palsu atau dipalsu tadi, perlu mengambil tindakan schorsing penuntutan pidana, dengan menghentikan pemeriksaan perkara itu sampai adanya putusan perkara dengan dakwaan membuat surat palsu atau memalsu surat tadi mempunyai kekuatan hukum tetap.

Contoh lainnya ialah pasal 314 ayat (3), yang menyatakan bahwa: "Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan". Konkritnya pada contoh demikian, A menuduh B telah melakukan perzinaan

(284) dengan istrinya, dan untuk itu A telah mengajukan pengaduan atas kasus itu pada Polisi. Dengan pengaduan yang dilakukan oleh A itu, B merasa terhina dan juga melakukan laporan pada Polisi bahwa dia difitnah (311 jo 310) oleh A. Ketika A dituntut dengan didakwa memfitnah (311 jo 310) ke pengadilan, yang ternyata B telah dituntut pula dengan didakwa melakukan zina (284), maka Majelis Hakim perkara A melakukan schorsing penuntutan pidana, menunggu perkara B diputus dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan telah mendapatkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Majelis Hakim perkara A mencabut schorsing

penuntutan dengan membuka sidang kembali. Apabila isi putusan perkara B dia dipidana karena salahnya melakukan tindak pidana zina (284), maka putusan itu dijadikan dasar oleh Majelis Hakim perkara A untuk membebaskan A, dan sebaliknya apabila B dibebaskan - artinya apa yang dituduhkan oleh A tidak terbukti, maka dengan putusan pembebasan itu akan digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap A.59

Dokumen terkait