• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemungkinan suatu perjanjian yang sudah dibuat tapi tidak dapat dilaksanakan bahkan dihapuskan karena beberapa hal yaitu:

1. Keadaan memaksa (overmacht)

Keadaan memaksa (overmacht) adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasinya sebelum ia lalai untuk apa dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Dari batasan diatas dapat kita lihat adanya beberapa unsur dari overmacht atau keadaan memaksa ini, antara lain:

a. Tidak dapat diduga-duga sebelumnya b. Di luar kesalahan debitur

c. Menghalangi debitur untuk berprestasi d. Debitur belum lalai48

Overmacht ada yang mutlak dan ada yang tidak mutlak. Yang mutlak

adalah apabila prestasi sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga sebaliknya dalam overmacht yang tidak mutlak pelaksanaannya masih dimungkinkan, hanya memerlukan pengorbanan yang besar dari debitur. Dengan demikian maka overmacht itu dapat kita bedakan antara:

a. Overmacht yang sifatnya mutlak yaitu apabila prestasi sama sekali tidak dapat

dilaksanakan oleh siapapun.

b. Overmacht yang sifatnya tidak mutlak yaitu apabila pemenuhan prestasi masih

dimungkinkan namun dnegan pengorbanan yang besar dan tidak seimbang.

48

Sampai dimanakah pengorbanan ini sehingga dapat dipergunakan sebagai alasan pembebasan dari pihak debitur terhadap kewajiban membayar ganti rugi, dalam hal ini terdapat dua macam ukuran:

a. Ukuran objektif, yaitu didasarkan kepada ukuran yang normal dalam keadaan demikian apakah orang itu dapat melakukan kewajibannya atau tidak

b. Ukuran subjektif, yaitu didasarkan kepada keadaan dari debitur dengan menghubungkan pengorbanan yang harus diderita oleh debitur apabila harus melakukan prestasi itu.

2. Wanprestasi

Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif.Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namum pada kondidi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata(untuk prestasi memberikan sesuatu) dan Pasal 1239 KUHPerdata(untuk prestasi berbuat sesuatu), selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut Pasal 1243 KUHPerdatadinyatakan bahwa: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,

tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.”

Debitur dinyatakan lalai apabila: a. Tidak memenuhi prestasi

b. Terlambat berprestasi

c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya49

Namun demikian pada umumnya wanprestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai (in mora stelling; ingebereke stelling) dari pihak kreditur kepada debitur.Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditur.

Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai ialah:

a. Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn)

b. Debitur menolak pemenuhan c. Debitur mengakui kelalaiannya

d. Pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht) e. Pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos)

f. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya50

Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seorang debitur itu tidak dapat membuktikan, bahwa tidak dapatnya ia melakukan prestasi adalah di luar kesalahannya atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya

49

Agus Yudha Hernoko(1),Op.cit, hal 260 50Ibid, hal 262

overmacht, jadi dalam hal ini debitur jelas bersalah. Sejak kapankah debitur itu telah wanprestasi, di dalam praktek dianggap bahwa wanprestasi itu tidak secara otomatis, kecuali kalau memang sudah disepakati oleh para pihak, bahwa wanprestasi itu ada sejak tanggal yang disebutkan dalam perjanjian dilewatkan.

Sehingga oleh karena itu untuk memastikan sejak kapan adanya wanprestasi, diadakan upaya hukum yang dinamakan “ingebreke stelling” yakni penentuan mulai terjadinya wanprestasi, atau istilah lain disebut dengan sommasi yang dilakukan tanpa juru sita, jadi boleh lewat telegram ataupun surat.

Kalau hanya meminta pelaksanaan perikatan, kreditur tidak perlu dengan

ingebreke stelling, sebab hak terhadap pelaksanaan perjanjian pada hakekatnya

sudah terjalin pada perjanjian itu sendiri. Kalau debitur tidak melakukan prestasi sama sekali, maka ingebreke stelling tidak perlu dan tidak dapat dilakukan karena pada hakekatnya ingebreke stelling adalah upaya hukum untuk mendorong supaya debitur melakukan prestasi. Sedangkan apabila debitur sama sekali tidak melakukan prestasi baik dalam pengertian obyektif maupun subyektif, maka memaksa melakukan yang tidak akan terwujud adalah perbuatan yang sia-sia.

Ingebreke stelling adalah sangat tepat dilakukan apabila debitur sangat lambat

melakukan prestasi.

Wanprestasi dapat timbul dari dua hal:

a. Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau dikehendaki oleh debitur

b. Kelalaian, maksudnya si debitur tidak mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibat itu akan timbul

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi.Sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan selama wanprestasi tersebut.Berbeda dengan hukum Pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum perjanjian tidak begitu membedakan apakah suatu perjanjian tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan force mejeure yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).51

1. Karena Pembayaran

Suatu perjanjian ada karena adanya suatu kesepakatan diantara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan atas perjanjian itu.Begitu juga dengan hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian karena adanya suatu perbuatan atau kesepakatan diantara para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut.

Di dalam ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata telah dinyatakan bahwa ada beberapa cara hapusnya perikatan yaitu :

Bahwa yang harus membayar suatu utang bukan hanya debitur saja melainkan diperbolehkan juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung utang. Pembayaran yang dilakukan oleh seorang kawan berhutang untuk melunasi utang dan bertindak atas nama si berhutang, asal ia tidak menggantikan hak-hak

51

Munir Fuady,Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis Buku 1, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2001), hal 88

dari si berpiutang. Sedangkan yang dimaksud dengan si penanggung utang ialah pihak ketiga yang menjamin pelaksanaan suatu perjanjian apabila si berwajib lalai maka ia akan menanggungnya. Tetapi apabila prestasi itu sangat erat dengan pribadi si debitur maka pihak ketiga yang membayar dapat dibedakan menjadi pihak ketiga yang berkepentingan dan pihak ketiga yang tidak berkepentingan.Jika pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan maka disini terjadi subrogasi yaitu penggantian hak-hak atau menggantikan kedudukan kreditur terhadap debitur.

2. Penawaran pembayaran tunai disertai dengan penitipan

Cara ini biasanya dilakukan apabila kreditur menolak menerima pembayaran, ini dimaksudkan untuk menolong atau melindungi si debitur yang ingin membayar tetapi kreditur tidak mau menerimanya dan caranya adalah sebagai berikut: tawaran uang yang dibayarkan itu harus melalui seorang perantara yaitu juru sita atau notaris dengan dihadiri dua orang saksi. Kemudian juru sita atau notaris tersebut akan pergi ke rumah atau tempat tinggal kreditur dengan membawa uangnya atau barang, kemudian ia memberitahukan bahwa ia tetap atas perintah debitur datang untuk membayar utang debitur.

Apabila kreditur menolak pembayaran tadi maka dibuatkan suatu proses verbal, tetapi apabila kreditur suka menerimanya, maka selesailah pambayaran itu. Tetapi biasanya kreditur menolak karenanya, sudah disediakan proses verbal dan kreditur tinggal menandatangani saja. Dengan penawaran tadi tidak membebaskan debitur dari kewajiban berprestasi.

Tetapi penawaran itu sendiri sudah mempunyai akibat hukum yaitu bahwa sejak penawaran debitur tidak dapat dikatakan lalai.Kalau kreditur masih tidak mau menerima maka penawaran itu diikuti oleh penyimpanan dalam kas kepaniteraan Pengadilan Negeri.Dan sesudah penyimpanan itu maka debitur bebas dan dianggap telah memenuhi prestasi.Sejak saat itu pula resiko beralih kepada kreditur beserta ongkos penyimpanan menjadi beban kreditur.Tetapi semua biaya penyelenggaraan hal-hal tersebut di atas adalah dipikul oleh debitur.

3. Pembaharuan utang

Pembaruan utang atau novasi adalah suatu perjanjian baru dengan maksud untuk menggantikan atau menghapus perjanjian lama.Untuk terjadinya suatu pembaharuan utang maka kehendak untuk mengadakan harus dinyatakan dengan tegas dan tidak diperlukan bentuk tertentu, cukup dengan tercapainya kata sepakat saja. Bentuk pembaharuan utang ada 3 macam:

a. Pembaharuan utang obyektif yaitu apabila diantara para pihak yang sama mengadakan suatu perikatan baru untuk menggantikan perikatan lama yang harus karenanya, dinamakan pembaharuan utang obyektif karena yang diperbaharui adalah obyek perjanjiannya.

b. Pembaharuan utang subyektif yaitu apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya, dinamakan pembaharuan utang subyektif karena yang diperbaharui adalah subyeknya dalam perjanjian

c. Pembaharuan utang subyektif-pasif yaitu terjadi apabila penggantian debitur yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya, ini dinamakan pembaharuan utang subyektif pasif, karena yang diperbaharui adalah debiturnya.

4. Kompensasi atau Perjumpaan utang

Kompensasi atau perjumpaan utang adalah suatu cara untuk menghapuskan utang dengan memperhitungkan utang piutang masing-masing pihak, sehingga salah satu perikatan menjadi hapus, misalnya A mempunyai piutang atas B sebanyak Rp. 200.000,- dan sebaliknya B mempunyai piutang atas A sebanyak Rp. 100.000,- maka antara A dan B dilakukan perjumpaan utang, sehingga piutang B menjadi hapus sebaliknya piutang A menjadi sisa sebanyak Rp. 100.000,- jadi antara uatang piutang mereka diperhitungkan (Pasal 1425 KUHPerdata).

Selanjutnya oleh Pasal 1426 KUHPerdata dikatakan bahwa perjumpaan ini terjadi demi hukum bahwa tidak setahunya orang-orang yang berhutang dan kedua utang itu yang satu mengahapuskan yang lain dan sebaliknya, pada saat utang-utang itu bersamaan ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Dengan adanya perkataan “demi hukum” di atas menimblkan kesan bahwa kompensasi terjadi dengan sendirinya, padahal realitanya tidak demikian karena untuk perjumpaan utan harus dimajukan atau dimintakan oleh pihak yang berkepentingan (Pasal 1431 dan 1433 KUHPerdata), karena tanpa adanya syarat ini maka hakim tidak akan mengetahui adanya utang piutang antara kreditur dengan debitur.

Dan agar dua utang dapat diperjumpakan maka perlulah bahwa dua utang itu seketika dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang tetapi yang lain tidak atau baru dapat ditagih satu minggu kemudian, maka teranglah dua utang itu tidak dapat diperjumpakan.

5. Percampuran utang

Percampuran utang terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur pada satu orang, maka terjadilah secara otomatis percampuran utang, misalnya:

a. Bila debitur menjadi ahli waris tunggal dari kreditur

b. Bila seorang wanita seorang debitur kemudian kawin dengan kreditur dalam suatu percampuran harta

6. Pembebasan utang

Pembebasan utang terjadi apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan sudah tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan suatu perjanjian. Dan pembebasan hutang dari kreditur dapat dibuktikan, misalnya dengan pengembalian surat tanda piutang asli secara sukarela.

7. Musnahnya benda yang terutang

Jika barang yang menjadi obyek suatu perjanjian musnah maka perjanjian itu menjadi hapus asal musnahnya barang itu bukan karena kesalahan si berhutang dan dalam hal ini si debitur harus membuktikannya.

8. Kebatalan/pembatalan

Dikatakan suatu perjanjian batal demi hukum yaitu apabila perjanjian itu tidak memenuhi syarat obyektif sedangkan terjadinya suatu pembatalan apabila perjanjian–perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif, misalnya seorang anak yang belum dewasa mengadakan suatu perjanjian jual beli dengan seorang yang sudah dewasa maka perjanjian itu dapat dibatalkan oleh orang tua anak tersebut dengan alasan karena anaknya belum dewasa. Pembatalan itu dapat pula dilakukan oleh anak itu sendiri setelah ia menjadi dewasa dan kedewasaannya tidak leboh dari lima tahun (Pasal 1446 dan 1454 KUHPerdata).

9. Berlakunya syarat batal

Syarat batal maksudnya adalah suatu syarat yang apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian itu menjadi batal atau perjanjian itu seolah-olah tidak pernah ada. Dan ini biasanya digantungkan pada suatu peristiwa terjadinya tidak tentu,misalnya saya akan memberikan suatu sepada motor kepadamu apabila kamu lulus menjadi seorang sarjana. Berlakunya suatu syarat batal yang merupakan salah satu cara untuk menghapuskan suatu perikatan, ini dapat diperlakukan pada perjanjian bersyarat.

10.Kadaluarsa atau lewat waktu

Kadaluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.Suatu yang diperoleh karena daluwarsa disebut

dengan “aquisitive verjaring”.Sedangkan dibebaskan dari satu kewajiban karena daluwarsa disebut dengan“extentive verjaring”.

Selanjutnya dalam Pasal 1967 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Segala tuntutan hukum, baik bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan alas hak, lagi pula tidak dapat dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan itikadnya yang buruk.”

Jadi dengan lewatnya waktu 30 tahun hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu perikatan bebas, artinya pembayaran tidak dihapuskan lagi tapi kalau mau membayar diperbolehkan dan sebaliknya apabila si debitur tidak mau membayar maka dia tidak dapat digugat di muka hakim

Dokumen terkait