• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hari itu adalah hari Minggu dan Dini libur sekolah. Ibu meminta izin kepada nenek untuk mengajak Dini jalan. Kali itu Ibu akan mengajak Dini jalan-jalan ke Kampung Adat Badui Dalam. Dini belum pernah ke sana. Sebelumnya, Ibu mengajak Dini ke Masjid Agung Banten dan Badui Luar.

Jarak Kampung Adat Badui Dalam dari pusat Kabupaten Lebak tidak begitu jauh. Untuk memasuki Kampung Adat Badui Dalam, Ibu dan Dini harus melewati Badui Luar terlebih dahulu. Di wilayah Badui Luar, banyak sekali penjual makanan, hiasan, dan oleh-oleh khas Badui. Sebelum masuk ke Kampung Adat Badui Dalam, Ibu dan Dini mampir di sebuah warung makanan dan minuman.

Ibu dan Dini meneruskan perjalanan menuju Kampung Adat Badui Dalam. “Bu,” panggil Dini, “seperti apa Badui Dalam itu?”

“Nanti Dini akan tahu,” jawab Ibu sambil tersenyum penuh arti.

Perjalanan menuju Kampung Adat Badui Dalam membuat Ibu dan Dini kelelahan. Ibu dan Dini harus melewati beberapa sungai dan mendaki jalan setapak yang menanjak. Dini sempat merasa takut saat harus menyeberangi jembatan yang terbuat dari dua batang rotan. Adapula sungai yang tidak berjembatan sehingga Ibu dan Dini juga harus menyeberangi arus sungai yang lumayan deras.

Di Kampung Adat Badui Dalam, Dini melihat orang-orang berpakaian putih dan biru. Mereka memakai ikat kepala berwarna putih.

“Bu...,” tanya Dini, “orang-orang di sini ikat kepalanya berwarna putih. Kalau yang Dini lihat di Badui Luar, mereka memakai ikat kepala warna biru?”

“Nah, itulah bedanya,” jawab Ibu, “orang-orang di Badui Dalam dianggap masih suci karena enggak pakai barang-barang seperti kita.”

Dini mengangguk-angguk, “Iya Bu, mereka bahkan enggak pakai sandal atau sepatu.”

Dini memerhatikan kegiatan masyarakat Kampung Adat Badui Dalam. Beberapa orang laki-laki dewasa sedang mencari kayu bakar. Perempuan-perempuan menghabiskan waktu di rumah-rumah mereka dengan membuat kain tenun. Anak-anak seusia Dini bermain di hutan dengan membawa golok di pinggang mereka.

“Bu...,” panggil Dini terkejut, “anak-anak itu membawa golok.”

“Ya,” kata Ibu sambil memegang bahu Dini, “anak-anak di sini sudah terbiasa bermain dengan golok sejak kecil.”

“Apa itu enggak berbahaya, Bu?” tanya Dini masih keheranan.

“Bagi Dini yang enggak terbiasa, ya bisa jadi berbahaya. Bagi mereka tentu tidak,” jelas Ibu. “Mereka tahu bagaimana cara menggunakan golok itu dengan aman,” tambah Ibu lagi.

Ibu dan Dini menghabiskan sisa waktu sebelum pulang dengan bermain di sungai yang jernih. Sungai-sungai di Kampung Adat Badui Dalam memang masih sangat bersih. Salah satu penyebabnya mungkin adalah karena masyarakat di sana tidak diperbolehkan menggunakan sabun, pasta gigi, dan bahan-bahan pembersih kimia lainnya.

Sayangnya, Dini tidak berfoto-foto saat berada di sana. Ibu bilang di Kampung Adat Badui Dalam, para pengunjung tidak diizinkan untuk menggunakan alat-alat elektronik, seperti telepon genggam atau kamera.

Dini melihat kehidupan Kampung Adat Badui Dalam yang sangat berbeda dengan kehidupannya sehari-hari di pusat Kabupaten Lebak, Banten. Banyak

pertanyaan yang ingin Dini ajukan kepada Ibu. Saat di perjalanan pulang, Dini mulai menyerang Ibu dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Bu,” mulai Dini, “apa orang-orang di Badui Dalam enggak ingin pergi dan bekerja ke pusat kota?”

“Ada beberapa orang yang ingin mengetahui bagaimana keadaan di luar,” jawab Ibu, “tetapi mereka memilih untuk tetap menjaga adat istiadatnya.”

“Lalu,” tanya Dini lagi, “anak-anak di sana enggak pergi sekolah?”

Ibu menggeleng, “Sehari-hari mereka bermain dengan teman-temannya di hutan.”

“Anak-anak kan harus bersekolah, Bu,” kata Dini, “kalau enggak, nanti mereka bodoh.”

Ibu menjelaskan sambil menatap Dini kali ini. “Enggak ada anak-anak yang bodoh, Din.”

“Semua anak pintar di bidangnya masing-masing,” jelas Ibu. “Anak-anak di Badui Dalam enggak dapat disebut bodoh hanya karena mereka enggak bisa mengerjakan soal Matematika seperti Dini,” lanjut Ibu.

“Mereka pintar menebang pohon, membuat kerajinan dari akar-akar pepohonan,” jelas Ibu panjang lebar. “Mereka juga pandai memilih buah dari pohon mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak bisa dimakan.”

“Kalau begitu...,” kata Dini, “Dini boleh enggak sekolah?”

“Hem…,” Ibu berpikir, “dengan bersekolah, Dini akan dapat membuka banyak kesempatan untuk meraih cita-cita. Contohnya, kalau Dini ingin menjadi dokter, Dini harus bersekolah kan?” Ibu balik bertanya.

“Iya, betul juga, Bu,” jawab Dini sambil tersenyum.

“Jadi, bagaimana?” tanya Ibu lagi sambil menggoda, “masih mau sekolah setinggi-tingginya atau tidak?”

Dini mengangguk semangat, “tentu saja mau, Bu!”

Setelah tiba kembali di rumah, Dini mandi dan beristirahat. Saat itu hari sudah menjelang malam. Ibu meminta Dini untuk segera tidur saja, tetapi Dini ingin menonton film anak-anak kesukaannya dulu.

Ibu mengantar Dini ke kamarnya.

“Bu, Dini ingin mendengar cerita Ibu, dong,” pinta Dini.

“Cerita apa, Din?” tanya Ibu. “Apa saja.”

“Hem…,” Ibu berpikir, “bagaimana kalau cerita tentang kelahiran Dini?”

Mata Dini berbinar. Ia mengangguk cepat. Dini segera naik ke tempat tidurnya, duduk di sana, dan menarik selimutnya. Ibu duduk di samping Dini. Setelah Dini siap, Ibu memulai ceritanya.

“Dulu, ketika Ibu sedang mengandung Dini di bulan ketujuh, Ibu datang ke rumah ibu Bidan,” kata Ibu memulai cerita.

“Siapa ibu Bidan itu, Bu?” tanya Dini sambil mengerutkan kening.

“Ibu Bidan tugasnya memeriksa kesehatan ibu-ibu yang sedang mengandung.” Jawaban Ibu disambut oleh anggukan Dini.

“Lalu, ibu Bidan memeriksa Ibu dan Dini melalui USG dan bilang semuanya sehat dan baik-baik saja,” lanjut Ibu.

Melihat wajah Dini yang penasaran, Ibu menjelaskan jika USG adalah alat yang digunakan ibu Bidan untuk mengetahui keadaan di dalam rahim. Dengan USG, ibu Bidan dapat tahu apakah janin di dalam rahim berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dini mengeluarkan suara ooohh… yang panjang.

“Namun...,” lanjut Ibu lagi, “ketika Ibu melahirkan Dini, ibu Bidan kaget sekali.”

“Kenapa kaget, Bu?”

“Ibu Bidan melihat wajah Dini tidak seperti bayi lainnya, tetapi Dini tahu tidak, apa yang ibu lihat di wajah Dini saat itu?”

“Hem…” Dini berpikir, “Ibu melihat bibir Dini yang aneh?” Ibu menggeleng.

“Ibu melihat sepasang mata Dini yang indah sekali,” kata Ibu sambil tersenyum. Dini pun ikut tersenyum.

“Lalu setelah itu, bagaimana Bu?” tanya Dini yang penasaran akan kelanjutan cerita Ibu.

“Lalu, ayah membawa Dini ke rumah sakit dan menemui dokter,” jawab Ibu.

“Dokter Spesialis Bedah Mulut bilang kepada ayah kalau Dini bukan hanya menderita unilateral labioschisis saja, melainkan palatoschisis juga.” Dini serius menyimak cerita Ibu.

“Sejak usia Dini enam bulan, Dini sudah menjalani operasi. Operasi Tennison-Randal namanya.”

“Apa, Bu?” tanya Dini yang tidak paham nama operasi yang disebutkan Ibu.

Operasi Tennison-Randal,” ulang Ibu sekali lagi.

“Sepertinya..., nama orang asing saja, Bu?” tanya Dini.

“Ya, karena mereka yang menemukan cara mengoperasi labioschisis dan palatoschisis,” jawab Ibu. Dini mengeluarkan suara oohhh.. yang panjang lagi.

“Operasi itu membuat Dini enggak kesulitan saat minum susu,” kata Ibu sambil tersenyum.

“Apakah setelah itu, Dini masih harus dioperasi lagi Bu?” tanya Dini. Ibu mengangguk.

“Saat Dini berusia 1 tahun 8 bulan, Dini kembali dioperasi agar Dini enggak terlalu kesulitan saat berbicara.”

“Apa nama operasinya, Bu?” Dini bertanya.

“Operasi Onizuka, kalau Ibu tidak salah,” jawab Ibu sambil agak berpikir.

Dini tertawa, “macam-macam, ya, Bu, namanya.” Ibu ikut tertawa.

“Saat usia Dini 5 tahun, Dini kembali dioperasi agar kemampuan berbicara Dini semakin lancar.” Dini mengangguk-angguk.

“Dini ingat kan, saat usia Dini 8 tahun, Dini juga dioperasi?”

“Ya, ya, ya, Dini ingat,” jawab Dini cepat.

“Operasi itu namanya operasi Millard dan fungsinya adalah membuat bibir Dini terlihat lebih bagus,” jelas Ibu.

“Tetapi...,” potong Dini, “bibir Dini masih saja terlihat aneh.”

Ibu menjawab dengan berat, “seharusnya Dini dioperasi sekali lagi. Namun, Ibu belum ada biaya, Din. Samapi saat ini belum ada juga operasi gratis di dekat sini.” Dini melihat wajah Ibu yang sedih. Sambil tersenyum, Dini memeluk ibunya.

“Tidak apa-apa..., Bu.” Kata Dini di pelukan ibunya.

“Ibu janji sama Dini,” kata Ibu, “akan melakukan yang terbaik untuk Dini.” Ibu dan Dini sama-sama tersenyum.

Dokumen terkait