• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBASIS MSY

5) Peningkatan sarana dan prasarana pengembangan kawasan

6.5.2 Hasil AHP

Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko menggunakan AHP. Formulasi kebijakan didasarkan pada kebijakan utama hasil analisis SWOT sebagaimana dijelaskan di atas. Kebijakan utama diperoleh berdasarkan informasi

key person dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha ikan dan nelayan atau pembudidaya ikan yang meliputi aspek-aspek :

1) Ekologi (kelestarian sumberdaya ikan).

2) Ekonomi (tingkat pendapatan dan produksi ikan),

3) Sosial (tenaga kerja, tingkat pendidikan dan konflik sosial), 4) Teknologi (pengembangan teknologi), dan

5) Hukum (hukum dan kebijakan).

Aspek-aspek ini didasarkan pada kondisi yang ada sekarang di kawasan Teluk Lasongko yang dirumuskan untuk keperluan penentuan alternatif kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko.

Berdasarkan formulasi kebijakan pengelolaan sumber daya ikan di Teluk Lasongko yang dimulai melalui analisis SWOT, informasi key person, dan pembagian aspek-aspek pengelolaan, maka diperoleh struktur hirarki sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 26 di bawah ini. Informasi key person yang diperoleh baik melalui wawancara

dan pengisian kusioner AHP dilakukan untuk menggali seberapa besar peranan atau pentingnya masing-masing komponen yang menyusun level di atasnya. Key person yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha ikan dan nelayan/pembudidaya ikan diarahkan untuk menilai pentingnya antar aspek pengelolaan sumber daya ikan di Teluk Lasongko, menilai pentingnya antar kebijakan utama yang disusun dari hasi analisis SWOT berkaitan dengan masing-masing aspek, serta menilai pentingnya unsur-unsur kebijakan utama berupa prioritas-prioritas program pengelolaan sumberdaya ikan.

Gambar 26. Struktur Hirarki AHP Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko

Tujuan Level 1 Pelaksana Level 2 Aspek-Aspek Level 3 Kebijakan Utama

Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Berbasis MSY di Teluk Lasongko Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pengusaha Ikan Nelayan/Pem-budidaya Ikan ... Level 4 Prioritas Program

Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Hukum

Optimal PnkSDM Modal InfoPsr Sarana

Prioritas aspek-aspek penentu kebijakan utama terhadap upaya pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko sebagaimana Tabel 64 berikut :

Tabel 64. Prioritas Aspek-Aspek Penentu Kebijakan Utama Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko

No Aspek Pusat Daerah Pengusaha ikan Nelayan/Pmddyi

Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas 1 Ekologi 0,190 1 0,036 4 0,080 5 0,012 4 2 Ekonomi 0,098 2 0,068 1 0,056 2 0,038 1 3 Sosial 0,052 3 0,068 2 0,018 4 0,022 3 4 Teknologi 0,052 4 0,036 3 0,031 3 0,038 2 5 Hukum 0,031 5 0,020 5 0,104 1 0,012 5

Key person pemerintah pusat menempatkan aspek ekologi sebagai prioritas pertama dalam pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko. Diikuti oleh aspek ekonomi pada prioritas kedua, aspek sosial pada prioritas ketiga, aspek teknologi pada prioritas keempat dan aspek hukum pada prioritas terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah pusat lebih mengedepankan pentingnya aspek ekologi untuk kelestarian sumberdaya ikan.

Aspek ekologi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko menjadi penting karena berdasarkan hasil analisis potensi menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan telah mencapai 81 % dari MSY. Hal ini berarti pemanfaatan sumberdaya ikan melalui usaha penangkapan di perairan Teluk Lasongko perlu dibatasi jangan sampai berkembang terus melebihi daya dukung sumberdayanya. Widodo (2003) menyatakan bahwa bagi sumberdaya ikan yang telah dimanfaatkan secara penuh yang ditengarai oleh eksploitasi yang sangat intensif (fully and overexploited), maka alternatif pengelolaan yang lebih baik adalah akuakultur (budidaya) dengan teknologi canggih dan rekayasa genetik.

Berbeda dengan pemerintah pusat, key person pemerintah daerah lebih menekankan pada aspek ekonomi dan aspek sosial yang memiliki nilai yang sama sebagai prioritas utama. Hal ini terkait dengan lahirnya payung hukum Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dimana daerah memiliki kewenangan dalam mengelola wilayahnya. Kewenangan dalam otonomi daerah memiliki arti bahwa daerah diberikan kewenangan untuk menunjuk dan mengelola wilayahnya. Dalam pengelolaan perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai oleh pemerintah kabupaten/kota dan 12 mil laut oleh pemerintah propinsi, sehingga memungkinkan pemerintah daerah Kabupaten Buton membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko yang dapat memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan di Kabupaten Buton.

Pembangunan perikanan dan kelautan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah sejalan dengan Simatupang (2001), yang mendefinisikan bahwa kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan sebagai keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan dan kelautan guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Kebijakan ini harus dipandang dalam konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat. Ini berarti bahwa kebijakan pengelolaan perikanan dan kelautan termasuk kedalam kategori kebijakan publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.

Key person nelayan dan pembudidaya ikan memiliki kesamaan persepsi dengan kebijakan pemerintah daerah dengan lebih memprioritaskan aspek ekonomi. Namun key person nelayan dan pembudidaya ikan menempatkan aspek teknologi sebagai prioritas kedua, dimana pengembangan dan penggunaan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan

terutama teknologi pasca panen sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas jenis ikan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi di pasar. Pemilihan aspek teknologi sebagai prioritas penting merupakan sebagai dampak dari semakin sedikitnya hasil tangkapan nelayan saat ini. Penggunaan teknologi yang disarankan adalah teknologi yang ramah lingkungan yang mendukung aspek ekologi perairan laut untuk penangkapan ikan yang berkelanjutan. Arimoto (1999), menerangkan bahwa teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan, tidak merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat tangkap kecil, serta kontribusinya terhadap polusi rendah.

Aspek hukum sangat penting peranannya dalam usaha perikanan, dimana kepastian hukum, kemudahan legislasi dan jaminan keamanan memberikan angin segar bagi pengusaha ikan untuk berinvestasi dan menjalankan usahanya. Oleh karena itu, aspek hukum menjadi prioritas pertama bagi key person pengusaha ikan.

Kriteria-kriteria prioritas dalam pemilihan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko, dapat mengacu pada pendapat Nikijuluw (2002), meliputi :

1). Pertama, alternatif pengelolaan harus diterima mayoritas nelayan secara ekonomis, sosial, budaya, atau politik. Penerimaan nelayan atas suatu hal yang baru yang berkenaan langsung dengan kehidupan dan mata pencaharian mereka terletak pada sejauh mana hal yang baru tersebut sudah di sosialisasikan kepada nelayan.

2). Kedua, perlunya suatu pendekatan pengelolaan yang diimplementasikan secara gradual, agar nelayan secara perlahan dapat menyesuaikan kegiatan perikanannya dengan hal yang baru. Hal ini juga akan memberi kemudahan kepada pengelola (pemerintah) untuk melihat dan mengevaluasi dampak negatif yang mungkin timbul.

3). Ketiga, pendekatan pengelolaan harus fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi biologi dan ekonomi. Stok ikan di perairan tropis seperti Indonesia sangat sulit diprediksi sehingga hasil tangkapan ikan sangat berfluktuasi. Keterbatasan pengetahuan, pengelola perikanan, pemerintah maupun nelayan, mengalami kesulitan juga untuk mengetahui interaksi antara jenis ikan yang berbeda serta perubahan stok jenis ikan tertentu.

4). Keempat, nelayan harus didorong dan dimotivasi untuk melakukan pendekatan pengelolaan yang baru karena keuntungan insentif ekonomi yang diperolehnya.

5). Kelima, pendekatan pengelolaan yang diambil harus dapat dilaksanakan pengelola (pemerintah) dengan baik, terutama berkaitan dengan masalah pembiayaan.

6). Keenam, pendekatan pengelolaan harus lebih memberikan keadilan, menyediakan lapangan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan pendapatan yang lebih baik.

Berdasarkan analisis SWOT di atas, penentuan prioritas kebijakan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko disajikan pada Tabel 65.

Tabel 65. Prioritas Kebijakan Utama Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di kawasan Teluk Lasongko

No Uraian/

Alternatif

Pusat Daerah Pengusaha ikan Nelayan/Pmddyi

Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas 1 Optimal 0,290 1 0,309 1 0,350 1 0,258 1 2 PnkSDM 0,281 2 0,237 2 0,142 4 0,185 3

3 Modal 0,176 3 0,151 4 0,155 3 0,198 2

4 InfoPasar 0,144 4 0,138 5 0,252 2 0,175 5 5 Sarana 0,108 5 0,165 3 0,101 5 0,185 4 Keterangan : Optimal : Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal

PnkSDM : Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah Modal : Pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan

InfoPasar : Pengembangan jaringan dan informasi pasar Sarana : Peningkatan sarana dan prasarana

Sumberdaya ikan merupakan kekayaan alam yang dapat mendatangkan manfaat bagi manusia secara terus menerus karena sumberdaya ini memiliki sifat dapat pulih kembali. Nilai manfaat yang dapat diperoleh tergantung kepada bagaimana sumberdaya ikan tersebut dikelola. Apabila pengelolaannya baik sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar, maka nilai manfaat dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan. Namun apabila pengelolaannya tidak benar, nilai manfaat yang akan diperoleh pada suatu saat akan mengalami penurunan bahkan dapat terjadi sumberdaya ikan tersebut tidak memiliki nilai manfaat sama sekali. Oleh karena itu sumberdaya ikan yang masih baik harus dikelola dengan baik dan benar agar tetap terjaga kelestariannya, sedangkan sumberdaya ikan yang telah mengalami kerusakan perlu diperbaiki agar dapat pulih kembali seperti semula.

Pada dasarnya pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu perairan harus diawali dengan analisa stok ikan untuk mengetahui besarnya potensi ikan yang ada. Setelah diketahui besarnya potensi ikan yang ada, kemudian ditetapkan jenis dan jumlah alat tangkap yang dapat dioperasikan. Selanjutnya perlu dilakukan pengaturan dan pengawasan dalam pelaksanaannya. Hasil tangkapan berupa produksi ikan yang selanjutnya diolah dan dipasarkan untuk dikonsumsi oleh konsumen. Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan diperlukan daerah perlindungan tempat-tempat ikan berkembang biak dan tumbuh menjadi besar. Dalam hal ini diperlukan daerah-daerah konservasi seperti daerah terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun. Selanjutnya untuk mendukung kegiatan usaha penangkapan diperlukan pelabuhan perikanan yang meliputi fasilitas dermaga labuh, tempat pelelangan ikan, penyediaan air

bersih, penyediaan bahan bakar, dan balai pertemuan nelayan. Disamping itu diperlukan juga dukungan jalan penghubung untuk transportasi, dukungan komunikasi dan listrik serta permodalan. Untuk meningkatkan keterampilan para nelayan dan pengembangan masyarakat pesisir diperlukan pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus keterampilan. Perkembangan produksi, jumlah dan jenis alat tangkap yang dioperasionalkan serta jumlah nelayan dicatat dan diolah sebagai data statistik yang digunakan sebagai alat evaluasi, perencanaan dan penyempurnaan kebijakan selanjutnya.

Secara diagram pemanfaatan sumberdaya ikan dapat digambarkan seperti berikut:

Gambar 27. Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan SUMBERDAYA IKAN

(ANALISA STOK)

USAHA PENANGKAPAN (SESUAI DAYA DUKUNG)

PRODUKSI IKAN