• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.3 Hasil analisa data

Dalam penelitian ini, setiap individu ditentukankan terlebih dahulu sama ada merokok ataupun tidak. Terdapat 54 pasien yang menderita PPOK, seramai 25 orang merokok sementara 29 orang lagi tidak merokok. Distribusi pasien PPOK mengikut jenis kelamin pada tahun 2009 adalah 44 orang pria (81,5%) dan 10 orang wanita (18,5%). Daripada beberapa penelitian ditemukan prevalensi PPOK adalah lebih tinggi pada pria berbanding wanita.

Tabel 5.2 Distribusi penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan riwayat merokok berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)

Pria 24 96

Wanita 1 4

Jumlah 25 100

Setelah rekam medis diteliti, didapati bilangan penderita PPOK yang merokok adalah seramai 25 orang dimana 24 orang pria dan seorang wanita. Hal ini menunjukkan pria mempunyai presentase yang lebih tinggi menderita PPOK berbanding wanita.

Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2002), secara umumnya, PPOK terjadi pada perokok yang memulai tabiat merokok sejak usia remaja. Penurunan fungsi paru menimbulkan gejala apabila perokok berusia 40 hingga 50 tahun dan mulai mendapatkan rawatan di rumah

sakit apabila perokok telah mencapai usia 50 hingga 69 tahun. Kematian berlaku apabila mereka berada dalam lingkungan usia 60 hingga 79 tahun.

Gambar 5.1 Distribusi penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan riwayat merokok berdasarkan kelompok umur

Bagi distribusi penderita PPOK dengan riwayat merokok berdasarkan kelompok umur, pada penelitian ini, kelompok umur dengan persentase tertinggi adalah kelompok umur 61-70 tahun yaitu sebanyak 12 orang (48%).

Perokok pada garis besarnya dibagi menjadi dua yaitu perokok aktif dan perokok pasif. Perokok aktif adalah orang yang langsung menghisap asap rokok dari rokoknya, sedangkan perokok pasif adalah orang-orang yang tidak merokok, namun ikut menghisap asap sampingan selain asap utama yang dihembuskan balik oleh perokok. Sementara bekas perokok adalah perokok yang telah berhenti mengkonsumsi rokok. WHO menyatakan bahwa perokok pasif berisiko tinggi

kelompok perokok pasif akibat keterbatasan informasi yang diperoleh daripada rekam medis.

Tabel 5.3 Distribusi penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan riwayat merokok berdasarkan jenis perokok

Jenis perokok Frekuensi Persentase (%)

Perokok aktif 12 48

Bekas perokok 13 52

Jumlah 25 100

Daripada tabel diatas, seramai 12 orang (48%) merupakan perokok aktif sementara 13 orang (52%) lagi dikategorikan sebagai bekas perokok. Bekas perokok adalah lebih banyak berbanding perokok aktif. Walaupun begitu tidak terdapat perbedaan yang ketara pada dua kelompok ini.

Derajat berat merokok ini diukur menggunakan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang diisap per hari seorang pasien dengan lama merokok dalam tahun. Pada penelitian ini, jumlah rata-rata batang rokok yang diisap oleh setiap penderita PPOK per hari adalah sebanyak 27 batang sementara rata-rata lama merokok bagi kesemua penderita ini adalah selama 36 tahun. Jangka waktu merokok paling lama adalah 50 tahun.

Gambar 5.2 Distribusi penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan riwayat merokok berdasarkan derajat berat merokok

Berdasarkan derajat berat merokok, diperolehi persentase tertinggi penderita PPOK dengan riwayat merokok adalah di dalam derajat berat yaitu sebanyak 64%.

5.4 Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penderita PPOK di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) pada tahun 2009, diperoleh data dengan cara merujuk rekam medis. Data tersebut dijadikan tolak ukur dalam melakukan pembahasan dan sebagai hasil akhir dapat dijabarkan seperti berikut:

Pada tabel 5.1 dapat diamati bahawa prevalensi PPOK di RSUP HAM, Medan pada tahun 2009 adalah seramai 54 orang dimana 25 orang (46,3%)

penggunaan rokok. Lebih daripada setengah juta penduduk Indonesia pada tahun 2001 menderita penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh rokok (Supari, 2008). Hal ini kurang bertepatan dengan hasil penelitian dimana hanya 46,3% penderita PPOK yang merokok. Hai ini kerana pada penelitian ini terjadi keterbatasan penelitian akibat rekam medis yang tidak lengkap. Kemungkinan juga terdapat faktor penyebab lain yang lebih dominan dan berpengaruh pada pasien PPOK di lingkungan tersebut seperti pemaparan akibat pekerjaan dan polusi udara.

Pada tabel 5.2 diperoleh proporsi penderita PPOK dengan riwayat merokok berdasarkan jenis kelamin adalah sebanyak 24 orang (96%) bagi pria dan seorang (4%) bagi wanita. Menurut Reily, Edwin, Shapiro (2008), prevalensi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Hal ini terbukti dalam penelitian ini dimana persentasi tertinggi penderita PPOK dengan riwayat merokok adalah pria.

Sementara itu jika dilihat pada gambar 5.1, kelompok umur yang memiliki persentase tertinggi bagi proporsi penderita PPOK dengan riwayat merokok berdasarkan kelompok umur adalah kelompok umur 61-70 tahun (48%). Keadaan ini mungkin menyatakan bahawa hubungan antara penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Semakin bertambahnya umur, semakin menurun fungsi paru dan keadaan ini diperburuk dengan adanya kebiasaan merokok yang seterusnya dapat menjadi faktor risiko dalam meningkatkan prevalensi PPOK. Selain daripada itu, menurut CDC (2002), secara umumnya, PPOK terjadi pada perokok yang memulai tabiat merokok sejak usia remaja dan mulai mendapatkan rawatan di rumah sakit apabila perokok telah mencapai usia 50 hingga 69 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan penyebab persentase yang tinggi pada kelompok umur 61-70 tahun.

Merujuk pada tabel 5.3, proporsi penderita PPOK dengan riwayat merokok berdasarkan jenis perokok adalah sebanyak 12 orang (48%) merupakan perokok aktif sementara 13 orang (52%) lagi dikategorikan sebagai bekas perokok. Di sini dapat simpulkan bahawa jenis perokok yang lebih banyak pada

penderita PPOK dengan riwayat merokok adalah bekas perokok. Meskipun begitu tiada perbedaan yang ketara bagi kedua jenis perokok tersebut.

Menurut B. Agne, K. Algirda, S. Raimudas dan S. Brigita (2006), penderita PPOK yang merupakan perokok aktif dan bekas perokok mempunyai jumlah dan jenis sel inflamasi yang hampir sama pada induced sputum. Hal ini menunjukkan respon inflamasi yang masih berterusan walaupun setelah berhenti merokok. Meskipun begitu, ditemukan jumlah neutrofil pada bekas perokok penderita PPOK adalah lebih rendah berbanding perokok aktif penderita PPOK. Oleh itu, dapat diasumsikan bahawa dengan berhenti merokok, terjadi alterasi positif pada penderita PPOK. Maka, lebih banyak penderita PPOK merupakan bekas perokok.

Proporsi penderita PPOK dengan riwayat merokok berdasarkan derajat berat merokok dapat dilihat pada gambar 5.2. Bagi menentukan derajat berat merokok pada penelitian ini, digunakan index Brinkman (IB) yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan dengan jumlah lamanya merokok dalam tahun (Supari, 2008). Pada penelitian ini diperoleh derajat berat merokok yang tertinggi adalah derajat berat. Keadaan ini adalah kerana terdapat hubungan dose

response antara rokok dan PPOK. Lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap

hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko untuk terkena penyakit seperti PPOK akan lebih besar.

Pada satu penelitian oleh K. Akiko, K. Toshifumi, M. Kazumi, S. Fuminori dan Y. Hiroshi (2009), derajat berat merokok ini dibahagikan kepada 4 kelompok yaitu; bukan perokok, ≤ 400, ≤ 800 dan > 800. Menurut peneliti, efek

dose-dependent pada perokok dapat menyebabkan peningkatan sel darah putih

pada pria dan wanita serta sel darah merah pada wanita. Pada kelompok dengan derajat merokok tertinggi > 800, ditemukan jumlah sel darah putih yang paling banyak berbanding kelompok ≤ 800 dan ≤ 400. Maka, dapat diasumsi bahwa

Dokumen terkait