• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC

Sampel yang telah dibiakkan dalam media cair PDB dan GAN termodifikasi kemudian di-sampling secara aseptis untuk analisis kandungan aflatoksin menggunakan metode TLC (Thin Layer Chromatography). Sampel kemudian disimpan dalam suhu refrigerator sebelum diekstrak menggunakan klorofom. Sampel yang telah diekstrak dianalisis dengan metode TLC menggunakan teknik perbandingan dengan standar (Jones 1972). Sampel di-spotting pada lempeng silika gel (fase stasioner) dengan fase gerak kloroform-aseton (9:1) yang telah dipersiapkan dan diletakkan dalam developing chamber yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Secara alami aflatoksin memberikan fluoresensi pada panjang gelombang tertentu yang disebabkan oleh struktur oxygenated pentaheterocyclic aflatoksin (Fente et al. 2001). Hal tersebut memungkinkan analisis aflatoksin menggunakan TLC untuk kemudian hasil fluoresensi dibaca menggunakan UV-reader pada panjang gelombang 365 nm. Hasil fluoresensi yang diamati dalam UV-reader dibandingkan dengan hasil fluoresensi standar yang digunakan. Selanjutnya dilakukan perhitungan konsentrasi aflatoksin dalam sampel sesuai dengan rumus yang tersedia.

Hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel dari semua ulangan yang diperoleh dari media GAN termodifikasi tidak terdeteksi menghasilkan aflatoksin. Uji TLC yang dilakukan pada sampel dari media GAN termodifikasi telah diujikan dengan berbagai volume spotting namun tetap tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin yang terdeteksi pada sampel. Hal tersebut berbeda dengan hasil analisis TLC pada sampel dari media PDB yang secara konstan

 

menunjukkan adanya produksi aflatoksin pada tiap ulangan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil uji TLCe kadar aflatoksin sampel pada media PDBa

Sampling

Kadar Aflatoksin (ppb)*

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Rataan JCMb S.26c JCMb S.26c JCMb S.26c JCMb S.26c JCMb S.26c JCMb S.26c H0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 H2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 H5 100 100 0,0 0,0 100 100 0,0 0,0 0,0 0,0 40 40 H7 100 250 250 250 150 100 50 50 100 100 130 150 H9 150 450 300 500 200 200 200 200 150 150 200 290 H12 200 300 400 300 200 150 250 200 150 200 240 230 H14 200 100 250 200 200 150 100 100 150 100 180 130 H16 100 100 100 150 150 150 100 50 100 150 110 120 H19 0,0 100 50 150 100 50 50 50 100 100 60 90 H21 0,0 0,0 50 50 50 0,0 25 25 50 50 35 25 a Media PDB (pH 4.00, suhu 25°C) b

Kontrol positif (+) berupa isolat Aspergillus flavus Koleksi JCM

cSampel berupa isolat lokal Aspergillus flavus S.26 d

ppm (part per billion=ng/g)

eKonsentrasi standar aflatoksin yang digunakan: B

1=200 ppb, B2=100 ppb, G1=1000 ppb, G2=300 ppb. LoD

= 0.4 ppb (Meilawati 2007)

Berbeda dengan sampel pada medium GAN termodifikasi, sampel pada medium PDB menunjukkan adanya produksi aflatoksin. Perbedaan hasil yang cukup signifikan mengindikasikan adanya perbedaan kapabilitas kedua media yang digunakan dalam mendukung produksi aflatoksin pada strain S.26 dan JCM. Meskipun hasil analisis sampel dari media GAN termodifikasi tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin, hasil pengamatan visual selama periode pembiakan kapang pada media GAN termodifikasi menunjukkan adanya pertumbuhan kapang yang ditunjukkan dengan adanya koloni pada media. Meskipun demikian, ciri-ciri morfologis koloni yang terdapat pada media GAN termodifikasi berbeda dengan koloni yang dijumpai pada media PDB. Koloni pada media PDB memiliki ciri morfologis berwarna kuning kehijauan dan berubah menjadi hijau tua pada koloni yang sudah tua (Gambar 13). Sementara itu, koloni pada media GAN termodifikasi berwarna putih yang berasal dari miselium kapang (Gambar 14).

 

Brian et al. (1961) menyatakan bahwa medium GAN (Glucose Ammonium Nitrate) mampu menunjukkan hasil produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus. Meskipun demikian, hasil penelitian Maggon et al. (1969) menunjukkan bahwa medium GAN dapat memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu.

Hasil percobaan yang dilakukan Moggan et al. (1969) mengindikasikan bahwa medium GAN bisa memberikan hasil yang variatif bergantung pada strain Aspergillus flavus yang diujikan. Aspergillus tidak membutuhkan garam untuk produksi toksin sehingga ketersediaan trace element dalam media sangat mempengaruhi produksi toksin. Meskipun demikian, setiap strain memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga efek dari trace element yang tersedia dalam medium GAN dapat menunjukkan hasil yang variatif (Moggan et al. 1969). Nazari (2010) menyatakan bahwa perubahan pada komposisi medium bisa mempengaruhi parameter pertumbuhan yang berbeda. Hal tersebut menjelaskan mengapa beberapa peneliti telah melaporkan adanya pengaruh yang besar dari suatu medium terhadap pertumbuhan suatu kapang

Gambar 14. Koloni Aspergillus flavus pada media PDB

Gambar 13. Koloni Aspergillus flavus pada media GAN termodifikasi

 

sementara beberapa peneliti lain melaporkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dari kapang yang sama. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa strain S.26 (C) dan JCM yang digunakan dalam analisis dengan TLC, seperti halnya strain DU/KR 79 F dan DU/KR 79 K dalam penelitian Moggan et al. (1969) tidak menunjukkan produksi aflatoksin dalam medium GAN termodifikasi karena pengaruh dari modifikasi medium berupa substitusi sukrosa pada sebagian glukosa, penetapan pH awal 7, maupun ketidakcocokan strain terhadap medium GAN. Uji TLC dilakukan pada 100 sampel yang berasal dari sampling pada lima ulangan yang berasal dari strain yang sama sehingga apabila strain yang digunakan tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada medium GAN termodifikasi maka semua sampel yang diujikan akan memberikan hasil yang sama.

Kasno (2003) menyatakan bahwa koloni Aspergillus flavus yang sudah menghasilkan spora akan berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman dan miselium yang berwarna putih sudah tidak nampak lagi. Penampakkan warna putih pada koloni kapang di media GAN termodifikasi diduga terjadi karena kapang yang tumbuh belum atau tidak mampu menghasilkan spora. Bukti-bukti menunjukkan bahwa metabolit sekunder dapat diasosiasikan dengan proses perkembangan kapang seperti sporulasi dan pembentukkan sklerotia (Yu et al. 2002). Rendahnya produksi aflatoksin disebabkan pula oleh rendahnya pembentukkan biomassa miselia kapang yang mengindikasikan adanya pertumbuhan yang terhambat. Pertumbuhan yang terhambat akan mempengaruhi produksi aflatoksin karena meskipun aflatoksin merupakan metabolit sekunder namun produksinya sangat terkait dengan berbagai enzim yang ikut terhambat saat pertumbuhan terhambat.

Sardjono et al. (1992) dan Aryantha et al. (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan miselia yang terhambat memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung kepada sintesis enzim termasuk enzim yang berperan dalam produksi aflatoksin sehingga akan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin baik langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut Yu et al. (2002) menyatakan bahwa hasil pengamatan menunjukkan kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk metabolisme sekunder dan pembentukkan spora adalah sama. Pembentukkan spora dan metabolit sekunder juga berlangsung secara bersamaan. Hal ini mungkin bisa menjelaskan alasan tidak ada aflatoksin yang terdeteksi pada uji TLC pada sampel-sampel dari media racikan. Berbeda dengan koloni pada media GAN termodifikasi, warna koloni pada media PDB menandakan bahwa koloni tersebut telah menghasilkan spora dan metabolit sekunder. Hal tersebut sejalan dengan hasil analisis TLC yang menunjukkan adanya aflatoksin yang diproduksi oleh kapang pada media PDB.

Meskipun demikian, penyebab adanya perbedaan hasil dari kedua media masih belum dapat dijelaskan dengan akurat karena faktor utama yang menyebabkan adanya perbedaan belum bisa diidentifikasi. Kedua media yang digunakan secara umum hanya memiliki perbedaan dalam pH awal dan sumber nitrat yang digunakan. Media GAN termodifikasi memiliki pH 7.00 dengan nitrat berasal dari sumber anorganik yakni ammonium nitrat. Sementara itu, media PDB yang digunakan memiliki pH awal 4.00 dengan nitrat berasal dari sumber organik. Kedua faktor tersebut diduga mempengaruhi produksi aflatoksin pada kedua media. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa terdapat bukti potensial tentang ekspresi gen dalam produksi aflatoksin yang dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, seperti pH dan kandungan nitrat. Meskipun demikian, pengaruh nitrat terhadap produksi aflatoksin sampai saat ini masih belum jelas. Sementara itu, Buchanan et al. (1975) dan Ruiqian (2004) menyatakan bahwa bahwa pH awal tidak mempengaruhi produksi aflatoksin pada beberapa strain secara signifikan dan universal,

 

sedangkan pengamatan lainnya menunjukkan bahwa pH asam lemah secara nyata menekan pertumbuhan kapang namun menghasilkan aflatoksin yang lebih tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan media PDB dengan pH awal 4.00 mampu mendukung produksi aflatoksin lebih baik dibanding media GAN termodifikasi yang memiliki pH awal 7.00 terhadap strain S.26 dan JCM yang dievaluasi. Meskipun demikian, tidak diketahui signifikansi pengaruh faktor pH awal karena pH akhir pada kedua media tidak diukur. Pengaruh dari pH awal bergantung pada komposisi media sehingga pH awal yang optimum untuk tiap media akan berbeda. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa pH awal 7.00 mungkin merupakan salah satu penyebab minimnya produksi aflatoksin pada media GAN termodifikasi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk melihat pengaruh pH awal sekaligus menentukan pH awal yang paling optimum untuk media GAN termodifikasi.

Parameter lain selain pH awal dan komposisi media antara media GAN termodifikasi dan media PDB adalah sama. Parameter seperti ketersediaan O2 dan CO2, suhu, dan kelembaban udara dianggap seragam karena kedua media ditempatkan pada ruang inkubasi yang sama. Kedua media ditempatkan pada ruangan dengan temperatur sekitar 25˚C dan kelembaban udara normal. Temperatur ruang inkubasi diusahakan tetap konstan dalam kisaran 25˚C. Meskipun demikian, pengatur suhu yang berupa AC (Air Conditioner) memungkinkan adanya sedikit variasi suhu selama pembiakan kapang, namun variasi suhu tersebut dialami oleh biakan dalam kedua media sehingga dalam hal ini kondisi pembiakan dapat disimpulkan seragam.

Kedua jenis sampel baik dari isolat lokal S.26 dan JCM memiliki produksi tertinggi pada ulangan kedua. Sampel isolat S.26 pada ulangan kedua menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 400 ppb dan sampel isolat JCM menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 500 ppb. Sampel dari ulangan kedua kemudian dianalisis menggunakan HPLC untuk memperoleh nilai kandungan aflatoksin yang lebih akurat.

Metode TLC dalam analisis aflatoksin yang dilakukan masih memiliki beberapa kelemahan seperti tingkat sensitivitas yang lebih rendah dari metode lain seperti HPLC. Publikasi hasil penelitian yang menggunakan TLC juga telah menurun jumlahnya dalam tahun- tahun belakangan. Meskipun demikian, metode ini masih dapat digunakan untuk melihat kurva produksi aflatoksin dari sampel yang diuji. Metode TLC dengan teknik perbandingan dengan standar dalam mengestimasi konsentrasi aflatoksin merupakan pengukuran subjektif. Kesulitan dalam memperkirakan perbedaan-perbedaan kecil dalam intensitas fluoresensi secara visual menyebabkan adanya kisaran presisi sebesar ± 20% dalam kondisi ideal (Jones 1972). Faktor yang mempengaruhi tingkat presisi analisis antara lain kesalahan dalam spotting, variasi resolusi dari batch yang berbeda tiap lempeng silika gel, dan kesalahan dalam penentuan peak areas pada pengamatan di UV-reader. Akurasi dan tingkat presisi dalam analisis aflatoksin bisa ditingkatkan dengan mengembangkan instrumen pengukuran yang dapat mengukur intensitas fluoresensi secara objektif.

Dokumen terkait