• Tidak ada hasil yang ditemukan

Instrumen HPLC yang digunakan dalam analisis HPLC 63

UJI POTENSI ISOLAT LOKAL Aspergillus flavus SEBAGAI PENGHASIL

AFLATOKSIN

SKRIPSI

NICHO AFIANDI

F24061661

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

POTENTIAL TEST OF Aspergillus flavus LOCAL STRAIN AS AFLATOXIN

PRODUCER

Nicho Afiandi1, Hanifah Nuryani Lioe1, Romsyah Maryam2 1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, P.O. Box 220, Bogor 16002, West Java,

Indonesia 2

Balai Besar Penelitian Veteriner, P.O. Box 151, Bogor 16114, West Java, Indonesia Phone 62 877 2017 4874, e-mail: mr.afiandi@hotmail.com

ABSTRACT

Aflatoxin is found in food and livestock feed in Indonesia. Aflatoxin is toxigenic, mutagenic, teratogenic, carcinogenic, and immunosuppresive compound. Hazardous potential of aflatoxin demands the avaibility of aflatoxin standard for analysis. Pure 55 strains of Aspergillus flavus were screened with ELISA to evaluate the potential yield of aflatoxin. Result of screening suggested that isolate S.26 contained the highest AFB1 (1212,3 ppb). This isolate was chosen for aflatoxin production on PDB (Potato Dextrose Broth) media and GAN (glucose ammonium nitrate) media with five replications. A. flavus from JCM was also grown in the same media under the same condition as the reference isolate to produce aflatoxins. TLC analysis results suggested that both A. flavus cultures from S.26 and JCM isolates grown on GAN showed no ability to produce aflatoxin while those grown on PDB could produce aflatoxin. Aflatoxin analysis of the A. flavus culture of S.26 isolate grown on PDB by TLC suggested that the highest aflatoxin production was reached at the ninth until twelfth day with a range of aflatoxin concentrations 200-500 ppb and the average of 310 ppb (n=5). Analysis of A. flavus culture of JCM isolate on PDB by TLC suggested that the highest aflatoxin production was reached at the twelfth day with a range of aflatoxin concentrations 150-400 ppb and the average of 240 ppb. HPLC analysis of A. flavus culture of S.26 isolate had the highest amount of aflatoxin of 935,8 ppb at the ninth day while A. flavus culture of JCM isolate had the highest aflatoxin production of 847,7 ppb at the twelfth day. A. flavus of local isolate (S.26) has higher potential in producing aflatoxins on PDB media compared to A. flavus of reference isolate (JCM). Production of alfatoxin might be affected by variations in nitrate source, initial pH, medium composition, and chain of serial transfers during preparation and analysis. The aflatoxin produced by A. flavus of local isolate in PDB media could be the candidate of aflatoxin standards which are essential for the analysis of aflatoxins by means of purification on column chromatography.

NICHO AFIANDI. F24061661. Uji Potensi Isolat lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin. Di bawahbimbinganHanifah Nuryani Lioe dan Romsyah Maryam. 2011.

RINGKASAN

Aflatoksin banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan yang berasal dari produk pertanian di Indonesia. Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan.Aflatoksin merupakan senyawa toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan bersifat immunosuppresif.Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana, termasuk penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat.

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah menguji potensi isolat lokal Aspergillus flavusdalam menghasilkan aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan dalam analisis aflatoksin. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan di berbagai laboratorium di Indonesia dalam melakukan analisis cemaran aflatoksin termasuk identifikasi dan kuantifikasi.

Secara umum,penelitian ini terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama berupa seleksi kemampuan isolat lokal Aspergillus flavus dalam menghasilkan aflatoksin menggunakan teknik ELISA. Tahap kedua berupa pembiakanisolatlokalA. flavusterpilih padamediaPDB (Potato Dextrose Broth) dan media GAN (glucose ammonium nitrate) termodifikasi. Tahap terakhir berupa analisis kandungan aflatoksin dalambiakanmenggunakan TLC (Thin Layer Chromatography) dan dikonfirmasi menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography).

Tahapseleksimenunjukkan bahwa dari 10 isolatlokal A. flavusyang terdiri atas 55 sampel yang diuji, isolat S.26 merupakan isolat Aspergillus flavus yang paling banyak memproduksi aflatoksin, terutama AFB1 sebesar 1212,3 ppb. Isolat tersebut kemudian dibiakkan dalam media PDB dan media GAN setelah disegarkanpada media agar miring SDA (Sucrose Dextrose Agar). Tahappembiakan dilakukan selama tiga minggu dan dilakukan sampling pada interval waktu yang telah ditentukan. Pembiakan dilakukan menggunakan kontrol positif isolat Aspergillus flavus JCM.

Tahapan analisis sampel dilakukan menggunakan TLC dan HPLC setelah sampel sebelumnya diekstrak menggunakan kloroform. Hasil analisis TLC menunjukkan bahwa sampel S.26 dan JCM yang dibiakkan dalam media GAN termodifikasi tidak menghasilkan aflatoksin. Sementara itu, hasil analisis TLCkedua isolatyang dibiakkan dalam media PDB secara konstan menghasilkan aflatoksin pada tiap ulangan (n=5). Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi perbedaan kemampuan produksi aflatoksin darikedua isolat tersebutdalam media PDB dan GAN antara lainadanyaperbedaan komposisi medium, pH awal dan sumber nitrat. Hasil analisis TLC untuk isolat S.26 dari media PDB menunjukkan produksi aflatoksin tertinggi pada hari 9-12 dengan kisaran konsentrasi 200-500 ppb dan rataan aflatoksin sebesar 310 ppb.Sementara itu, produksi aflatoksin tertinggi oleh isolat JCM pada media PDB terlihat pada hari ke-12 dengan kisaran konsentrasi yang lebih rendah yaitu150-400 ppb dan rataan sebesar 240 ppb. Aflatoksindari sampelbiakanA. flavusdalammedia PDB selanjutnyadikonfirmasimenggunakan HPLC setelah diderivatisasi menggunakanasamtrifluoroasetat (TFA). Hasil analisis HPLC menunjukkan bahwa

ppb. Sementara itu produksi aflatoksinolehisolat JCM yang optimum terjadipadahari ke-12 dengankonsentrasisebesar 847,7 ppb. Penurunan produksi aflatoksin yang optimum dibandingkan hasil uji ELISA disebabkan oleh adanya pengaruh dari faktor kesalahan positif yang dapat terjadi dalam uji ELISA. Berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi antara lainpenyegaran dalam media padat agar miring dan berbagai serial transfer dalam proses persiapan dan pembiakan.

 

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Keamanan pangan merupakan salah satu isu kesehatan masyarakat yang semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang aman. Hak untuk mendapatkan pangan yang aman merupakan salah satu hak asasi manusia. Meskipun demikian, sampai dengan saat ini masalah keamanan pangan masih belum bisa teratasi dengan baik. Salah satu penyebab pangan menjadi tidak aman ialah adanya kontaminasi mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang. Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan dapat dilihat dengan diterapkannya standar mutu produk internasional ISO 9000, standar mutu lingkungan ISO 14000, dan ekolabel sebagai instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar (Kasno, 2004).

Beberapa kapang jenis tertentu mampu menghasilkan suatu senyawa organik beracun yang disebut mikotoksin (Syarief et al. 2003). Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu, dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Verma (2004) menyatakan bahwa kuantitas aflatoksin yang lebih tinggi umum dijumpai pada komoditas yang berasal dari negara subtropis dan tropis dimana kondisi lingkungannya lebih cocok untuk pertumbuhan kapang dan produksi mikotoksin. Pada tahun 1980-an dilaporkan adanya keracunan aflatoksin di Ujung Pandang (Makassar) akibat satu keluarga mengkonsumsi kue khas daerah yang dinyatakan telah terkontaminasi aflatoksin sehingga menyebabkan tewasnya seluruh anggota keluarga tersebut. Kasus ini menimbulkan polemik pro dan kontra menyangkut efek kematian yang mendadak (akut) dari mikotoksin yang belum pernah terdokumentasi (Syarief et al. 2003).

Aflatoksin banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan di Indonesia yang berasal dari produk pertanian. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan berpotensi menyebabkan tertimbunnya residu dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Diaz et al. 2006; Van Eijkeren et al. 2006). Di Indonesia setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200.000 penderita kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin (Pitt et al. 1997).

Potensi bahaya aflatoksin dalam pangan dan pakan mendorong munculnya berbagai regulasi terkait dengan aflatoksin. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005).

Penentuan konsentrasi aflatoksin dalam suatu komoditas pertanian, baik pakan maupun pangan, membutuhkan suatu metode analisis tertentu. Gilbert et al. (2005) menyatakan bahwa analisis aflatoksin pertama kali dilakukan lebih dari 30 tahun yang lalu menggunakan thin layer chromatography (TLC). Kemajuan teknologi analisis saat ini telah mengarah pada penggunaan instrumen high performance liquid chromatography (HPLC). Meskipun demikian, pada dasarnya metode analisis aflatoksin membutuhkan penggunaan standar acuan. Sementara itu, standar aflatoksin sangat sulit untuk diperoleh di Indonesia karena mikotoksin ini dikategorikan

 

sebagai senyawa bioterorisme yang menyebabkan peredaran maupun perdagangannya sangat diawasi dengan ketat oleh pihak-pihak terkait.

Kapang Aspergillus sp., seperti A. flavus penghasil aflatoksin dapat tumbuh dengan baik pada iklim tropis Indonesia yang memiliki kelembaban, suhu, serta curah hujan tinggi. Hal tersebut menjadikan aflatoksin sebagai mikotoksin terpenting di Indonesia dari sekian banyak jenis mikotoksin lainnya. Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin yang sangat besar bagi produk- produk pertanian Indonesia membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana yang mencakup manajemen pengelolaan komoditas pangan baik pra-panen dan pasca panen. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk meminimalisasi kontaminasi aflatoksin terutama pada komoditas pertanian untuk memperkecil hambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri melalui manajemen yang baik. Manajemen yang baik mencakup penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat. Hal tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan tersedianya standar acuan aflatoksin yang bisa diperoleh dengan cepat, terjangkau, dan berkesinambungan.

Potensi isolat lokal dari kapang Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin sangat tinggi, sehingga memungkinkan pemanfaatannya untuk memproduksi aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan. Kesulitan untuk memperoleh standar komersial memberikan peluang untuk menggali potensi isolat Aspergillus flavus. lokal sebagai penghasil aflatoksin untuk dijadikan standar. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan untuk berbagai laboratorium termasuk identifikasi dan kuantifikasi cemaran aflatoksin.

B.

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan potensi isolat lokal Aspergillus flavus dalam menghasilkan aflatoksin. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Menyeleksi potensi isolat lokal A. flavus dalam memproduksi aflatoksin B1 dengan uji

ELISA.

2. Mengevaluasi produksi aflatoksin dari isolat lokal terbaik pada medium cair PDB (Potato Dextrose Broth) dan medium cair GAN (Glucose ammonium nitrate) yang dimodifikasi. 3. Menganalisis aflatoksin yang dihasilkan dengan metode TLC dan mengkonfirmasi hasilnya

dengan metode HPLC. Hasil pengamatan terhadap kromatogram kemudian dijadikan acuan dalam menentukan apakah isolat lokal yang digunakan memiliki potensi yang cukup untuk memproduksi aflatoksin dalam skala besar untuk dijadikan acuan dalam analisis aflatoksin.

Penelitian ini diharapkan mampu membantu untuk menguji potensi isolat lokal sebagai penghasil aflatoksin. Hal tersebut pada akhirnya diharapkan mampu membantu membuat standar alternatif untuk analisis aflatoksin.

 

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Aspergillus flavus

Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA.

Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia (Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.

Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007)

 

flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman 1977). Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang (400-800 µm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al. 2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007). Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi (grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak dipelajari hingga saat ini.

 

       

Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus (Hedayati et al. 2007)

Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban sebagai variabel yang paling penting (Hedayati et al. 2007). Tingkat penyebaran Aspergillus flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Bhatnagar 2000).

Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi (Abbas 2005). Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang

 

mengkontaminasi produk agrikultur (Yu et al. 2002). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993). Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi (Gambar 3).

Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada aw 0.86 dan 0.96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al. 1982)

.

Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion. Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi (Hedayati et al. 2007). Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang laiinya (Hedayati et al. 2007). Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).

Hedayati (2007) menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus (Reddy et al. 2010)

 

magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30˚C dengan Rh ≥ 95% (Onions et al. 1981). Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum 1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.

B.

Aflatoksin

Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip (Ruiqian et al. 2004). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu (Yu et al. 2002). Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang (Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004). Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan (Yu et al. 2004; Yusrini 2005). Aflatoksin memiliki karakteristik seperti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina

Aflatoksin Rumus Molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)

B1 C17H12O6 312 268-269 B2 C17H14O6 314 286-289 G1 C17H12O7 328 244-246 G2 C17H14O7 330 237-240 M1 C17H12O7 328 299 M2 C17H14O7 330 293 B2A C17H14O7 330 240 G2A C17H14O8 346 190 a Sumber: http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp (2010)

Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya,

 

aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi (Yu et al. 2002). Yu et al. (2002) menyatakan bahwa aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi (Gambar 4) yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut.

hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —>

hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA — > demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —> O- methylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1,

AFG1.

Gambar 4. Skema produksi aflatoksin (Yu et al. 2002)

Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks (Gambar 5) dan diatur oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa efek posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan lingkungan. D’Mello (2002) secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil koenzim-A.

 

Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterigmatosistin (Yu et al. 2002)

Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin secara biologis maupun dalam kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan yang membatasi pertumbuhan (Carvalho 2010).

 

Fente et al. (2001) menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan (Wang et al. 2005). Kapang- kapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis 1969) atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi (Winn dan Lane 1978) meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet (Syarief et al. 2003). Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip (Gambar 6).

 

Semakin kecil indeks angka tambahan tersebut, semakin cepat Rf (Rate of Flow) dari spot sehingga rasio antara jarak spot dan eluen semakin besar. Steyn (1991) dan Miller (1994) menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin

Dokumen terkait