Bab ini berisi hasil dari thinning terhadap aksara Sunda, dan analisa hasil alat uji terhadap citra hasil thinning.
BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan atas hasil penelitian dan saran berdasarkan kekurangan dan kelebihan Thinning dengan metode Kwon-Gi-Kang terhadap aksara Sunda.
2. 1. Pengolahan
2. 1. 1 Pengertian Citra Digital
Secara umum, pengolahan citra digital menunjuk pada pemrosesan gambar dua dimensi menggunakan komputer. Dalam konteks yang lebih luas, pengolahan citra digital mengacu pada pemrosesan setiap data dua dimensi. Citra digital merupakan larik (array) yang berisi nilai
komplek yang direpresentasikan dengan deretan bit tertentu.
Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x, y) berukuran M baris dan N kolom, dengan x dan y adalah koordinat
di titik koordinat (x, y) dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila nilai x, y, dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit maka dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital.
BAB II
LANDASAN TEORI engolahan Citra Digital
1. 1 Pengertian Citra Digital
Secara umum, pengolahan citra digital menunjuk pada pemrosesan gambar dua dimensi menggunakan komputer. Dalam konteks yang lebih luas, pengolahan citra digital mengacu pada pemrosesan setiap data dua dimensi. ra digital merupakan larik (array) yang berisi nilai – nilai real maupun komplek yang direpresentasikan dengan deretan bit tertentu.
Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x, y) berukuran M baris dan N kolom, dengan x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo f di titik koordinat (x, y) dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila nilai x, y, dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit maka dapat dikatakan
ra tersebut adalah citra digital.
Gambar 2. 1 Koordinat citra digital (Putra, 2010)
Secara umum, pengolahan citra digital menunjuk pada pemrosesan gambar dua dimensi menggunakan komputer. Dalam konteks yang lebih luas, pengolahan citra digital mengacu pada pemrosesan setiap data dua dimensi. nilai real maupun Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x, y) berukuran M spasial, dan amplitudo f di titik koordinat (x, y) dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila nilai x, y, dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit maka dapat dikatakan
Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut. ( , ) =
Nilai pada suatu irisan antara baris dan kolom (pada posisi x, y) disebut dengan
terakhir (pixel) paling sering digunakan pada citra digital. 2. 1. 2. Pixel dan
Setiap pixel mewakili tidak hanya satu titik dalam sebuah citra melainkan sebuah bagian berupa kotak yang merupakan bagian terkecil (sel). Nilai dari sebuah pixel haruslah dapat menunjukkan nilai rata
sama untuk seluruh bagian dari sel te
Pada citra 3D satuan atau bagian terkecilnya bukan lagi sebuah pixel melainkan sebuah voxel. Voxel adalah singkatan dari volume
dalam voxel ditentukan dengan tiga buah variabel yaitu kedalaman (depth),
kolom. Penggambaran dapat dilakukan dengan sumbu kartesian.
Gambar 2. 2 Voxel
Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut.
(0,0) (0,1) … (0, − 1)
(1,0) (1,1) … (1, − 1)
⋮
( − 1,0) ( − 1,1)⋮ … ( − 1, − 1)⋮
Nilai pada suatu irisan antara baris dan kolom (pada posisi x, y) disebut dengan picture element, image element, pels, atau pixel
terakhir (pixel) paling sering digunakan pada citra digital. Pixel dan Voxel
Setiap pixel mewakili tidak hanya satu titik dalam sebuah citra melainkan sebuah bagian berupa kotak yang merupakan bagian terkecil (sel). Nilai dari sebuah pixel haruslah dapat menunjukkan nilai rata
sama untuk seluruh bagian dari sel tersebut.
Pada citra 3D satuan atau bagian terkecilnya bukan lagi sebuah pixel melainkan sebuah voxel. Voxel adalah singkatan dari volume
dalam voxel ditentukan dengan tiga buah variabel yaitu k yang menyatakan kedalaman (depth), m menyatakan posisi baris, dan n yang menyatakan posisi kolom. Penggambaran dapat dilakukan dengan sumbu kartesian.
Gambar 2. 2 Voxel dari citra tiga dimensi (Putra, 2010) Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut.
(1)
Nilai pada suatu irisan antara baris dan kolom (pada posisi x, y) atau pixel. Istilah
Setiap pixel mewakili tidak hanya satu titik dalam sebuah citra melainkan sebuah bagian berupa kotak yang merupakan bagian terkecil (sel). Nilai dari sebuah pixel haruslah dapat menunjukkan nilai rata – rata yang Pada citra 3D satuan atau bagian terkecilnya bukan lagi sebuah pixel melainkan sebuah voxel. Voxel adalah singkatan dari volume element. Posisi yang menyatakan yang menyatakan posisi kolom. Penggambaran dapat dilakukan dengan sumbu kartesian.
2. 1. 3. Resolusi Citra
Resolusi citra merupakan tingkat detail suatu citra. Semakin tinggi resolusi citra maka akan semakin tinggi pula tingkat detail dari citra tersebut. Satuan dalam pengukuran resolusi citra dapat berupa ukuran fisik (jumlah garis per mm/jumlah garis per inchi) ataupun dapat juga berupa ukuran citra menyeluruh (jumlah garis per tinggi citra). Resolusi sebuah citra dapat diukur dengan berbagai cara sebagai berikut.
a. Resolusi pixel b. Resolusi spasial c. Resolusi spektral d. Resolusi temporal e. Resolusi radiometrik 2. 1. 4. Jenis Citra
Nilai suatu memiliki nilai dalam rentangf tertentu, dari nilai minimum sampai nilai maksimum. Jangkauan yang digunakan berbeda – beda tergantung dari jenis warnanya. Namun secara umum jangkauannya adalah 0 – 255. Citra dengan penggambaran seperti ini digolongkan ke dalam citra integer. Berikut adalah jenis – jenis citra berdasarkan nilai pixelnya.
2. 1. 4. 1. Citra Biner
Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai pixel yaitu hitam dan putih. Citra biner juga disebut sebagai citra B&W (black and white) atau citra monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap pixel dari citra biner.
2. 1. 4. 2 Citra Grayscale Citra grayscale
kanal pada setiap pixelnya, dengan kata lain nilai bagian RED = GREEN = BLUE. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki adalah warna dari hitam, keabuan, dan put
keabuan di sini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendeakati putih. Citra
8 bit (256 kombinasi warna keabuan).
Gambar 2. 4 Citra
Gambar 2. 3 Citra biner (Putra, 2010) Grayscale
grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap pixelnya, dengan kata lain nilai bagian RED = GREEN = BLUE. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki adalah warna dari hitam, keabuan, dan put
keabuan di sini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendeakati putih. Citra grayscale berikut memiliki kedalaman warna 8 bit (256 kombinasi warna keabuan).
Gambar 2. 4 Citra grayscale (Putra, 2010)
merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap pixelnya, dengan kata lain nilai bagian RED = GREEN = BLUE. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki adalah warna dari hitam, keabuan, dan putih. Tingkatan keabuan di sini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam berikut memiliki kedalaman warna
2. 1. 5. Format File Citra 2. 1. 5. 1 Bitmap (.bmp)
Format bmp adalah format penyimpanan standar tanpa kompresi yang umum dapat digunakan untuk menyimpan citra biner hingga citra warna. Format ini terdiri dari beberapa jenis yang setiap jenisnya ditentukan dengan jumlah bit yang digunakan untuk menyimpan sebuah nilai pixel.
2. 1. 5. 2 Tagged Image Format (tif, .itiff)
Format .tif merupakan format penyimpanan citra yang dapat digunakan untuk menyimpan citra bitmap hingga citra dengan warna palet terkompresi.Format ini juga dapat digunakan untuk menyimpan citra yang tidak terkompresi dan juga citra terkompresi.
2. 1. 5. 3 Portable Network Graphics (.png)
Format .png adalah format penyimpanan citra terkompresi.Format ini dapat digunakan pada citra grayscale, citra dengan palet warna, dan juga citra fullcolor. Format .png juga mampu untuk menyimpan informasi hingga kanal alpha dengan penyimpanan sebesar 1 hingga 16 bit perkanal.
2. 1. 5. 4 JPEG (.jpg)
.jpg adalah format yang sangat umum digunakan untuk transmisi citra.Format ini digunakan untuk menyimpan citra hasil kompresi dengan metode JPEG.
2. 1. 5. 5 MPEG (.mpg)
Format ini digunakan di dunia internet dan diperuntukkan sebagai format penyimpanan citra bergerak (video).
2. 1. 5. 6 Graphics Interchange Format (.gif)
Format ini dapat digunakan pada citra warna dengan palet 8 bit.Penggunaan umumnya pada aplikasi web kualitas yang rendah
menyebabkan format ini tidak terlalu popular dikalangan peneliti pengolahan citra digital.
2. 1. 5. 7 RGB (.rgb)
Format ini merupakan format penyimpanan citra yang dibuat oleh silicon graphics untuk menyimpan citra berwarna.
2. 1. 5. 8 RAS (.ras)
Format .ras digunakan untuk menyimpan citra dengan format RGB tanpa kompresi.
2. 1. 5. 9 Postscript (.ps, .eps, .epfs)
Format ini diperkenalkan sebagai format untuk menyimpan citra buku elektronik. Dalam format ini, citra dipresentasikan ke dalam deret nilai decimal atau hexadecimal yang dikodekan ke dalam ASCII.
2. 1. 5. 10 Portable Image File Format
Format ini memiliki beberapa bagian diantaranya adalah portable bitmap, portable graymap, portable pixmap, dan portable network map dengan format berturut-turut adalah .pbm, .pgm, .ppm dan .pnm.Format ini baik digunakan untuk menyimpan dan membaca kembali data citra.
2. 1. 5. 11 PPM
PPM terdiri dari dua bagian umum yaitu bagian pendahuluan dan bagian data citra.Bagian pendahuluan memiliki tiga bagian kecil, yaitu pertama adalah pengenal PPM yang dapat berupa p3 (untuk citra ASCII) dan p6 (untuk citra binary).Bagian pendahuluan yang kedua adalah ukuran panjang dan lebar citra. Bagian ketiga dari pendahuluan adalah nilai maksimum dari komponen warna .keistimewaannya adalah dalam data citra dapat disimpan komentar dengan memberikan tanda “#” sebelum komentar.
2. 1. 5. 12 PGM
Format ini hampir mirip dengan format PPM hanya saja format ini menyimpan informasi grayscale (satu nilai per pixel).Pengenal yang digunakan adalah p2 dan p5.PBMPBM digunakan untuk menyimpan citra biner. Hampir sama dengan PPM dan PGM,format PBM ini memiliki pendahuluan, hanya saja pendahuluannya tidak memilikibagian ketiga (penjelasan nilai maksimum pixel). Pengenal yang digunakan adalah p1. 2. 2. Pengolahan Preprocesing
2. 2. 1. Grayscaling
Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap pikselnya, artinya nilai dari Red = Green = Blue. Nilai-nilai tersebut digunakan untuk menunjukkan intensitas warna.
Citra yang ditampilkan dari citra jenis ini terdiri atas warna abu-abu, bervariasi pada warna hitam pada bagian yang intensitas terlemah dan warna putih pada intensitas terkuat. Citra grayscale berbeda dengan citra ”hitam-putih”, dimana pada konteks komputer, citra hitam putih hanya terdiri atas 2 warna saja yaitu ”hitam” dan ”putih” saja. Pada citra grayscale warna bervariasi antara hitam dan putih, tetapi variasi warna diantaranya sangat banyak. Citra grayscale seringkali merupakan perhitungan dari intensitas cahaya pada setiap piksel pada spektrum elektromagnetik single band.
Citra grayscale disimpan dalam format 8 bit untuk setiap sample piksel, yang memungkinkan sebanyak 256 intensitas. Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing R, G dan B menjadi citra grayscale dengan nilai X, maka konversi dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai R, G dan B sehingga dapat dituliskan menjadi:
X = (R+G+B)/3 (2) Warna = RGB(X, X, X)
Gambar 2. 5 Visualisasi 256 Aras Keabuan (Putra, 2010) 2. 2. 1. 1 Nilai minimum dan maksimum
Citra skala keabuan mempunyai nilai minimum (biasanya=0) dan nilai maksimum. Banyaknya kemungkinan nilai minimum dan maksimum bergantung pada jumlah bit yang digunakan (umumnya menggunakan 8 bit). Contohnya untuk skala keabuan 4 bit, maka jumlah kemungkinan nilainya adalah 24 = 16, dan nilai maksimumnya adalah 24-1 = 15, sedangkan untuk skala keabuan 8 bit, maka jumlah kemungkinan nilainya adalah 28 = 256, dan nilai maksimumnya adalah 28 – 1 = 255.
2. 2. 1. 2 Array Grayscales
Secara digital suatu grayscale image dapat direpresentasikan dalam bentuk array dua dimensi. Tiap elemen dalam array menunjukkan intensitas (greylevel) dari image pada posisi koordinat yang bersesuaian. Apabila suatu citra direpresentasikan dalam 8 bit maka berarti pada citra terdapat 28 atau 256 level grayscale, (biasanya bernilai 0 – 255), dimana 0 menunjukkan level intensitas paling gelap dan 255 menunjukkan intensitas paling terang. Tiap elemen pada array diatas disebut sebagai picture elemen atau sering dikenal sebagai pixel. Dengan melakukan perubahan pada intensitas pada masing-masing pixel maka representasi citra secara keseluruhan akan berubah. Citra yang dinyatakan dengan matrik M x N mempunyai intensitas tertentu pada pixel tertentu. Posisi picture elemen (i,j) dan koordinat (x,y) berbeda.
Jumlah pixel dimulai dari sudut kiri atas sedangkan koordinat x dan y berada pada sudut kiri bawah.
Gambar 2. 6 Posisi picture elemen (i,j) (Putra, 2010)
Format citra ini disebut skala keabuan karena pada umumnya warnayang dipakai adalah antara hitam sebagai warna minimal dan warna putih sebagai warna maksimal sehingga warna antaranya adalah abu-abu. 2. 2. 1. 3 Konversi Citra Berwarna Menjadi Citra Keabuan
Persamaan yang digunakan untuk mengkonversi citra berwarna menjadi citra skala keabuan adalah sebagai berikut:
Gray = ( R + G + B ) / 3 (3)
Konversi informasi suatu citra warna ke skala keabuan dapat juga dilakukan dengan cara member bobot pada setiap elemen warna, sehingga persamaan diatas dimodifikasi menjadi :
Gray =wRR + wGG + wBB (4)
dengan wR, wG, dan wB masing-masing adalah bobot untuk elemen warna merah, hijau dan biru. NTSC (National Television System Committee) mendefinisikan bobot untuk konversi citra warna ke skala keabuan adalah sebagai berikut :
wR = 0,299 wG = 0,587 wB = 0,114 Untuk citra berwarna nilai dari suatu pixel misal adalah X, maka untuk mendapat nilai Red, Green, Bluedapat menggunakan rumus :
Blue = X / 216 (5)
Green = (X – Blue * 216) / 28 (6)
Red = X – Blue * 216 – Green * 28 (7) 2. 2. 2. Binerisasi
Citra biner adalah citra yang memiliki dua nilai tingkat keabuan yaitu hitam dan putih. Dalam sebuah citra biner, setiap piksel hanya mempunyai dua kemungkinan nilai, seperti on dan off. Sebuah citra biner disimpan dalam matriks dengan nilai 0 (off) dan 1(on). Secara umum proses binersisasi citra gray scale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut.
g( , ) = 10 ( , ) ≥( , 1) < (8)
dengan g(x,y) adalah citra biner dari citra gray scale f(x,y) dan T menyatakan nilai ambang.Nilai T dapat ditentukan dengan salah satu dari 3 cara berikut.
1. Nilai Ambang Global (Global Threshold)
T = T{f(x,y)} (9)
dengan T tergantung pada nilai gray level dari pixel pada posisi x,y. 2. Nilai Ambang Lokal (Local Threshold)
T = T{A(x,y), f(x,y)} (10)
dengan T tergantung pada properti pixel tetangga. A(x,y) menyatakan nilai pixel tetangga.
3. Nilai Ambang dinamis (Dynamic Threshold)
T = T{x,y, A(x,y), f(x,y)} (11)
2. 2. 3. Reduksi Noise
Metode atau filtering yang terbaik tergantung dengan situasi dari citra dan jenis derau atau degradasi yang terdapat pada citra. Ada beberapa filter, yaitu filter linear, filter median, dan filter Wiener. Penulis menggunakan filter median karena filtertersebut adalah yang paling efektif untuk menghilangkan derau salt dan pepper (Wijaya dan Prijono, 2007).
2. 2. 3. 1 Filter Median
Filter Median sangat bermanfaat untuk menghilangkan outliers, yaitu nilai – nilai piksel yang ekstrim. Filter Median menggunakan sliding
neighborhoods untuk memproses suatu citra, yaitu suatu operasi di mana
filter ini akan menentukan nilai masing – masing piksel keluaran dengan memeriksa tetangga m x n di sekitar piksel masukan yang bersangkutan.
Filtering Median mengatur nilai – nilai piksel dalam suatu tetangga dan
memilih nilai tengah atau median sebagai hasil. 2. 3. Pengertian Thinning
Thinning merupakan suatu operasi morphologi, terkadang seperti erosi atau opening. Thinning mengubah bentuk asli citra biner menjadi citra yang menampilkan batas – batas objek / foreground hanya setebal satu pixel. Sepintas, thinning mempunyai kemiripan dengan deteksi tepi dalam hal output dari citra yang dihasilkan. Kedua proses tersebut sama - sama menampilkan batas obyek pada citra. Namun, tetap saja ada perbedaan antara thinning dengan deteksi tepi dari sisi cara kerjanya sebagai berikut.
Deteksi tepi: mengubah gray level atau intensitas citra menjadi citra yang menampilkan batas – batas / boundaries obyek berdasarkan kekontrasan warna antar pixel.
Thinning: mereduksi pixel pada objek biner menjadi pixel yang
bernilai sama dengan pixel pada background. Keluaran berupa citra biner dengan informasi berupa batas – batas objek berdasarkan pixel dengan ketebalan satu pixel.
Tujuan thinning adalah untuk menghilangkan pixel obyek (foreground
object) pada citra biner. Thinning biasanya digunakan pada proses
skeletonisasi (Putra, 2010).
Dalam Widiarti, AR. dan Rudatyo H. (2013), O’Gorman dan Kasturi menyatakan bahwa penipisan tergolong dalam operasi preprocessing citra, dimana objek citra direduksi menjadi garis tengah, yang disebut rangka, dari objek citra tersebut. Maka hasil dari proses penipisan disebut sebagai rangka (skeleton). Tujuan dari penipisan adalah mereduksi komponen objek citra menjadi suatu informasi yang sifatnya esensial atau mendasar sehingga proses analisis lebih lanjut dapat terfasilitasi. Informasi tersebut mungkin terdiri atas struktur – struktur dari suatu objek seperti persimpangan (junctions), titik akhir (end point), dan titik hubung (connection points) (Widiarti, AR. dan Rudatyo H., 2013).
2. 4. Algoritma Thinning Kwon-Gi-Kang
Dalam algoritma thinning ini melakukan penipisan citra melalui dua iterasilangkah-langkah oleh kondisi 1, dan melakukan lagi penipisan dengan menggunakan mengikuti kondisi tambahan 2.
Kondisi 1 : Iterasi Pertama : 1. 2 ≤ B(Pi) ≤ 6 2. A(Pi) = 1 3. P2*P4*P6 = 0 4. P4*P6*P8 = 0 Iterasi Kedua : 1. 3 ≤ B(Pi) ≤ 6 2. A(Pi) = 1 3. P2*P4*P8 = 0 4. P2*P6*P8 = 0
Disini [B(Pi)] adalah jumlah piksel yang bernilai 1 dari 8-tetangga piksel. [A (Pi)] adalah piksel denganperubahan 0→1pola(di sini, 0: latar belakang, 1: foreground) adalah 1 didefinisikan sebagai batas pixel.
Gambar 2. 7 3 x 3 mask posisi piksel (Kwon, Gi, and Kang, 2001).
Gambar 2. 8 Pola perubahan0→1(Kwon, Gi, and Kang, 2001). Kondisi 2 : Iterasi Pertama : 1. P1 * P8 * P6 = 1 & P3 = 0 2. P3 * P4 * P6 = 1 & P1 = 0 Iterasi Kedua : 1.P5 * P6 * P8 = 1 & P3 = 0 2. P4 * P6 * P7 = 1& Pl = 0
Semua piksel yang memenuhi kondisi pertama di atas akan terhapus dan kondisi 2 untuk menghapus piksel dengan lebar 2 piksel. Dengan demikian, proses ini dilakukan untuk membuat garis 2 piksel menjadi garis 1 piksel. Dalam kondisi 2, P1 atau P3 harus nol. Karena, P1 dan P3 tidak terhubung ke titik lain dari garis miring. Jika ada adalah setiap piksel di posisi itu (PI atau P3), Pi adalah terhubung titik dan tidak boleh dihapus.
Akibatnya, diusulkan algoritma thinning yang dapat membuat sempurna 1 piksel baris dengan konektivitas 8-tetangga. Bila ada titik akhir ada di ujung kiri atau ujung kanan garis miring, maka akan menghapus piksel Pi untuk membuat 1 baris pixel.
Gambar 2. 9 Pola menghapus kondisi 2 (a) (Kwon, Gi, and Kang, 2001).
Gambar 2. 10 Pola menghapus kondisi 2 (b) (Kwon, Gi, and Kang, 2001). 2. 5. Data Aksara Sunda
Aksara Sunda pada masa silam lebih dikenal dengan sebutan akssara Sunda kuno, aksara Ratu Pakuan, atau juga aksara Kaganga. Disebut aksara Sunda kuno, secara sederhana karena sebagai pembeda dengan aksara Sunda yang sekarang ini telah distandarisasi sekaligus sudah diresmikan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat banyak. Sebutan aksara Ratu Pakuan karena terdapat naskah Sunda kuno dengan judul naskah Carita Ratu
Pakuan yang ditulis menggunakan aksara Sunda kuno. Sedangkan sebuatan aksara Kaganga karena abjad aksara Sunda kuno dimulai dari aksara ngalagena /ka/, /ga/, dan /nga/.
Di bawah ini adalah contoh prasasti, piagam yang ditulis menggunakan aksara Sunda kuno:
Gambar 2. 11 Prasati Kawali 2 (Munawar, 2012)
Gambar 2. 12 Piagam Kebantenan (Munawar, 2012)
Cara penulisan aksara Sunda dimulai dari kiri ke kanan sama halnya dengan sistem tata cara tulis aksara latin. Aksara Sunda berjumlah 30 buah aksara yang terdiri dari 7 buah aksara swara ‘vokal’ (a, é, i, o, u, e dan eu) dan 23 buah aksara ngalagena ‘konsonan bervokal /a/’ (ka, ga, nga, ca, ja, nya, ta, da, na, pa, ba, ma, ya, ra, la, wa, sa, ha, fa, va, qa, xa, za). Aksara swara adalah aksara yang melambangkan bunyi vokal secara mandiri sebagai
sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Sedangkan aksara ngalagena adalah aksara yang melambangkan bunyi konsonan secara silabis, yaitu bunyi kosonan diikuti bunyi vokal /a/, sebagai sebuah kata maupun suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata.
Sistem tata tulis aksara Sunda dilengkapi juga dengan lambang – lambang bilangan mulai dari angka 0 sampai dengan angka 9. Secara fisik, beberapa lambang bilangan identik dengan aksara swara atau aksara ngalagena. Sebagai pembeda agar tidak terjadi kekeliruan, setiap penulisan lambang bilangan mulai dari angka satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya harus diapit dengan garis vertikal yang lebih tinggi dari lambang bilangan tersebut.
2. 6. Teori Alat Uji Thinning
2. 6. 1.One Pixel Thickness
One Pixel Thicknessadalah pengujian untuk menemukan dan mengetahui piksel hasil thinning mempunyai ketebalan satu piksel atau tidak satu piksel. Persentase One Pixel Thicknessdi dapatkan dari hasil Critical Point di bagi jumlah citra hasil penipisan lalu di kalikan seratus.
Dalam Widiarti dan Rudatyo H. (2013), Jang dan Chin menyatakan bahwa suatu rangka hasil penipisan dikatakan memiliki ketebalan 1 piksel bila tidak memuat salah satu atau semua template A, dimana A adalah suatu bentuk citra yang berukuran 2x2. Struktur template A adalah susunan pola yang ditemukan dalam komponen – komponen terhubung yang bukan merupakan rangka. Bentuk citra template Aada 4 buah, yaitu A1, A2, A3, dan A4.
Namun ada kemungkinan lain suatu rangka dikatakan memiliki ketebalan 1 piksel padahal rangka tersebut memuat template A, yaitu apabila piksel – piksel pada rangka tersebut merupakan critical point. Sebuah piksel disebut critical point jika piksel tersebut dihapus, akan menyebabkan piksel –
piksel yang lain menjadi tidak terhubung atau dengan kata lain menghasilkan lubang.
Gambar 2. 13 Struktur template A (Kurnianita, 2009)
Piksel – piksel pada rangka hasil penipisan dikatakan critical point bila sekurang – kurangnya memuat struktur template B ataupun template C.semua konfigurasi yang mungkin dari critical point, yang memuat satu dari
template A, terdapat dalam struktur template B = {B1, B2, B3, B4} dan
template C. Struktur template B1 memuat struktur template A1, template B2
memuat struktur template A2, template B3 memuat struktur template A3,
template B4 memuat struktur template A4, sedangkan struktur template C
memuat keempat struktur template A.
Gambar 2. 14Struktur template B dan C (Kurnianita, 2009)
Piksel – piksel diluar struktur template A, B, dan C adalah piksel 0 (nol). Sedangkan piksel – piksel yang dilingkari pada masing – masing
template adalah pusat dari template tersebut. Piksel “X” pada masing –
2. 6. 2.Thinning Rate
Banyak algoritma menggunakan aturan dantemplate, yang didasarkan pada menemukan segitiga untuk menghapus piksel yang berlebihan. Prinsip yang digunakan oleh persamaan ini:
TR = 1 – Triangle After / Triangle Before (12) Dan untuk menghitung pola segitiganya:
Triangle count (P[i][j]) = (P(i,j)* P(i,j-1)* 1))+(P(i,j)* 1,j-1)* 1,j))+(P(i,j)* 1,j)* 1,j+1))+(P(i,j)*
P(i-1,j+1)* P(i,j+1)) (13)
Operator: “*” dan ”+” adalah operasi aritmatika. Berikut di bawah ini adalah pola segitiga :
Gambar 2. 15 Pola piksel segitiga
Ketika setiap piksel pola memenuhi di dalam citra maka bernilai 1 dan jika tidak memenuhi maka bernilai 0.
3. 1. Bahan
Dalam proses menerjemahkan dan membaca data digital dari aksara sunda tidak dibutuhkan tebal dan tipisnya tulisan. S