• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Analisis Data

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 25-41)

Liberalisme dalam film 3 (Alif Lam Mim) diperlihatkan dalam beberapa adegan, berupa dialog antar tokoh dan juga simbol-simbol yang ada, berupa penggambaran tokohnya dan juga situasi yang digambarkan dalam film tersebut.

Dalam film 3, Indonesia di tahun 2036 menjadi negara liberal, dimana seluruh penduduknya patuh pada pemerintah, kemudian aparat kepolisian yang sudah tidak lagi menggunakan peluru tajam. Semua pihak mengatasnamakan kebebasan. Indonesia menjadi negara yang sebagian besar penduduknya sudah tidak berTuhan.

Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi prioritas, segala sesuatu yang dianggap membahayakan keamanan negara, harus segera dimusnahkan. Agama dianggap sebagai pemicu kekerasan, sehingga tempat-tempat ibadah banyak dijadikan gudang, pondok pesantren dibumihanguskan, hingga adanya pelarangan penggunaan atribut keagamaan dan perbincangan mengenai agama di tempat-tempat umum. Orang yang masih percaya dengan agama, dalam film ini solat dianggap kolot.

Liberalisme yang digambarkan dalam film ini sangat berbeda dan menarik untuk dikritisi. Film ini sebenarnya tidak mengantagonisasi nilai-nilai liberal, yang biasanya dianggap musuh dari nilai-nilai agama pada umumnya. Liberalisme dalam

film ini bukan dianggap sebagai paham yang menerapkan kebebasan semata, tetapi lebih sebagai sebuah kelompok yang menjadi mayoritas. Ini dapat diartikan sebagai gambaran keadaan yang terus berulang terjadi di kehidupan masyarakat manapun di dunia, bahwa apapun pahamnya, ada kecenderungan kelompok mayoritas akan menekan minoritas dan menganggap sikap itu hal yang wajar, baik dalam hal pemikiran maupun keberadaan secara fisik.

4.3 Pembahasan

Film 3 (Alif Lam Mim) berhasil menarik perhatian penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film Indonesia yang cenderung monoton. Film yang bernuansa futuristik dengan bumbu action, thriller, serta romansa drama ini sebenarnya memiliki isu yang sensitif yang berpotensi menimbulkan kontroversi. Namun, Anggy Umbara sebagai sutradara serta kru lainnya di balik film 3 berhasil mengemasnya dengan baik dan membuat banyak penonton berdecak kagum mengapresiasi film tersebut.

Dari segi alur cerita, film 3 memiliki alur cerita yang menarik, yang tidak hanya sekadar menghibur, tetapi dialognya membuat penontonnya berpikir namun tidak terlalu berat. Tema dalam film 3 dapat dikatakan tema yang tidak biasa. Dystopia, yaitu sebuah keadaan di masa depan dimana dunia kacau balau. Sebuah genre yang menceritakan masa

depan fiktif di bawah kekuasaan otoriter atau totaliter, biasanya mengangkat skenario buruk yang berisi kritik terhadap norma sosial, politik, atau kondisi yang terjadi saat ini.

Film 3 tidak hanya menceritakan latar Indonesia jauh di masa depan, lengkap dengan perubahan keadaannya. Lebih dari itu, film 3 berhasil merancang setiap detail masa yang belum terjadi tersebut agar terlihat begitu nyata hingga dapat dipercaya oleh penonton. Film 3 mengandung penuh teka teki, seperti nama ketiga tokoh utamanya yaitu Alif, Lam, dan Mim, kemudian Kolonel Mason, hingga penyebutan detasemen 38:80-83.

Dalam film 3, Indonesia yang menganut paham liberal di tahun 2036, tidak lagi berdasar pada pancasila, melainkan catur sila, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dihilangkan. Agama dianggap sudah tidak penting dalam suatu tatanan negara.

Indonesia pada saat itu juga sudah sangat berkembang dari segi teknologinya, dimana diperlihatkan komputer, laptop, dan handphone transparan, serta spy camera dari kontak lens.

Dilihat dari struktur narasinya dengan menggunakan model Lacey, maka alur cerita dalam film 3 terbagi dalam 5 tahap. Alur cerita diawali dengan keseimbangan, kemudian adanya gangguan, kesadaran akan gangguan, setelah itu upaya mengatasi gangguan, hingga pemulihan menuju keseimbangan. Alur cerita dalam film 3 berjalan cepat dan setiap

adegannya mengungkap satu persatu pertanyaan-pertanyaan seputar teori konspirasi yang diceritakan dalam film tersebut.

Tahap awal yaitu keseimbangan, dimana Indonesia di tahun 2036 digambarkan sebagai negara liberal yang pada awalnya terlihat damai, aman, dan tentram. Hingga terjadinya sebuah ledakan di Candi Café yang menunjukkan adanya gangguan. Baik aparat negara, maupun wartawan berusaha mengungkap fakta di balik kejadian meledaknya Candi Café. Pada tahap ini gangguan masih berupa gejala, belum dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat.

Kemudian tahap selanjutnya yaitu kesadaran terjadinya gangguan, dimana gangguan semakin besar dan dampaknya semakin dirasakan, yaitu penyerangan rumah Lam yang menyebabkan istrinya Gendhis meninggal dan anaknya Gilang terluka parah. Dari sini terlihat konflik mencapai klimaks dan membuat penonton semakin bertanya-tanya tentang maksud di balik semua kejadian itu. Setelah itu muncullah upaya untuk mengatasi gangguan, dimana Alif, Lam, dan Mim mulai bekerja sama untuk mengungkap siapa pelaku bom Candi Café yang melibatkan puluhan orang tidak bersalah. Berbagai fakta mulai terungkap, terjadi perlawanan antar mereka. Dan kemudian sampai kepada tahap pemulihan menuju keseimbangan, yang dalam tahap ini Alif sudah berhasil menemukan siapa dalang di balik semua kejadian tersebut. Lam dan Mim pun berhasil menemukan teroris sebenarnya, namun mereka juga mendapatkan fakta

baru bahwa ada orang lain di balik konspirasi besar ini yang masih akan terus berusaha menciptakan kekacauan bagi negara.

Setelah membahas struktur narasi, selanjutnya mengenai karakter tokoh yang digambarkan dalam film 3 menggunakan model Greimas yang hanya mengambil dua fungsinya yaitu subjek dan objek saja. Dari hasil analisis di atas, terlihat bahwa setiap karakter mempunyai fungsinya masing-masing. Subjek dalam adegan tidak selalu ketiga tokoh utama yaitu Alif, Lam, dan Mim. Namun, ada tokoh-tokoh lainnya yang juga berperan penting sebagai pendukung cerita. Selain itu juga terdapat relasi struktural antara subjek dan objek yang disebut sebagai sumbu keinginan. Relasi antara subjek dan objek ini bisa berupa hubungan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak atau juga tidak. Dalam film 3, subjek dan objek yang dianalisa mayoritas merupakan hubungan yang tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak, karena film tersebut lebih banyak memperlihatkan perlawanan antar tokoh, juga menunjukkan sisi idealis ketiga tokoh utama Alif, Lam, dan Mim yang memiliki ideologi berbeda dengan pihak-pihak tertentu. Objek, yaitu tujuan yang ingin dicapai, menurut Greimas juga tidak harus selalu berupa orang, melainkan bisa berupa keadaan. Dalam film 3, objek lebih banyak berupa keadaan.

Seperti misalnya adegan dimana Pak Candra (Subjek) berbicara dengan Lam di ruangannya, di kantor Libernesia. Objek dalam adegan ini yaitu meminta Lam untuk menulis tentang perkembangan peradaban modern, spesifik mengenai pernikahan sejenis yang sudah disahkan oleh

negara dengan sudut pandang Lam yang dramatis seperti tulisan sebelumnya. Hubungan subjek dan objek disini jelas berlawanan, tidak sesuai dengan keinginan Lam. Lam mengatakan bahwa ia tidak bisa menulis sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya. Objek dalam adegan ini juga berupa keadaan.

Penggambaran tokoh utama yaitu Alif, Lam, Mim yang diceritakan dalam film 3 memiliki makna tersendiri, terutama bagi sutradara Anggy Umbara. Dalam setiap wawancara saat konferensi pers maupun acara nonton bareng di berbagai tempat, Anggy Umbara mengatakan bahwa Alif seperti dalam huruf hijaiyah pertama yang memiliki lambang menjulang ke atas, tegak, dan lurus. Diibaratkan seperti api yang bergerak ke atas dan selalu bersemangat. Ini mencerminkan sosok Alif yang teguh dalam menjalani hidup. Ia adalah seorang pemimpin, pionir.

Sedangkan Lam yang dalam huruf hijaiyah membentuk kurva, melengkung. Dia tetap tegak, namun dia luwes, fleksibel. Tokoh Lam diibaratkan sebagai angin, yang selalu memberikan kabar. Lam menunjukkan seseorang yang konsisten memegang prinsipnya dengan tetap menjadi orang yang baik dan murah hati kepada sesama.

Mim, dalam huruf hijaiyah membentuk lingkaran terlebih dulu, dalam hal ini Mim adalah orang yang teguh dalam beragama bahwa hidupnya karena Allah, maka akan kembali kepada Allah. Kemudian garis ke bawah membentuk huruf mim melambangkan rendah hati.

Alif, Lam, dan Mim masing-masing mempunyai porsi yang sama dalam cerita. Alif dimunculkan di awal adegan, diceritakan sebagai seorang aparat negara penegak hukum yang tergabung dalam pasukan elit detasemen antiteror yang bertekad memberantas segala bentuk kriminalitas dan terorisme. Karakternya yang keras kepala, tegas, pemberani, dan ambisius dilatar belakangi oleh meninggalnya orangtuanya oleh para teroris. Bagi seorang Alif, pangkat dan jabatan tidaklah penting. Dalam suatu adegan, Alif mengatakan kepada Kolonel Mason bahwa segala sesuatu yang merupakan ancaman bagi negara, apapun itu bentuknya, siapapun orangnya, maka harus dituntaskan.

Namun, di balik setiap aksi yang dilakukan Alif dalam membunuh pelaku teroris, ada keraguan dalam hatinya kebenaran mengenai teroris itu sendiri. Hal tersebut yang membuatnya secara diam-diam menafkahi para janda teroris yang dibunuhnya.

Kemudian Lam, diceritakan sebagai jurnalis idealis, yang hanya ingin menuliskan tentang kebenaran. Ia seringkali membuat media tempatnya bekerja merasa terancam karena investigasi cover both side-nya dalam mengungkap aksi-aksi terorisme. Konsisten terhadap prinsip yang ia pegang, Lam masih rajin melakukan solat, meskipun ia bekerja di perusahaan yang menganut paham liberal. Dalam suatu adegan, Pak Candra meminta Lam untuk menulis tentang pernikahan sejenis, yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan hatinya, yang kemudian Lam

menolaknya dan ia justru dibuang untuk meliput ke luar kota oleh Pak Candra.

Lam juga diceritakan sebagai seorang suami yang peduli dan bertanggung jawab terhadap keluarganya, terlihat dalam adegan saat ia menemui Kepala Sekolah Gilang bersama Gendhis, dan juga adegan di rumahnya ketika sedang berkumpul dengan keluarganya. Lam juga seseorang yang peduli terhadap sahabatnya, dimana ia selalu berusaha menjaga hubungan Alif dan Mim yang sejak dulu tidak pernah kompromi satu sama lain. Dalam suatu adegan, Lam berbicara dengan Gendhis, ia mengatakan bahwa dirinya, Alif, dan Mim tidak pernah setuju dengan tradisi bom bunuh diri, begitupun Kyai yang tidak pernah mengajari mereka seperti itu. Tetapi, ia merasa harus adil dengan fakta, tidak bisa asal bela, melainkan harus melihat kebenarannya.

Tokoh utama lainnya, yaitu Mim digambarkan sebagai orang yang sangat taat beragama, ia mengabdi di pondok pesantren bersama Kyai Mukhlis. Mim yang juga dipanggil ustad, tanpa kenal lelah berusaha menyebarkan pemikiran islam yang damai, berusaha menyatukan berbagai aliran mazhab yang kadang bersebrangan, bahkan menolak usulan yang mengajaknya memerangi aparat negara karena telah bertindak zalim kepada para ulama dan umat islam. Jawaban Mim hanyalah tiga kata, “Sabar. Taat. Ikhlas.” Mim juga sosok yang patuh pada pimpinannya yaitu Kyai. Dengan menggunakan jubah/gamis, dan juga sorban di kepalanya dalam kesehariannya, ia seringkali dianggap berbeda, karena di era itu

orang yang menggunakan atribut keagamaan dianggap asing dan merupakan minoritas.

Sosok Alif, Lam, dan Mim merepresentasikan idealisme dalam memegang teguh nilai kebenaran. Ketiganya memiliki sudut pandang serta cara yang berbeda dalam menyebarkan kebenarannya. Konfliknya adalah bahwa kebenaran yang selama ini mereka yakini dan cara yang mereka anggap tepat, justru kemudian menggoyahkan hati mereka dan membuat mereka bertanya apa itu kebenaran.

Aparat negara yang dibanggakan Alif sebagai penebar kebenaran ternyata sumber dari kekacauan. Dunia jurnalisme yang digunakan Lam sebagai alat menyebarkan fakta dan kebenaran, nyatanya penuh dengan kebohongan bahkan cenderung menjadi boneka aparat negara. Sedangkan Mim yang setia mengabdikan diri di pondok pesantren dan menyebarkan kebenaran ajaran agama, didesak oleh dua kesalahan terbesar yaitu aparat negara dan media.

Semua kejadian itu pada akhirnya membuat Alif, Lam, dan Mim bersatu mempertahankan kebenaran yang sama-sama mereka yakini dengan melawan aparat negara. Alif, Lam, dan Mim menjadi wakil dari pondok pesantren mereka dalam melawan ideologi miring milik aparat negara.

Anggy Umbara sebagai sutradara seolah mengekspresikan idealisme serta satirenya atas rata-rata stereotipikal masyarakat dengan berbagai peledakan bom yang terjadi. Dalam film ini, penggambaran

Indonesia sebagai negara liberalisme terucap melalui dialog antar tokoh. Seorang anak dibully oleh gurunya di sekolah karena mereka pernah memergoki ayahnya melakukan sholat, kemudian masjid-masjid sudah berganti menjadi gudang. Ulama-ulama pun dibunuh, setelah menjadi tahanan tanpa melalui proses peradilan. Dan hanya tersisa satu wilayah, disebut distrik 9, yaitu Pondok Al-Ikhlas yang menjadi basis masyarakat muslim yang ingin menjalankan agamanya dengan damai, walaupun mereka berasal dari berbagai aliran. Mereka semua berkumpul menjadi satu, karena tidak lagi mempunyai ruang bebas di luar sana.

Beberapa adegan dalam film 3 merepresentasikan bahwa seringkali terjadi persepsi yang salah diantara beberapa pihak. Persepsi salah mengenai jihad yang sebenarnya, terdapat dalam adegan dimana Marwan, salah satu pengungsi di Pondok Pesantren Al-Ikhlas yang bersedia melakukan bom bunuh diri oleh karena rasa sakit hatinya terhadap aparat negara yang sudah membunuh keluarganya dengan cara yang tidak adil.

Kesalahan persepsi juga terjadi dalam adegan Kapten Rama yang mengatakan pada Lam alasannya merancang bom bunuh diri yang dilakukan Marwan adalah ingin membuka mata Lam agar bisa melihat kebenaran bahwa negara Indonesia sudah semakin kacau dan harus dihancurkan, maka demi syariat islam ia harus berjuang. Adanya kesalahpahaman ini membuat Kapten Rama melakukan hal yang tidak seharusnya. Sikapnya sangat dipengaruhi dan dibentuk darimana ia

berasal, yaitu kantor tempatnya bekerja yang dipimpin oleh Kolonel Mason.

Berbagai isu dalam film ini, didukung berbagai karakter tokoh yang ada, membuat film ini lebih menarik dengan berbagai konflik di dalamnya. Isu yang sangat kental dalam film ini, yaitu liberalisme.

Sesuai dengan prinsip liberalisme, keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers, dan politik. Liberalisme yang mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekadar urusan individu; pengabaian total terhadap agama diperlihatkan dalam film ini.

Liberalisme yang digambarkan dalam film ini memang berbeda dari film-film Indonesia lainnya. Film ini tidak mengantagonisasi nilai-nilai liberal secara terang-terangan, tetapi dari dialog serta penggambaran tokohnya, film ini menunjukkan bahwa dengan memusuhi agama justru akan membuat negara semakin kacau. Tanpa adanya sila kesatu yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, justru membuat orang-orang semakin kehilangan arah. Liberalisme dalam film 3 lebih menggambarkan keadaan dimana sebuah kelompok yang sebelumnya minoritas menjadi mayoritas yang kemudian menguasai negara atas dasar kepentingan tertentu, dengan menekan kelompok minoritas.

Di adegan awal tertulis bahwa Indonesia pada saat itu menganut paham liberal. Beberapa adegan lainnya ikut mendukung diantaranya

adegan saat Letnan Bima dan pasukannya bertemu dengan Alif sebelum melakukan penyerangan distrik 9. Letnan Bima mengatakan tujuannya ingin membasmi teroris berjubah agama sampai ke akar-akarnya. Menurutnya, agama hanya membuat kacau. Adegan ini menunjukkan sikap aparat yang antipati terhadap agama. Mereka menganggap agama tidak penting dan hanya menimbulkan kekacauan, termasuk dalam adegan flashback dimana saat Alif, Lam, dan Mim masih remaja, tiba-tiba padepokan silat Al-Ikhlas disegel dengan alasan dapat membahayakan keamanan negara.

Kemudian dalam adegan Pak Candra sebagai bos Libernesia meminta Lam untuk menulis tentang perkembangan peradaban modern yang cukup berkembang drastis di Indonesia, spesifik tentang pernikahan sejenis yang sudah disahkan dan sudah marak terjadi di tahun tersebut. Adegan ini menunjukkan bahwa Indonesia pada saat itu sudah sangat bebas, dimana melegalkan pernikahan sejenis. Selain itu, Pak Candra menganggap Lam kolot karena masih melakukan solat. Menurutnya, selama Lam masih solat maka ia tidak akan pernah objektif dalam mengusut kasus kriminal.

Ibadah pun dianggap sesuatu yang asing, bahkan menjadi bahan olok-olokan. Hal ini terlihat dalam adegan Gilang yaitu anak Lam yang seringkali disindir di sekolahnya oleh para guru karena mereka sering memergoki ayahnya (Lam) solat di basement sekolah. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat itu sholat sudah menjadi suatu hal yang

asing, bahkan dimusuhi banyak orang. Contoh lainnya, adanya pelarangan penggunaan atribut agama dan perbincangan mengenai agama di tempat umum, terlihat dalam adegan dimana sekelompok orang yang menggunakan gamis dan sorban, diusir dari Candi Cafe karena dianggap meresahkan pelanggan lainnya.

Dalam suatu adegan Lam mengatakan kepada Alif bahwa tidak sampai 20 tahun, terdapat 232 tempat ibadah dijadikan gudang. Pembela minoritas menjual slogan kebebasan, tetapi begitu menjadi mayoritas malah semakin menginjak minoritas. Siapapun yang mengganggu kebebasan, ditandai sebagai penjahat. Pondok Pesantren Al-Ikhlas di bawah pimpinan Kyai Mukhlis, adalah satu-satunya tempat yang tersisa yang di dalamnya terdapat aliran dan mazhab yang berbeda. Mereka berkumpul karena tidak mendapat ruang di luar, akibat satu persatu tempat ibadah dihancurkan. Hal ini yang membuat pondok pesantren Al-Ikhlas merupakan sasaran aparat selanjutnya.

Berbagai situasi penuh konflik dalam adegan di film 3 menyebabkan beberapa orang mengalami kebingungan dalam menilai kebenaran yang selama ini diyakininya, seperti halnya Alif yang merasa sebagai aparat negara bertanggung jawab untuk menangkap pelaku kriminal, tetapi ia mendapatkan fakta mengejutkan bahwa atasannya adalah pelaku kriminal itu sendiri. Begitu juga dengan Letnan Bima yang menganggap pondok pesantren Al-Ikhlas adalah sarang teroris, tetapi

kemudian justru Kyai Mukhlis lah yaitu pemimpin pondok pesantren tersebut yang menyembuhkannya sehingga ia masih hidup.

Film 3 (Alif Lam Mim) mengandung banyak makna tersurat maupun tersirat di dalamnya. Meskipun film ini fiksi, tetapi setiap dialog dalam adegan terasa real dan menurut analisa penulis memang menggambarkan realita yang sudah terjadi di negara kita. Diawali dengan aksi bom bunuh diri di sebuah diskotik, film ini dapat dikatakan menggambarkan kegelisahan yang timbul akibat ulah kelompok radikal yang mengatasnamakan agama. Kemudian agama dianggap pemicu kebencian dan kekerasan, khususnya agama islam. Kaum beragama yang sebelumnya mayoritas menjadi minoritas. Pertanyaannya, apakah benar dengan menumpas kaum beragama maka akan tercipta kedamaian?

Dalam film ini sebenarnya dikisahkan bahwa pada tahun 2036 Indonesia hidup dalam paham liberal yang damai, aman dan tenteram setelah sebelumnya pada tahun 2026 terjadi revolusi besar-besaran. Namun ada sekelompok orang yang membenci kedamaian tersebut dengan menciptakan rekayasa atau konspirasi besar yaitu mengadu domba pemerintah dengan sekelompok orang bersorban yang disetting sebagai teroris yang ditakutkan dapat menggantikan paham liberal dan dikhawatirkan akan terjadi lagi revolusi seperti sepuluh tahun yang lalu, sehingga harus dibereskan kembali oleh pemerintah sebagai penguasa negara.

Film ini mengungkap bahwa sekelompok orang yang dimaksud ternyata adalah aparat/intelejen negara sendiri yang dibuktikan dengan keterlibatan Kolonel Mason sebagai pemimpin datasemen antiteror, dan di balik Kolonel Mason ternyata masih ada lagi yang memerintah. Ini juga menjadi bagian yang sensitif dari film ini. Film 3 seolah-olah berpesan bahwa terorisme yang terjadi adalah settingan dari aparat/intelejen negara.

Film 3 juga membahas tentang pelanggaran HAM, yang pada film ini pelanggaran HAM terjadi pada orang-orang berjubah dan bergamis, yang dilarang makan di tempat umum, disudutkan dan tempat pesantren direkayasa sebagai sarang teroris. Adegan pengeboman Candi Café dipakai untuk membentuk opini bahwa benar para penghuni pondok adalah teroris yang harus segera ditangkap. Pada akhir film memang dijelaskan bahwa pelanggaran HAM atas nama agama yang terjadi sebenarnya hanyalah rekayasa dari intelejen negara.

Film 3 juga terbilang penuh dengan komentar-komentar verbal dan gamblang tentang agama, politik, sosial, hukum, media, teknologi, konspirasi, bahkan cinta. Terdapat satu dialog, yaitu “Orang Islam cuma tahu bahasa kekerasan, anarkis, mental preman”. Kemudian dalam adegan lainnya, kalimat yang diucapkan oleh tokoh misterius Tamtama kepada Alif, “Pasti kamu berpendapat kami (datasemen anti teror/aparat negara) ini iblis Lif, membuat perang dan kekacauan membunuhi semua orang. Kami memang iblis Lif, kehadiran kami ini diperlukan karena hal buruk itu perlu untuk menciptakan kebaikan, kamilah yang mengendalikan”.

Inilah garis besar cerita yang ingin dibawakan film 3, bahwa sebuah peristiwa ternyata memiliki banyak sudut pandang yang saling terkait dan melengkapi. Kita tidak bisa melihat dan menilai dari satu sudut pandang saja. Melalui peran Alif, Lam, dan Mim terdapat nilai-nilai yang kebaikan yang dapat diambil. Alif yang tidak pernah putus asa dalam memperjuangkan kebenaran, bahkan ketika ia terseret dalam suatu makar yang mengancam nyawanya dan juga masyarakat yang harus dia lindungi. Dalam menghadapi makar tersebut, Alif mencoba berpegang pada kalimat Laras, “Never lose hope”, yang berarti jangan pernah putus harapan. Secanggih apapun makar yang dibuat oleh musuh, yakinlah bahwa harapan itu masih ada.

Terjadinya pengeboman Candi Cafe yang kemudian banyaknya berita-berita di media yang muncul menyudutkan golongan islam, membuat Lam tidak mempercayainya. Sebagai jurnalis dia mencoba

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 25-41)

Dokumen terkait