• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (UU MLA) mengatur beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan,

HASIL ANALISIS DIMENSI 2 SAMPAI DENGAN DIMENSI 5

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

NO. PASAL ANALISIS DIMENSI DAN

INDIKATOR REKOMENDASI UBAH CABUT 1. Pasal 1 angka 2 Bunyi Pasal:

Pernyataan adalah keterangan yang diberikan oleh saksi, ahli, terdakwa yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau direkam secara elektronik seperti rekaman, kaset, video, atau bentuk lain yang dapat dipersamakan dengan itu tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, atau dialami sendiri.

---

Dalam KUHAP, apa yang dimaksud sebagai “pernyataan” dalam UU MLA ini adalah keterangan saksi, ahli, dan terdakwa. Jika direkam dalam bentuk elektronik, maka istilah yang lebih tepat digunakan adalah rekaman keterangan ahli, saksi, atau terdakwa dan bukan “pernyataan”. Dalam hal ini terdapat potensi tumpang tindih antara pengertian “Pernyataan” dalam UU MLA dengan “Keterangan” dalam KUHAP. Sebaiknya istilah yang digunakan dalam UU MLA diselaraskan dengan KUHAP.

D4

V

2. Pasal 2 Bunyi Pasal:

Undang-Undang ini bertujuan memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing. ---

Undang-Undang ini dibuat oleh Pemerintah Indonesia sehingga pernyataan, “bertujuan memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Republik Indonesia...” adalah berlebihan dan berpotensi memberikan pemahaman keliru – karena ketentuan dalam undang-undang akan menjadi dasar hukum bagi setiap pihak

D2

66

HASIL ANALISIS DIMENSI 2 SAMPAI DENGAN DIMENSI 5

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

NO. PASAL ANALISIS DIMENSI DAN

INDIKATOR

REKOMENDASI UBAH CABUT

yang terlibat dan tidak hanya pemerintah Indonesia saja.

Rumusan ketentuan ini dapat disederhanakan menjadi:

“Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam meminta dan/atau memberikan bantuan...”

3. Pasal 6 huruf e

Bunyi Pasal:

Permintaan Bantuan ditolak jika:

e. persetujuan pemberian Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;

---

Rumusan ini berpotensi tumpang tindih dengan ketentuan Pasal 7 huruf d. yang berbunyi:

Permintaan Bantuan dapat ditolak jika: d. persetujuan pemberian Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di Indonesia, membahayakan keselamatan orang, atau membebani kekayaan negara.

Selain itu, bunyi pasal ini terlalu luas dan umum. Tidak tersedia indikator yang jelas apa yang diimaksud “merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional”. Di satu sisi, rumusan ini bersifat sangat longgar, namun konsekuensinya sangat tegas: permohonan bantuan ditolak. Rumusan pasal ini perlu diperjelas agar dapat lebih memberi kepastian hukum.

D4 D2 V 4. Pasal 7 huruf d Bunyi Pasal:

Permintaan Bantuan dapat ditolak jika: d. persetujuan pemberian Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di Indonesia, membahayakan keselamatan orang, atau membebani kekayaan negara. ---

67

HASIL ANALISIS DIMENSI 2 SAMPAI DENGAN DIMENSI 5

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

NO. PASAL ANALISIS DIMENSI DAN

INDIKATOR

REKOMENDASI UBAH CABUT

Review United Nations Convention against Corruption (UNCAC) terhadap UU MLA: Aturan yang mengatur permintaan MLA dapat ditunda ketika permintaan tersebut dapat mengganggu proses penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan di Indonesia

Pengaturan ini pada UU MLA 1/2006 merupakan dasar penolakan yang bersifat diskresi, permintaan MLA dapat ditolak apabila permintaan tersebut dapat mengganggu proses penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan di Indonesia.

Pertimbangan yang dapat diberikan adalah apakah permintaan tersebut dapat ditunda (bukan ditolak), sampai dengan proses penyidikan, penuntutan atau peradilan di Indonesia telah selesai dilakukan.

(konstruksi bisa meniru di UU ekstradisi)

D3 Indikator: Mengedepan -kan prinsip kehati-hatian 5. Pasal 9 ayat (1) Bunyi Pasal:

Menteri dapat mengajukan permintaan Bantuan kepada negara asing secara langsung atau melalui saluran diplomatik. ---

Rumusan pasal ini dapat dibuat menjadi lebih tegas dengan menghapus kata “dapat” dan mengubahnya menjadi:

Permintaan bantuan kepada negara asing secara langsung atau melalui saluran diplomatik atas nama Pemerintah Republik Indonesia dilakukan oleh Menteri.

D2 D3 Indikator: Pembagian Kewenangan Antarsektor 6. Pasal 9 ayat (3) Bunyi Pasal:

Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan Bantuan kepada Menteri selain Kapolri dan Jaksa Agung juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

--

Pada bagian ketentuan umum tidak disebutkan siapa yang dimaksud dengan “Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” – apakah sama dengan Ketua Komisi

D2

68

HASIL ANALISIS DIMENSI 2 SAMPAI DENGAN DIMENSI 5

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

NO. PASAL ANALISIS DIMENSI DAN

INDIKATOR

REKOMENDASI UBAH CABUT

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-Undang KPK? Bandingkan dengan Pasal 1 angka 9 sampai dengan angka 11 yang memberikan satu persatu definisi untuk Menteri, Kapolri, dan Jaksa Agung.

Untuk menghindari ketidakjelasan, sebaiknya Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dicantumkan pengertiannya pada Pasal 1.

7. Pasal 19 Bunyi Pasal:

Menteri dapat mengajukan permintaan Bantuan kepada negara asing untuk mengeluarkan surat perintah:

a. pemblokiran; b. penggeledahan; c. penyitaan; atau

d. lainnya yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di Indonesia.

---

UU MLA memberi kewenangan kepada Menteri untuk mengajukan permintaan bantuan melakukan pemblokiran. Ketentuan ini berpotensi tumpang tindih dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain mengenai pemblokiran yang memberikan batasan-batasan untuk dilakukannya pemblokiran. Sebagai contoh Pasal 71 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur mengenai mekanisme dilakukannya pemblokiran.

Apabila dalam UU MLA batasan-batasan ini tidak dsebutkan secara spesifik penegak hukum dalam prakteknya akan mengalami hambatan ketika terbentur dengan peraturan perundang-undangan lainnya misalnya dalam hal tindak pidana pencucian uang

Frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait” pada poin d seharusnya tidak dibatasi pada

D4

69

HASIL ANALISIS DIMENSI 2 SAMPAI DENGAN DIMENSI 5

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

NO. PASAL ANALISIS DIMENSI DAN

INDIKATOR

REKOMENDASI UBAH CABUT

ketentuan d saja tetapi untuk baik poin a, b, dan c. Rumusan pasal perlu direvisi.

8. Pasal 55 Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan permintaan Bantuan dibebankan kepada Negara Peminta yang meminta Bantuan, kecuali ditentukan lain oleh Negara Peminta dan Negara Diminta.

---

Dalam pelaksanaannya ketika saat penegak hukum negara Indonesia melakukakn penyelidikan, pembiayaan tidak meminta kepada negara yang meminta MLA tersebut dan dibebankan pada masing-masing satuan kerja.

D5

- -

Selain dari hasil penilaian dimensi dua sampai dengan dimensi lima sebagaimana diuraikan