HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Apotek Penelitian
4.2 Hasil Analisis Dokumen Terhadap Biaya Operasional Apotek
Data pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 berikut ini adalah tabel biaya tetap yang merupakan hasil analisis dokumen terhadap biaya operasional apotek.
4.2.1 Data Analisis Dokumen Terhadap Biaya Operasional Apotek
Data penelitian pada apotek Farma Nusantara dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan data penelitian pada apotek Kimia Farma 27 dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 4.1. Biaya Tetap Apotek Farma Nusantara Selama 8 Bulan No. Biaya Tetap Jumlah/8 Bulan (Rp)
1 Gaji 25.550.000 2 Listrik 573.420 3 Telepon 959.000 4 Air 387.450 5 Transportasi 517.500 6 Embalage 434.600 7 Kontrak rumah 20.000.000 8 Retribusi+Reklame 533.000 9 10% Penyusutan 64 juta 6.444.006
10 Biaya tetap lainnya 1.049.750
Jumlah 56.448.726
Biaya tetap per hari 271.388
Biaya tetap (dalam bahasa Inggris disebut fixed cost) adalah jenis-jenis biaya yang selama satu periode kerja adalah tetap jumlahnya dan tidak mengalami perubahan (Sigit, 1990). Data pada Tabel 4.1 adalah data biaya operasional pada Apotek Farma Nusantara yang diperoleh selama 8 bulan dimulai dari apotek buka pada bulan Mei sampai Desember 2009. Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa biaya tetap yang harus dikeluarkan Apotek Farma Nusantara per hari adalah Rp
271.388,-. Dan pada apotek Kimia Farma 27, biaya tetap yang harus dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2. Biaya Tetap Apotek Kimia Farma 27 Per Tahun
No. Biaya Tetap Jumlah/Tahun (Rp)
1 Gaji + Bonus + Transport 955.000.000
2 Listrik + Telepon + Air 73.000.000
3 Embalage + ATK 34.000.000
4 Retribusi + reklame 13.000.000
5 Perawatan 37.000.000
6 Biaya tetap lainnya 110.000.000
Jumlah 1.222.000.000
Biaya tetap per hari 3.347.945
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa biaya tetap yang harus dikeluarkan Apotek Kimia Farma 27 per hari adalah Rp 3.347.945.
4.2.2 Data Analisis Impas Terhadap Biaya Operasional Apotek
Dari biaya tetap apotek per hari yang diperoleh dari Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27, selanjutnya dilakukan analsis impas dengan berbagai asumsi nilai indeks penjualan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Analisis Impas dengan Berbagai Asumsi Nilai Indeks pada Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27
Apotek Farma Nusantara Apotek Kimia Farma 27 Indeks Titik Impas (Rp) Indeks Titik Impas (Rp)
1,05 5.701.429 1,05 70.334.979 1,1 2.982.286 1,1 36.790.604 1,15 2.079.601 1,15 25.654.751 1,2 1.628.002 1,2 20.083.653 1,25 1.356.940 1,25 16.739.725 1,3 1.175.858 1,3 14.505.827
Dengan berkembangnya dunia usaha dewasa ini, sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan di sektor industri, maka persaingan antar perusahaan khususnya yang sejenis semakin meningkat untuk menjaga kesinambungan hidup perusahaan dalam menghadapi persaingan yang ketat tersebut diperlukan penanganan dan pengelolaan yang baik (Anonima, 2008).
Penanganan dan pengelolaan yang baik tersebut hanya dapat dilakukan oleh manajemen yang baik pula. Manajemen memerlukan suatu pedoman berupa perencanaan yang berisikan langkah-langkah yang akan dan harus ditempuh perusahaan dalam mencapai tujuan perencanaan, dapat pula berupa alat ukur dan evaluasi atas hasil sesungguhnya (Anonima, 2008).
Salah satu perencanaan yang dibuat manajemen adalah perencanaan mendapatkan laba. Mendapatkan laba merupakan tujuan utama dari perusahaan karena laba merupakan selisih antara pendapatan yang diterima (dari hasil penjualan) dengan biaya yang dikeluarkan, maka perencanaan laba dipengaruhi oleh perencanaan penjualan dan perencanaan biaya. Perencanaan laba berisikan langkah-langkah yang akan ditempuh perusahaan untuk mencapai besarnya target laba yang diinginkan. Agar perencanaan laba dapat dilakukan secara memadai maka diperlukan alat bantu berupa analisisa titik impas (Anonima, 2008).
Titik impas dapat diartikan sebagai suatu keadaan impas atau titik dimana volume penjualan tidak rugi dan tidak untung. Analisa titik impas atau analisis pulang pokok atau analisis Break Even Point (BEP) adalah suatu cara atau teknik yang digunakan oleh seorang manajer perusahaan untuk mengetahui pada omset berapakah perusahaan yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak memperoleh laba (Sigit, 1990).
Pengelola apotek sering sekali dihadapkan pada keputusan yang melibatkan prediksi efek-efek perubahan dalam biaya, harga atau pendapatan atas laba apotek. Apotek dikatakan impas apabila di dalam laporan perhitungan laba-ruginya pada periode waktu tertentu tidak memperoleh laba dan juga tidak menderita kerugian (Seto, 2001)
Berdasarkan Tabel 4.3 titik impas pada Apotek Farma Nusantara akan dicapai apabila omset berturut-turut sebagai berikut: Rp 5.701.429,- per hari pada indeks penjualan 1,05; Rp 2.982.286,- per hari pada indeks penjualan 1,1; Rp 2.079.601,- per hari pada indeks penjualan 1,15; Rp 1.628.002,- per hari pada indeks penjualan 1,2; Rp 1.356.940,- per hari pada indeks penjualan 1,25 dan Rp 1.175.858,- per hari pada indeks penjualan 1,3.
Sedangkan titik impas pada Apotek Kimia Farma 27 dapat mencapai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan Apotek Farma Nusantara. Hal ini dikarenakan jam buka Apotek Farma Nusantara ±12 jam dan berjalan selama 312 hari/tahun seperti jam buka apotek pada umumnya, namun Apotek Kimia Farma adalah apotek yang beroperasi selama 24 jam dan berjalan selama 365 hari/tahun, sehingga biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh Apotek Kimia Farma 27 lebih besar daripada biaya operasional yang harus dikeluarkan Apotek Farma Nusantara.
Adapun titik impas yang harus dicapai yaitu dengan omset berturut-turut sebagai berikut: Rp 70.334.979,- per hari pada indeks penjualan 1,05; Rp 36.790.604,- per hari pada indeks penjualan 1,1; Rp 25.654.751,- per hari pada indeks penjualan 1,15; Rp 20.083.653,- per hari pada indeks penjualan 1,2; Rp
16.739.725,- per hari pada indeks penjualan 1,25 dan Rp 14.505.827,- per hari pada indeks penjualan 1,3.
Berikut ini ditampilkan titik impas dengan variasi nilai indeks pada Apotek Farma Nusantara dan Apotek Kimia Farma 27 dalam bentuk grafik line.
-1,000,000.00 2,000,000.00 3,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 6,000,000.00 1,05 1,1 1,15 1,2 1,25 1,3 Inde ks T it ik I m pa s (R p)
Gambar 4.1. Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks Vs Titik Impas pada Apotek Farma Nusantara
0 10,000,000 20,000,000 30,000,000 40,000,000 50,000,000 60,000,000 70,000,000 80,000,000 1,05 1,1 1,15 1,2 1,25 1,3 indek s ti ti k i m p as( R p )
Gambar 4.2. Grafik Analisis Impas dalam Bentuk Indeks Vs Titik Impas pada Apotek Kimia Farma 27
Penetapan harga dan indeks penjualan merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk dapat mengetahui titik impas pada suatu perusahaan. Berdasarkan Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 diperoleh gambaran bahwa apabila apotek menggunakan indeks penjualan 1,05 sangat tidak mungkin dan sangat sulit untuk dapat mencapai titik impas karena omset yang harus dihasilkan per hari
sangat besar. Apabila indeks penjualan ini tetap digunakan maka tidak realistis karena mengingat bahwa jam kerja dan tenaga teknis yang terbatas yang tidak lagi mampu menangani pekerjaan yang ada.
Apabila apotek menggunakan indeks penjualan 1,1; titik impas mungkin dapat tercapai lebih cepat bila dibandingkan dengan menggunakan indeks penjualan 1,05; namun penggunaan indeks penjualan ini dianggap belum ideal bila di bandingkan dengan penggunaan indeks 1,15 yang kemungkinan titik impas dapat tercapai dengan omset yang relatif dapat diperoleh pada jam kerja apotek umumnya dan tenaga teknis yang minimal.
Untuk dapat melalui titik impas selain melalui penjualan tunai langsung, Apotek Farma Nusantara juga melayani pembelian kredit dengan instalasi kesehatan lainnya. Sedangkan untuk menutupi biaya tetap yang relatif besar pada Apotek Kimia Farma 27, Apotek Kimia Farma 27 melakukan usaha-usaha sebagai berikut: melayani penjualan langsung dan melayani resep dokter dan menyediakan pelayanan lain, misalnya praktek dokter, optik dan pelayanan OTC (swalayan) serta pusat pelayanan informasi obat. Apotek Kimia Farma dipimpin oleh tenaga apoteker yang bekerja full timer sehingga dapat melayani informasi obat dengan baik (Anonimb, 2009).