• Tidak ada hasil yang ditemukan

N

ATI

ABSTRAK

ADDE KEMBARA RISMAWAN. Keefektifan Formulasi Pseudomonas fluorescens dalam Limbah Organik Sebagai Pestisida Hayati dan Pemicu Pertumbuhan Tanaman Cabai

.

Dibimbing oleh GIYANTO.

Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri saprofitik yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan berkembang pada sisa-sisa bahan organik. Aplikasi di lapangan dihadapkan pada kendala dalam perbanyakan massal yang memerlukan media alternatif untuk pembiakan P. fluorescens, karena penggunaan media laboratorium membutuhkan biaya yang cukup mahal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui formulasi limbah organik sebagai media alternatif bagi pembiakan P. fluorescens serta kaitannya dengan aktivitas P. fluorescens dalam menekan penyakit rebah kecambah dan pemicu pertumbuhan tanaman cabai. Penelitian ini diharapkan mampu menyediakan teknologi pembiakan P. fluorescens pada media alternatif sehingga mampu menekan perkembangan patogen Sclerotium rolfsii dan meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian pertumbuhan koloni P. fluorescens yang dibiakkan pada formulasi limbah air kelapa, air tahu dan pengolahan ikan serta menguji potensi antagonisme P. fluorecens terhadap S. rolfsii secara in-vitro dan

in-vivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sembilan formulasi uji diperoleh satu formulasi termodifikasi, yaitu formulasi F8 dengan komposisi limbah air kelapa, air tahu dan pengolahan ikan (15:84:1) memiliki potensi antagonis yang baik dalam menekan perkembangan patogen S. rolfsii pada tanaman cabai dengan pengujian in-vitro maupun in-vivo. Modifikasi formulasi F8 dengan penambahan 1% filtrat orok-orok dan aplikasinya melalui perlakuan benih serta penyiraman 5% konsentrasi formulasi seminggu sekali mampu memicu pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 25,15% dan jumlah daun sebesar 23,34% pada 6 MST.

Kata kunci : agens hayati, limbah organik, Pseudomonas fluorescens, Sclerotium rolfsii, cabai.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Metode pengendalian penyakit tanaman sangat bervariasi dari satu penyakit ke penyakit yang lain, tergantung dari jenis patogen, jenis inang dan interaksi antara keduanya. Beberapa cara pengendalian penyakit yang dapat dilakukan diantaranya pengendalian dengan peraturan atau undang-undang, kultur teknis, pengendalian hayati, pengendalian fisik-mekanik dan pengendalian kimiawi tergantung pada jenis patogen yang akan dikendalikan.

Tindakan pengendalian melalui peraturan atau undang-undang bertujuan untuk mencegah (mengeluarkan atau melarang masuk) suatu patogen dari inang atau daerah geografis tertentu. Sebagian besar pengendalian melalui kultur teknis bertujuan membantu meminimalisasi terjadinya kontak antara tumbuhan dengan patogen dan mengeradikasi atau menurunkan jumlah patogen yang terdapat pada tumbuhan, lahan atau daerah. Pengendalian secara fisik-mekanik dan kimiawi bertujuan melindungi tumbuhan dari inokulum patogen yang berkemungkinan besar mencapai tumbuhan serta menyembuhkan infeksi yang telah berkembang. Sementara itu, pengendalian secara hayati dan beberapa pengendalian secara kultur teknis bertujuan meningkatkan ketahanan inang atau menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi mikroorganisme antagonis terhadap patogen.

Menurut Agrios (1996), pengendalian hayati (biological control) terhadap patogen yaitu mengendalikan sebagian atau seluruh populasi patogen dengan bantuan organisme lain (agens hayati). Pengembangan agens hayati saat ini mendapatkan perhatian khusus dalam rangka mendukung sistem pertanian ramah lingkungan yang berkelanjutan. Kecenderungan ini dipicu oleh adanya bukti-bukti yang menguatkan bahwa produk pangan hasil pertanian konvensional dengan menggunakan pupuk dan pestisida sintetik secara berlebihan memiliki dampak negatif yang merugikan bagi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem pada area pertanaman. Fakta tersebut mendorong kesadaran masyarakat yang peduli terhadap kesehatan dan lingkungan untuk mengembangkan sistem pertanian yang ramah lingkungan atau secara umum dikenal dengan pertanian organik.

Upaya mendukung pertanian organik terus dilakukan dan salah satunya adalah penggunaan mikroba bermanfaat yang mampu menekan perkembangan penyakit atau lebih dikenal sebagai pestisida hayati (bio-pesticides) serta dapat memicu pertumbuhan tanaman. Organisme yang mampu melakukan dua sifat tersebut pada hewan dan manusia dikenal sebagai probiotik, sedangkan mikroba yang mampu menekan perkembangan penyakit tanaman dan memicu pertumbuhan tanaman disebut sebagai probiotik tanaman. Pseudomonas fluorescens merupakan salah satu mikroba probiotik tanaman yang banyak mendapat perhatian. Berbagai penelitian yang berkaitan dengan eksplorasi, karakterisasi dan uji potensi P. fluorescens sebagai probiotik tanaman telah banyak dilakukan di beberapa negara.

P. fluorescens merupakan agens antagonis yang mampu menekan perkembangan berbagai macam patogen tumbuhan. P. fluorescens strain 5 (pf-5) merupakan bakteri P. fluorescens pertama yang dilaporkan mampu menekan penyakit layu pada kapas yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani (Howell dan Stipanovic 1979) dan Pythium ultimum (Howell dan Stipanovic 1980). Aplikasi

P. fluorescens pada rumput lapangan golf mampu menekan perkembangan penyakit “dollar spot” yang disebabkan oleh Sclerotinia homoeocarpa dan bercak daun yang disebabkan oleh Drechslera poae, dua penyakit utama yang sangat merusak dan mempunyai daerah sebaran yang luas pada rumput golf dan pertamanan. Hasil uji in-vitro P. fluorescens menunjukkan adanya senyawa antibiosis yang mampu menekan perkembangan bakteri penyebab layu pada tomat, yaitu Ralstonia solanacearum (Giyanto et al. 1998). Selain sebagai agens hayati, P. fluorescens merupakan salah satu jenis bakteri yang digolongkan dalam kelompok PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria).

Istilah rhizobakteri pemicu pertumbuhan tanaman mengacu pada jenis bakteri yang mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman yang dihasilkan dari berbagai macam mekanisme. Produksi hormon penstimulasi pertumbuhan dan penekanan perkembangan patogen tanaman merupakan aktivitas yang menjadi ciri khas dari jenis bakteri dalam kelompok PGPR. P. fluorescens juga dilaporkan dapat mendegradasi senyawa 2,5-dichlorobenzoate, sehingga mempunyai potensi besar untuk remediasi tanah terpolusi (Crowley et al. 1996). 

Terlepas dari semua potensi yang dimiliki oleh P. fluorescens, pembiakan P. fluorescens secara massal memiliki hambatan tersendiri. Media laboratorium yang digunakan untuk pembiakan P. fluorescens harus diperoleh dengan harga yang cukup mahal. Jika media tersebut digunakan untuk membiakkan P. fluorescens

secara massal, maka akan membutuhkan biaya produksi yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan media alternatif yang berasal dari alam dan dengan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan media laboratorium yang selama ini digunakan.

P. fluorescens merupakan bakteri saprofitik yang mampu bertahan dan berkembang pada sisa-sisa bahan organik. Berdasarkan sifat tersebut dapat diduga bahwa limbah organik cair yang tersedia melimpah di masyarakat dapat digunakan sebagai media pembiakan massal sekaligus sebagai formulasi probiotik. Beberapa modifikasi dan penambahan substrat lain pada media pembiakan seperti yang telah dilakukan oleh Ratdiana (2007) dan Kusumowardani (2008) menunjukkan bahwa media pembiakan dapat dimodifikasi dengan membuat formulasi limbah cair yang terdiri dari air kelapa, air tahu dan ekstrak limbah ikan.

Penelitian ini menggunakan isolat P. fluorescens isolat Indonesia yang merupakan koleksi laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Isolat ini mempunyai keunggulan memproduksi senyawa antibiotik yang tinggi seperti yang terlihat dari kuatnya tingkat pendaran (fluoresensi) pigmen hijau kekuningan serta mampu berkembang biak secara cepat pada limbah organik cair (Giyanto et al. 1998).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui formulasi limbah air kelapa, air tahu dan pengolahan ikan sebagai media alternatif bagi pembiakan P. fluorescens serta kaitannya dengan aktivitas P. fluorescens dalam menekan penyakit rebah kecambah dan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman cabai.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menyediakan teknologi pembiakan

P. fluorescens pada media alternatif yang mampu menekan perkembangan patogen S. rolfsii penyebab penyakit rebah kecambah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai.

Pengendalian Hayati

Baker and Cook (1974 dalam Cook 2002) mendefinisikan bahwa pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum atau penurunan aktivitas dari patogen penyebab penyakit dengan introduksi agens antagonis, perbaikan kondisi lingkungan tumbuh atau dengan modifikasi lingkungan yang dapat mendukung perkembangan agens antagonis. Dengan kata lain, pengendalian hayati didefinisikan sebagai pengurangan jumlah inokulum atau aktivitas penyebab penyakit dengan penggunaan organisme lain (agens antagonis).

Pengendalian hayati (biological control) terhadap patogen yaitu menghancurkan sebagian atau seluruh populasi patogen dengan organisme lain dan selalu terjadi secara rutin di alam (Agrios 1996). Sebagai contoh, beberapa jenis penyakit yang patogennya tidak dapat berkembang pada lahan tertentu yang disebut tanah supresif (suppressive soil).

Pemanfaatan agens antagonis tersebut telah banyak digunakan dalam pengembangan strategi pengembangan pengendalian hayati yang efektif dan efisien untuk mengatasi beberapa jenis penyakit tanaman. Walaupun memiliki sejumlah keterbatasan namun agens antagonis dapat diharapkan menjadi bagian penting dalam tindakan pengendalian yang dapat dilakukan terhadap lebih banyak patogen. Sebagai contoh, beberapa jenis cendawan yang mencakup Oomycetes, Chytridiomycetes, Hyphomycetes dan beberapa bakteri Pseudomonas serta Aktinomiset mampu menginfeksi spora istirahat dari cendawan tertentu. Selain itu, ada juga cendawan mikoparasitik seperti Trichoderma harzianum yang memiliki kemampuan dalam memarasit miselium dari cendawan Rhizoctonia dan

Slcerotium, mampu menghambat pertumbuhan banyak cendawan jenis lainnya, seperti Pythium, Fusarium dan Fomes, dan mampu mengurangi penyakit yang disebabkan oleh sebagian besar patogen tersebut.

 

Selain cendawan, bakteri dari genus Streptomyces dan Pseudomonas juga telah ditemukan dapat memarasit dan atau menghambat cendawan patogenik

Pythium sp. dan Gaeumannomyces tritici. Nematoda mikofagus Aphelencus anenae memarasit Rhizoctonia dan Fusarium, dan amuba Vampyrella memarasit cendawan patogenik Cochiliobolus sativus dan Gaeumannomyces graminis.

Belum seluruhnya dapat dijelaskan dengan cara bagaimana mikroorganisme antagonis mempengaruhi populasi patogen, tetapi umumnya mekanisme tersebut dihubungkan dengan salah satu dari lima pengaruh berikut, yaitu: (1) parasitisme dan membunuh patogen secara langsung, (2) berkompetisi dengan patogen dalam hal nutrisi atau makanan, (3) toksin yang langsung mempengaruhi patogen dengan zat antibiotik yang dilepaskan oleh agens antagonis, (4) toksin yang tidak langsung mempengaruhi patogen melalui zat yang mudah menguap, seperti etilen yang dilepaskan oleh aktivitas metabolik antagonis dan (5) penginduksi ketahanan tanaman inang (Agrios 1996).

Pseudomonas fluorescens

Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri gram negatif yang sebagian besar bersifat non-patogenik dan saprofitik pada tanah dan daerah rizosfer tanaman. P. fluorescens mengkolonisasi tanah, permukaan tanaman dan memanfaatkan bahan organik sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya. Bakteri ini memproduksi pigmen biru kehijauan pada saat kandungan Fe (besi) yang rendah serta dapat tumbuh baik pada media yang mengandung garam-garam mineral dengan tambahan sumber karbon yang beragam (Ratdiana 2007).

P. fluorescens merupakan agens antagonis yang potensial dengan menghasilkan antibiotik dan siderofor. Siderofor berfungsi mengikat ion Fe3+ dari lingkungan sehingga patogen tidak dapat memanfaatkan senyawa tersebut dan mengakibatkan pertumbuhan cendawan terhambat (Leong 1988 dalam Hamdan et al. 1991). Antibotik tersebut berperan dalam menekan perkembangan patogen yang ada di lingkungan pertanaman sehingga P. fluorescens dapat berkembang secara optimal (Mazolla et al. 1992). Selain itu, antibiotik yang dihasilkan oleh P. fluorescens dapat mempengaruhi populasi dari bakteri kelompok Pseudomonas

 

Senyawa antibiotik yang dihasilkan bakteri ini antara lain pyrrolnitrin, pyoluteorin (PLT), phenazine-1-carboxylase (PCA) dan 2,4-diacetylploroglucinol

(PHL) (Duffy & Defago 1998). Hamdan et al. (1991) menyatakan bahwa antibiotik PCA menjadi faktor utama dalam menekan kejadian penyakit pada tanaman. Sedangkan, siderofor yang dihasilkan antara lain ptochelin dan

pyovedrin. Keduanya merupakan pigmen berwarna kuning kehijauan, tetapi pigmen yang dihasilkan oleh pyovedrin lebih cerah daripada ptochelin.

P. fluorescens banyak dilaporkan sebagai penghasil fitohormon dalam jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan (Watanabe et al. 1987 dalam Marwoso 2005). IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang sangat besar peranannya dalam pertumbuhan tanaman (Heddy 1986

dalam Marwoso 2005). Dilaporkan oleh Tjondronegoro et al. (1989), bahwa pengaruh auksin antara lain: memanjangkan dan membesarkan sel batang, menghambat proses absisi yaitu pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, penghambat pucuk lateral yaitu menghambat pertumbuhan tunas ketiak dan dapat merangsang pertumbuhan kambium serta membentuk pertumbuhan floem dan xilem sekunder.

Beberapa contoh produk yang telah menggunakan P. fluorescens sebagai agens hayati antara lain: BlightBan A506, Conquer dan Victus. Produk tersebut tersedia dalam bentuk serbuk dan cairan yang dapat langsung diaplikasikan ke tanaman (Cook 2002).

 

Limbah Organik

Limbah Air Kelapa

Kelapa merupakan bahan utama dalam industri kopra. Air kelapa merupakan limbah dari industri kopra yang mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai bahan pembuat permen karet (kernel), bahan pembuat nata de coco

(Thirupati et al. 2007), sumber hormon pemicu pertumbuhan dan pengganti dekstrosa.

Air kelapa memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap. Bobot air kelapa sekitar 25% dari keseluruhan bobot buah kelapa dan komposisi yang terkandung didalamnya yaitu 4% karbohidrat, 0,1% lemak, 0,02% kalsium, 0,01% fosfor, 0,05% besi, protein (9 g/L), vitamin C, vitamin B kompleks dan garam-garam mineral. Umur buah kelapa mempengaruhi kadar gula yang terdapat pada air kelapa. Semakin tua umur buah kelapa maka kadar fruktosa dan glukosa akan meningkat, sedangkan kadar sukrosa akan menurun. Kalor yang terdapat dalam air kelapa adalah sebesar 17,4 kal/100 mg (Thirupati et al. 2007).

Limbah Air Tahu

Pembuatan nata de soya merupakan salah satu pemanfaatan limbah tahu yang telah banyak dilakukan. Pengolahan tersebut melibatkan bakteri Acetobacter xylinum yang memanfaatkan protein dan karbohidrat dalam limbah tahu sebagai energi untuk hidup dan berkembang biak (Anonim 2007). Limbah cair tahu mengandung kadar air 99,28%, kadar abu 0,06%, total padatan 0,067%, protein 0,17% dan karbohidrat 0,35% dengan pH 4,27. Analisis tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tahu merupakan sumber media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, termasuk bakteri antagonis. Akan tetapi untuk memperoleh hasil pertumbuhan yang optimal diperlukan tambahan nutrisi berupa sumber karbon dan nitrogen.

 

Limbah Perikanan

Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumberdaya alam yang memiliki sejumlah potensi untuk dimanfaatkan secara optimal. Minimnya pengetahuan dan sarana nelayan dalam mengolah hasil laut menyebabkan masalah terhadap lingkungan khususnya di kawasan pesisir, seperti gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Limbah pengolahan ikan di Cirebon berkisar 10 ton per hari yang berasal dari sekitar 20 industri kecil pengolahan ikan (Meidina et al. 2007).

Limbah pengolahan ikan seperti kulit udang, kepiting dan rajungan mengandung kitin dalam kadar tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesiesnya (Rochima et al. 2007). Kitin adalah polimer alami kedua yang paling banyak tersedia di alam setelah selulosa dan merupakan polimer aminoglukan dari N-asetil-D-glukosamin yang tidak larut air. Beberapa manfaat yang dapat diambil dari kitin, salah satunya di bidang pertanian antara lain dengan memanfaatkan sifat antifunginya untuk melindungi tanaman dari serangan fungi dan sifat antibakterinya terhadap beberapa patogen (Shahidi et al. 1999).

Kitin dapat diproses lebih lanjut menjadi kitosan yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit. Kitosan adalah senyawa turunan dari kitin yang telah mengalami deasitilisasi, yaitu penghilangan gugus asetat pada kitin. Kitosan merupakan rangkaian β-1.4-polimer yang berasal dari glukosaamina (2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa ) dan terdapat sejumlah N-asetilglukosamin. Zat ini dibentuk oleh poly-N-glukosamin (Rinaudo 1999). Singh and Sitaramaiah (1999) menyatakan bahwa kitosan sebagai substrat tumbuh mikrob antagonis juga dapat menginduksi ketahanan inangnya apabila ditambahkan langsung ke tanah.

Penyakit Rebah Kecambah Pada Cabai

Penyakit rebah kecambah (damping off) adalah penyakit yang menyerang bibit pada persemaian atau tanaman yang baru dipindahkan ke lapangan. Umumnya penyakit ini menyerang tanaman yang masih dalam keadaan sukulen serta belum banyak membentuk kutikula. Tanaman yang terserang penyakit rebah kecambah akan menampakkan gejala busuk basah, mengerut hingga bercak coklat pada leher akar atau bagian bawah batang dan pada akhirnya tanaman mati.

 

Apabila kondisi lingkungan dapat mendukung pertumbuhan patogen, maka kerugian akibat penyakit rebah kecambah berkisar 80-100% (Sugiharso dan Suseno dalam Rina 1993).

Tembakau, jagung, cabai, kapas, sorgum, tomat, kubis-kubisan dan kacang-kacangan adalah tanaman yang mudah terserang penyakit rebah kecambah. Agrios (1996) menyatakan bahwa timbulnya penyakit rebah kecambah dapat terjadi sebelum bibit muncul ke permukaan tanah (pre-emergence damping off) dan setelah bibit muncul ke atas permukaan tanah (post-emergence damping off). Penyakit rebah kecambah telah tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis dan daerah beriklim basah.

Sclerotium rolfsii adalah salah satu cendawan patogen penyebab penyakit rebah kecambah. Cendawan patogen ini bersifat saprofit fakultatif yang tumbuh secara saprofit dalam lapisan tanah ketika tidak ada tanaman inang (Frederiksen 1986). Berbagai usaha telah dilakukan dalam mengendalikan penyakit rebah kecambah, diantaranya adalah penggunaan fungisida. Alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan adalah dengan pemanfaatan spesies organisme yang bersifat antagonis terhadap patogen penyebab penyakit, atau secara umum dikenal sebagai pengendalian hayati (Campbell 1989).

Penggunaan bakteri antagonis P. fluorescens berpotensi untuk mengendalikan penyakit rebah kecambah. Penelitian yang telah dilakukan Howell dan Stipanovic (1979 & 1980) menunjukkan bahwa P. fluorescens dapat mengendalikan patogen Rhizoctonia solani dan Pythium spp. sebagai penyebab penyakit rebah kecambah pada persemaian kapas. Ganesan dan Gnanamanikam (1986) menyatakan bahwa P. fluorescens juga mampu mengendalikan patogen S. rolfsii penyebab penyakit rebah kecambah pada kacang tanah. P. fluorescens

memiliki kemampuan dalam menekan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh S. rolfsii pada persemaian cabai dan kedelai (Rina 1993).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari hingga November 2010.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah limbah air kelapa, limbah air tahu, ekstrak limbah pengolahan ikan, P. fluorescens, S. rolfsii,Escherichia coli (DHα5), benih cabai varietas TM99, media King’s B Agar, media PDA (Potatoes Dextrose Agar) dan Luria Broth (LB). Alat yang digunakan adalah cawan petri, laminar flow,

tabung reaksi, micropipet, erlenmeyer dan rak penanaman untuk pembenihan cabai.

Metode Penelitian

Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pembiakan P. fluorescens dari kultur penyimpanan, pembiakan P. fluorescens pada beberapa formulasi organik, uji keefektifan P. fluorescens sebagai pestisida hayati dan uji formulasi P. fluorescens dalam limbah organik terhadap pertumbuhan cabai.

Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

Penelitian ini menggunakan P. fluorescens sebagai bakteri terpilih untuk pengembangan probiotik tanaman. Isolat ini merupakan kultur stok yang dimiliki laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Dapartemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB sebagai hasil penelitian sebelumnya (Giyanto et al. 1998). P. fluorescens dibiakkan pada medium King`s B Agar ( 20 g protease peptone, 1,5 g K2HPO4, 1,5 g MgSO4.7H2O, 15 ml Gliserol, 15 g Agar dan 1 liter aquades) dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 24 jam. Kemurnian isolat bakteri ditandai dengan koloni yang menghasilkan pigmen hijau kekuningan sebagai indikasi penghasil senyawa antibiotika dan siderofor. Koloni murni akan digunakan pada uji selanjutnya.

 

Pembiakan P. fluorescens pada Beberapa Formulasi Limbah Organik

Formulasi limbah organik yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga jenis limbah yaitu limbah air kelapa (AK), limbah air tahu (TH), dan limbah pengolahan ikan (LI). Limbah air kelapa diperoleh dari tempat penggilingan kelapa yang terdapat di pasar-pasar tradisional, limbah tahu diperoleh dari pabrik tahu yang terletak di daerah Cibanteng, Bogor. Sedangkan, limbah pengolahan ikan diperoleh dari pasar ikan desa Gebang, Cirebon. AK dan TH yang diambil dari lokasi segera diproses dengan penyaringan menggunakan kertas wattman no. 3 , sedangkan limbah pengolahan ikan yang berupa campuran antara organ dalam ikan, sisik dan bagian ikan yang lain disiapkan dengan cara menghancurkan limbah pengolahan ikan tersebut menggunakan blender yang sebelumnya telah ditambahkan air dengan perbandingan LI : air (1:1). Campuran LI dan air tersebut selanjutnya direbus hingga mendidih selama 20 menit, kemudian disaring dengan kertas saring untuk memisahkan bagian padatan dan cairan. Bagian padatan dibuang sedangkan bagian cairan disimpan sebagai stok limbah LI dan stok tersebut dianggap 100% LI. Ketiga jenis limbah tersebut diformulasikan menjadi media untuk pertumbuhan bakteri P. fluorescens. Terdapat sembilan formulasi media pertumbuhan bakteri yang diuji pada penelitian ini (Tabel 1).

 

Tabel 1 Daftar formulasi media pertumbuhan bakteri yang digunakan dalam penelitian

Formulasi Persentase Komposisi Limbah Organik (%) Keterangan AK TH LI F1 (LB) 0,0 0,0 0,0 Kontrol F2 100,0 0,0 0,0 Kontrol F3 0,0 100,0 0,0 Kontrol F4 50,0 50,0 0,0 Perlakuan F5 32,5 65,0 2,5 Perlakuan F6 25,0 73,0 2,0 Perlakuan F7 20,0 78,5 1,5 Perlakuan F8 15,0 84,0 1,0 Perlakuan F9 10,0 90,5 0,5 Perlakuan

Semua formulasi disesuaikan pH 7.0 dengan penambahan larutan NaOH 1 M. Pengujian formulasi limbah organik sebagai media biakan P. fluorescens

dilakukan pada volume 50 ml pada erlenmeyer 250 ml yang sebelumnya telah disiapkan secara steril dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Formulasi diinokulasi P. fluorescens sebanyak 0.5 ml yang telah dikulturkan semalam pada 20 ml LB yang diinkubasikan pada inkubator bergoyang selama 12 jam dengan kecepatan 100 rpm. Kemudian setiap formulasi dilakukan penghitungan populasi P. fluorescens dengan teknik pengenceran berseri dan pencawanan pada media King’s B 10 % pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8 dan 10 dengan tiga kali ulangan dan masing-masing ulangan dilakukan secara duplo.

Uji Keefektifan P. fluorescens sebagai Pestisida Hayati

Uji penekanan S. rolfsii secara in-vitro. Formulasi P. fluorescens dalam beberapa komposisi limbah organik yang telah berhasil dirancang seperti terlihat dari hasil langkah kedua dari penelitian ini selanjutnya diuji keefektifannya dalam menekan perkembangan patogen S. rolfsii. Isolat S. rolfsii disiapkan dengan menumbuhkan sklerotia cendawan tersebut pada media Potato Dextrose Agar (PDA) lalu diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang untuk mempersiapkan isolat

S. rolfsii. Isolat S. rolfsii yang siap pakai ditandai dengan adanya hifa yang tumbuh merata dan memenuhi cawan petri.

 

Formulasi P. fluorescens pada beberapa jenis kombinasi limbah organik disiapkan seperti pada langkah 2 tersebut di atas. Formulasi limbah organik yang telah disiapkan sebanyak 50 ml dalam 250 ml labu erlenmeyer dengan perbandingan PDB : formulasi media (1:1). Pada masing-masing formulasi limbah organik disiapkan 3 erlenmeyer yang akan digunakan sebagai satu unit perlakuan. Erlenmeyer pertama berisi formulasi media ditambah S. rolfsii, sedangkan pada erlenmeyer ke-dua sebelum diinokulasi S. rolfsii formulasi media tersebut diinokulasi dengan 0,5 ml biakan P. fluorescens yang telah dikulturkan semalam pada 20 ml media LB. Sebagai perbandingan digunakan E. coli DHα5 yang telah dikulturkan selama semalam pada 20 ml media LB kemudian diinokulasikan sebanyak 0,5 ml pada erlenmeyer ke-tiga sebelum diinokulasi S. rolfsii. Biakan S. rolfsii yang telah disiapkan selanjutnya diinokulasikan pada formulasi media yang telah disiapkan dan selanjutnya diinokulasikan pada formulasi media limbah organik tersebut dengan memasukkan inokulum S. rolfsii (diameter 0,5 cm) yang

Dokumen terkait