• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

4. Hasil Belajar

pembelajaran.

I. Sistematika Penulisan

Di dalam penyusunan proposal skripsi ini sistemtika penulisan disusun dalam beberapa bab yang saling berkaitan agar dapat memudahkan pembaca dalam memahami proposal skripsi ini. Adapun penulisannya sebagai berikut:

BAB I : Berisi pendahuluan, terdiri dari beberapa sub-sub bagian yang terdiri dari latar belakang yang mencakup pembelajaran, pendidikan, masalah-masalah yang ada di sekolah yang akan diteliti. Identifikasi masalah berisikan masalah-masalah yang ada di kelas selama pembelajaran berlangsung. Rumusan masalah berisikan pertanyaan-pertanyaan yang akan diteliti. Batasan masalah yaitu membatasi penelitian yang akan diteliti. Tujuan penelitian berisikan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Manfaat penelitian berisikan manfaat-manfaat dari peneliti oleh pihak sekolah, guru, murid. Definisi operasional berisikan menjelaskan secara singkat pengertian suatu teori, dan sistematika penulisan menarasikan bab-bab secara sistematis.

BAB II : Kajian Teori, kajian teori terdiri dari deskripsi teori yang menjelaskan atau mendeskripsikan suatu teori-teori yang berkenaan dengan judul, konsep dan pengukuran, dan hipotesis yaitu dugaan awal atau sementara peneliti sebelum melakukan penelitian.

BAB III : Metode Penelitian, terdiri dari metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, waktu dan tempat penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, pengabsahan instrumen, dan teknik analisis data.

BAB IV : Hasil Penelitian, deskripsi hasil penelitian, analisis inferensial, analisis deskriptif, hasil uji validitas, hasil uji reliabelitas dan hasil pengujian hipotesis.

BAB V : Pembahasan hasil temuan dan teori hasil penelitian.

BAB II TELAAH TEORI A. Deskripsi Teoritik

1. Pengertian Model CTL (Contextual Teaching and Learning)

Daryanto dan Raharjo, (2012: 155) pembelajaran kontekstual CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubuangan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment). Sedangkan Sanjaya (2007: 253) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Pendekatan CTL merupakan konsep belajar yang memebantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan dorongan siswa yang membuat hubungan antara pengetahuan dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan

masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna

bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dengan bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan menstransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam kelas konstektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyakk berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru (Abdul Majid, 2014:180).

CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini penting karena dengan mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi itu akan bermakna secara fungsional bagi siswa dan materi itu akan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah dilupakan (Syahruddin Nurdin dan Adriantoni, 2016 : 200).

Menurut Bruner, guru mengembangkan belajar anak dengan cara menyediakan situasi nyata bagi terjadinya ekplorasi yang aktif dimulai dari format atau bentuk-bentuk yang berada disekitar kehidupan anak, untuk kemudian melangkah ke hal melalui penggunaan Bahasa yang lebih kompleks. Guru dapat mendorong perkembangan anak dengan berperan sebagai “scaffolder”, yaitu memahami adanya Batasan-batasan perkembangan

anak dan memerlukan bantuan, untuk kemudian memberikan bantuan tersebut secara tepat dan membiarkan si anak tumbuh melewati batasan-batasan perkembangannya sendiri (Abdul Majid, 2014:184).

Majid menyatakan, (2014:181) Model CTL memiliki tujuh langkah yang mana secara garis besar langkah-langkah penerapatan CTL dalam kelas itu adalah sebagai berikut :

a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik. c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok). e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.

f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.

g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Menurut Lubis (2015:87) langkah-langkah model pembelajaran Contextual Teaching and Learning yaitu sebagai berikut:

1. Guru mengarahkan siswa untuk sedemikian rupa dapat mengemangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar yang bermakna, berkesan, baik dengan cara meminta siswa untuk bekerja sendiri dan mencari serta menemukan sendiri

jawabannya,kemudian mefasilitasi siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan keterampilannya yang baru saja ditemuinya.

2. Dengan bimbingan guru, siswa diajak untuk menentuan suatu fakta dari permasalahan yang disajikan guru/ dari materi yang diberikn guru.

3. Memancing reaksi siswa untuk melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan tujuan untuk mengembangan rasa ingin ahu siswa.

4. Guru membentuk kelas menjadi beberpa kelompok untuk melakukan diskusi dan tanya jawab.

5. Guru mendemonstrasikan ilustrasi/ gambaran materi dengan model atau media yang sebenarnya.

6. Guru bersama siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang telah dilakukan.

7. Guru melakukan evaluasi, yaitu menilai kemampuan siswa yang sebenarnya.

Sedangkan menurut Shoimin (2016:43) langkah-langkah model pembelajaran Contextual Teaching and Learning yang bertujuan untuk mempermudah penerapannya dalam kelas sebagai berikut:

a. Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

b. Apersepsi, sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan.

c. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan dipelajari.

d. Penjelasan tentang pembagian kelompok dan cara belajar. 2. Kegiatan inti

a. Siswa bekerja dalam kelompok menyelesaikan permasalahan yang diajukan guru.

b. Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian dan alasan atas jawaban permasalahan yang diajukan guru.

c. Siswa dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja yang diajukan guru.

d. Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi, dan memfalisitasi kerja sama.

e. Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok yang mendapat tugas.

f. Dengan mengacu pada jawaban siswa, melalui tanya jawab, guru dan siswa membahas cara penyelesaian masalah yang tepat.

g. Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa tentang hal- hal yang dirasakan siswa, materi yang belum dipahami dengan baik, kesan dan pesan selama mengikuti pembelajaran.

3. Kegiatan akhir

a. Siswa membuat kesimpulan berdasarkan apa yang telah dipelajari. b. Guru mengevaluasi kembali dengan memberi lembaran tugas yang

dikerjakan secara rutin.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan langkah-langkah penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dimulai dari guru mempersiapkan siswa terlebih dahulu dengan menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang dipelajari. Kemudian guru membagi siswa dalam beberapa kelompok dan memberikan soal latihan untuk didiskusikan, guru berkeliling mengamati diskusi kelompok. Setelah selesai mengerjakan soal latihan perwakilan tiap kelompok mempersentasikan hasil kerja kelompoknya. Dengan mengaju pada jawaban siswa, melalu Tanya jawab, guru dan siswa membahas cara penyelesaikan yang tepat. Lalu guru melakukan refleksi dengan menayakan kepada siswa tentang materi yang blm dipahami. Terakhir siswa membuat kesimpulan berdasarkan apa yang telah dipelajari dan guru mengevaluasi kembali dengan memberi tugas untuk dikerjakan siswa.

Dari pengertian model pembelajaran CTL diatas, maka dapat disimpulkan bahwa modelpembelajaran CTL suatu pola yang membantu guru di dalam pembelajaran untuk mengaitkan konten pelajaran dengan dunia nyata siswa sehingga siswa bisa menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kelebihan pembelajaran CTL :

a. Pemahaman siswa terhadap konsep IPA tinggi sebagai berikut konsep ditemukan sendiri oleh siswa karena siswa menerapkan apa yang dipelajari dikehidupan sehari-hari.

b. Siswa terlibat aktif dalam memecahkan dan memiliki keterangan berfikir yang lebih tinggi karena siswa dilatih untuk mengunakan berfikir memecahkan suatu masalah dalam mengunakan data memahami masalah untuk memecahkan suatu hasil.

c. Pengetahuan tetang materi pembelajaran tertanam berdasarkan skema yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran contextual teaching and learning CTL akan lebih bermakna.

d. Siswa dapat merasakan dengan masalah yang konteks bagi siswa hal ini dapat mengakibatkan motivasi kesukaran siswa terhadap belajar IPA semakin tinggi.

f. Pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.

Kekurangan pembelajaran CTL :

a. Waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan amat banyak karena siswa ditentukan menemukan sendiri suatu konsis sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator, hal ini dapat berakibat pada tahap awal materi kadang-kadang tidak tuntas.

b. Tidak semua komponen pembelajaran CTL dapat diterapkan pada seluruh materi pelajaran tetap hanya dapat diterapkan pada materi pembelajaran yang mengandung prasyarat yang dapat CTL.

c. Sulit untuk menambah paradigma guru : guru sebagai pengajar keguru sebagai fasilitator dan mitra siswa dalam belajar, dalam suatu pembelajaran tentu ada kelemahan-kelemahannya agar suatu pembelajaran dapat berjalan dengan baik maka tugas kita sebagai guru adalah meminimalkan kelema han-kelemahan tersebut dengan bekerja keras.

2. Pengertian Alat Peraga

Alat peraga adalah segala sesuatu yang bisa digunakan dan dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan konsep-konsep pembelajaran dari materi yang bersifat abstrak atau kurang jelas menjadi nyata dan jelas sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian serta minat para siswa yang

menjurus kearah terjadinya proses belajar mengajar. Alat peraga sendiri merupakan seperangkat benda kongkret yang dirancang, secara sengaja yang digunakan untuk membantu menanamkan dan mengembangkan konsep-konsep pada mata pelajaran tertentu. Dengan alat peraga, hal-hal yang abstrak dapat disajikan dalam bentuk model-model yang berupa benda konkret yang dapat dilihat,dipegang sehingga dapat lebih mudah difahami.

Dalam pembelajaran ada yang di namakan alat peraga sebagai salah satu penunjang proses pembelajaran salah atu alat peraga yaitu alat peraga torso. Untuk memperoleh gambaran yang kongkrit serta pengalaman langsung diperlukan alat peraga yang berfungsi untuk membantu mengkonkretkan pengalaman atau pengertian dalam proses belajar mengajar.

Fungsi utama dari penggunaan alat peraga pembelajaran adalah untuk menurunkan keabstrakkan konsep agar siswa mampu menangkap arti konsep tersebut, menguasai materi yang dipelajari dan dapat mempraktikkan kembali dalam konteks yang sebenarnya. Dengan penggunaan alat peraga pembelajaran, maka selain para siswa menjadi lebih mudah dalam memahami materi yang dipelajari, guru pun akan menjadi lebih mudah dalam mengkomunikasikan atau menyampaikan kepada para siswa, tidak terkecuali juga untuk jenis materi pembelajaran yang bersifat abstrak.

Adapun tujuan dari penggunaan alat peraga pendidikan sendiri sangat bervariasi, diantaranya adalah:

a. Menjadikan proses pendidikan lebih efektif dengan jalan meningkatkan semangat dan antusiasme para siswa dalam belajar

b. Sesuai dengan perorangan, dimana para siswa belajar dengan banyak kemungkinan sehingga belajar berlangsung sangat menyenangkan bagi masing-masing individu.

c. Membuat para siswa lebih mudah memahami dan menguasai materi yang sedang dipelajari.

d. Memudahkan para guru dalam menyampaikan materi pembelajaan kepada para siswa dengan bahsa yang lebih mudah untuk diterima.

e. Menghindari kegiatan pembelajaran yang bersifat verbalisme yang cenderung membosankan dan kurang efektif.

Pada memahami anatomi mata pelajaran IPA seorang guru menggunakan model torso dibuat secara komersial untuk memperlihatkan kepada siswa letak organ-organ tubuh bagian dalam pada manusia. Model susunan dari tubuh manusia memberikan pengamatan terbaik kepada siswa mengenai letak serata ukuran dari organ tubuh yang sebenarnya.

3. Pengertian Torso

Menurut Sudjana dan Rifai (2007: 37) torso adalah model susun, model susunan dari beberapa objek yang lengkap, atau sedikitnya suatu bagian yang penting dari objek itu. Alat peraga torso merupakan alat bantu guru yang tepat dalam menjelaskan materi-materi Biologi sehingga kehadiran media tersebut dalam pembelajaran Biologi sangat mendukung proses penyampaian berbagai informasi dari guru ke siswa (Isnaini, 2016: 43). Torso didesain sedemikian rupa sehingga mudah dipergunakan dalam proses belajar mengajar (Pratiwi,2012).

Peragaan adalah mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata baik dalam bentuk asli maupun tiruan sehingga siswa lebih memahami apa yang disampaikan guru (Nurbatni, 2005). Dalam peragaan, guru menggunakan alat yang dapat membantu mempelajari bahan yang disampaikan. Alat-alat yang digunakan dalam peragaan ini disebut alat peraga. Istilah alat peraga dewasa ini disebut sebagai media pendidikan, ada pula yang menyebutnya sebagai Audio Visual Aids (AVA) atau alat bantu pandang dengar. Gagne dalam Nurbatni (2005) menyatakan bahwa media atau alat peraga adalah segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.

Alat peraga torso membantu siswa dalam dua hal (Nana, 2001:164): a) Guru menggunakannya untuk menunjukan posisi setiap organ

b) Siswa dapat memahami dan mengetahui bagaimana bentuk-bentuk dan urutan yang ada di dalam tubuh manusia.

4. Hasil Belajar

Hasil belajar adalah sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar tidak hanya penguasaan konsep teori mata pelajaran saja, tetapi juga penguasaan kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat-bakat, penyesuaian sosial, jenis-jenis keterampilan, cita-cita, keinginan, dan harapan. Pendapat Oemar Hamalik (2002:45) yang menyatakan bahwa “hasil belajar itu dapat terlihat dari terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku.” (Rusman, 2017 : 129)

Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi, yaitu sisi siswa dan sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. (Dimyati dan Mujiono, 2006 : 250-251) Menurut Horward Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yaitu (a) keterampilan dan kebiasaan; (b) pengetahuan dan pengertian; (c) sikap dan cita-cita. Kemudian Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yaitu (a) informasi verbal; (b) keterampilan intelektual; (c) strategi kognitif; (d) sikap; dan (e) keterampilan motorik. Penampilan-penampilan

yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kemampuan (Gagne, 1988). Menurut Gagne ada lima kemampuan, yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, informasi verbal, dan keterampilan motorik. (Dahar, 2011: 118)

Menurut Bloom, tujuan pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik, antara lain sebagai berikut:

1) Ranah kognitif; berkenaan dengan kemampuan dan kecakapan-kecakapan intelektual berpikir.

2) Ranah afektif; berkenaan dengan sikap, kemampuan dan penguasaan segi-segi emosional, yaitu perasaan, sikap, dan nilai.

3) Ranah psikomotorik; berkenaan dengan suatu keterampilan-keterampilan atau gerakan-gerakan fisik.

Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitif yang paling banyak dinilai para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pelajaran.

Bloom menjelaskan bahwa “ranah kognitif terdiri dari enam kategori”, yaitu:

1) Pengetahuan (knowledge), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep,

prinsip, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannnya.

2) Pemahaman (comprehension), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk memahami atau mengerti tentang materi pelajaran yang disampaikan guru.

3) Penerapan (application), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode, prinsip, dan teori-teori dalam situasi baru dan konkret.

4) Analisis (analysis), jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentukannya.

5) Sintesis (syntesis), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai faktor.

6) Evaluasi (evaluation), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk dapat mengevaluasi suatu situasi, keadaan, pernyataan atau konsep berdasarkan kriteria tertentu. (Rusman, 2017 : 131)

Ranah psikologis peserta didik yang terpenting adalah ranah kognitif. Kognisi ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan, sedang aspek kognitif merupakan ranah psikis pengendali pikiran, perasaan dan perbuatan peserta didik karena berhubungan dengan

pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan.

Hal-hal penting yang berhubungan dengan perkembangan kognitif peserta didik, antara lain: skema kognitif untuk menyimpulkan stimulus sesuai dengan kelompoknya, asimilasi proses merespon stimulus, akomodasi untuk menyesuaikan skema dengan stimulus yang direspon, dan ekuilibrium, yakni keseimbangan antara skema dengan respons terhadap stimulus.

Tahap perkembangan kognitif peserta didik terdiri atas: sensori-motor, pra-operasional, konkret-operasional, dan formal-operasional.

Tahapan perkembangan kognitif anak menurut Piaget

No. Tahap Perkembangan Kognitif Usia Perkembangan Kognitif 1. Sensory-motor (sensori-motor) 0-2 tahun 2. Pre-operational (Pra-operasional) 2-7 tahun 3. Concrete-operational

(Konkret-operasional) 7-11 tahun

4. Formal-operational (Formal-operasional) 11-15 tahun

a. Sensori-motor adalah inteligensi praktis anak usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat sebelum mampu berpikir mengenai hal yang sedang diperbuat.

b. Pra-operasional adalah inteligensi anak usia 2-7 tahun yang telah memiliki dan menggunakan representasi mental dalam skema

kognitifnya yang memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu.

c. Konkret-operasional adalah inteligensi anak usia 7-11 tahun, saat telah dimilikinya satuan langkah berpikir yang berfaedah untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.

d. Formal-operasional adalah inteligensi anak usia 11-15 tahun dan seterusnya yang ditandai dengan adanya kapasitas menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. (Syah, 2014: 114)

Menurut Bloom, ranah kognitif menggolongkan dan mengurutkan keahlian berpikir yang menggambarkan tujuan yang diharapkan. Proses berpikir mengekspresikan tahap-tahap kemampuan yang harus siswa kuasai, sehingga dapat menunjukkan kemampuan mengolah pikirannya sehingga mampu mengaplikasikan teori ke dalam perbuatan. Berikut taksonomi ranah kognitif yang disampaikan oleh Lorin Anderson berikut kata kerjanya:

Taksonomi Ranah Kognitif (Lorin Anderson, 2001)

a. Mengingat Mengurutkan, menjelaskan, mengidentifikasi, menamai, menempatkan, dan sebagainya. b. Memahami

Menafsirkan, meringkas, mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, dan

c. Menerapkan Melaksanakan, menggunakan, menjalankan, melakukan, dan sebagainya

d. Menganalisis Menguraikan, mengorganisasikan, menyusun ulang, dan sebagainya

e. Mengevaluasi Menyusun hipotesi, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, dan sebagainya.

f. Berkreasi Merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, dan sebagainya. Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotorik karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotorik dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. (Rusman, 2017: 132)

Dokumen terkait