• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR LAMPIRAN

B. METODE PENELITIAN 1 Penentuan Waktu Pengeringan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A PENGERINGAN BEKATUL

Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas (sirkulator) berfungsi untuk memasukkan udara kering, mengeluarkan udara jenuh, serta meratakan panas ke seluruh bagian. Pengeringan dimaksudkan untuk meminimalkan kandungan air dalam bekatul sehingga bekatul memiliki bobot lebih ringan dan umur simpan lebih panjang. Pengeringan dilakukan pada suhu 50ºC dengan tujuan untuk mempertahankan nutrisi bekatul selama proses pengeringan. Menurut Deman (1999), penggunaan suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan nutrisi bekatul. Protein akan terdenaturasi dan terkoagulasi pada suhu 55-75ºC. Belizt (2009) menambahkan bahwa denaturasi protein merupakan proses terjadinya perubahan ikatan tersier tanpa adanya pemotongan ikatan kovalen kecuali ikatan sulfida.

Sumber panas pengering rak berasal dari elemen pemanas yang berada di sekeliling ruang pengering. Elemen pemanas yang dipanaskan akan memanaskan udara disekitarnya. Sirkulator dalam pengering akan menukar udara panas dengan udara yang lebih dingin hingga panas merata ke seluruh bagian dalam pengering.

Panas di bagian dalam pengering akan kontak dengan seluruh permukaan bekatul dan memanaskan bekatul secara konveksi. Air di permukaan bekatul menguap pada suhu yang lebih rendah dari titik didih air (100ºC) karena perbedaan kandungan uap air di dalam bekatul dan di lingkungan sekitar bekatul.

Tekanan uap air di permukaan bekatul sangat tinggi dan tekanan udara pengering rendah sehingga perbedaan uap air ini menyebabkan terjadinya perpindahan masa uap air dari bekatul ke udara dan tekanan uap air di permukaan bekatul menurun. Ketika tekanan permukaan bahan menurun, massa air bagian dalam bekatul berpindah ke permukaan dan kemudian menguap ke udara. Udara yang telah jenuh dikeluarkan melalui outlet dan

15 digantikan oleh udara dingin yang masih kering. Jumlah uap air yang diuapkan selama 6 jam dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Laju pengeringan bekatul segar

Gambar 6 menunjukkan bahwa laju pengeringan bahan mulai konstan setelah 3 jam pengeringan. Tekanan uap air bekatul pada awal proses lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan uap air di dalam pengering. Lama pengeringan mengakibatkan penurunan tekanan uap air bekatul. Hal tersebut menyebabkan jumlah air yang diuapkan per menit semakin lama semakin mengecil. Laju pengeringan konstan terjadi ketika tekanan uap air bekatul sama dengan tekanan uap air pengering, sehingga kecepatan penguapan air dari bahan sama dengan kecepatan aliran panas yang melalui permukaan bahan. Lama pengeringan mengakibatkan penurunan kadar air bekatul (Gambar 7).

Gambar 7. Penurunan kadar air bekatul segar selama pengeringan y = 0.018ln(x) + 0.031 R² = 0.933 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0 100 200 300 400 jum lah uap a ir ( m g)

Lama Pengeringan (menit)

y = 8.143x-0.09 R² = 0.921 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 0 100 200 300 400 K ada r ai r (% )

16 Selama pengeringan, dilakukan pengujian kadar air untuk mengetahui waktu yang diperlukan untuk menurunkan kadar air bekatul dari 6,86 % menjadi 5 %. Bekatul mencapai kadar air 5 % setelah dilakukan pengeringan selama 4 jam (Gambar 7).

Penentuan lama pengeringan bekatul berdasarkan pada laju pengeringan yang konstan dan kadar air yang diharapkan sebesar 5 %. Laju pengeringan mulai konstan setelah 3 jam pengeringan. Kadar air bekatul mencapai 5 % setelah 4 jam pengeringan. Oleh karena itu lama pengeringan yang digunakan adalah 4 jam. Lama pengeringan bekatul segar digunakan sebagai acuan pada pengeringan bekatul terstabilisasi.

Stabilisasi tepung bekatul dilakukan dengan metode pemanasan basah dan pengeringan. Pemanasan basah dilakukan menggunakan autoklaf dengan tiga variasi lama pemanasan, yaitu selama 5, 10, dan 15 menit. Proses pemanasan dan pengeringan mengakibatkan perubahan kadar air bekatul (Tabel 2).

Tabel 2. Kadar air produk setelah pemanasan dan pengeringan Lama pemanasan

(menit)

Kadar air awal (%)

Kadar air setelah pemanasan

(%)

Kadar air setelah pengeringan

(%)

5 6,86 9,00 4,94

10 6,86 9,76 5,15

15 6,86 10,73 5,30

Kadar air bekatul segar sebesar 6,86 % (Tabel 2). Pemanasan menggunakan autoklaf dapat meningkatkan kadar air bekatul segar dari 6,86 % menjadi 9 % (5 menit), 9,76 % (10 menit), dan 10,73 % (15 menit). Bekatul bersifat higroskopis sehingga mampu menyerap uap air selama pemanasan. Uap panas akan berikatan dengan molekul penyusun bekatul secara absorpsi serta mengisi rongga kosong (kapiler). Semakin lama pemanasan, intensitas kontak bekatul dengan uap panas semakin tinggi sehingga kadar air bekatul meningkat.

Peningkatan kadar air bekatul selama pemanasan dapat meningkatkan aktivitas enzim sehingga mempercepat terjadinya ketengikan. Oleh karena itu, dilakukan proses pengeringan untuk menurunkan kadar air bekatul.

17 Pengeringan selama 4 jam menurunkan kadar air bekatul dari 9 % menjadi 4,49 %, dari 9,76 % menjadi 5,15 %, dan 10,73 % dari menjadi 5,3 % (Tabel 2).

Selama proses pengeringan terjadi perpindahan massa bahan. Proses perpindahan massa selama pengeringan disimulasikan pada Gambar 8 menggunakan bekatul hasil pemanasan selama 5 menit. Pada proses pengeringan, tiap pemanasan mempunyai efek yang berbeda terhadap jumlah air yang menguap dan laju pengeringan bekatul (Tabel 3).

Bekatul 200 g

Pengeringan (50oC, 4 jam)

Bekatul awet kering 191,45 g Uap air

Gambar 8. Neraca massa pengeringan bekatul hasil pemanasan 5 menit

Air yang menguap selama 4 jam = 200 g - 191,46 g = 8,54 g

Laju pengeringan = 8,54 g/4 jam = 0,593 mg/detik

Tabel 3. Laju pengeringan produk pada lama pemanasan yang berbeda Lama pemanasan (menit) Umpan (g) Produk (g) Produk

(g) Laju pengeringan rata-rata (mg/detik)

5 200 191,45 8,54 0,593

10 200 190,28 9,72 0,675

15 200 188,54 11,47 0,796

Laju pengeringan tertinggi pada pemanasan 15 menit, sebesar 0,796 mg/detik dan diikuti oleh pemanasan 10 dan 5 menit (Tabel 3). Hal ini disebabkan oleh banyaknya air yang terikat dalam bahan berpengaruh terhadap laju pengeringan bahan yang semakin besar. Kadar air yang tinggi pada pemanasan 15 menit memiliki tekanan uap yang tinggi pula, inilah yang menyebakan bekatul pemanasan 15 menit mempunyai laju pengeringan rata- rata lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan 10 dan 5 menit.

18 B. KARAKTERISTIK BEKATUL SEGAR DAN TERSTABLISASI

Karakterisasi bekatul segar dan terstabilisasi yang dilakukan meliputi sifat kimia, fungsional, dan mikrobiologi. Proses stabilisasi mengakibatkan perubahan kimia bekatul (Tabel 4).

Tabel 4. Sifat kimia bekatul segar dan terstabilisasi

Parameter a* Bekatul segar Bekatul Terstabilisasi 5 menit 10 menit 15 menit

Kadar air (%) Mak 12 6,86 4,94 5,15 5,30

Kadar protein (% bk) Min 8 13,72 11,47 11,19 10,95 Kadar lemak (% bk) Min 3 16,84 10,92 10,18 10,74 Kadar abu (% bk) Mak 10 7,43 7,26 7,42 7,43 Serat kasar (% bk) Mak 10 7,25 7,05 7,38 6,78 Karbohidrat by difference

(% bk) - 47,9 58,36 58,68 58,8

TBA (mg malonaldehid/kg

bahan) - 0,68 0,11 0,23 0,49

Sumber : a : SNI 01-4439-1998

Keterangan : bk : basis kering

Kadar air bekatul segar berada dalam kisaran standar SNI (Tabel 4). Kadar air bekatul segar dipengarui oleh proses pengeringan gabah sebelum digiling, penggilingan, pengemasan, penyimpanan, dan distribusinya. Kadar air gabah kering giling berkorelasi positif dengan kadar air bekatul segar.

Proses pemanasan basah dapat meningkatkan kadar air bekatul (Tabel 2). Kadar air yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses hidrolisis, oksidasi, dan pertumbuhan bakteri. Proses pengeringan diperlukan untuk menurunkan kadar air bekatul.

Proses pengeringan dapat menurunkan kadar air bekatul dari 6,86 % menjadi 4,94 % (pemanasan 5 menit), 5,15 % (pemanasan 10 menit), dan 5,3 % (pemanasan 15 menit). Lama pemanasan basah meningkatkan kadar air bekatul. Kadar air bekatul dengan lama pemanasan 15 menit lebih besar dibandingkan 10 dan 5 menit. Oleh karena itu, lama pengeringan yang sama menghasilkan kadar air pengeringan yang berbeda.

Protein bekatul segar sebesar 13,72 %, hasil tersebut berada dalam standar SNI (Tabel 4). Proses stabilisasi dapat menurunkan kadar protein bekatul. Penurunan protein disebabkan adanya komponen albumin yang

19 terlarut saat pemanasan. Ini sesuai dengan Houston (1972) bahwa, proses pemanasan bahan dimungkinkan dapat menghilangkan sebagian kecil protein yang larut air.

Perhitungan protein berdasarkan jumlah N yang terkandung dalam bahan (Winarno, 2002). Tinggi rendahnya protein pada bekatul dipengaruhi oleh komposisi germ pada bekatul. Tingginya konsentrasi germ pada bekatul dapat meningkatkan protein bekatul karena germ mempunyai kadar protein lebih tinggi dari lapisan lain yaitu sebesar 14,1-20,6 % (Champage et al., 2001). Bagian embrio mengandung amino N empat kali lebih banyak dibandingkan dengan bekatul.

Hasil analisis lemak bekatul segar sebesar 16,84 %, nilai ini masuk dalam standar SNI (Tabel 4). Kadar lemak bekatul terstabilisasi berkisar antara 10,74 - 10,92 %. Penurunan kadar lemak disebabkan adanya uap air yang terserap selama pemanasan. Meningkatnya kandungan air menyebabkan terjadinya hidrolisis. Proses hirolisis memecah molekul lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas (ALB). Gliserol dalam pengujian kadar lemak tidak ikut terekstrak sehingga kadar lemak bekatul segar lebih besar dibandingkan bekatul terstabilisasi.

Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Hasil analisis kadar abu sebesar 7,43 % dan bekatul terstabilisasi mempunyai kisaran antara 7,26-7,43 %. Nilai ini masuk dalam standar (Tabel 4). Pemanasan suhu tinggi tidak dapat menghilangkan kandungan mineral dalam bekatul. Proses stabilisasi yang dilakukan pada suhu 105ºC tidak mengurangi kadar mineral dalam bekatul. Menurut Orthoefer (2001), konsentrasi mineral tergantung proses penggilingan, iklim, tanah, varietas, dan lokasi biji. Houston (1972) menyatakan bahwa kandungan mineral utama bekatul adalah fosfor, kemudian diikuti potasium, magnesium, dan silikon

Hasil analisis serat kasar bekatul segar sebesar 7,25 % sedangkan bekatul terstabilisasi berkisar antara 6,78-7,38 %. Penurunan kadar serat bekatul disebabkan karena pemanasan yang dilakukan dapat melunakkan struktur serat sehingga penambahan asam dan basa saat pengujian dapat melarutkan beberapa bagian serat.

20 Pada penelitian ini, kadar karbohidrat diukur secara by difference, yaitu analisis kadar karbohidrat melalui perhitungan. Hasil analisis karbohidrat bekatul segar didapatkan sebesar 47,9 %. Proses pemanasan dan pengeringan menyebabkan peningkatan kadar karbohidrat bekatul (Tabel 4). Jumlah karbohidrat dalam bekatul sebenarnya tidak berubah selama pemanasan. Menurut Ramesh (1999), kandungan karbohidrat cenderung stabil dibandingkan dengan komponen lain ketika dilakukan pemanasan. Peningkatan persentase karbohidrat dikarenakan terjadi penurunan pada komponen yang lain.

Malonaldehid termasuk komponen utama dari nilai TBA (thiobarbituric acid) yang digunakan untuk mengetahui derajat oksidasi lemak (Rahman, 1999). Nilai TBA yang semakin tinggi menunjukan bahan tersebut semakin tengik. Hasil pengujian nilai TBA bekatul segar sebesar 0,68 mg malonoldehid/kg bahan. Selama ini belum ada standar yang menyebutkan besarnya nilai TBA dapat dikatakan tengik, sehingga perlu adanya pengujian odor. Berdasarakan uji panelis, bau bekatul segar masih disukai oleh panelis.

Nilai TBA bekatul terstabilisasi berkisar antara 0,11-0,49 malonoldehid/kg bahan. Penurunan nilai TBA bekatul terjadi setelah proses stabilisasi bekatul. Stabilisasi bekatul menyebabkan inaktivasi enzim lipase sehingga pembentukan aldehid terhambat. Proses pengeringan menyebabkan komponen aldehid yang bersifat volatil ikut menguap bersama air. Hal tersebut menyebabkan penurunan nilai TBA bekatul terstabilisasi.

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4), parameter nilai TBA berbeda nyata pada perlakuan lama pemanasan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama pemanasan 5 dan 10 menit berbeda nyata dengan lama pemanasan 15 menit (Lampiran 5). Nilai TBA bekatul terstabilisasi selama 5 dan 10 menit berturut-turut sebesar 0,11 dan 0,23 mg malonaldehid/kg bahan, sedangkan pada lama pemanasan 15 menit sebesar 0,49 mg malonaldehid/kg bahan. Peningkatan waktu pemanasan meningkatkan nilai TBA bekatul. Pemanasan basah dapat mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis sehingga menghasilkan aldehid yang lebih besar.

21 Selain analisis kimia, juga dilakukan analisis sifat fungsional dan mikrobiologi. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5

Tabel 5. Hasil analisis sifat fungsional dan mikrobiologi bekatul segar dan terstabilisasi Parameter Bekatul segar Bekatul terstabilisasi 5 menit 10 menit 15 menit Kelarutan suhu 70°C (%) 11,95 14,95 21,32 16,14

Swelling power suhu 70°C (%) 5,96 5,97 6,47 6,59

Freeze thaw stability (% sineresis) 95,50 96,73 96,48 95,13

TPC (koloni/g) 1,65 x 106 0 0 0

E. coli (APM/g) - - - -

Kelarutan merupakan kemampuan bahan untuk larut. Semakin tinggi nilai kelarutan bahan menunjukkan semakin banyak komponen bahan tersebut larut dalam air. Kelarutan bekatul segar sebesar 11,95 % dan bekatul terstabilisasi sebesar 14,95-21,32 %. Proses stabilisasi dapat meningkatkan kelarutan bekatul. Pemanasan bekatul menyebabkan kerusakan jaringan sehingga komponen dalam bekatul larut dalam air. Berdasarkan Rahman (1999), pemanasan yang berlebihan dapat merusak struktur sehingga nutrisi yang larut air (misalnya beberapa mineral, vitamin, dan pektin) dapat ikut keluar.

Swelling power merupakan pengembangan volume bekatul dalam air. Hasil analisis swelling power bekatul segar sebesar 5,96 %. Nilai swelling power bekatul dipengarui oleh kadar seratnya. Serat mempunyai gugus polar –OH sehingga dapat berikatan dengan air dengan membentuk ikatan hidrogen. Bekatul hasil stabilisasi mempunyai swelling power sebesar 5,97- 6,59 %. Peningkatan swelling power bekatul terstabilisasi disebabkan karena pemanasan dapat meningkatkan keporosan serat sehingga pengikatan air semakin besar.

Pengujian freeze thaw stability digunakan untuk melihat ketahanan bekatul disimpan dalam suhu beku (-15oC). Persentase sineresis menunjukkan banyaknya air yang memisah setelah dilakukan thawing. Hasil analisis freeze thaw stability bekatul segar sebesar 95,5 % sineresis dan bekatul terstabilisasi antara 95,13-96,73 % sineresis. Sifat freeze thaw stability berhubungan

22 dengan kandungan serat bekatul. Jumlah serat sebelum dan sesudah stabilisasi relatif tetap, sehingga sifat freeze thaw stabilitynya relatif tetap. Tidak berbedanya sifat freeze thaw stability bekatul segar dengan hasil stabilisasi menunjukkan bahwa proses stabilisasi tidak mengubah sifat freeze thaw stability bekatul.

Analisis water retention capacity digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan untuk menahan air pada pemanasan 60-95°C. Suhu pemanasan berpengaruh terhadap nilai WRC bekatul segar maupun bekatul terstabilisasi (Gambar 9).

Gambar 9. Pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai WRC pada bekatul segar

dan terstabilisasi

Kenaikan nilai WRC bekatul segar dan terstabilisasi terjadi seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan. Pemanasan menyebabkan popi-pori bekatul semakin membesar sehingga kemampuan penyerapan air meningkat. Pada pemanasan suhu antara 65-95ºC terjadi kenaikan penyerapan air. Hal ini diduga karena pemanasan dapat meningkatkan kemampuan serat untuk berikatan dengan air.

Nilai ORC menunjukkan kemampuan bekatul dalam menyerap minyak setelah pemanasan antara 65-95ºC. Gambar 10 menunjukkan pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai ORC pada bekatul segar dan bekatul terstabilisasi.

0 5 10 15 20 25 30 65 70 75 80 85 90 95 W ater R eten to n C ap ac ity ( %) Suhu Pemanasan(°C)

23 Gambar 10. Pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai ORC pada bekatul

segar dan terstabilisasi

Berdasarkan Gambar 10, kemampuan bekatul menyerap minyak cenderung tetap untuk semua suhu pengamatan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan serat dalam berikatan dengan minyak. Proses stabilisasi menyebabkan peningkatan penyerapan minyak oleh bekatul terstabilisasi dibandingkan dengan bekatul segar. Proses stabilisasi dapat meningkatkan keporousan serat. Serat yang poros dapat diisi oleh minyak yang dicampurkan dalam bekatul.

Hasil analisis TPC menunjukkan jumlah keseluruhan mikroorganisme yang ada pada bahan makanan. Berdasarkan analisis, didapatkan total mikroorganisme sebesar 1,65 x 106 koloni/g. Nilai tersebut melewati batas yang tertera dalam SNI terhadap tepung beras yaitu 106 koloni/g. Tingginya nilai tersebut diduga karena kontaminasi saat proses penggilingan, penyimpanan, maupun distribusi. Pada bekatul terstabilisasi, tidak ditemukan adanya koloni mikroorganisme. Penurunan jumlah mikroorganisme disebabkan adanya pengaruh pemanasan suhu 105°C. Pada suhu 105°C, pertumbuhan mikroba dapat terhambat bahkan tidak dapat tumbuh (mati).

Jumlah bakteri E. coli merupakan batas pencemaran bahan pangan. Adanya kandungan bakteri E. coli dalam bahan pangan dapat membahayakan konsumen. Hasil analisis tidak menunjukkan adanya koloni E coli baik pada bekatul segar maupun bekatul terstabilisasi sehingga bekatul segar aman untuk dikonsumsi langsung.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 65 70 75 80 85 90 95 Oil R eten to n C ap ac ity ( %) Suhu Pemanasan(°C)

24 Pemilihan produk yang akan digunakan dalam pendugaan umur simpan bardasarkan pada nilai TBA dan kadar air terendah. Produk yang dihasilkan dengan lama pemanasan 5 menit menjadi produk terpilih dengan nilai TBA sebesar 0,11 mg malonaldehid/kg bahan dan kadar air sebesar 4,94 %. Kadar air yang rendah digunakan untuk mencegah proses hidrolisis lemak. Nilai TBA yang rendah menunjukkan ketengikan bekatul yang rendah.

C. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN

Parameter uji yang digunakan selama penyimpanan adalah kadar air, nilai TBA, dan warna. Ketiga parameter tersebut merupakan parameter yang menentukan mutu ketengikan bekatul terstabilisasi. Selama penyimpanan, kadar air bekatul terstabilisasi mengalami perubahan (Gambar 11).

Gambar 11. Perubahan kadar air bekatul terstabilisasi selama penyimpanan

Nilai kadar air bekatul terstabilisasi cenderung mengalami penurunan. Menurut Arpah (2001), produk pangan kering yang disimpan akan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan kadar air. Terjadinya penurunan kadar air bekatul diduga RH penyimpanan yang lebih rendah dibandingkan RH dalam kemasan.

Penyimpanan bekatul terstabilisasi pada suhu 50ºC menyebabkan penurunan kadar air yang lebih besar dibanding perlakuan yang lain (Gambar 11). Tempat penyimpanan dilengkapi dengan saluran pembuangan (outlet) untuk membuang uap air jenuh tanpa dilengkapi dengan saluran masuk (inlet). Pengeluaran uap jenuh dapat menurunkan RH tempat penyimpanan.

5.0 5.2 5.4 5.6 5.8 6.0 6.2 6.4 6.6 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Kad ar air ( %)

Lama Penyimpanan (minggu)

25 Pada tempat penyimpan, suhu yang tinggi menyebabkan semakin banyak uap air yang keluar melalui outlet. Nilai RH pada penyimpanan suhu 35ºC , 45ºC dan 50ºC mempunyai RH sebesar 12 %, 7 %, dan 5 %. Kecilnya RH lingkungan menyebabkan semakin cepat uap air dalam kemasan berdifusi ke luar kemasan.

Kecerahan (lightness) menjadi penentu dalam pengujian warna. Selama 8 minggu penyimpanan, terjadi perubahan warna bekatul (Gambar 12).

Gambar 12. Perubahan kecerahan (L) bekatul terstabilisasi selama penyimpanan

Selama proses penyimpanan, tingkat kecerahan bekatul mengalami penurunan (Gambar 12). Tingkat kecerahan bekatul dipengaruhi oleh kadar air bekatul. Saat pengukuran warna, air dalam bekatul memantulkan cahaya, sehingga tingkat kecerahan bekatul yang diukur semakin tinggi. Selama penyimpanan, bekatul mengalami penurunan kadar air sehingga nilai kecerahannya menurun.

Selama penyimpanan, terjadi penurunan mutu bekatul yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai TBA (Gambar 13). TBA digunakan untuk mengetahui banyaknya hidrolisis dan oksidasi lemak menjadi aldehid.

69.2 69.4 69.6 69.8 70.0 70.2 70.4 70.6 70.8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Nilai L Lama Penyimpanan(minggu)

26 Gambar 13. Perubahan nilai TBA bekatul terstabilisasi selama penyimpanan

Selama penyimpanan, terjadi peningkatan nilai TBA bekatul terstabilisasi. Peningkatan nilai TBA tertinggi terjadi pada suhu penyimpanan 50ºC, diikuti suhu 35ºC dan 45ºC. Suhu tinggi dapat meningkatkan proses oksidasi dan permeabilitas kemasan.

D. PENDUGAAN UMUR SIMPAN

Pendugaan umur simpan bekatul menggunakan metode akselerasi model Arrhenius. Penentuan parameter kritis ditentukan dari parameter uji yang mudah mengalami kerusakan. Parameter yang diukur selama penyimpanan adalah kadar air, TBA, dan warna. Diantara ketiga parameter tersebut yang mudah rusak dan mempengaruhi persepsi konsumen adalah nilai TBA.

Titik kritis TBA berdasarkan pada pengujian organoleptik (aroma bekatul). Berdasarkan uji organoleptik, titik kritis TBA sebesar 0,36 mg malonaldehid/kg bahan. Nilai tersebut diperoleh dari pengujian organoleptik pada penyimpanan minggu ke-4 ketika produk mulai ditolak.

Berdasarkan data perubahan nilai TBA selama penyimpanan, dapat dibuat grafik hubungan antara lama penyimpanan dengan nilai TBA pada tiga suhu penyimpanan seperti pada Gambar 14.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0 2 4 6 8 N il ai T B A (m g m alo n ald eh id /k g b ah an ) Lama penyimpanan(minggu) Suhu 35°C Suhu 45°C Suhu 50°C

27 Gambar 14. Laju peningkatan nilai TBA bekatul terstabilisasi selama

penyimpanan

Berdasarkan Gambar 14, diperoleh persamaan peningkatan nilai TBA dari masing-masing suhu penyimpanan yaitu sebesar :

Suhu 35ºC y = 0,029x + 0,181 R2 = 0,988 Suhu 45ºC y = 0,032x + 0,199 R2 = 0,951

Suhu 50ºC y = 0,041x + 0,245 R2 = 0,962

Kemiringan masing-masing persamaan regresi merupakan nilai k pada persamaan Arrhenius. Plot Arrhenius diperoleh dengan menghubungkan nilai ln k dan 1/T dari masing-masing nilai regresi setiap suhu penyimpanan.

Gambar 15. Hubungan antara ln k dengan 1/T pada bekatul terstabilisasi

Berdasarkan Gambar 15, diperoleh persamaan garis lurus dan koefisien korelasi sebagai berikut :

y = -2092 x + 3,223 R2 = 0,814 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0 2 4 6 8 Nilai T B A (m g m alo n ald eh id /k g b ah an ) Lama penyimpanan(minggu) 35°C 45°C 50°C y = -2092x + 3.223 R² = 0.814 -3.6 -3.5 -3.4 -3.3 -3.2 -3.1 ln k 1/T 0,0031 0,0032 0,0032 0,0033

28 Nilai kemiringan kurva persamaan garis ini merupakan nilai –E/R dari persamaan Arrhenius, sehingga diperoleh nilai energi aktivasi dengan persamaan sebagai berikut :

-E/R = -2092 K

R = 1,986 kal /mol K E = 1053,4 kal /mol

Nilai perpotongan merupakan nila ln ko dari persamaan Arrhenius, hingga

diperoleh nilai ko sebesar :

ln ko = 3,223

ko = 25,1033

Setelah nilai -E/R dan ko diperoleh, model persamaan Arrhenius untuk laju

penurunan nilai TBA diperoleh sebagai berikut : k = ko e-(Ea/RT)

k = 25,1033 e-2092/T

Berdasarkan persamaan Arrhenius diatas, dapat ditentukan laju peningkatan TBA pada berbagai suhu penyimpanan seperti disajikan pada tabel dibawah ini:

Tabel 6. Laju peningkatan nilai TBA pada suhu penyimpanan yang berbeda.

Suhu Persamaan K (mg malonaldehid/

kg sampel/hari) 15oC atau 288 K k =25,1033 e-2092/288 0,01758184 25oC atau 298 K k =25,1033 e-2092/298 0,02243497 30oC atau 303 K k =25,1033 e-2092/303 0,02519045

Setelah mendapatkan laju peningkatan nilai TBA, maka umur simpan bekatul terstabilisasi pada suhu penyimpanan yang berbeda dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Umur simpan = Nilai kritis TBA – Nilai TBA awal Laju Peningkatan nilai TBA

Sehingga didapatkan umur simpan bekatul terstabilisasi adalah sebagai berikut: Suhu 15ºC atau 288 K = (0,3623 – 0,181)/ 0,01758184= 9 minggu

Suhu 25ºC atau 298 K = (0,3623 – 0,181)/ 0,02243497= 7 minggu Suhu 30ºC atau 303 K = (0,3623 – 0,181)/ 0,02519045= 6 minggu 2 hari

29 Hasil perhitungan pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi dalam beberapa variasi suhu penyimpanan menunjukkan bahwa semakin tinggi, semakin pendek umur simpannya. Hal ini diduga disebabkan karena peningkatan suhu penyimpanan dapat mempercepat penguraian asam lemak menjadi aldehid yang secara tidak langsung akan mempercepat ketengikan bekatul terstabilisasi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Pengeringan bekatul dilakukan selama 4 jam berdasarkan laju pengeringan yang konstan dan kadar airnya mencapai 5 %. Lama pengeringan tersebut digunakan sebagai acuan pengeringan bekatul terstabilisasi.

Hasil analisis kimia bekatul segar yaitu kadar air sebesar 6,86 %, protein 13,72 % bk, lemak 16,84 % bk, serat kasar 7,25 % bk, abu 7,43 % bk, dan karbohidrat by difference 47,9 % bk. Hasil analisa sifat fungsionalnya adalah kelarutan sebesar 11,95 %, swelling power 5,96 %, TBA 0,68 mg malanoldehid/kg sampel, dan freeze thaw stability 95,5 % sineresis.

Bekatul terstabilisasi yang dihasilkan dengan pemanasan selama 5 menit terpilih sebagai produk yang digunakan dalam pendugaan umur simpan dengan karakteristik kadar air 4,94 % dan nilai TBA 0,11 mg malanoldehid/kg bahan.

Pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi menggunakan nilai TBA sebagai nilai kritisnya. Titik kritis nilai TBA berdasarkan perngujian organoleptik terhadap aroma bekatul adalah 0,36 mg malonaldehid/kg bahan. Persamaan Arrhenius yang diperoleh selama penyimpanan adalah k = 25,1033 e-2092/T. Umur simpan bekatul terstabilisasi pada suhu penyimpanan 15°C adalah 9 minggu, 25°C adalah 7 minggu, dan 30°C adalah 6 minggu 2 hari.

B. SARAN

Dalam penelitian pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi disarankan perlu adanya pengontrolan RH inkubator selama penyimpanan. Untuk aplikasi, proses stabilisasi disarankan dilakukan dekat tempat penggilingan gabah untuk memperkecil terjadinya ketengikan bekatul segar.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A., D. Fardiaz, dan N. L. Puspitasari. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.

Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk. Program Studi Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of The Association of Official Chemist. AOAC. Inc, Virginia.

Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Method of The Association of Official Chemist. AOAC. Inc, Virginia.

Badan Pusat Statistik. 2008. Produksi Gabah Kering tahun 2008. www.bps.co.id. [21 November 2008].

Badan Standardisasi Nasional. 1994. SNI 01-3549-1994 : Tepung Beras. Badan

Dokumen terkait