• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahan di dua elevasi penelitian merupakan lahan kering yang selama ini digunakan untuk menanam tanaman semusim. Di elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) umumnya digunakan untuk menanam tanaman sayuran dan hortikultura lain, sedang di elevasi < 400 m dpl (Bogor) umumnya digunakan untuk menanam tanaman jagung dan sorgum. Analisis tanah kedua elevasi penelitian disajikan pada Lampiran 2

Iklim di wilayah Kecamatan Cipanas dapat dikatagorikan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropical climate) karena termasuk tipe Af sampai Am dari klasifikasi iklim Koppen. Curah hujan rata-rata tahunan di kecamatan Cipanas yaitu berkisar 1000 mm dengan 9 bulan basah dan 3 bulan kering, sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai 2500-3000 mm. Variasi suhu bulanan berkisar antara 22 - 25ºC. Selama musim hujan, secara tetap bertiup angin dari barat laut yang membawa udara basah dari laut cina selatan dan bagian barat laut jawa. Pada musim kemarau, bertiup angin kering bersuhu relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di tenggara (sumber buku laporan tahunan Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur 2006).

Tanaman gandum merupakan tanaman yang berasal dari lingkungan Subtropis yang memiliki sifat responsif terhadap fotoperiodisme dan termasuk tanaman ‘hari

panjang’ (long day plant) yaitu proses perkembangan tanaman semakin cepat dengan panjang hari (periode dari matahari terbit hingga terbenam) yang semakin lama. Di Indonesia karakteristik umum lingkungan daerah tropis dicirikan oleh keseragaman kondisi iklim dilihat dari sisi suhu udara, kelembaban relatif, lama penyinaran dan intensitas penyinaran. Perbedaan panjang hari dari waktu ke waktu tidak terlalu besar. Curah hujan merupakan parameter atmosfir yang paling bervariasi, sehingga merupakan peubah iklim yang paling menentukan system pola tanam (Oldeman 1975). Khusus di Bogor berdasarkan musim tanam sebelumnya, ditetapkan penelitian tanaman gandum dimulai pada akhir musim hujan sampai musim kemarau (April-September). Pada saat penelitian tahun 2010 dilaksanakan, curah hujan yang turun jauh di atas normal (Lampiran 1).

Keadaan ini menyebabkan kondisi kedua elevasi hampir sama, yang berakibat pada penampilan potensi genetik kurang optimal. Penelitian kedua tahun 2011 bulan (Maret – Juni) pada awal pertumbuhan curah hujan tinggi, setelah memasuki masa generatif sampai pengisian biji curah hujan rendah.

Penampilan Pertumbuhan dan Perkembangan Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis

Pengamatan beberapa hari setelah tanam hingga umur 55 Hst memperlihatkan bahwa perkecambahan benih gandum didataran rendah mengalami cekaman hingga beberapa hari dari kondisi normal dimana harus berkecambah. Hingga umur 30 Hst perkembangan anakan pada dataran rendah mengalami cekaman, jika dibandingkan dengan perkembangan anakan di dataran tinggi. Anakan gandum didataran rendah baru mulai berkembang pada umur 35 – 40 Hst, hal ini juga sangat ditentukan oleh genotipe gandum itu sendiri. Pengaruh jangka panjang cekaman suhu tinggi pada pengembangan benih dapat mencakup tertunda perkecambahan atau kehilangan vigor, pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kemunculan dan pembentukan bibit. Di bawah suhu rata-rata harian, pertumbuhan koleoptil jagung berkurang pada 400C dan berhenti pada 450C (Weaich et al. 1996). Tahap perkecambahan benih gandum 2 Hst hingga 55 Hst (gambar 5). 55 hst 10 hst 10 hst 30 hst 3 hst 2 hst 4 hst 3 hst 2 hst 30 hst Elevasi rendah (<400 mdpl)

Gambar 5 Periode perkecambahan dan pertumbuhan tanaman gandum umur 2 hst hingga 55 hst di elevasi (>1000 m dpl) dan elevasu (<400 m dpl).

4 hst

55 hst Elevasi tinggi (>1000 mdpl)

Gambar 6 memperlihatkan penampilan jumlah anakan pada elevasi tinggi (>1000 m dpl) dan elevasi rendah (<400 m dpl). Semakin rendah elevasi tempat seperti di Bogor mempengaruhi pembentukan jumlah anakan, bahkan ada kecenderungan jumlah anakan mulai berkurang ketika tanaman mulai memasuki fase generatif (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena anakan yang terbentuk mengering sebelum mengeluarkan malai. Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pra-dan pasca-panen, termasuk suhu panas daun dan ranting, terbakar matahari pada daun, cabang dan batang, penuaan daun dan absisi, peningkatan hambatan tajuk dan akar, kerusakan dan perubahan warna buah dan mengurangi hasil (Guilioni et al. 1997; Ismail & Hall 1999; Vollenweider & Gunthardt -Goerg 2005). Di daerah beriklim sedang, cekaman suhu telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab paling penting dalam pengurangan hasil panen dan produksi bahan kering pada berbagai spesies tanaman, termasuk jagung (Giaveno & Ferrero 2003).

Gambar 7 memperlihatkan penampilan genotipe gandum introduksi di dua agroekosistem pada saat umur 30 HST dan genotipe gandum memasuki fase reproduktif. Gambar tersebut menunjukkan bahwa perbedaan lingkungan sangat mempengaruhi respon pertumbuhan dan keseragaman tanaman. Perbedaan elevasi yaitu semakin rendah elevasi variasi suhu semakin meningkat.

Gambar 6 Keragaan jumlah anakan galur gandum (A) Elevasi >1000 m dpl) dan (B) Elevasi < 400 m dpl.

Kombinasi antara suhu dengan kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran serta intensitas penyinaran yang tinggi menambah tingkat cekaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan hingga produksi tanaman gandum.

Gambar 7 Penampilan galur gandum introduksi HP 1744 (A) fase vegetatif elevasi < 400 m dpl (Bogor), (B) fase generatif elevasi < 400 m dpl (Bogor), (C) fase vegetatif elevasi >1000 m dpl (Cipanas), (D) fase generatif elevasi >1000 m dpl (Cipanas) MH 2010.

A B

C D

Gambar 8 Keragaan gandum varietas Dewata (A) elevasi < 400 m dpl (Bogor) dan (B) elevasi > 1000 m dpl (Cipanas).

B A

Gambar 8 memperlihatkan keragaan varietas Dewata pada dua elevasi yang berbeda tahun 2010. Pengaruh elevasi dari elevasi >1000 m dpl ke elevasi <400 m dpl ini sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan varietas Dewata. Varietas ini merupakan salah satu varietas pembanding peka terhadap cekaman suhu suhu tinggi. Varietas Dewata tidak mengeluarkan malai hingga genotipe gandum lainnya telah panen. Hal ini menyebabkan pengamatan karakter mofofisiologis, agronomi tidak dapat dilakukan pada pertanaman pertama. Gandum merupakan tanaman yang beradaptasi pada iklim subtropis dan tumbuh baik pada suhu 10 - 21oC. Selain beradaptasi pada suhu rendah, gandum juga memerlukan tingkat kelembaban yang rendah. Pada kelembaban 40%, gandum dapat tumbuh baik sampai suhu 28oC, namun pada kelembaban 80% hanya dapat tumbuh pada suhu 23oC (Ginkel dan Villareal 1996).

Penampilan Karakter Agronomi Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis

Analisis ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa keragaan penampilan genotipe gandum berpengaruh nyata terhadap karakter tinggi tanaman di elevasi < 400 m dpl MH 10 dan MK 11 serta elevasi >1000 m dpl MK 11, sedangkan di elevasi <400 m dpl MK 11 dan elevasi >1000 m dpl MH 11 genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah anakan produktif. Uji dunnet memperlihatkan bahwa karakter tinggi tanaman genotipe H-21 G-21 dan G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar pada elevasi < 400 mdpl MH 10. Sementara di elevasi < 400 m dpl MK 11 dan elevasi >1000 m dpl MH 10 dan MK11 tidak terlihat genotipe yang memiliki tinggi tanaman nyata lebih tinggi dibanding dengan kedua varietas pembanding. Tidak terdapat genotipe yang memiliki jumlah anakan produktif yang lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding Selayar dan Dewata di kedua elevasi. Perbedaan respon kedua karakter tersebut diduga disebabkan oleh pengaruh musim dan ketinggian elevasi. Penurunan elevasi diikuti oleh peningkatan suhu, menyebabkan terjadi pernghambatan dalam peningkatan tinggi tanaman dan jumlah anakan. Hal ini terlihat pada karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif di elevasi lebih rendah dibandingkan elevasi tinggi.

Tabel 4. Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011

Genotipe

Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif

Elevasi < 400 m dpl Elevasi >1000 m dpl Elevasi < 400 m dpl Elevasi >1000 m dpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 Oasis/skauz// 4*bcn var-28 63.44 54.08 61.87 71.63 2.1 0.6 5.3 6.7 Hp 1744 59.11 47.09b 74.00 67.30b 2.1 1.0 5.5 6.2 Laj/mo88 57.45 46.90b 61.93 70.53 2.4 0.5ab 5.2 7.1 Rabe/mo88 59.43 48.36b 64.83 70.57 2.3 1.1 5.2 5.5 H-21 73.77a 57.83 67.07 79.60 2.7 0.6b 6.3 10.5 G-21 74.36a 61.98 75.27 74.63 2.7 1.2 5.3 9.9 G-18 72.61a 64.03 66.67 78.40 2.7 1.3 6.3 6.5 Menemen 56.63 52.14 67.73 64.40ab 2.7 0.8 7.1 5.8 Basribey 55.89 58.39 68.47 66.57b 2.2 0.8 5.6 6.1 Alibey 58.35 52.28 68.70 66.23b 2.7 0.9 6.5 6.2 Selayar (a) 58.46 54.01 54.10 76.07 2.4 1.0 5.3 6.4 Dewata (b) - 55.93 67.30 70.03 - 0.8 5.3 6.3 Rata-rata 62.68 54.42 66.49 71.33 2.5 0.9 5.7 6.9 Genotipe ** ** tn ** tn ** tn tn KK (%) 5.3 8.6 12.9 5.9 17.5 21.3 16.2 12.2 Dunnett 0.05 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98

Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata

Perkembangan jumlah anakan produktif sangat ditentukan oleh faktor lingkungan khususnya suhu udara, semakin tinggi suhu udara cenderung memperlambat perkembangan jumlah anakan produktif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Handoko (2007) bahwa perkembangan jumlah anakan sangat dipengaruhi oleh suhu udara. Pada suhu udara 16.5OC dengan elevasi 1650 m dpl mampu menghasilkan enam anakan dibandingkan suhu udara 24.7OC sementara elevasi 28 m dpl hanya mampu menghasilkam empat anakan. Dampak besar suhu tinggi pada pertumbuhan tajuk adalah penurunan panjang ruas pertama yang dapat mengakibatkan kematian dini tanaman (Hall 1992). Misalnya tanaman tebu tumbuh di bawah cekaman suhu tinggi ditunjukkan ruas lebih pendek, penuaan dini dan mengurangi total biomas (Ebrahim et al. 1998). Tidak terdapat genotipe yang memiliki karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif yang konsisten pada kedua elevasi.

Analisis ragam Tabel 5 memperlihatkan genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter umur berbunga dan umur pada elevasi <400 m dpl. Sementara di elevasi >1000 m dpl MH 10 genotipe berpengaruh nyata terhadap penampilan umur panen. Uji lanjut dunnet memperlihatkan bahwa hanya genotipe HP 1744 dan Alibey yang memiliki karakter umur berbunga yang berbeda nyata lebih rendah dibanding dengan varietas Selayar pada elevasi <400 mdpl MH 10. Sementara di elevasi <400 m dpl MK11 terdapat lima genotipe yang memiliki umur berbunga lebih lama dibandingkan dengan kedua varietas pembanding, sedangkan genotipe HP 1744 memiliki kecenderungan lebih genjah dibanding kedua varietas pembanding. Karakter umur panen hanya genotipe HP 1744 berbeda nyata lebih genjah dibanding varietas Selayar pada elevasi > 1000 mdpl MH 10. Sementara di elevasi < 400 m dpl MK 11 dan elevasi > 1000 m dpl genotipe memiliki umur panen hampir sama dengan kedua varietas pembanding. Perbedaan umur berbunga dan umur panen diduga akibat pengaruh elevasi kedua lokasi. Elevasi rendah khususnya 2010 tanaman mengalami dua jenis cekaman yaitu cekaman curah hujan tinggi dan suhu tinggi. Perilaku berbunga dan pembungaan tanaman erat kaitannya dengan kondisi fisiologis tanaman dan pengaruh faktor lingkungan yang secara khusus meliputi pegaruh intensitas dan lamanya penyinaran, pengaruh suhu, dan ketersediaan air pada lingkungan tumbuh tanaman (Glover 2007).

Genotipe yang memiliki kriteria umur genjah merupakan genotipe yang dikehendaki oleh sebagian pemulia tanaman, selain kriteria tinggi tanaman, ketahanan penyakit dan hasil (Poespodarsono, 1988) karena berkaitan dengan umur panen yang umumnya lebih cepat. Pada suhu tinggi yang di ikuti oleh kekeringan, umur berbunga dan umur panen tanaman gandum lebih cepat. Genotipe HP 1744 merupakan genotipe yang memiliki umur berbunga lebih genjah dibanding varietas Selayar dan genotipe lainnya di elevasi < 400 m dpl (Bogor) yaitu 43 hari, sementara di elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) genotipe yang memiliki umur berbunga lebih genjah adalah Rabe/MO88. Genotipe yang memiliki umur panen lebih genjah dibanding varietas pembanding dan genotipe lainya adalah genotipe HP 1744. Penyesuaian waktu berbunga merupakan mekanisme adaptasi tanaman gandum yang penting terhadap kondisi lingkungan yang diinginkan karena dapat menghasilkan penghindaran terhadap cekaman abiotik khususnya cekaman panas dalam lingkungan tertentu (Dolferus 2011).

Tabel 5. Umur berbunga dan umur panen genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011

Genotipe

Umur berbunga (Hari) Umur panen (Hari)

Elevasi < 400 mdpl Elevasi >1000 mdpl Elevasi < 400 m dpl Elevasi >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 Oasis/skauz// 4*bcn var-28 62 60ab 62 60 93a 81 98b 99 Hp 1744 43a 43 62 61 80a 76 92a 95 Laj/mo88 68 67ab 63 60 101 88ab 99b 99 Rabe/mo88 70 47 61 59 94a 86ab 93b 97 H-21 69 60b 62 58 101 83 105 9 G-21 72a 65ab 65 62 100a 94ab 103 106 G-18 69 63ab 64 61 100a 90ab 108a 104 Menemen 67 60ab 66 62 96a 82 96b 102 Basribey 67 57b 66 60 90a 82 95b 94 Alibey 57a 57b 63 61 86a 79 81b 102 Selayar (a) 68 50 62 58 108 75 100 100 Dewata (b) - 52 64 59 - 76 99a 100 Rata-rata 65 57 63 60 95 83 97 100 Genotipe ** ** tn tn ** ** ** tn Kk (%) 4.9 5.2 6.2 4.3 3.3 4.5 3.1 4.9 Dunnett 0.05 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98

Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata

Cekaman suhu tinggi cenderung berpotensi mempercepat fase vegetatif tanaman sedangkan cekaman curah hujan tinggi diduga sebagai penyebab luruhnya polen. Cekaman suhu tinggi mempercepat perkembangan stigma dan ovul sehingga mengurangi masa reseptifnya dan berpengaruh terhadap keberhasilan pertemuan antara gamet betina dan jantan. Suhu tinggi juga berpengaruh terhadap sinkronisasi antara fase perkembangan bunga dengan aktivitas serangga penyerbuk (Hedhly et al. 2008).

Pengujian genotipe gandum di elevasi berbeda dan dua musim memperlihatkan pengaruh nyata terhadap karakter panjang malai antar genotipe, kecuali pada pengujian di elevasi > 1000 m dpl MH10. Sementara itu genotipe memperlihatkan pengaruh nyata terhadap jumlah spikelet/malai di kedua musim dan elevasi. Hasil uji dunnet 0.05 memperlihatkan bahwa genotipe G-21 dan G-18 memiliki panjang malai dan jumlah spikelet berbeda nyata lebih panjang

dan tinggi dibanding varietas Selayar di elevasi < 400 m dpl. Sementara genotipe H-21 memiliki panjang malai dan jumlah spikelet lebih panjang dan tinggi disbanding varietas Selayar pada elevasi < 400 m dpl MH 10. Panjang malai dan jumlah spikelet/malai disajikan pada Tabel 6. Perbedaan respon panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret hampa dan persentase floret hampa (Tabel 6 dan 7) menunjukkan bahwa karakter tersebut sangat peka terhadap perubahan musim dan elevasi. Karakter panjang malai dan jumlah spikelet/malai ditentukan oleh pasokan asimilat pada fase vegetatif sebagai sumber source untuk membentuk malai pada fase generatif. Jika sumber source tidak mencukupi dalam pembentukan sink (fase generatif), maka pembentukan spikelet menjadi rendah. Hal ini terlihat panjang malai dan jumlah spikelet di elevasi < 400 m dpl (Bogor) lebih pendek dan rendah. Penurunan hasil yang diinduksi oleh panas berhubungan dengan pemendekan periode pertumbuhan bulir dan berkurangnya kemampuan untuk mensintesa pati.

Tabel 6. Panjang malai dan jumlah spikelet genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011

Genotipe

Panjang malai (cm) Jumlah Spikelet/malai

Elevasi < 400 m dpl Elevasi >1000 m dpl Elevasi < 400 m dpl Elevasi >1000 m dpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 Oasis/skauz// 4*bcn var-28 7.63 7.18 8.47 8.87 14.40 14.93 19.37b 18.63 Hp 1744 7.21 5.86ab 10.8 8.67ab 12.73 12.40b 16.63ab 18.07 Laj/mo88 6.69a 5.97ab 8.43 9.03 12.98 12.90b 18.57b 18.63 Rabe/mo88 6.98 5.79 b 7.73 8.37ab 13.04 12.63b 17.30b 17.80 H-21 8.66a 7.23 9.27 9.30 17.39a 15.17 20.60 19.43 G-21 8.64a 7.89 a 10.0 8.80 16.31a 17.87a 21.97 19.10 G-18 8.32a 8.10 a 9.82 9.53 16.09a 17.03a 21.47 19.93 Menemen 7.74 7.19 8.55 9.10 14.74 15.50 20.57 21.57a Basribey 7.45 7.27 8.28 8.77 16.56a 16.03 19.27b 19.90 Alibey 7.58 6.88 8.18 8.77 14.50 14.87 19.67 20.00 Selayar (a) 7.32 6.89 8.30 9.57 13.58 14.53 19.40b 18.23 Dewata (b) 7.27 8.90 9.53 15.77 20.97a 20.20a Rata-rata 7.66 6.96 8.90 8.89 14.76 14.97 19.65 19.65 Genotipe ** ** tn ** ** ** ** ** KK (%) 3 5.3 17.5 3.8 5.1 6.8 5.4 5.30 Dunnett 0.05 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98

Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah floret hampa dan persentase floret hampa baik di elevasi tinggi maupun rendah mengalami peningkatan, tingginya peningkatan jumlah floret hampa dan persentase floret hampa terlihat pada elevasi < 400 m dpl MK 11. Uji dunnet memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang memiliki jumlah floret hampa dan persentase floret hampa nyata lebih rendah dari varietas Selayar pada elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl MH 10. Sementara pada elevasi < 400 m dpl MK 11 jumlah floret hampa dan persentase floret hampa memperlihatkan bahwa genotipe Menemen nyata lebih rendah dibanding varietas Dewata. Jumlah floret hampa dan persentase floret hampa disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah floret hampa dan persentase floret hampa genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011

Genotipe

Jumlah floret hampa/malai Persentase floret hampa/malai

Elevasi < 400 mdpl Elevasi >1000 mdpl Elevasi < 400 mdpl Elevasi >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 Oasis/skauz// 4*bcn var-28 14.31 26.87b 30.40 19.77 33.06 59.72b 52.35 35.67 Hp 1744 23.50 31.63b 25.35 23.27 61.58 85.10a 50.71 42.82 Laj/mo88 19.38 32.47 25.60 20.87 49.84 84.53a 45.88 37.22 Rabe/mo88 19.02 32.23 21.10b 17.67 48.47 84.77a 40.73 33.22 H-21 28.58 31.83b 27.63 14.65 54.79 69.81 44.74 25.41 G-21 22.72 45.77ab 33.13 21.05 46.24 85.27a 50.27 37.18 G-18 15.83 35.70 33.07 21.05 32.81 69.64b 51.29 35.25 Menemen 14.23 25.17b 30.07 20.00 32.21 53.93ab 48.74 31.37 Basribey 17.12 32.37 20.65b 15.23 34.23 67.19b 35.46 25.81 Alibey 13.67 25.47b 35.85 15.60 31.38 57.25a 60.81 25.87 Selayar (a) 17.06 31.53b 28.00 20.65 42.01 72.40 48.29 37.63 Dewata (b) 39.70a 31.87 23.20 83.95 47.71 38.29 Rata-rata 18.67 32.56 28.56 28.56 42.42 72.80 48.08 33.81 Genotipe tn ** ** tn tn ** * tn Kk (%) 16.6 9.7 13.6 22.00 14 8.5 13 22 Dunnett 0.05 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98

Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata

Peningkatan jumlah floret hampa dan persentase floret hampa pada elevasi tersebut diduga oleh akibat kekeringan/tidak ada hujan pada saat pengisian biji yang diikuti dengan peningkatan suhu. Jumlah floret hampa dan persentase floret

hampa berdampak langsung terhadap penurunan bobot biji/malai dan bobot biji/tanaman pada lingkungan di Bogor. Hal ini diduga bahwa penurunan elevasi dan peningkatan suhu rata-rata 20oC menjadi 25oC sangat besar pengaruhnya

terhadap perubahan dan keragaman karakter tersebut. Karakter ini

menggambarkan kemampuan genotipe dalam menghasilkan polen dan stigma fungsional, kemampuannya untuk tetap mempertahankan proses penyerbukan, kemampuan dalam translokasi fotosintat ke malai, dan kemampuan dalam pemenuhan kapasitas sink. Genotipe gandum yang ditanam di dua agroekosistem menunjukkan perilaku fenologi reproduksi yang berbeda. Hasil pengamatan, di elevasi tinggi secara umum tanaman gandum memasuki fase heading sekitar pukul 11.00-13.00, lamanya waktu perkembangan dari booting phase ke heading phase 4-6 hari, sementara di dataran rendah lamanya waktu perkembangan dari booting phase ke heading phase terjadi lebih cepat dengan waktu berkisar 2-4 hari dan memasuki fase heading berkisar dari pukul 10.00 – 11.30 (Natawijaya 2012)

Bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai secara potensial sebenarnya ditentukan sinkronisasi waktu terjadinya penyerbukan. Faktor lain yang menentukan bobot biji/malai pada tanaman gandum di elevasi rendah dengan suhu tinggi adalah rentan pasokan asimilat (source) dalam membentuk sink terhambat dan viabilitas polen menjadi rendah. Analisis ragam (Tabel 8) menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter bobot biji/tanaman pada elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl MK 11, sementara untuk kedua elevasi genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter bobot biji/malai. Uji dunnet menunjukkan bahwa karakter bobot biji/tanaman pada genotipe G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar pada elevasi < 400 m dpl MH 10, sementara di MK 11 genotipe G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas Selayar dan Dewata. Untuk karakter bobot biji/malai pada genotipe G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding Selayar pada elevasi < 400 m dpl MH 10. Elevasi > 1000 m dpl MH 10 genotipe Menemen berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar dan Dewata, namun genotipe lain yang berpengaruh nyata lebih tinggi dibanding Dewata adalah Oasis, G-18, Basribey dan Alibey. Suhu tinggi berpengaruh langsung terhadap pengisian bulir pada serealia meliputi laju pengisian bulir yang lebih cepat, penurunan bobot bulir, biji keriput, berkurangnya laju akumulasi pati dan perubahan komposisi lipid dan polipeptida (Stone 2001).

Tabel 8. Bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011

Genotipe

Bobot biji/tanaman (g) Bobot biji/malai (g)

Elevasi <400 mdpl Elevasi >1000 mdpl Elevasi <400 mdpl Elevasi >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 Oasis/skauz// 4*bcn var-28 1.51 0.59 4.65 8.80 0.50 0.30b 0.72 1.15 Hp 1744 0.92a 0.27a 6.13 7.04 0.31a 0.12a 0.96 0.95 Laj/mo88 2.08 0.19a 7.35 7.37 0.63 0.13a 1.16a 1.01 Rabe/mo88 1.31 0.18a 7.36 6.58b 0.41a 0.09a 1.16a 0.99 H-21 2.12 0.39 7.99 12.39 0.58 0.19 1.10 1.53a G-21 2.06 0.35a 6.05 9.13 0.56 0.18a 0.96 1.31 G-18 3.27a 0.7ab 8.44 10.4a 0.82a 0.31b 1.16a 1.44 Menemen 2.20 0.7ab 6.53 10.34 0.60 0.4ab 0.81 1.47 Basribey 2.00 0.51 6.69 9.96 0.67 0.26b 1.00 1.36 Alibey 1.83 0.63b 6.10 8.81 0.50 0.32b 0.81 1.19 Selayar (a) 2.17 0.58 4.37 7.96 0.65 0.29 0.70 1.09 Dewata (b) 0.38 5.46 11.24 0.17a 0.91 1.29 Rata-rata 1.95 0.46 6.43 9.17 0.56 0.23 0.95 1.23 Genotipe ** ** tn * ** ** * ** KK (%) 7.5 4.9 12.5 9.3 14.6 17.7 19.8 14 Dunnett 0.05 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98

Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata

Analisis ragam (Tabel 9) memperlihatkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah malai/meter2 di elevasi > 1000 m dpl, demikian halnya genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter laju pengisian biji di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl pada MH 10. Rata-rata laju pengisian biji di elevasi < 400 m dpl 5 – 10 hari lebih cepat dibanding di elevasi >1000 m dpl. Uji beda nyata memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang diuji memiliki jumlah malai/meter2 nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding di kedua elevasi. Uji beda nyata terhadap karakter laju pengisian biji memperlihatkan bahwa hanya genotipe RABE/MO88 yang memiliki laju pengisian biji nyata lebih lama dibanding kedua varietas pembanding Selayar dan Dewata. Suhu tinggi yang disertai ketersediaan air yang kurang diduga mempercepat terjadinya proses pematangan biji, hal ini terlihat dari hasil penelitian di elevasi < 400 m dpl MK 11 lebih cepat dibanding lokasi lainnya. Suhu 35 – 36°C selama 3 atau 4 hari dapat merubah morfologi

bulir dan mengurangi ukuran bulir pada gandum (Maestri et al. 2002). Rata-rata kehilangan hasil pada gandum akibat suhu tinggi sekitar 10 – 15% terutama disebabkan oleh penurunan berat bulir yang mencapai 4% untuk setiap peningkatan suhu 1°C di atas suhu optimum.

Tabel 9. Jumlah malai/meter dan laju pengisian biji genotipe introduksi gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011

Genotipe

Jumlah malai/mr2 Laju Pengisian biji (hari)

Elevasi < 400 mdpl Elevasi >1000 mdpl Elevasi < 400 mdpl Elevasi >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 Oasis/skauz// 4*bcn var-28 261.00 196.67 277.43 441.50 31a 21 35 39 Hp 1744 296.75 197.33 226.52 300.67 37 33 30b 40 Laj/mo88 167.25 184.50 207.9ab 309.00 33 21 36 40 Rabe/mo88 200.00 173.33 222.14 329.33 25a 39ab 32b 38 H-21 234.00 226.33 245.71 372.00 32a 23 44 40 G-21 150.67 178.33 211.36b 368.00 28a 29 38 44 G-18 219.50 186.33 224.09 255.00 30a 28 44 44 Menemen 198.00 263.67 255.71 429.50 29a 22 31b 40 Basribey 239.50 232.50 262.26 414.50 23a 26 29b 34 Alibey 240.00 237.33 275.59 495.50 29a 22 34b 41 Selayar (a) 225.00 271.67 249.76 362.50 40 25 38 42 Dewata (b) - 220.67 260.90 384.50 - 26 45 40 Rata-rata 221.06 214.06 243.28 371.83 30 26 35 40 Genotipe tn tn ** ** ** ** ** tn KK (%) 21.9 17.9 6.9 15.9 10.9 15.0 12.8 10.8 Dunnett 0.05 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98

Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata

Hasil panen genotipe gandum berbeda antar genotipe dan elevasi, namun dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah elevasi dengan suhu udara yang lebih tinggi menyebabkan hasil panen semakin berkurang (Tabel 10). Analisis ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 biji pada elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl pada MH 10, sementara itu genotipe berpengaruh nyata terhadap hasil biji di kedua elevasi pengujian. Uji dunnet memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang memiliki bobot 1000 biji nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding. Karakter hasil biji genotipe Basribey ( 0.37 kg.p-1) berbeda nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas

pembanding pada elevasi < 400 m dpl MK 11, sementara di elevasi > 1000 m dpl genotipe Alibey (2.36 kg.p-1) memiliki hasil nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding. Faktor utama yang menentukan hasil panen tinggi adalah keseimbangan sistem source dan sink yang berjalan lancar. Suhu tinggi mempercepat perkembangan tanaman sehingga tidak memberikan kesempatan tanaman untuk mengumpulkan biomassa yang cukup banyak, khususnya organ vegetatif sebagai sumber source dalam menghasilkan biji (sink). Penampilan karakter