• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen AKTIVITAS RESIDU EKSTRAK BUAH (Halaman 29-40)

Pengaruh Bahan Uji terhadap Mortalitas Larva C. pavonana

Pada uji pendahuluan, perlakuan dengan f.h. padatan P. cubeba, f.h. T.

vogelii, campuran f.h. padat P. cubeba + f.h. T. vogelii, B. thuringiensis, dan

profenofos pada konsentrasi tertinggi mengakibatkan mortalitas larva instar II C.

pavonana ≥ 80%. Fraksi heksana minyak, fraksi etil asetat, dan fraksi metanol P. cubeba pada konsentrasi sampai 0,5% tidak aktif (mortalitas antara 0% dan 2,3%)

Ekstrak yang aktif diuji lebih lanjut pada lima taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mematikan larva antara 0% sampai 100% (eksklusif).

Perlakuan dengan f.h. padatan P. cubeba, f.h. T. vogelii, campuran f.h. padat

P. cubeba + f.h. T. vogelii, dan B. thuringiensis umumnya belum mengakibatkan

kematian atau mengakibatkan kematian larva C. pavonana yang sangat rendah pada 24 JAP. Kematian serangga uji mulai tampak nyata pada 48 JAP dan makin meningkat pada 72 JAP (Gambar 1). Berbeda dengan pengaruh ekstrak bahan tumbuhan uji dan B. thuringiensis, profenofos telah mengakibatkan kematian serangga uji yang cukup tinggi pada 24 JAP dan hanya terjadi peningkatan kematian yang relatif rendah pada 48 dan 72 JAP. Pengaruh kematian dari profenofos yang terlihat cukup cepat sesuai dengan sifat insektisida tersebut sebagai racun perut dan racun kontak, serta cara kerja racun tersebut sebagai racun saraf. Sementara itu, ekstrak P. cubeba dan T. vogelii memiliki efek kontak terbatas dan B. thuringiensis hanya bersifat sebagai racun perut.

Tingkat mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan f.h padatan P.

cubeba, f.h. T. vogelii, serta campuran f.h. padatan P. cubeba + f.h. T. vogelii pada

48 dan 72 JAP umumnya meningkat dengan makin besarnya konsentrasi yang diuji, serta perlakuan pada konsentrasi tertinggi dan beberapa konsentrasi yang lebih rendah mengakibatkan kematian larva C. pavonana lebih besar dari 50% (Gambar 1A-C, Lampiran 2 dan 5). Pada perlakuan dengan B. thuringiensis, hanya pada 72 JAP mortalitas pada konsentasi tertinggi melebihi 50% (Gambar 1D, Lampiran 8), sedangkan perlakuan dengan profenofos pada dua konsentrasi tertinggi (0,03% dan 0,02%) telah mengakibatkan mortalitas larva > 50% sejak 24 JAP (Gambar 1E, Lampiran 9). Semua data yang mengandung tingkat mortalitas

0 20 40 60 80 100 24 48 72

Waktu pengamatan (JAP)

M o rt al it as ( % ) Kontrol 0,04% 0,08% 0,12% 0,16% 0,2%

>50% diolah dengan analisis probit untuk menentukan hubungan konsentrasi-mortalitas, termasuk menentukan LC50 dan LC95.

0 20 40 60 80 100 24 48 72

Waktu penga matan (J AP )

Ko ntro l 0,1% 0,2% 0,3% 0,4% 0,5% 0 20 40 60 80 100 24 48 72

Wa ktu pengama tan (J AP )

0,05% 0,10% 0,16% 0,22% 0,27% 0 20 40 60 80 100 24 48 72

Wa ktu penga matan (J AP )

0,003 % 0,006 % 0,009 % 0,012 % 0,015 % 0 20 40 60 80 100 24 48 72

Wa ktu pe nga m atan (J AP )

0,005 % 0,008 % 0,0125 % 0,02 % 0,03 %

Gambar 1 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi pakan daun brokoli dengan perlakuan f.h. padatan P. cubeba (A), f.h. T. vogelii (Wulan 2008) (B), campuran f.h. P. cubeba padat dan f.h. T. vogelii (C), B. thuringiensis (D), dan profenofos (E). Pada semua perlakuan tidak ada kematian serangga kontrol.

D A

E

B

Berdasarkan nilai LC95 pada 72 JAP, f.h. T. vogelii serta campurannya dengan f.h. padatan P.cubeba aktif terhadap larva C. pavonana (LC95 lebih kecil dari 0,5%) dan f.h. padatan P. cubeba cukup aktif (SK 95% dari LC95 mencakup angka 0,5%) (Tabel 1). Insektisida pembanding B. thuringiensis dan profenofos masih efektif terhadap larva C. pavonana karena LC95 B. thuringiensis hanya sekitar sepertiga sampai seperlima konsentrasi anjurannya (0,05%-0,1%) dan LC95

profenofos hanya sekitar seperenam konsentrasi anjurannya (0,2%). Berdasarkan nilai LC50 pada 72 JAP, urutan toksisitas bahan uji terhadap larva C. pavonana ialah B. thuringiensis = profenofos > campuran f.h. padatan P. cubeba + f.h. T.

vogelii ≥ f.h. T. vogelii > f.h. padatan P. cubeba, sedangkan berdasarkan nilai

LC95, urutan toksisitas bahan uji ialah B. thuringiensis ≥ profenofos > campuran f.h. padatan P. cubeba + f.h. T. vogelii = f.h. T. vogelii ≥ f.h. padatan P. cubeba. Campuran f.h. padatan P. cubeba + f.h. T. vogelii memiliki nilai LC50 dan LC95

yang lebih rendah dibandingkan dengan LC50 dan LC95 komponen campuran tersebut yang diuji secara terpisah (Tabel 1). Berdasarkan indeks kombinasi, campuran tersebut bersifat sinergistik lemah pada taraf LC50 untuk pengamatan 48 dan 72 JAP, sedangkan pada taraf LC95 campuran tersebut bersifat aditif pada 48 JAP dan sinergistik lemah pada 72 JAP (Tabel 2).

Pengaruh Bahan Uji terhadap Perkembangan Larva C. pavonana Data lama perkembangan larva C. pavonana yang dianalisis berasal dari perlakuan konsentrasi yang menyisakan larva yang bertahan hidup ≥ 30 ekor pada 72 JAP. Perbedaan jumlah larva yang dapat bertahan hidup hingga 72 JAP dipengaruhi oleh cara kerja racun yang terkandung dalam setiap bahan uji. Perlakuan dengan campuran f.h. P. cubeba dan f.h. T. vogelii 0,10% menghambat perkembangan larva C. pavonana menjadi instar III sebesar 98% dan perlakuan dengan f.h. T. vogelii 0,04%–0,16% menghambat perkembangan larva sebesar 95,8%–100% dibandingkan dengan kontrol. Fraksi heksana padatan P. cubeba 0,3% menghambat perkembangan larva lebih dari 92%. Ekstrak yang tidak aktif dalam mematikan larva C. pavonana, yaitu f.h. minyak, fraksi etil asetat, dan fraksi metanol P. cubeba, hingga konsentrasi 0,5% juga tidak menunjukkan efek

Bahan uji a Waktu pengamatan (JAP)b a ± GBc b ± GB c LC50 (SK 95%) (%)c LC95 (SK 95%) (%) F.h. padatan Pc 48 JAP 2,049 ± 0,304 5,464 ± 0,680 0,421 (0,370 – 0,511) 0,843 (0,639 – 1,692) 72 JAP 3,918 ± 0,411 8,388 ± 0,901 0,341 (0,312 – 0,368) 0,535 (0,477 – 0,650) F.h. Tv d 48 JAP 2,88 ± 0,44 3,88 ± 0,50 0,18 (0,16 – 0,24) 0,48 (0,32 – 1,18) 72 JAP 3,63 ± 0,41 4,23 ± 0,45 0,14 (0,12 – 0,16) 0,34 (0,26 – 0,57) F.h. padatan Pc + f.h Tv 48 JAP 3,743 ± 0,344 4,400 ± 0,411 0,141 (0,120 – 0,162) 0,333 (0,267 – 0,489) 72 JAP 4,165 ± 0,345 4,369 ± 0,383 0,112 (0,093 – 0,128) 0,265 (0,217 – 0,364) B. thuringiensis e 72 JAP 12,433 ± 1,175 6,222 ± 0,586 0,0100 0,0184 Profenofos e 24 JAP 6,825 ± 0,644 3,845 ± 0,352 0,017 (0,015 – 0,019) 0,045 (0,035 – 0,066) 48 JAP 7,887 ± 0,671 4,213 ± 0,354 0,013 (0,011 – 0,016) 0,033 (0,025 – 0,054) 72 JAP 7,866 ± 0,668 4,187 ± 0,352 0,013 (0,011 – 0,016) 0,033 (0,024 – 0,057) a

F.h. padatan Pc = fraksi heksana padatan Piper cubeba, f.h. Tv = fraksi heksana T. vogelii.

b

JAP = jam sejak awal perlakuan.

c

a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan garis regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.

d

Sumber : Wulan (2008).

e

Konsentrasi dalam % formulas

Tabel 2 Sifat aktivitas campuran fraksi heksana padatan P. cubeba dan fraksi heksana T. vogelii (8:3) terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode celup daun

a

Jam sejak awal perlakuan.

penghambatan perkembangan terhadap larva C. pavonana. Perlakuan dengan B.

thuringiensis 0,003%–0,009% mengakibatkan penghambatan perkembangan larva C. pavonana sebesar 24%–78%, sedangkan perlakuan profenofos 0,005%–

0,0125% tidak menunjukkan efek penghambatan perkembangan yang nyata (Tabel 3). Profenofos merupakan racun saraf yang bekerja cepat yang pengaruhnya dapat terlihat segera setelah aplikasi dan setelah daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan pengaruhnya sudah tidak tampak nyata.

Persistensi Bahan Uji di Rumah Kaca

Pada perlakuan 0 hari setelah penyemprotan (HSP), semua bahan uji menyebabkan mortalitas larva C. pavonana >95%, kecuali perlakuan f.h. padatan

P. cubeba yang hanya menyebabkan mortalitas sebesar 28,8%. Mortalitas larva

pada perlakuan dengan semua bahan uji berbeda nyata dengan kontrol, kecuali pada perlakuan f.h. P. cubeba dan profenofos pada 7 HSP, serta mortalitas larva pada perlakuan P. cubeba lebih rendah dibandingkan dengan empat perlakuan lainnya (Tabel 4). Secara umum residu bahan uji menunjukkan penurunan aktivitas yang cukup nyata mulai 3 HSP. Penurunan aktivitas secara nyata terjadi pada residu profenofos yang pada perlakuan 7 HSP sudah tidak aktif (mortalitas larva 0%). Mortalitas akibat perlakuan dengan residu f.h. padatan P. cubeba pada 2 HSP sempat meningkat dari 28,8% menjadi 50,1%, namun pada 3–5 HSP mengalami penurunan secara nyata (Gambar 2).

Indeks kombinasi Sifat Interaksi Waktu

pengamatan

(JAP)a LC50 LC95 LC50 LC95

48 0,506 0,781 Sinergistik lemah Aditif 72 0,500 0,659 Sinergistik lemah Sinergistik lemah

Tabel 3 Pengaruh bahan uji terhadap perkembangan larva C. pavonana

Konsentrasi Rata-rata instar III ± SB Bahan uji (%) (%) (N)a F.h. padatan Pc 0,30 7,4 ± 7,3c (46) 0,20 77,4 ± 14,03b (72) 0,10 100 ± 0a (73) Kontrol 100 ± 0a (73) F.h. minyak Pc 0,1 97,6 ± 4,12a (44) 0,5 97,8 ± 3,85a (44) Kontrol 100 ± 0a (45) F.e. Pc 0,1 100 ± 0a (44) 0,5 100 ± 0b (44) Kontrol 100 ± 0c (44) F.m. Pc 0,1 100 ± 0a (43) 0,5 100 ± 0b (46) Kontrol 100 ± 0c (45) F.h. Tv 0,16 2,5b (32) 0,12 0b (56) 0,08 1,5b (59) 0,04 4,2b (72) Kontrol 100a (74) F.h. padatan Pc + f.h. Tv 0,10 2,0 ± 4,5c (33) 0,05 10,8 ± 5,9b (74) Kontrol 100 ± 0a (75) F.h. minyak Pc + f.h. Tv 0,1 70,4 ± 12,7b (32) 0,5 0 ± 0c (0) Kontrol 100 ± 0a (46) B. thuringiensis 0,009 12,3 ± 18,1c (60) 0,006 63,9 ± 35,1b (66) 0,003 75,8 ± 25ab (72) Kontrol 100 ± 0a (74) Profenofos 0,0125 95 ± 7,5a (32) 0,008 98,5 ± 3,4a (69) 0,005 100 ± 6,7a (69) Kontrol 100 ± 6,7a (77) a

Untuk setiap kelompok ekstrak, rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang berganda Duncan,  = 0,05); SB = simpangan baku; N = jumlah larva yang bertahan hidup.

Tabel 4 Mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan residu ekstrak P. cubeba dan T. vogelli, serta insektisida pembanding

B. thuringiensis dan profenofos

Mortalitas larva (%) pada perlakuan residu umur n hari b Perlakuan a 0 1 3 5 7 F.h. P. cubeba 28,8 ± 34,3 b 50,1 ± 41,7 b 34,3 ± 27,9 c 31,3 ± 13,3 c 8,3 ± 8,4 c F.h. T. vogelli 100 ± 0 a 100 ± 0 a 98,1 ± 3,9 a 67,3 ± 38,9 b 72,3 ± 27,9 ab F.h. Pc + f.h. Tv 98,2 ± 3,6 a 100 ± 0 a 89,1 ± 38,5 ab 96,7 ± 6,7 a 55,1 ± 40,3 b B. thuringiensis 100 ± 0 a 91,1 ± 17,9 a 92,2 ± 15,6 ab 98,1 ± 3,9 a 86,8 ± 15,9 a Curacron 98,3 ± 3,3 a 89,3 ± 8,9 a 70,7 ± 12,4 b 17,8 ± 12,7 cd 0 ± 0 c Kontrol 0 ± 0 c 0 ± 0 c 0 ± 0 d 0 ± 0 d 0 ± 0 c a

F.h. Pc = fraksi heksana padatan P. cubeba, f.h. Tv = fraksi heksana T. vogelii.

Konsentrasi uji = 2 x LC95 masing-masing bahan uji.

b

Rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang berganda ganda Duncan,  = 0,05).

0 20 40 60 80 100 0 1 3 5 7

Umur res idu (hari)

M o rt a li ta s (% ) P. cubeba T. vogelii F.h. Pc + f.h. Tv B. thuringiensis Profenofos

Gambar 2 Aktivitas bahan uji terhadap larva C. pavonana setelah dipaparkan 0-7 hari di rumah kaca

Perlakuan dengan residu B. thuringiensis mengakibatkan mortalitas larva yang masih tinggi hingga 7 HSP (>85%), sedangkan f.h. T. vogelii memiliki persistensi yang cukup baik (mortalitas >70% pada 7 HSP) dan campuran f.h. padatan P. cubeba + f.h. T. vogelii memiliki persistensi sedang (mortalitas >50% pada 7 HSP). Pada beberapa perlakuan terjadi fluktuasi mortalitas larva, yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kondisi larva saat pengujian. B.

thuringiensis memiliki persistensi terbesar di rumah kaca, diikuti dengan f.h. T. vogelii dan campuran f.h. padatan P. cubeba + f.h. T. vogelii. Dengan demikian,

ekstrak T. vogelii berpotensi untuk digunakan sebagai insektisida alternatif untuk pengendalian hama C. pavonana pada tanaman brokoli, di samping insektisida berbahan aktif B. thuringiensis.

Pembahasan Umum

Ekstraksi bertahap buah P. cubeba menghasilkan fraksi heksana padatan yang aktif, sedangkan fraksi lainnya, yaitu fraksi heksana minyak, fraksi etil asetat, dan fraksi metanol, hingga batas konsentrasi tertinggi 0,5% tidak aktif terhadap larva C. pavonana. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif buah P.

sedangkan pada ekstraksi tahap berikutnya dengan etil asetat dan metanol hanya sedikit atau sudah tidak ada lagi senyawa aktif yang dapat diekstrak dari ampas buah P. cubeba yang tersisa. Keaktifan fraksi heksana P. cubeba yang terungkap pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Su (1990) yang melaporkan bahwa ekstrak heksana buah P. cubeba toksik dan bersifat repelen terhadap kumbang Sitophilus oryzae dan Callosobruchus maculatus.

Fraksi heksana padatan P. cubeba aktif terhadap larva C. pavonana sedangkan fraksi heksana minyaknya tidak aktif. Hal ini mencerminkan bahwa senyawa aktif P. cubeba terdapat dalam komponen padatan dari fraksi heksana tersebut. Usia et al. (2005) mengisolasi 18 senyawa lignan dari fraksi etil asetat buah P. cubeba (pelarutan dengan etil asetat dari ekstrak air). Pada penelitian lain, Elfahmi et al. (2007) mendapatkan 13 senyawa lignan dari fraksi CH2Cl2

buah P. cubeba (pemisahan dalam campuran CH2Cl2 dan air dari ekstrak metanol). Tiga dari senyawa lignan tersebut, yaitu hinokinin, kubebin, dan yatein, dapat menghambat makan kumbang S. granarius, T. confusum, dan T. granarium (Harmatha & Nawrot 2002).

Fraksi heksana padatan P. cubeba bersifat sinergistik dalam campurannya dengan ekstrak T. vogelii. Sifat sinergistik tersebut dapat disebabkan oleh senyawa lignan yang mengandung gugus metilendioksifenil, yang merupakan ciri penting dari sejumlah sinergis insektisida yang dapat menghambat enzim

polysubstrate monooxygenase (PSMO). Enzim tersebut dapat mengoksidasi

senyawa asing termasuk insektisida (Matsumura 1985), sehingga dengan terhambatnya kerja enzim tersebut, senyawa insektisida dapat tetap bekerja dalam meracuni organ sasaran di dalam tubuh serangga. Buah P. cubeba mengandung setidaknya 18 senyawa lignan yang mengandung gugus metilendioksifenil, termasuk tiga senyawa yang telah disebutkan sebelumnya (Usia et al. 2005; Elfahmi et al. 2007). Bernard et al. (1989) melaporkan bahwa kubebin dapat menghambat aktivitas enzim PSMO dari saluran pencernaan ulat penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis.

Fraksi heksana padatan P. cubeba cukup aktif terhadap larva C. pavonana dalam pengujian di laboratorium tetapi kurang aktif pada pengujian di rumah kaca. Fraksi tersebut pada konsentrasi 2 x LC95 hanya mengakibatkan kematian 26

paling tinggi 50,1% di rumah kaca. Hal tersebut kemungkinan karena komponen aktif fraksi tersebut kurang menempel pada daun brokoli dengan cara aplikasi penyemprotan sehingga perlu dikembangkan formulasi yang lebih baik. Namun demikian, f.h. P. cubeba masih dapat digunakan dalam bentuk campuran dengan ekstrak daun T. vogelii karena campuran tersebut bersifat sinergis terhadap larva

C. pavonana di laboratorium dan memiliki persistensi yang lebih baik daripada

f.h. P. cubeba tunggal.

Ekstrak T. vogelii memiliki aktivitas yang lebih baik daripada ekstrak P.

cubeba terhadap larva C. pavonana. Daun T. vogelii mengandung rotenon (Delfel et al. 1970) yang bekerja sebagai racun respirasi sel dengan cara menghambat

transfer elektron dari NADH ke koenzim Q reduktase pada kompleks I di mitokondria (Hollingworth 2001). Ekstrak T. vogelii juga memiliki persistensi yang cukup tinggi di rumah kaca.

Residu profenofos pada tanaman brokoli di rumah kaca lebih mudah hilang dibandingkan dengan residu B. thuringiensis. Penurunan aktivitas residu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor cuaca seperti sinar matahari dan hujan (Matsumura 1985). Suhu di rumah kaca yang mencapai 35,5 ºC juga mempengaruhi ketahanan residu bahan uji. Curah hujan tidak diperhitungkan pada penelitian ini karena penelitian dilakukan di dalam rumah kaca.

Fraksi heksana T. vogelii selain memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana di laboratorium, juga memiliki persistensi yang baik pada tanaman brokoli di rumah kaca. Hal ini menunjukkan bahwa insektisida yang berasal dari makhluk hidup juga berpotensi untuk mengendalikan hama dibandingkan dengan insektisida sintetik. Meskipun persisitensinya lebih lama dibandingkan profenofos (sebagai pembanding), insektisida dari bahan-bahan alami tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup bukan sasaran dibandingkan dengan insektisida sintetik.

Sediaan insektisida botani dari T. vogelii dan beberapa jenis tanaman lain telah sering digunakan oleh petani di Jawa Barat, termasuk di pertanian organik, untuk mengendalikan hama pemakan daun. Namun demikian penggunaan insektisida botani dalam skala yang lebih luas masih menghadapi beberapa kendala, antara lain bahan sumber insektisida botani jarang terdapat melimpah di

alam, proses pembuatan tidak sederhana, biaya produksi kadang-kadang lebih mahal, dan kurangnya minat petani dalam memanfaatkan tanaman sebagai sumber insektisida. Untuk meningkatkan pemanfaatan insektisida botani sebagai komponen pendukung PHT, perlu dilakukan pemasyarakatan insektisida botani di kalangan petani secara lebih luas, antara lain melalui kaji tindak di Stasiun Lapangan PHT dan penyediaan bibit tanaman insektisida botani. Tanaman sumber insektisida botani sebaiknya dapat dibudidayakan di wilayah dengan kisaran iklim dan kondisi geografi yang cukup luas agar mudah diperoleh petani di berbagai daerah. Pengenalan cara-cara yang praktis dan efisien dalam memproduksi insektisida botani juga perlu dilakukan dalam memasyarakatkan insektisida botani tersebut.

Dalam dokumen AKTIVITAS RESIDU EKSTRAK BUAH (Halaman 29-40)

Dokumen terkait