• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amplifikasi fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 pada DEG-Lombok menghasilkan DNA target dengan masing-masing panjang produk 140 bp (base pair/pasangan basa) dan 141 bp. Hasil produk PCR dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9 Produk PCR gen BMPR-1B pada DEG –Lombok.

Gambar 10 Produk PCR gen BMP-15 pada DEG – Lombok.

Amplifikasi gen BMPR-1B diperoleh dengan penempelan/annealing

primer pada temperatur 60oC selama 30 detik, temperatur yang sama digunakan oleh Davis et al. (2002) untuk mengamplifikasi gen BMPR-1B pada domba Garole dan persilangan Garole X Malpura (GM), sedangkan amplifikasi gen

BMP-15 diperoleh dengan penempelan primer pada temperatur 63oC selama 45 detik, temperatur dan waktu annealing ini juga telah berhasil mengamplifikasi gen BMP-15 pada domba ekor tipis Han di Cina (Chu et al. 2007). Keberhasilan amplifikasi fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target), bahan pereaksi PCR dan kondisi mesin thermalcycler.

Genotiping Gen BMPR-1B

Genotiping terhadap gen BMPR-1B dilakukan dengan pendekatan metode PCR-RFLP menggunakan enzim AvaII (G|GWCC) sebagai enzim pemotong, enzim AvaII mengenali situs pemotong G|GWCC. Mutasi FecB disebabkan oleh perubahan (transisi) basa dari adenin (A) menjadi guanin (G) pada posisi basa ke 746 (Mulsant et al. 2001; Souza et al. 2001; Wilson et al. 2001). Perubahan basa A menjadi G pada sekuens gen BMPR-1B dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Perubahan (garis bawah) basa A pada alel + menjadi basa G pada alel B akibat mutasi pada gen BMPR-1B.

Hasil amplifikasi gen BMPR-1B (140 bp) (produk PCR) yang diperoleh kemudian dipotong dengan enzim AvaII, diperoleh tiga macam genotipe pada gen

BMPR-1B yaitu genotipe ++ (140 bp dan 140 bp), B+ (109 bp;31 bp dan 140 bp) dan BB (109 bp dan 31 bp) disajikan pada Gambar 12.

Keterangan:

M (marker) = Ladder 100 bp

BB (1) = Individu homozigot (109 bp, 31 bp)

B+ (3,5) = Individu heterozigot (140 bp, 109 bp dan 31 bp) ++ (2,4,6,7) = Individu homozigot (140 bp)

Gambar 12 Genotipe gen BMPR-1B dengan enzim AvaII .

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa domba betina DEG-Lombok mengalami mutasi pada gen yang sama (genotipe BB dan B+) seperti yang ditemukan pada domba Boroola Merino di Australia dan domba ekor tipis Han di Cina yaitu mutasi FecB pada gen BMPR-1B (Chu et al. 2007). Mutasi FecB yang terjadi mengakibatkan keragaman pada gen BMPR-1B pada DEG-Lombok. Mulsant et al. (2001) menyatakan bahwa mutasi yang terjadi pada alel + yaitu

Alel + : 5’...AATATATCAGACCGTGTTGA...3’

perubahan (transisi) basa adenin (A) menjadi guanin (G) pada posisi basa ke 746 pada asam amino 249 (Q249R) yang mengakibatkan perubahan asam amino glutamine (CAG) menjadi asam amino arginin (CGG). Mutasi yang terjadi pada gen BMPR-1B terekspresi pada ovari yang menstimulasi perkembangan dan differensiasi granulosa Cells dan teca cells yang menyebabkan meningkatnya laju ovulasi pada domba.

Genotiping Gen BMP-15

Genotiping terhadap gen BMP-15 dilakukan dengan pendekatan metode PCR-RFLP menggunakan enzim HinfI (G|ANTC) sebagai pemotong, enzim HinfI mengenali situs pemotong G|ANTC. Mutasi pada gen BMP-15 terjadi disebabkan oleh perubahan basa yaitu perubahan (transisi) basa sitosin (C) menjadi timin (T) pada posisi basa ke 718. Perubahan basa C menjadi T pada sekuens gen BMP-15

dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Perubahan (garis bawah) basa C pada alel + menjadi basa T pada alel G akibat mutasi pada gen BMP-15.

Hasil amplifikasi gen BMP-15 (141 bp) (produk PCR) kemudian dipotong dengan menggunakan enzim HinfI (G|ANTC), diperoleh dua macam genotipe yaitu genotipe ++ (110 bp dan 31) dan G+ (141 bp, 110 bp dan 31 bp) (Gambar 14).

Keterangan:

M (marker) = Ladder 100 bp

G+ (3,6) = Individu heterozigot (141 bp, 110 bp dan 31 bp) ++ (1,2,4,5,7) = Individu homozigot (110 bp, 31 bp)

Gambar 14 Genotipe gen BMP-15 dengan enzim HinfI.

Alel + :5’...TTCAATGACAGTCAGAGTGT... 3’ Alel G :5’...TTCAATGATAGTCAGAGTGT... 3’

Genotipe GG merupakan genotipe yang mengalami mutasi dan tidak ditemukan pada DEG-Lombok. Chu et al. (2007) menyatakan bahwa pada gen

BMP-15 terdapat mutasi yaitu perubahan (transisi) basa sitosin (C) menjadi timin (T) pada posisi basa ke 718 yang menyebabkan terjadinya premature akibat stop codon pada asam amino ke 239 (Q239R). Mutasi tersebut menyebabkan hilangnya aktivitas dan tidak sempurnanya fungsi dari gen BMP-15 (Montgomery

et al.1992).

Keragaman Gen BMPR-1B dan Gen BMP-15

Analisis keragaman gen BMPR-1B menghasilkan alel + dan B dengan genotipe ++, B+ dan BB, sedangkan pada gen BMP-15 menghasilkan alel G dan + yang memiliki dua genotipe yaitu genotipe G+ dan ++ (Tabel 6).

Tabel 6 Frekuensi genotipe dan alel gen BMPR-1B dan BMP-15 pada DEG– Lombok . Gen Frekuensi Genotipe Alel BMPR-IB ++ B+ BB B + 0.701(96) 0.277 (38) 0.02 (3) 0.161 0.839 BMP-15 GG G+ ++ G + 0.00 (0) 0.109 (15) 0.891 (122) 0.054 0.946

Hasil penelitian (Tabel 6) menunjukkan bahwa gen BMPR-1B dan BMP- 15 memiliki frekuensi alel + yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel B dan G. Frekuensi alel + pada gen BMPR-1B sebesar 0.893 dan pada gen BMP-15 sebesar 0.946. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen BMPR-1B dan BMP-15

bersifat polimorfik . Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa nilai frekuensi alel yang lebih besar dari 1% dalam populasi dapat dikatakan sebagai gen yang bersifat polimorfik.

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Chu et al. (2007) pada domba ekor tipis Han di Cina yaitu pada gen BMPR-1B alel B lebih tinggi daripada alel +, sedangkan pada gen BMP-15 menunjukkan pola yang sama dengan DEG-Lombok. Analisis keragaman genetik pada gen BMPR-1B dan

BMP-15 menghasilkan genotipe ++ yang memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya (BB, B+, dan G+), sedangkan genotipe

GG pada gen BMP-15 tidak ditemukan pada DEG-Lombok. Frekuensi genotipe ++, B+ dan BB pada gen BMPR-1B masing-masing sebesar 0.70, 0.28 dan 0.02, sedangkan genotipe ++ dan G+ pada gen BMP-15 memiliki frekuensi masing- masing sebesar 0.89 dan 0.11. Berbeda dengan hasil yang diperoleh Kumar et al. (2006), pada domba Garole, frekuensi genotipe homozigot (BB) sebesar 0.859, heterozigot (B+) sebesar 0.125 dan genotipe ++ sebesar 0.016

Hanrahan et al. (2004) menyatakan bahwa pada domba betina Camridge dengan genotipe GG ditemukan infertil (steril), sehingga betina yang membawa genotipe GG tidak bisa menghasilkan keturunan. Genotipe GG tidak ditemukan pada DEG-Lombok diduga karena sampel domba yang digunakan jumlahnya sedikit sehingga genotipe GG tidak ditemukan, pejantan yang tersedia sebagai pemacek jumlahnya sangat terbatas pada populasi, selain itu juga diduga pejantan yang ada membawa genotipe ++.

Keseimbangan Gen dalam Populasi

Uji chi-square (χ2) terhadap gen BMPR-1B dan BMP-15 telah dilakukan, hasil yang diperoleh tidak berbeda terhadap populasi DEG-Lombok. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi genotipe kedua gen pada populasi DEG- Lombok masih dalam keadaan seimbang (keseimbangan Hardy-Weinberg) yang menunjukkan bahwa pada populasi DEG-Lombok belum pernah dilakukan seleksi, terutama berdasarkan pada kedua gen tersebut. Hasil uji χ2 sesuai dengan data yang diperoleh dari hasil survey (Lampiran 7) bahwa peternak tidak memahami prinsip-prinsip seleksi dan inbreeding pada ternak sehingga peternak DEG-Lombok tidak pernah melakukan seleksi terhadap ternak yang akan mereka pelihara, seperti seleksi berdasarkan jumlah kelahiran anak domba. Bibit domba yang dipelihara petani biasanya diperoleh dari orang lain melalui sistem bagi hasil (masyarakat Lombok menyebutnya dengan sistem kadasan) sehingga tidak bisa memilih domba sesuai degan keinginannya, selain itu bibit domba juga diperoleh dengan cara membeli dari pasar yang dipilih berdasarkan ukuran besar tubuh dan kesehatan tanpa menanyakan bahwa domba yang dipilih berasal dari induk yang memiliki tipe kelahiran tunggal atau kembar.

Keseimbangan gen dalam populasi terjadi bila frekuensi genotipe (p2, 2pq dan q2) konstan berada pada populasi tersebut dari generasi ke generasi, akibat

dari penggabungan gamet yang terjadi secara acak pada populasi yang besar (Vasconcellos et al. 2003). Keseimbangan gen dalam populasi terjadi jika tidak adanya seleksi, mutasi, migrasi dan genetic drift. Sebaliknya, jika terjadi akumulasi genotipe, mutasi, seleksi, migrasi dan perkawinan dalam kelompok/populasi yang sama (endogami) maka dapat menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan frekuensi genotipe atau alel dalam populasi tersebut (Noor 2004).

Pendugaan Nilai Heterozigositas

Keragaman genetik (genetic variation) dalam suatu populasi dapat diukur dengan menghitung nilai heterozigositas (H) dari fragmen gen yang diamati. Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai hetrozigositas harapan (He) untuk fragmen gen BMPR-1B pada DEG – Lombok disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan

(He) untuk fragmen gen BMPR-1B dan gen BMP-15 pada DEG-Lombok

Gen N H pengamatan Hharapan±SE

BMPR-IB 137 0.277 0.270 ± 0.025

BMP-15 137 0.109 0.103 ± 0.030

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada fragmen gen BMPR-1B memiliki nilai heterozigositas pengamatan sebesar 0.277 dan nilai heterozigositas harapan sebesar 0.270 ± 0.025, sedangkan nilai heterozigositas dari fragmen gen BMP-15

yaitu nilai heterozigosiats pengamatan sebesar 0.109 dengan nilai heterozigositas harapan sebesar 0.103 ± 0.030.

Hasil analisis nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) pada DEG-Lombok tidak menunjukkan adanya perbedaan yang besar dari kedua fragmen gen tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa frekuensi genotipe dari populasi DEG-Lombok dalam keadaan keseimbangan baik pada penciri PCR-RFLP fragmen gen BMPR-1B

maupun gen BMP-15. Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He), maka dapat dijadikan sebagai indikator adanya ketidak seimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis. Demikian juga Machado et al. (2003) menyatakan bahwa jika nilai heterozigositas pengamatan

(Ho) lebih rendah dari heterozigositas harapan (He) dapat mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari adanya proses seleksi yang intensif. Hart dan Clark (1997) menyatakan bahwa nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He) juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Secara umum nilai heterozigositas harapan (He) merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menjelaskankeragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik.

Pendugaan Nilai PIC

Nilai PIC merupakan salah satu parameter yang menunjukkan tingkat informatifnya suatu penciri/marker. Nilai PIC dikategorikan dalam tiga kriteria yaitu rendah jika PIC ≤ 0.25, nilai PIC sedang 0.25-0.5 dan nilai PIC tinggi apabila ≥ 0.5 Botstein et al. (1980). Analisis nilai PIC terhadap penciri PCR- RFLP fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 terhadap DEG-Lombok disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai PIC fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15

Gen N PIC

BMPR-1B 137 0.306

BMP-15 137 0.109

Keterangan : n = jumlah ternak

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada DEG-Lombok nilai PIC gen

BMPR-1B termasuk dalam kategori sedang, sedangkan gen BMP-15 memilki nilai PIC yang tergolong dalam kategori rendah. Berdasarkan nilai PIC tersebut maka gen BMPR-1B memiliki potensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gen BMP- 15 sebagai penciri genetik untuk sifat prolifik pada DEG-Lombok. Botstein et al.

(1980) menyatakan bahwa nilai PIC tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan informatifnya suatu penciri, akan tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya alel yang polimorfik, selain didasarkan pada nilai heterozigositas. Hildebrand (1992) menyatakan bahwa nilai PIC selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai heterozigositas, karena nilai PIC merupakan nilai heterozigositas yang dikoreksi.

Pengaruh Genetik Gen BMPR-1B dan BMP-15 terhadap Litter size

Rataan jumlah anak sekelahiran atau ukuran litter size pada penelitian ini adalah sebesar 1.167 ekor/induk/kelahiran, diperoleh dari 8 kelompok ternak dengan total populasi sebesar 137 ekor. Sebaran data kelahiran yang diperoleh pada penelitian ini yaitu induk beranak antara 3-8 kali, diantaranya 64.22% (88 ekor) induk dengan kelahiran tunggal, 32% (44 ekor) induk pernah beranak kembar (twins) dan 3.65% (5 ekor) induk pernah beranak 3 (triplets). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang diperoleh pada penelitian sebelumnya pada domba ekor tipis (DET) Indonesia yaitu nilai rataan litter size 1.77 ekor/induk/kelahiran dengan sebaran 44.5% tunggal, 37.6% kembar dua, 14.5% kembar tiga, 3.1% kembar empat, dan 0.3% kembar lima (Inounu 1996). Perbedaan rataan litter size yang diperoleh disebabkan karena lingkungan pemeliharaan berbeda yaitu pada DEG-Lombok dipelihara pada peternakan rakyat secara ekstensif sedangkan DET dipelihara pada stasiun percobaan dengan sistem pemeliharaan intensif. Salah satu sumber keragaman pada jumlah anak yang dilahirkan oleh induk DEG-Lombok adalah genotipe dari setiap induk. DEG- Lombok dengan kelahiran lebih dari satu ditemukan pada induk yang membawa gen mutasi BMPR-1B, BMP-15 atau mutasi pada keduanya, tetapi dari data yang diperoleh dijumpai juga ada 5 ekor induk pernah beranak kembar/twin dengan genotipe ++.

Hasil analisis perbedaan genotipe dari gen BMPR-1B, BMP-15 dan kombinasi kedua gen tersebut berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap rataan

litter size DEG-Lombok (Tabel 9). DEG pada gen BMPR-1B dengan genotipe BB dan B+ memiliki rataan litter size masing-masing sebesar 1.443±0.140 ekor dan 1.435± 0.284 ekor, kedua tipe genotipe ini berbeda sangat nyata (P<0.01) bila dibandingkan dengan genotipe ++ yang memiliki rataan litter size sebesar 1.052±0.138 ekor.

Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Davis et al. (2002) pada DET yang dipelihara pada kondisi pemeliharaan intensif yaitu sebesar 1.24, 1.95 dan 2.59 diperoleh dari domba dengan genotipe ++, B+ dan BB. Penelitian pada domba

Garole meghasilkan rataan litter size sebesar 1.98±0.10, 1.88±0.22 pada genotipe BB dan B+ sedangkan pada domba persilangan Garole Malpura (GM)

menghasilkan litter size sebesar 2.00, 1.93 dan 1.00 pada genotipe BB, B+ dan ++ (Kumar et al. 2006).

Tabel 9 Rataan nilai litter size pada DEG-Lombok dengan gen BMPR-1B,

BMP-15 dan kombinasinya.

Genotipe Jumlah domba Litter size

Genotipe BMPR-1B BB 3 1.443 ± 0.140a B+ 38 1.435 ± 0.284 a ++ 96 1.052 ± 0.138 b Genotipe BMP-15 G+ 15 1.554 ± 0.243 a ++ 122 1.115 ± 0.216 a Genotipe kombinasi B+/G+ 6 1.781 ± 0.123 a BB/++ 3 1.444 ± 0.139 b G+/++ 9 1.404 ± 0.174 b B+/++ 32 1.370 ± 0.257 b ++/++ 87 1.015 ± 0.063 c BB/G+ 0 0

Keterangan: rataan dengan superscrip yang beda menunjukkan beda nyata (P<0.01).

Nilai rataan litter size DEG-Lombok juga berbeda sangat nyata (P<0.01) pada gen BMP-15, domba dengan genotipe G+ memiliki rataan litter size lebih besar yaitu sebesar 1.554±0.243 ekor dari pada genotipe ++ dengan rataan litter size sebesar 1.115±0.216 ekor. Tingginya nilai rataan litter size pada domba heterozigot (G+) disebabkan oleh terjadinya peningkatan laju ovulasi yang disebabkan karena mutasi pada gen BMP-15, domba yang membawa mutasi ini akan mengalami kehilangan fungsi pada sistem BMP-15, yang mengakibatkan aktivitas gen BMP-15 semakin direduksi. Berkurangnya aktifitas gen BMP-15

menyebabkan berkurangnya pengaturan sirkulasi FSH sehingga ekspresi hormon ini semakin tinggi dan memicu proses follikullogenesis pada sel-sel ovarium (Mayorga et al. 2000).

Berdasarkan data pada Tabel 9 bahwa DEG-Lombok juga membawa variasi (kombinasi genotipe) dari kedua gen tersebut seperti domba ekor tipis Han di Cina. Apabila nilai rataan litter size dari induk-induk pada DEG- Lombok dikelompokkan berdasarkan nilai keragaman kombinasi genotipe dari kedua gen tersebut dapat memberikan nilai rataan yang berbeda bila dibandingkan dengan nilai rataan dari masing-masing gen. Kombinasi genotipe yang diperoleh

dari kedua gen tersebut pada DEG-Lombok yaitu B+G+, BB++, G+++, B+++ dan ++++. Nilai rataan litter size dengan kombinasi genotipe dari kedua gen tersebut (B+/G+) meberikan rataan litter size yang paling tinggi yaitu 1.781±0.123 ekor dan rataan paling rendah pada genotipe ++/++ degan nilai rataan 1.015±0.063 ekor. Pola genotipe kombinasi B+/G+ gen BMPR-1B dan BMP-15 juga ditemukan pada domba ekor tipis Han di Cina, yang menghasilkan rataan litter size sebesar 2.55± 0.09 ekor, sedangkan genotipe ++/++ memiliki rataan litter size sebesar 1.10±0.13 (Chu et al. 2007).

Sifat prolifik pada domba dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu major gene (BMPR-1B, BMP-15 dan GDF9). Mutasi pada gen utama seperti mutasi gen

BMP-15 menyebabkan kehilangan fungsi pada BMP-15 yang menghambat ekspresi reseptor FSH pada granulosa cells menurun sehingga membuka peluang sensitifitas FSH menjadi lebih tinggi dan meningkatkan ekspresi dari gen BMP-15

(Davis 2005). Peningkatan sensitifitas ini mendukung perkembangan dan differensiasi granulosa cells dan teca cells pada ovarium yang semakin aktif dan mendorong terjadinya seleksi folikel dominan, sedangkan domba yang membawa mutasi gen BMPR-1B dalam kondisi heterozigote dan homozigote memiliki

granulosa cells yang lebih sensitif terhadap FSH, sehingga sel-sel tersebut semakin aktif membelah dan menyebabkan folikel ovarium menjadi cepat dewasa dan matang. Hubungan antara mutasi BMP-15 dengan laju ovulasi didasarkan pada konsep bahwa semakin aktivitas BMP-15 direduksi, laju ovulasi akan semakin meningkat, akan tetapi apabila level BMP-15 terlalu rendah akan menyebabkannya tidak berfungsi secara total, maka follikulogenesis akan dihambat pada tahap awal, seperti yang ditemukan pada domba betina homozygot

FecXmut (alel I, H, B dan G) (Fabre et al. 2006). Jumlah granulosa cells yang banyak di dalam folikel ovarium menandakan semakin banyak folikel ovarium dominan yang terbentuk, kemudian menyebabkan terjadinya ovulasi (Davis 2005; Fabre et al. 2006). Sifat prolifik terjadi berdasarkan pada konsep bahwa laju ovulasi mengakibatkan semakin banyak oosit yang diovulasikan dan apabila dibuahi dan daya hidup embrio berhasil dipertahan kan oleh induk maka diikuti oleh kelahiran anak yang lebih dari satu (Gambar 15) (Wilson et al. 2001).

Berdasarkan rataan litter size yang diperoleh, gen BMPR-1B dan BMP-15

pada DEG-Lombok berpotensi dijadikan sebagai penciri dalam kegiatan MAS sifat prolifik pada domba (Gambar 15). Pemanfaatan MAS dapat mempercepat laju perbaikan genetik karena memiliki ketepatan seleksi yang lebih akurat dan mengurangi interval generasi. Domba dikatakan prolifik bila seekor induk memiliki rataan litter size 1.75 ekor/induk yang diperoleh dari minimal 3 kali kelahira (Fahmy 1996).

Gambar 15 Tipe kelahiran triplets pada DEG-Lombok dengan genotipe B+/G+.

Pengaruh Lingkungan terhadap Litter Size

Selain faktor genetik, faktor lingkungan juga sangat berperan terhadap tingkat kelahiran anak domba. Ekspresi gen BMPR-1B dan BMP-15 bervariasi pada jenis domba yang berbeda dan pada kondisi lingkungan yang berbeda atau interaksi antara jenis domba dan lingkungan akan memberikan ekspresi yang berbeda (Fogerty 2008). Peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia akan berhasil baik jika ketersediaan pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat dipenuhi secara kualitas dan kuantitas dan tersedia secara kontinyu. Jenis dan kualitas hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim disuatu wilayah. Ketersediaan hijauan pakan ternak di Indonesia tidak tersedia sepanjang tahun, dan hal ini merupakan suatu kendala yang perlu dipecahkan.

Secara geografis lokasi penelitian ini berada di kecamatan Sambelia yang berlokasi di belahan utara kaki gunung Rinjani pada posisi 116º BT dan 60 - 80º LS dan memiliki topografi lahan berbukit-bukit, kondisi tanah bebatuan, dengan posisi pada ketinggian 0-500 di atas permukaan laut. Iklim di wilayah ini

tergolong tipe kering yaitu 3-4 bulan basah dan 8-9 bulan kering. Musim hujan dimulai pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret, rata-rata curah hujan sepanjang tahun 98.5 mm/bulan, kelembaban udara 77% dan temperatur lingkungan maksimum 31oC dan minimum 17oC (Lampiran 7). Kondisi iklim yang panas dan kondisi lahan bebatuan menyebabkan tanaman pakan dan rumput mengalami maturasi dini (penuaan) dan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi sehingga kualitas pakan rendah.

DEG-Lombok dipelihara secara ekstensif yaitu pada musim kemarau digembalakan dipinggir jalan, lahan-lahan pertanian kosong dan pada musim penghujan penggembalaan dipindahkan ke dataran yang lebih tinggi (tanah perbukitan) yang tidak ditanami dengan tanaman padi atau tanaman produksi. Pakan yang dikonsumsi oleh domba hanya diperoleh saat penggembalaan tanpa diimbangi dengan pemberian pakan tambahan. Penggembalaan domba setiap harinya dilakukan selama 6 jam dengan menempuh jarak hingga 2 km dari kandang, hal ini tentu saja mengeluarkan energi yang besar bagi ternak domba. Pola pemeliharan seperti ini mengakibatkan ternak domba selalu berada dalam kondisi kekurangan pakan dalam jangka waktu yang lama, karena pada musim kemarau lahan penggembalaan luas tapi kualitas pakan rendah, sedangkan pada musim hujan pakan berlimpah tetapi areal pengembalaan menyempit, karena sebagian besar lahan ditanami dengan padi dan tanaman produksi lainnya. Jenis pakan dilokasi penggembalaan sebagian besar terdiri atas rumput lapangan, sisa hasil pertanian seperti jerami kedelai, kacang hijau, pohon jagung yang sudah selesai panen dan leguminosa. Dahlannudin (2000) menyatakan bahwa ternak ruminansia kecil (kambing) yang diberikan rumput lapangan sebagai satu-satunya komponen ransum yang diberikan secara ad libitum hanya dapat mempertahankan atau bahkan kehilangan berat badan, sedangkan yang diberikan campuran rumput dan daun-daunan dapat meningkatkan berat badan sekitar 25 - 38 g/hari. Defisien energi pada ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan akan menyebabkan penurunan laju peningkatan bobot badan, yang akhirnya akan menghentikan pertumbuhan, bobot badan semakin menurun dan yang paling buruk adalah dapat menyebabkan kematian.

Jumlah kelahiran anak DEG-Lombok (Lampiran 4) tampak sangat bervariasi pada masing-masing genotipe. Beberapa induk yang membawa mutasi salah satu gen atau kedua gen yang semestinya melahirkan twin atau triplets hanya mampu melahirkan single (tunggal). DEG-Lombok yang membawa mutasi gen-gen tersebut dengan kelahiran tunggal kemungkinan disebabkan karena sewaktu mengalami ovulasi kurang mendapatkan pakan yang berkualitas baik. Selain itu DEG lombok tidak melahirkan secara terus-menerus, interval kelahiran yang panjang (18 bulan), tingkat kematian anak yang tinggi hingga 40%, kematian terjadi pada umur 1 minggu terutama pada kelahiran pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pengaruh dari kondisi pakan buruk yang mempengaruhi kondisi induk pada awal kebuntingan atau melahirkan anak dalam kondisi lemah sehingga mengakibatkan kematian anak pada awal kelahiran.

Selain kondisi pakan yang buruk, rendahnya rataan litter size pada DEG- Lombok disebabkan oleh pola pemeliharaan yang buruk baik pada sistem penggembalaan, manajemen reproduksi (perkawinan domba) dan sanitasi kandang. Pemeliharaan DEG-Lombok dilakukan secara berkelompok dengan jumlah domba antara 10 - 25 ekor, setiap kelompok memiliki pejantan 1-3 ekor, yang terus-menerus bersama betina, sehingga domba bebas untuk kawin setiap saat. Hal ini menyebabkan siklus reproduksi yang kurang tertata yaitu domba melahirkan setiap bulan sepanjang tahun tanpa memperthatikan kondisi iklim dan tingkat ketersdiaan pakan.

Berdasarkan keterangan dari peternak pada Lampiran 7 yang menjelaskan bahwa bahwa kelahiran kembar pada DEG-Lombok terjadi pada saat musim hujan, hal ini memiliki hubungan yang erat dengan ketersediaan pakan yang lebih mencukupi. Daya hidup embrio (DHE) pada induk DET dengan genotipe FecJFF (FecBBB) pada saat domba-domba dipelihara dengan manajemen petani dan pemberian pakan seadanya mengalami kematian embrio hingga 47% dan kematian anak yang sangat tinggi, sebaliknya pada induk DET dengan genotipe

FecJ++ (FecB++) dalam kondisi pakan buruk masih mampu mempertahankan kehidupan dan menyusui anaknya dengan baik. DET yang pernah beranak lebih dari satu dengan perbaikan mutu pakan mengalami kenaikan laju ovulasi dan

meningkatkan rataan litter size. Selain itu peningkatan bobot badan induk sebesar

Dokumen terkait