• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses amplifikasi gen LTF EcoRI pada sapi Friesian Holstein (FH) di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari dan Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dilakukan dengan metode Polymerase

Chain Reaction (PCR). Pasangan primer yang digunakan berdasarkan Wojdak et al. (2006) yaitu dengan forward 5´-GCC TCA TGA CAA CTC CCA

CAC-3´ dan reverse 3´-CAG GTT GAC ACA TCG GTT GAC-5´. Amplifikasi gen LTF EcoRI berhasil 100% (126/126) untuk semua sampel yang diteliti.

Amplifikasi gen LTF EcoRI menggunakan mesin Thermal Cycler pada kondisi annealing 60 oC selama 45 detik sehingga diperoleh produk PCR dengan panjang 301 pasang basa (pb). Suhu annealing menentukan keberhasilan amplifikasi karena proses pemanjangan DNA dimulai dari primer. Suhu annealing yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan penelitian Chang-hong et al. (2008) yaitu 60 oC selama 45 detik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wojdak et al. (2006) yang menggunakan suhu 65 oC. Namun perbedaan suhu tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil amplifikasi. Hasil amplifikasi fragmen gen LTF EcoRI sepanjang 301 pb pada gel agarose 1,5% disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil Amplifikasi Gen LTF EcoRI Sapi FH dengan Metode PCR. M (marker) dan 1-9 (sampel sapi FH)

Faktor-faktor yang menyebabkan berhasilnya amplifikasi gen LTF EcoRI diantaranya adalah kondisi penempelan primer DNA genom (gen target), bahan pereaksi PCR dan kondisi mesin PCR (thermal cycler). Viljoen et al. (2005) menyatakan bahwa beberapa hal umum dilakukan untuk optimasi hasil PCR diantaranya adalah suhu annealing (penempelan primer), konsentgrasi Mg2+, konsentrasi primer, dan konsentrasi DNA target. Posisi penempelan primer pada sekuen gen LTF EcoRI (Gen Bank Nomor Akses L19986.1) disajikan pada Gambar 4.

Forward

3241 aaaaaaactc aatatcccac ataaggtcac ttaacatagc ctcatgacaa ctcccacacc 3301 aaaacagtac tttattttgt aaattttgac cattattact cccatgttat ggtcttttca 3061 attggccact ttggccctgc tggcatatgt ttgggggtct tcatttattt attttttaat 3121 ccaatagcat tgacttttat tcattcatgt taagtcacct gaaatggtat ctgttgcatt 3181 taaatgctca attaatgtaa atggctgaac aaatccattt taatggatat tcaatccatt 3241 aaaaaaactc aatatcccac ataaggtcac ttaacatagc ctcatgacaa ctcccacacc 3301 aaaacagtac tttattttgt aaattttgac cattattact cccatgttat ggtcttttca 3361 gctgtcaagc aaacaaggtg aagaaaaaat ttagttagat gggggttgca cctggaaaat 3421 aaatttctta aactccatat acatgtttca aatctgctgg gtcccaagtc catctatgaa 3481 ttcccaggct gccagtatca tatgcagcat actaaagcta cgctatctga atagcttatt 3541 aattctgcat atatcaggtc aaccgatgtg tcaacctgta acagactgcg acacttttaa

Reverse

Keterangan:

Terjadi Mutasi pada Situs Pemotongan Enzin Restriksi EcoRI (gaattc) pada Posisi 3419 (Intron 6) Alel A : 5‟…….CATCTATGATTTCCCAGGCT…..3‟

Alel B : 5‟…….CATCTATGAATTCCCAGGCT…..3‟

Gambar 4. Posisi Penempelan Primer (Cetak Tebal) pada Sekuen Gen LTF EcoRI (Gen Bank Nomor Akses L19986.1)

Pendeteksian Keragaman Gen LTF EcoRI

Pendeteksian keragaman gen LTF EcoRI pada sapi FH menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restricsion Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP). Proses pemotongan gen digunakan enzim restriksi EcoRI yang mengenali situs pemotongan 5‟….G*AATTC…3‟. Produk PCR yang telah dipotong menggunakan enzim restriksi EcoRI menghasilkan tiga macam fragmen dengan panjang 100 pb, 201 pb. dan 301 pb (Gambar 5). Hasil penelitian ini sesuai dengan Wojdak et al. (2006) bahwa terdapat 3 fragmen, yaitu 301 pb untuk alel A dan 201 pb dan 100 pb untuk alel B.

Gambar 5. Pola Pita Gen LTF EcoRI Sapi FH pada Gel Agarose 2% dengan Enzim Restriksi EcoRI. AA(1, 2, 5, dan 6), AB (3, 4, 7 dan 8), M (marker) Keragaman gen pada sapi FH di ketiga lokasi tersebut terjadi akibat mutasi. Mutasi adalah suatu perubahan struktur kimia gen yang berakibat perubahan fungsi gen. Mutasi yang terjadi pada penelitian ini adalah mutasi subtitusi yaitu perubahan basa antar basa-purin (A-G) atau basa pirimidin (T-C) (Gambar 4).

Jumlah sapi FH dan sapi pedaging dengan genotipe tertentu gen LTF EcoRI untuk setiap lokasi pengamatan diilustrasikan pada Gambar 6.

0 5 10 15 20 25 30 FH BIB (Ja nta n) FH BBIB (Ja nta n) FH BET (Betina ) Limosin BET (Betina ) Angus BET (Betina ) Simenta l BET (Betina ) Bra hman BET (Betina ) 4 16 29 8 0 3 3 13 16 11 6 5 10 2 0 0 0 0 0 0 0 J u m la h S a p i

Bangsa dan Lokasi

AA AB BB

Keterangan: BIB: Lembang, BBIB: Singosari, dan BET: Cipelang

Gambar 6. Jumlah Sapi FH dan Sapi Pedaging dengan Genotipe Tertentu Gen LTF EcoRI Berdasarkan Lokasi

Alel yang muncul pada sapi FH di BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang adalah alel A dan alel B. Genotipe yang ditemukan untuk ketiga lokasi tersebut adalah AA dan AB, sebaliknya tidak ditemukan genotipe BB. Sapi yang bergenotipe AA akan lebih tinggi kandungan laktoferinnya dibandingkan dengan sapi yang bergenotipe AB atau BB, sehingga sapi yang bergenotipe AA lebih dipertahankan untuk dikembangbiakan. Menurut Lee et al. (1997) kadar laktoferin sangat nyata dipengaruhi oleh faktor genetik dan gen laktoferin dikontrol oleh dua alel A dan B, individu bergenotipe AA mempunyai kadar laktoferin lebih tinggi dari AB dan BB.

Frekuensi Genotip dan Alel Gen LTF EcoRI

Nilai frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen LTF EcoRI populasi sapi di BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Frekuensi Genotipe dan Alel Gen LTF EcoRI Sapi dari BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang

Bangsa/Populasi Genotipe Alel

AA AB BB A B

FH BIB Lembang (17) (4) 0,24 (13) 0,76 (0) 0,00 0,62 0,38

FH BBIB Singosari (32) (16) 0,50 (16) 0,50 (0) 0,00 0,75 0,25

FH BET Cipelang (40) (29) 0,72 (11) 0,28 (0) 0,00 0,86 0,14

Sub total (49) 0,55 (40) 0,45 (0) 0,00 0,77 0,23

Limosin (14) BET Cipelang (8) 0,57 (6) 0,43 (0) 0,00 0,79 0,21

Angus (5) BET Cipelang (0) 0,00 (5) 1,00 (0) 0,00 0,50 0,50

Simental (13) BET Cipelang (3) 0,23 (10) 0,77 (0) 0,00 0,62 0,38

Brahman (5) BET Cipelang (3) 0,60 (2) 0,40 (0) 0,00 0,80 0,20

Sub total (14) 0,38 (23) 0,62 (0) 0,00 0,69 0,31

Total (126) (63) 0,50 (63) 0,50 (0) 0,00 0,75 0,25

Keterangan : (..) = jumlah sapi

Tabel 1 menunjukkan bahwa frekuensi genotipe total dari sapi FH pengamatan sebesar 0,55 untuk genotipe AA dan 0,45 untuk genotipe AB, sedangkan genotipe BB bernilai 0. Hal demikian juga terjadi pada sapi pedaging, hasil amplifikasi gen laktoferin tidak ditemukan sapi yang bergenotipe BB. Tidak

ditemukannya genotipe BB diduga karena jantan atau betina yang dipakai lebih banyak membawa genotipe AA dan AB dibandingkan dengan genotipe BB.

Nilai frekuensi genotipe AA tertinggi terdapat pada sapi FH di BET Cipelang sebesar 0,72, sedangkan frekuensi genotipe AB tertinggi terdapat pada sapi FH di BIB Lembang sebesar 0,76. Nilai frekuensi genotipe pada sapi pedaging untuk genotipe AA, paling tinggi nilainya terdapat pada sapi Brahman di BET Cipelang sebesar 0,60; dan sapi bergenotipe AB tertinggi terdapat pada sapi Angus sebesar 1,00. Frekuensi genotipe total untuk sapi FH dengan sapi pedaging berbanding terbalik, dimana pada sapi FH nilai frekuensi genotipe AA lebih besar dibandingkan dengan frekuensi genotipe AB, sedangkan pada sapi pedaging nilai frekuensi genotipe AB lebih besar dibandingkan dengan frekuensi genotipe AA. Total frekuensi genotipe AA dan AB untuk ketiga lokasi mempunyai proporsi yang sama, yaitu masing-masing 0,5.

Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Sapi FH pada ketiga lokasi mempunyai frekuensi alel A yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel B. Hal ini juga terlihat pada sapi pedaging bangsa Limosin, Angus, Simental dan Brahman yang digunakan sebagai pembanding. Frekuensi alel A dan B sapi FH pengamatan yaitu 0,77 dan 0,23. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya oleh Wojdak et al. (2006), yang memperoleh bahwa sapi FH Polandia ditemukan alel A dan alel B dengan frekuensi alelnya masing-masing sebesar 67,74% dan 32,58%. Hal tersebut tidak berbeda dengan sapi pedaging, namun pada sapi Angus nilai frekuensi alel A dan B memiliki proporsi yang sama yaitu 0,5 dan 0,5.

Frekuensi alel A untuk sapi FH berkisar antara 0,617-0,863 dan alel B antara 0,138-0,382. Sedangkan frekuensi alel untuk sapi pedaging berkisar antara 0,5-0,8 dan alel B antara 0,2-0,5. Nei (1987) menyatakan bahwa suatu alel dinyatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Hal ini berarti bahwa gen LTF EcoRI pada populasi sapi FH di BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang serta sapi pedaging di BET Cipelang bersifat polimorfik (beragam).

Keseimbangan Hardy-Weinberg Gen LTF EcoRI

Hukum Hardy-Weinberg (HW) menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak yang bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Noor (2000) juga menyatakan bahwa hukum Hardy-Weinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi dan genetic drift. Hasil pengujian keseimbangan HW gen LTF EcoRI pada sapi di lokasi BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji Hasil Uji Signifikasi χ2 Keseimbangan Hardy-Weinberg Gen LTF EcoRI Bangsa Populasi χ2 hitung FH BIB Lembang 6,51 td BBIB Singosari 3,56td BET Cipelang 1,02td

Limosin BET Cipelang 1,04td

Angus BET Cipelang 5,00td

Simental BET Cipelang 5,08td

Brahman BET Cipelang 0,31td

Keterangan: td = tidak dapat dianalisis

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pada sapi FH di ketiga lokasi, keseimbangan HW tidak dapat dihitung atau dianalisis. Begitu juga pada sapi pedaging di BET Cipelang. Hal ini dikarenakan derajat bebas χ2 bernilai nol yang disebabkan pada hasil analisis genotipe hanya terdapat 2 macam genotipe dan 2 macam alel. Menurut Allendrof dan Luikart (2007), derajat bebas χ2

merupakan hasil pengurangan antara jumlah genotipe dengan jumlah alel.

Chang-hong et al. (2008) melaporkan pada sapi perah di Xinjiang Shihezi berada pada ketidakseimbangan HW (P<0,01). Wojdak et al. (2006) juga melaporkan pada sapi FH Polandia berada pada ketidakseimbangan HW (p<0,05). Terjadinya ketidakseimbangan gen dalam populasi tersebut terjadi jika ada akumulasi genotipe, populasi yang terbagi, mutasi, seleksi, migrasi dan perkawinan dalam kelompok atau populasi yang sama (endogami) (Falconer dan Mackay, 1996; Noor, 2008).

Pendugaan Nilai Heterozigositas Gen LTF EcoRI

Keragaman genetik dapat diukur secara akurat dengan nilai heterozigositas (ĥ) (Nei, 1987). Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) gen LTF EcoRI pada ketiga lokasi dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.

Tabel 3. Pendugaan Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Heterozigositas Harapan (He) Gen LTF EcoRI

Bangsa Populasi He Ho

FH BIB Lembang 0,47 0.76

BBIB Singosari 0,38 0.50

BET Cipelang 0,24 0.28

Sub Total 0.35 0,45

Limosin BET Cipelang 0,34 0,43

Angus BET Cipelang 0,50 1,00

Simental BET Cipelang 0,47 0,77

Brahman BET Cipelang 0,32 0,40

Sub total 0,57 0,62

Total 0,38 0,50

Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai heterozigositas gen LTF EcoRI pengamatan (Ho) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai heterozigositas harapan

(He) untuk keseluruhan sapi pengamatan, baik sapi FH maupun sapi pedaging. Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa jika nilai heterozigositas pengamatan

(Ho) lebih rendah dari heterozigositas harapan (He) dapat mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari adanya proses seleksi yang intensif. Nilai Ho yang lebih tinggi dari He pada penelitian ini mengindikasikan bahwa tidak adanya proses seleksi yang intensif terhadap gen laktoferin.

Sapi FH pada populasi BIB Lembang memiliki nilai heterozigositas tertinggi yaitu sebesar 0,76, sedangkan pada sapi pedaging, heterozigositas tertinggi dimiliki oleh sapi bangsa Angus yaitu sebesar 1,00. Tingginya nilai heterozigositas menunjukkan adanya keragaman alel di lokasi tersebut.

Javanmard et al. (2005) menyatakan bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi. Nilai heterozigositas pada sapi FH di BET Cipelang sebesar 0,28, dimana nilai tersebut lebih rendah dari 0,5. Nilai heterozigositas sapi pedaging yang nilainya lebih rendah dari 0,5 terdapat pada sapi limosin (0,43) dan sapi Brahman (0,47). Hal ini menunjukan rendahnya variasi gen pada sapi FH di BET Cipelang, sapi Limosin dan sapi Brahman.

Dokumen terkait