• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan Analisis Kelembagaan

VII. KELEMBAGAAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING

7.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelembagaan

Kelembagaan pemberantasan IL di Indonesia dikaji dengan menggunakan pendekatan 4Rs yang secara deskriptif menguraikan tentang tanggung-jawab (responsibilities), hak dan kewajiban (rights), manfaat (Revenues), dan hubungan antar stakeholders (relationship). Namun sebelum keempat Rs tersebut dideskripsikan terlebih dahulu dianalisis pendapat responden tentang pentingnya keberadaan masing- masing stakeholders yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia.

Gambar 26 menunjukkan bahwa keberadaan institusi penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan dianggap penting dalam kegiatan pemberantasan IL di Indonesia. Hanya sebagian kecil responden yang menganggap keberadaan penegak hukum kurang penting atau tidak penting, tetapi hampir semuanya menganggap penting keberadaan dari ketiga aparat hukum ini. Hal ini disebabkan bahwa praktek IL dipersepsi sebagai kegiatan melanggar hukum, sehingga keberadaan aparat penegak hukum menjadi penting. Oleh karena itu kredibilitas, kapasitas, dan kompetensi institusi penegak hukum menjadi bagian yang sangat penting dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Konsistensi aparat dalam memutuskan perkara yang memberikan efek jera terhadap pelaku IL dan masyarakat lainnya

diharapkan akan meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum kehutanan yang telah ditetapkan. Keselarasan interpretasi terhadap pasal-pasal yang akan digunakan untuk memberantas praktek IL perlu dilakukan, termasuk perlunya konsensus diantara aparat penegak hukum untuk menetapkan hukuman minimal yang memberi efek jera bagi pelaku IL di Indonesia. 98% 96% 93% 0% 2% 4% 2% 2% 2% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Tidak Penting Kurang Penting Penting

Gambar 26. Pendapat Responden terhadap Keberadaan Aparat Hukum

Gambar 27. menunjukkan pendapat responden terhadap keberadaan instansi pemerintah di tingkat pusat yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia. Keberadaan Departemen Kehutanan sebagai instansi teknis yang diberikan tugas mengurus hutan di Indonesia dianggap paling berkompeten dalam menyelesaikan IL di Indonesia. Selain itu karena IL berdampak terhadap kualitas lingkungan, maka Kementerian Lingkungan Hidup juga dianggap penting untuk dilibatkan dalam pemberantasan IL di Indonesia.

91% 87% 78% 78% 78% 76% 73% 69% 62% 56% 51% 9% 9% 22% 13% 13% 24% 24% 22% 27% 33% 38% 0% 4% 0% 9% 9% 0% 2% 9% 11% 11% 11% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100 % Departemen Kehutanan

Kantor Meneg Lingkungan Hidup Kantor Menkopolkam Departemen Keuangan Departemen Dalam Negeri

Departemen Perdagangan Departemen Perindustrian Departem Hukum dan HAM Badan Intelejen Negara (BIN)

Departemen Pertahanan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Tidak Penting

Kurang Penting Penting

Gambar 27. Pendapat Responden Terhadap Keberadaan Instansi Pusat Dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL Di Indonesia

Pelaksanaan pemberantasan IL di Indonesia memerlukan koordinasi diantara stakeholders, terutama instansi penegak hukum dan teknis kehutanan yang lebih dianggap berkompeten. Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Ham (Polhukam) merupakan instansi yang dipandang responden mampu melakukan koordinasi dalam pemberantasan IL di Indonesia, selain tentunya terkait dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 yang menunjuk Kementerian Polhukam sebagai koordinator dalam percepatan pemberantasan IL di Indonesia.

Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki peranan penting dalam memonitor dan mengawasi lalu lintas barang, baik ekspor-impor maupun perdagangan antar pulau. Aparat bea cukai berhak untuk memeriksa dokumen barang, termasuk kayu, apakah barang yang masuk dan keluar pelabuhan memiliki dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Monitoring dan pengawasan yang lemah serta adanya sikap koruptif-kolutif berkontribusi terhadap meningkatnya kegiatan penyelundupan kayu di Indonesia.

Keberadaan Departemen Dalam Negeri dalam pemberantasan IL di Indonesia terkait dengan kewenangannya untuk mengevaluasi kebijakan

daerah, berupa keputusan kepala daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) dan peraturan daerah yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan di atasnya. Keberadaan departemen ini penting terutama di era otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Banyak kebijakan daerah terkait sumberdaya alam, termasuk hutan yang dipandang bertentangan peraturan perundang-undangan di atasnya. Hal ini tidak terlepas dari motivasi pengembangan kebijakan daerah yang lebih mengarusutamakan pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi daripada pelestariannya. Peranan instansi lainnya adalah Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian yang memiliki kewenangan dalam pengaturan arus perdagangan barang dan kegiatan produksi. Perdagangan merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi. Peningkatan arus perdagangan menyebabkan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama pelaku usaha. Mekanisme perdagangan saat ini yang cenderung mengarah ke perdagangan bebas dapat berdampak negatif atau positif terhadap lingkungan. Kayu tropis khususnya yang berasal dari Indonesia sejak lama memiliki nilai komersial tinggi di pasaran internasional. SCA dan WRI (2004) menyebutkan bahwa hutan tropis Indonesia memiliki lebih dari 4.000 spesies pohon, baru 40-50% yang dimanfaatkan secara komersial, misalnya Meranti (Shorea sp.), Keruing (Dipterocarpus spp.), dan Ramin (Gonystylus bancanus). Kayu tersebut menjadi bahan industri kayu lapis (plywood) yang sampai akhir tahun 2000-an merajai pasaran kayu lapis dunia, dengan tujuan ekspor ke Uni Eropa, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat. Tingginya nilai ekonomi kayu Indonesia menjadi daya tarik pelaku IL untuk menebang hutan dan menyelundupkannya keluar negeri.

Keberadaan stakeholders lainnya dalam pemberantasan IL di Indonesia disajikan pada Gambar 28. Bupati dan Gubernur sebagai kepala daerah dapat memberikan kontribusi besar terhadap efektifnya pemberantasan IL di daerahnya bersama-sama dengan masyarakat, LSM, dunia usaha, dan legislatif. Keberadaan dunia internasional dalam

pemberantasan IL yang lebih terkait dengan penegakan hukum dianggap kurang penting. Namun demikian dukungan internasional terhadap pemberantasan IL di Indonesia dapat dilakukan melalui upaya untuk lebih mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dan aparat serta mendorong kepedulian konsumen internasional untuk menggunakan kayu tropis yang sumbernya legal.

Keberadaan eksekutif dan legislatif di tingkat lapangan dapat berkontribusi positif terhadap pemberantasan IL di wilayahnya atau sebaliknya membiarkan kegiatan IL berjalan sebagai sumber pendapatannya walaupun ilegal dan melanggar hukum. Kerumitan pemberantasan IL di tingkat lokal akan meningkat apabila kepala daerah dalam proses pemilihannya melibatkan pengusaha dan masyakat pelaku IL sebagai tim pendukungnya. Politik balas budi terhadap pendukungnya diwujudkan dengan pembiaran aktifitas IL di wilayahnya sepanjang memberikan keuntungan ekonomi bagi kepentingan diri dan aktifitas politiknya. 91% 87% 84% 80% 73% 71% 67% 60% 7% 13% 11% 20% 18% 20% 24% 36% 2% 0% 4% 0% 9% 9% 9% 4% 0% 20% 40% 60% 80% 100% Bupati Gubernur Masyarakat LSM Dunia Usaha DPRD Kabupaten DPRD Provinsi Dunia Internasional Tidak Penting Kurang Penting Penting

Gambar 28. Pendapat Responden terhadap Keberadaan Stakeholders dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di Indonesia

Pemahaman terhadap kegiatan pemberantasan IL di Indonesia dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan pemberantasan IL.

Pendapat responden menunjukkan bahwa pemahapan kepolisian terhadap upaya pemberantasan IL lebih besar daripada kejaksaan dan pengadilan. Belum selarasnya pemahaman terhadap penegakan hukum IL diantara komponen penegak hukum dapat menyebabkan penegakan hukam tidak efektif memberikan dampak jera dengan proses yang berlangsung lama.

Responden menilai pemahaman instansi teknis di tingkat pusat dalam pemberantasan IL di Indonesia lebih rendah tingkat pemahamannya. Hal ini disebabkan bahwa permasalahan IL di Indonesia kompleks, tidak hanya menyangkut teknis tetapi berkembang menjadi masalah hukum, perdagangan, perbankan, bahkan pencucian uang. Namun, lingkup yang diberantas adalah masalah pelanggaran hukum kehutanan yang derivatif tindak hukumnya mencakup permasalahan di luar kehutanan. Oleh karena itu, kepentingan dan pemahaman aparat penegak hukum lebih menonjol daripada instansi teknis.

Di tingkat LSM yang bergerak di bidang lingkungan dipandang memiliki pemahaman yang lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya. Perhatian yang besar juga diberikan oleh dunia internasional yang memandang hutan tropis Indonesia penting untuk mendukung keberlanjutan ekosistem global. Sejumlah inisiatif dan fasilitasi perumusan kebijakan dan aksi pemberantasan IL di Indonesia didukung oleh lembaga internasional, misalnya komisi Uni Eropa yang membetuk program FLEGT (Forest Law Enforcement and Governance Trade) di Indonesia untuk memfasilitasi pemberantasan IL di Indonesia.

Eksekutif dan legislatif dipandang memiliki pemahaman yang kurang terhadap pemberantasan IL di wilayahnya. Sebagian diantara elit lokal ada yang melihat bahwa pengurusan dan perlindungan kawasan hutan merupakan kewenangan pusat (pemerintah). Hal ini terkait dengan trauma masa lalu, dimana peranan daerah relatif kecil terhadap keputusan pusat dalam menunjuk pengelola hutan di daerah. Namun dengan adanya reformasi kebijakan termasuk di sektor kehutanan, maka peranan daerah dalam kebijakan daerah signifikan, misalnya tanpa rekomendasi bupati

dan gubernur, Menteri Kehutanan tidak dapat lagi memberikan ijin konsesi hutan alam dan hutan tanaman. Walaupun telah terjadi perubahan kebijakan kehutan yang lebih terdesentralisasi, sebagian diawasi elit lokal masih melihat hutan dalam kaca mata ekonomi kayu semata sebagai sumber pemasukan pendapatan daerah.

67% 56% 47% 29% 38% 40% 4% 7% 13% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Kepolisian Kejaksaan Pengadilan

Tidak Paham Kurang Paham Paham

Gambar 29. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman Aparat Hukum dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di Indonesia 60% 59% 57% 52% 50% 45% 39% 39% 39% 39% 36% 38% 36% 34% 43% 39% 48% 55% 57% 55% 45% 55% 2% 5% 9% 5% 11% 7% 7% 5% 7% 16% 9% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Kantor Meneg Lingkungan Hidup Departemen Kehutanan Kantor Menkopolkam Departem Hukum dan HAM Departemen Dalam Negeri Bad an In tele jen Neg ara (BIN ) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dep arte men Per taha nan Departemen Perindustrian Departemen Keuangan Departemen Perdagangan Tidak Paham Kurang Paham Paham

Gambar 30. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman Instansi Pusat dalam Kaitannya Dengan Pemberantasan IL di

Gambar 31. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman

Stakeholders dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di

Indonesia

Setiap stakeholders yang menjadi responden memberikan pendapat tentang right (hak dan kewajibannya) dalam pemberantasan IL di Indonesia sebagaimana disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Aspek Hak dan Kewajiban Stakeholders dalam Pemberantasan IL di Indonesia.

No. Kategori Responden Rights

1. Instansi Pemerintah bidang Politik, Hukum, dan HAM.

 Melakukan koordinasi program, langkah tindak, monitoring, dan evaluasi kegiatan dalam pemberantasan IL di Indonesia.

 Memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan pemberantasan hukum. 2. Aparat Penegak

Hukum. 

Memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam setiap tahapan proses penegakkan hukum pemberantasan IL;

 Melakukan proses penindakan hukum terhadap setiap kegiatan IL yang terjadi;

 Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam kegiatan pemberantasan IL.

 Melakukan berbagai upaya penegakkan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan IL di Indonesia. 3. Instansi Teknis

Kehutanan dan Lingkungan.

 Melakukan operasi pemberantasan IL baik secara mandiri maupun gabungan dengan instansi lainnya, terutama dengan aparat penegak hukum.

No. Kategori Responden Rights

 Melakukan penyidikan terhadap pelaku IL sebagai upaya penegakan hukum.

 Melindungi pemegang izin pengusahaan kayu yang sah dari tindakan IL.

 Memulihkan kondisi ekosistem hutan yang terdegradasi akibat IL.

4. Instansi Pemerintah di bidang Keuangan, Industri, dan Perdagangan.

 Melakukan monitoring dan pengawasan lalu lintas perdagangan kayu, baik ekspor-impor dan perdagangan antar pulau.

 Melakukan penegakan terhadap upaya penyelundupan kayu bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya.

 Melakukan penyidikan terhadapkayu yang masuk dan keluar serta diduga berasal dari sumber yang tidak sah.

 Melakukan pengaturan dan restrukturisasi industri berbasis hasil hutan agar sesuai dengan kemampuan pasokan bahan baku yang tersedia. Dalam hal ini peminjaman terhadap ijin kapasitas industri disesuaikan dengan jumlah bahan baku hasil hutan yang tersedia.

5. Instansi Pemerintah di bidang Luar Negeri. 

Meningkatkan kerjasama internasional dalam pemberan tasan IL, terutam berkaitan dengan perdaganan internasional yang ilegal. Kerjasama meliputi kerjasama multilateral maupun kerjasama bilateral perlu disepakati kesepahaman tentang penggunaan kayu yang legal.

 Menggalang dukungan internasional terhadap upaya pemberantasan IL di Indonesia.

6. Lembaga Swadaya Masyarakat.

 Membantu upaya-upaya pemerintah dan masyarakat dalam pemberantasan IL, misalnya dengan memfasilitasi program untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berpartisipasi mencegah IL.

 Mengumpulkan data dan informasi praktek IL dan melaporkannya kepada aparat yang berwenang. 7. Masyarakat (Adat)  Menerapkan aturan-aturan adat untuk melindungi

hutannya dari praktek IL.

 Berpartisipasi dalam proses legislasi peraturan yang mengatur pengelolaan dan perlindungan hutan, termasuk penysusunan kebijakan pemberantasan IL.  Menjaga ekosistem hutan dari setiap aktivitas yang merusak dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungannya.

Tabel 19 menunjukkan bahwa right (hak dan kewajiban) yang dimiliki dalam pemberantasan IL dapat dikategorikan ke dalam hak dan kewajiban untuk:

a. Melakukan upaya-upaya penegakan hukum dalam pemberantasan IL; b. Melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholders serta

mendapatkan data dan informasi terkait pemberantasan IL;

c. Melakukan pengawasan yang lebih baik terhadap pengelolaan hutan secara utuh, sejak proses perencanaan, pengelolaan, pemanenan hasil hutan, pengelolalaan hasil hutan, dan pemasaran hasil hutan;

d. Meningkatkan kerjasama dan dukungan internasioanl terhadap upaya pemberantasan IL di Indonesia;

e. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasana IL dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya upaya pengelolaan dan pelestarian hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat;

Berkaitan dengan tanggung jawab (Responsibilities) dari setiap lembaga yang diwawancarai menunjukkan bahwa setiap lembaga secara umum cukup memahami tugas masing-masing dalam kaitannya dengan pemberantasan IL, baik instansi penegak hukum, instansi terkait di pusat, dan daerah, masyarakat, LSM, maupun lembaga internasional. Tanggung jawab tersebut meliputi tanggung jawab untuk:

a. Melakukan koordinasi, monitoring, dan evaluasi kegiatan pemberantasan IL;

b. Melakukan proses penegakan hukum, mulai tahap penyelidikan, penyidikan dan pemberkasan, penuntutan, serta penjatuhan hukum berupa hukuman badan dan atau denda;

c. Melakukan fasilitasi untuk meningkatkan kapasitas aparat pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat, dan stakeholders lainnya dalam mendorong percepatan pemberantasan IL di Indonesia.

d. Melakukan penyempurnaan hukum dan sinkronisasi diantara peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia.

e. Mengimplementasikan tata kelola pembangunan kehutanan yang baik dengn meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan hutan di Indonesia;

f. Melakukan upaya pemulihan ekosistem hutan dan lingkungannya yang mengalami degradasi akibat praktek IL;

g. Menerapkan aturan dan hukum adat terhadap kegiatan yang merusak ekosistem hutan di wilayah adat sepanjang masyarakat adat tersebut eksis kelembagaan sosialnya; dan

h. Melakukan penyuluhan dan pendidikan lingkungan akan pentingnya hutan dalam mendukung kehidupan masyarakat.

i. Meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat yang berada di dal am dan sekitar hutan agar tingkat pendapatannya meningkat;

j. Meningkatkan sarana dan prasarana perlindungan hutan.

Berkaitan dengan Revenues (manfaat) yang dapat diperoleh dari pemberantasan IL, meliputi empat aspek yaitu: ekologi, sosial, ekonomi, dan pemerintahan sebagaimana disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Revenues (Manfaat) yang Dapat Diperoleh dari

Pemberantasan IL

No. Aspek Revenues

1. Ekologi.  Terjaganya kelestarian lingkungan dan

ekosistem.

 Mengurangi dampak bencana akibat IL dan kerusakan lingungan lainnya.

 Tutupan hutan yang optimal tetap terpelihara sebagai pelindung ekosistem dan sumber kehidupan masyarakat.

 Kontribusi hutan tropis terhadap lingkungan global dapat dipertahankan dan meningkat.

2. Sosial. Menurunkan intensitas konflik, baik konflik antar masyarakat, atau konlik antara masyarakat dengan hewan hutan yang selama praktek IL terganggu habitatnya.

No. Aspek Revenues

3. Ekonomi.  Meningkatkan pemasukan negara dari

hasil hutan.

 Meningkatkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan kayu.

 Penyelundupan kayu dapat ditekan, sehingga pemasukan terhadap negara meningkat.

 Meningkatkan jaminan keamanan

insvestasi.

4. Pemerintah.  Meningkatkan kredibilitas negara sebagai negara yang mampu menjaga hutannya

dengan baik, sehingga dapat

meningkatkan kepercayaan internasional.

Tingkat hubungan (Relationhship) antar stakeholders disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa hubungan diantara aparat penegak hukum dalam pemberantasan IL cukup baik. Hubungan yang cukup baik juga terjadi antara aparat penegak hukum dengan instansi yang secara teknis mengurus pengelolaan hutan, dan instansi yang mengkoordinasikan penangananan IL di Indonesia. Tingkat hubungan yang kurang/lemah terjadi antara instansi teknis kehutanan dan lingkungan dengan daerah. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan dalam pengelolaan hutan. Masih banyak daerah yang melihat hutan sebagai sumberdaya alam bernilai ekonomi yang dapat memberikan masukan pendapatan daerah. Kondisi ini cenderung bagi daerah yang dalam tahap proses pembangunan ekonomi. Untuk mengembangkan kegiatan ekonominya, daerah membutuhkan dukungan sumberdaya alam termasuk hutan sebagai sumber pendapatan daerahnya. Tabel 20. juga menunjukkan bahwa pemberantasan IL belum dipandang sebagai masalah bersama yang diindikasikan oleh relasi hanya cukup baik dalam lingkup aparat penegak hukum dan instansi teknis yang langsung mengurus pengelolaan hutan. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan koordinasi diantara stakeholders dalam pemberantasan IL sangat diperlukan.

Tabel 20. Tingkat Hubungan (Relationhship) antar Stakeholders dalam Pemberantasan IL Di Indonesia A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V A 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 B 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 C 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 D 2 2 1 2 2 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 2 E 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 F 2 1 1 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 G 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 H 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 I 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 J 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 K 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 L 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 M 1 2 1 1 1 1 1 1 1 N 1 1 1 1 1 1 1 1 O 1 2 1 1 1 1 1 P 1 1 1 1 2 1 Q 1 1 1 1 1 R 1 1 1 1 S 1 1 1 T 1 1 U 2 Keterangan :

A. Kepolisian I. Departemen Pertahanan M. Kantor Meneg LH

B. Kejaksaan J. Departemen Perdagangan N. Badan Intelijen Negara (BIN) C. Pengadilan K. Departemen Perindustrian O. Gubernur

D. Kantor Menkopolkam L. Departemen Tenaga Kerja &

Transmigrasi P. Bupati

E. Departemen Kehutanan M. Kantor Meneg LH Q. DPRD Tingkat Provinsi F. Departemen Keuangan I. Departemen Pertahanan R. DPRD Tingkat Kabupaten G. Departemen Dalam

Negeri J. Departemen Perdagangan S. Masyarakat H. Departemen Hukum &

HAM K. Departemen Perindustrian T. Dunia Usaha L. Departemen Tenaga Kerja &

Transmigrasi U. LSM

V. Dunia Internasional

7.4. Kesimpulan

Peranan stakeholders menjadi salah satu kunci dalam

pemberantasan IL di Indonesia. Praktek IL sulit diberantas karena melibatkan jaringan yang luas dan dipengaruhi oleh sektor-sektor lainnya di luar kehutanan, sehingga pemberantasan IL akan efektif dijalankan apabila stakeholders baik aparat hukum, aparat instansi/lembaga

pemerintah dan pemerintah daerah, kelompok masyarakat dan lembaga masyarakat, serta lembaga internasional mampu bersinergis sesuai dengan peranan dan kewenangan yang dimiliki masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua stakeholders memiliki pendapat yang sama bahwa praktek IL berdampak buruk terhadap lingkungan, ekonomi, sosial, dan kredibilitas pemerintah. Namun kesamaan pendapat tersebut belum menjadi jaminan bahwa kegiatan pemberantasan IL akan efektif diberantas. Masih adanya perbedaan kepentingan terhadap sumberdaya hutan dari sisi ekonomi dan ekologis menjadi kendala membangun kebersamaan stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia. Relasi antar aparat penegak hukum dalam pemberantasan IL di Indonesia adalah baik, sedangkan relasi antar stakeholders diluar aparat penegak hukum berada pada tingkat cukup baik dan kurang. Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan IL bagi sebagian instansi/lembaga belum dianggap sebagai musuh bersama

(common enemy), sehingga curahan perhatian dan keterlibatannya masih

relatif kecil. Oleh karena itu langkah awal dalam merumuskan kembali strategi pemberantasan IL di Indonesia adalah dengan menjadikan praktek IL sebagai musuh bersama yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dokumen terkait