• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek Illegal logging (IL) atau pembalakan liar yang terjadi di semua kawasan hutan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) merupakan salahsatu kejahatan di sektor kehutanan (forest crime) yang berdampak negatif terhadap penurunan kualitas ekosistem hutan, investasi pengusahaan hutan berkelanjutan, kemiskinan masyarakat sekitar hutan, tata kelola pemerintahan, dan efisiensi ekonomi sumberdaya alam. Kerusakan hutan akibat IL juga memicu konflik antara manusia dengan hewan hutan, misalnya dimangsanya enam orang pembalak liar oleh harimau (Panthera tigris sumatrae) di Provinsi Jambi selama bulan Februari 2009. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir luas penutupan hutan di Indonesia berkurang sekitar 25-40% atau seluas 40- 60 juta ha dan salahsatu penyebabnya adalah praktek IL (Kemenkopolhukam,2006). Laju dehutanisasi di Indonesia dalam periode antara tahun 1997-2000 mencapai 2,83 juta/tahun dengan kerugian negara mencapai Rp 30,4 trilyun (Poernama, 2006).

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan IL telah lama dilakukan melalui sejumlah kebijakan dan pembentukan beberapa task force penanganan Illegal logging sampai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu Ilegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun upaya itu belum cukup efektif menjawab persoalan di lapangan karena kegiatan

Illegal logging masih marak terjadi dan modusnya pun semakin

berkembang.

Pemberantasan IL yang dilakukan belum memberikan efek jera (detterent effect) terhadap pelaku IL dan jaringannya walaupun dampak kerugian akibat IL terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup tampak secara signifikan. Banyak kasus IL di Indonesia yang dituntut pada akhirnya divonis bebas murni di pengadilan. Sebagai contoh lima belas kasus IL di Papua dan Papua Barat pada tahun 2005 yang dituntut jaksa dengan tuntutan antara dua tahun sampai dengan tujuh tahun dengan tuntutan denda antara Rp 100 juta sampai dengan Rp.1 milyar divonis

bebas murni oleh pengadilan. Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9 tahun dengan kisaran denda antara satu juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah. Rentang variasi vonis terhadap pelaku IL yang lebar menunjukkan bahwa masih adanya perbedaan persepsi hukum diantara aparat hukum dalam menegakkan aturan hukum pemberantasan IL di Indonesia. Dalam proses penegakan hukum IL di Indonesia masih menemui beberapa hambatan, yaitu :

a. Luasnya kawasan hutan di Indonesia yang mencapai lebih dari 100 juta ha menyulitkan pengawasan dilakukan secara intensif. Sementara itu kegiatan penyidikan IL membutuhkan dukungan dana yang relatif besar untuk mendukung operasional di lapangan;

b. Masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan banyak mengandalkan mata pencahariannya pada kegiatan penebangan kayu baik secara legal dan ilegal, sehingga dalam beberapa kasus penanganan IL berjalan tidak efektif karena tidak didukung oleh masyarakat setempat yang terlibat;

c. Adanya perbedaan diantara komponen criminal justice system (polisi, jaksa, dan hakim) dalam menginterpretasikan pasal-pasal di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan IL. Akibat dari adanya perbedaan persepsi dan interpretasi tersebut menyebabkan banyak kasus IL yang divonis bebas serta memerlukan waktu yang lama untuk menuntaskannya. Selain itu di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut sanksi pidana tidak dapat menjerat pelaku intelektual karena ketentuan turut serta dalam tindakan pidana kehutanan belum diatur, sehingga menyulitkan penuntasan kasus IL sampai ke otak pelakunya. Pengungkapan secara tuntas juga terkendali dengan rapihnya jaringan pelaku IL dalam sistem organisasi sel, dimana diantara pelaku IL secara hirarki terputus;

d. Dukungan pengadilan terhadap pemberantasan tindak pidana kehutanan, khususnya IL masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pelaku IL yang tertangkap di tingkat pengadilan divonis bebas atau divonis dengan hukuman yang sangat ringan. Oleh karena itu komitmen pengadilan sebagai lembaga yudikatif yang memutus perkara tindak pidana di tingkat akhir harus ditingkatkan; Apabila sistem penegakan hukum saat ini dianggap tidak mampu berjalan secara efektif dalam memberantas praktek IL yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan oknum aparat pemerintah dan penegak hukum, maka usulan untuk membentuk undang-undang khusus pemberantasan IL harus dipertimbangkan termasuk kemungkinan pembentukan majelis hakim ad hoc yang secara khusus menangani kejahatan dan pelanggaran tindak pidana kehutanan. Kasus IL umumnya terjadi di wilayah yang masih memiliki potensi kayu yang berasal dari hutan alam yang didukung oleh ketersediaan jaringan jalan darat dan sungai. Potensi kayu dan ketersediaan akses jalan keluar masuk kawasan adalah dua faktor penting dalam menentukan target sumber kayu yang akan ditebang secara ilegal. Adanya akses jalan ini menjadi pertimbangan penting karena pelaku IL sangat jarang membangun jalan angkutan, tetapi banyak memanfaatkan jalur angkutan yang telah ada, baik jalan darat atau sungai.

Praktek IL dalam kenyataannya terkait dengan kegiatan-kegiatan lainnya di luar pengelolaan hutan. Dalam hal ini, kegiatan IL tidak bisa dipisahkan dari kegiatan perdagangan kayu ilegal, sehingga permasalahan IL secara menyeluruh akan menyangkut tindak pidana ekonomi termasuk di dalamnya tindak pidana ekonomi pencucian uang. Perangkat peraturan perundang-undangan yang ada apabila benar-benar ditegakkan akan memberikan efek jera (detterent effect) terhadap pelaku IL, termasuk pejabat pemerintah yang terlibat di dalamnya. Pengembangan upaya pemberantasan IL sampai diluar peraturan teknis kehutanan disebabkan bahwa praktek IL terkait dengan kegiatan di sektor lainnya, seperti perdagangan, perindustrian, dan lembaga keuangan.

Kolusi di dalam praktek IL dilakukan dengan memberikan gratifikasi kepada oknum pejabat pemerintah dengan dokumen legalitas kayu dan oknum aparat hukum. Kishor (2006) menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2002 menduduki peringkat ketujuh negara terkorup dari 102 negara dengan skor IPK 1,9 dari nilai tertinggi 10 untuk negara yang bebas korupsi. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan IL tidak akan efektif apabila tingkat korupsi dan kolusi masih tetap tinggi. Walaupun aturan hukumnya telah cukup tersedia, tetapi tidak akan efektif dijalankan apabila sisi penegakan hukum (law enforcement) dan penaatan hukum (law compliance) tidak berjalan. Pada saat penegakan hukum pemberantasan IL dilakukan, maka persepsi dan interpretasi diantara aparat hukum yang disebut criminal justice system belum sepenuhnya sama terhadap pasal-pasal yang akan digunakan untuk memvonis pelaku IL. Praktek kolusi dan korupsi berperan pula dalam mereduksi penaatan hukum, dimana setiap pelanggaran hukum dapat dikompromikan dengan memberikan gratifikasi kepada oknum pejabat terkait.

Upaya pemberantasan IL di Indonesia terkait pula dengan keberadaan instansi pemerintah dalam mensikapi permasalahan IL ini. Keberadaan institusi penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan dianggap penting dalam kegiatan pemberantasan IL di Indonesia. Departemen Kehutanan sebagai instansi teknis yang diberikan tugas mengurus hutan di Indonesia dianggap paling berkompeten dalam menyelesaikan IL di Indonesia. Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) merupakan instansi yang dipandang responden mampu melakukan koordinasi dalam pemberantasan IL di Indonesia, selain tentunya terkait dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 yang menunjuk Kementerian Polhukam sebagai koordinator dalam percepatan pemberantasan IL di Indonesia.

Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki peranan penting dalam memonitor dan mengawasi lalu lintas barang, baik ekspor-impor dan perdagangan antar pulau.

Departemen Dalam Negeri dalam pemberantasan IL di Indonesia terkait dengan kewenangannya untuk mengevaluasi kebijakan daerah, berupa keputusan kepala daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) dan peraturan daerah yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan di atasnya. Peranan instansi lainnya adalah Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian yang memiliki kewenangan dalam pengaturan arus perdagangan barang dan kegiatan produksi.

Bupati dan Gubernur sebagai kepala daerah dapat memberikan kontribusi besar terhadap efektifnya pemberantasan IL di daerahnya bersama-sama dengan masyarakat, LSM, dunia usaha, dan legislatif. Keberadaan eksekutif dan legislatif di tingkat lapangan dapat berkontribusi positif terhadap pemberantasan IL di wilayahnya atau sebaliknya membiarkan kegiatan IL berjalan sebagai sumber pendapatannya walaupun ilegal dan melanggar hukum. Kerumitan pemberantasan IL di tingkat lokal akan meningkat apabila kepala daerah dalam proses pemilihannya melibatkan pengusaha dan masyakat pelaku IL sebagai tim pendukungnya.

Luasnya rentang kegiatan IL di Indonesia menunjukkan bahwa pemberantasan IL bukanlah tugas dari sektor kehutanan saja, tetapi dipengaruhi oleh faktor di luar sektor tersebut. Oleh karena itu upaya peningkatan koordinasi dan sinkronisasi diantara lembaga/instansi harus dilakukan yang dimulai dengan membangun kesamaan persepsi dan interpretasi terhadap IL dan berbagai upaya pemberantasannya. Belum samanya interpretasi diantara stakeholders terhadap IL menjadi kendala untuk memberantas IL di Indonesia secara efektif dan memberikan efek jera terhadap pelakunya. Hubungan diantara aparat penegak hukum dalam pemberantasan IL cukup baik. Hubungan yang cukup baik juga terjadi antara aparat penegak hukum dengan instansi yang secara teknis mengurus pengelolaan hutan, dan instansi yang mengkoordinasikan penangananan IL di Indonesia. Tingkat hubungan yang kurang/lemah terjadi antara instansi teknis kehutanan dan lingkungan dengan daerah. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan dalam pengelolaan

hutan. Daerah banyak yang masih melihat hutan sebagai sumberdaya alam bernilai ekonomi yang dapat memberikan masukan pendapatan daerah. Kondisi ini cenderung bagi daerah yang dalam tahap proses pembangunan ekonomi.

Pemerintah bersama dengan lembaga legislatif sebenarnya dapat merumuskan dan menerapkan kebijakan yang paling efektif untuk menimbulkan dampak jera bagi pelaku IL. Pemerintah dengan kewenangannya selain menerapkan kebijakan hukum pemberantasan IL, juga dapat menetapkan kebijakan lainnya untuk mempersempit ruang gerak pelaku IL, misalnya: (a) menetapkan kebijakan penggunaan bahan baku industri berbasis hasil hutan harus berasal dari sumber yang sah dan legal; (b) menetapkan kriteria legalitas kayu; (c) menetapkan kebijakan pengelolaan hutan yang bebas korupsi dan kolusi; (d) memberikan insentif kepada pelaku dunia usaha kehutanan yang mampu mengelola hutannya dengan berkelanjutan; (e) meningkatkan kerjasama dengan dunia internasional dalam pemberantasan IL, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan kayu internasional, baik berupa kerjasama bilateral maupun multilateral.

Uraian yang disampaikan sebelumnya menunjukkan bahwa praktek IL di Indonesia masih tetap berlangsung sepanjang potensi kayu masih ada untuk memenuhi permintaan pasar walaupun dilakukan secara ilegal. Praktek IL di Indonesia terjadi di hampir semua kawasan hutan, termasuk hutan lindung dan hutan konservasi yang secara hukum dilarang untuk diambil kayunya. Sebenarnya peraturan perundang-undangan untuk mencegah dan memberantas praktek IL di Indonesia cukup memadai untuk memberantasa IL, tetapi penegakkan hukum selama ini tidak berjalan maksimal dan tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. Dalam kaitan penegakan hukum di Indonesia Rahardjo (2009)3 menyebutkan bahwa hukum bukan hanya teks, tetapi di baliknya menyimpan kekuatan sebagaimana pendapat Paul Scholten ”het is in de wet, maar het moet

nog gevonden worden” (ia sudah ada dalam undang-undang, tetapi masih

3

harus ditemukan/dimunculkan). Penegakan hukum merupakan usaha (effort) untuk memunculkan kekuatan/ kemampuan hukum. Hukum akan menjadi lebih bergigi jika penegak hukum berani menyelam lebih dalam, menemukan kekuatan hukum terpendam itu. Ini membutuhkan keberanian, energi, imajinasi, dan kreativitas (Rahardjo, 2009). Oleh karena itu terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia, maka aparat penegak hukum harus mampu mengintegrasikan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan IL, antara yang bersifat lex specialis dengan lex generalis mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai dengan pemberian vonis. Penegakan hukum IL di Indonesia seharusnya tidak hanya dipandang dari aspek tekstual sebagaimana termaktub dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi penegak hukum harus pula memahami konstektual dari dampak negatif kegiatan IL yang terjadi terhadap kehidupan masyarakat berikut kelestarian lingkungannya. Pemahaman kontekstual yang lebih mendalam tersebut merupakan motivasi untuk memunculkan kekuatan hukum dalam pemberantasan IL di Indonesia.

Tentunya penegakan hukum tidak akan berjalan maksimal tanpa dukungan penuh dari stakeholders lainnya, terutama masyarakat. Peningkatan koordinasi kelembagaan antar stakeholders sesuai dengan peranan, tugas dan fungsi pokok dari masing-masing lembaga/instansi sangat diperlukan. Akibat ketidakpaduan antar lembaga/instansi yang tidak maksimal, maka praktek IL di Indonesia sejauh ini tidak menjadi musuh bersama (common enemy) padahal dampak negatifnya terhadap kehidupan masyarakat dan kelestarian lingkungan sangat nyata.

X.REKOMENDASI KEBIJAKAN

Dokumen terkait