BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi Mikroba Selulotik Pada Media Carboxyl Methyl Cellulose
Isolat fungi Trichoderma spp dan bakteri yang diseleksi, diisolasi dari risos-fer tanaman lada sehat di Bangka, Lampung, Sukabumi dan Bogorsebanyak 132 isolat fungi Trichoderma spp dan 708 isolat bakteri (Bintoro et al., 2009). Semua isolat tersebut telah diuji daya antagonisnya terhadap P.capsici PCSTL2 dengan moteda penanaman berpasangan di dalam cawan petri dengan media PDA, CMA, dan agar V8. Penghambatan pertumbuhan P.capsici PCSTL2 oleh isolat Tricho-derma spp dan bakteri berkisar antara 70-80%. Berdasarkan hasil seleksi mikros-kopik diperoleh39isolatTrichoderma sppdan 22 isolat bakteri.
Isolat-isolat bakteri dan fungi Trichoderma spp yang dipilih memiliki daya antagonis tinggi, kemudian diuji kemampuannya merombak selulosa secara in- vitro menggunakan media agar carboxyl methyl cellulose (CMC). Visualisasi akti-vitas enzim selulase pada media CMC adalah terbentuknya zona bening koloni fungi Trichoderma spp atau bakteriselulotik (Gambar 2). Kisaran rasio zona bening dari 34 isolat fungi Trichoderma spp adalah berkisar antara 0,30-5,30 (Tabel 1). Enam isolat fungi Trichoderma spp yang digunakan untuk uji pada pengomposan adalah isolat PO3, S1, N34, IU, Pb13 dan SKM dengan kisaran rasio zona bening antara 3,00-5,30.
Kisaran zona bening isolat bakteri selulotik yang diuji berkisar antara 1,0-5,44. Enam isolat yang digunakan untuk diuji sebagai inokulan pada proses pengomposan yaitu St109, Sk7, Cm58, Sk14, Sk10 dan St81 dengan kisaran aktivitas selulase antara 2,4-5,44 (Tabel 2).
Lemos et al., (2003) menyatakan bahwa kemampuan mikroba selulotik merombak selulosa dipengaruhi oleh enzim selulase yang dapat menghidrolisis se-lulosa menjadi gula terlarut yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon dan nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Ada tiga enzim selulase yang ber-peran dalam hidrolisis selulosa yaitu 1) endo-β-1,4-glukanase, 2) ekso-β- 1,4-glukanase dan 3) enzim β-1,4-glukosidase.
Tabel 1. Aktivitas enzim selulase kualitatif dari fungi Trichoderma spp pada media CMC.
No. Kode Isolat Koloni (mm) Zona bening (mm) Rasio 1 18 9,0 22,5 2,5 2 W 4 20,0 33,0 1,6 3 OA 9 7,5 7,5 1,0 4 Skap 5,0 14,0 2,8 5 F 4 5,0 13,0 2,6 6 PO 3 5,0 19,5 3,9 7 D0 13,5 22,5 1,6 8 I 4 9,0 21,5 2,3 9 Zz 2 24,0 28,0 1,17 10 RR 9 13,0 38,0 2,9 11 R 4 7,0 15,0 2,1 12 GO 9 14,5 24,0 1,6 13 EE 1 8,0 22,0 2,7 14 PB 34 6,5 18,5 2,8 15 N 34 9,5 35,0 3,6 16 IU 6,0 22,0 3,6 17 PB 18 5,5 15,5 2,8 18 SS 2 6,0 15,0 2,5 19 R 9 13,0 38,0 2,9 20 LBC 4 5,0 1,5 0,3 21 M 22 32,0 45,0 1,4 22 M 24 22,0 35,0 1,5 23 PB 19 17,5 23,5 1,3 24 PC 5 12,0 30,0 2,5 25 LBC 5 5,5 14,0 2,5 26 N 22 14,0 27,5 1,9 27 IB 1 5,0 13,5 2,7 28 R 8 20,0 37,0 1,8 29 TSM 7,0 19,2 2,7 30 SKM 6,5 26,0 4,0 31 YOY 5,0 13,5 2,7 32 S 1 5,0 26,5 5,3 33 R 2 17,5 42,5 2,5 34 PB 13 6,0 25,0 4,1
25
Tabel 2. Aktivitas enzim selulase kualitatif dari bakteri selulotik pada media CMC
No. Kode Isolat koloni (mm) Zona bening (mm) Rasio 1 St 77 6,0 10 1,6 2 St 107 15 30 2,0 3 St 109 9,0 49 5,4 4 St 125 9,0 9,0 1,0 5 St 124 3,0 7,0 2,3 6 St 116 4,0 6,0 1,5 7 St 19 3,0 7,0 2,3 8 St 81 1,5 4,0 2,6 9 St 156 1,5 2,5 1,6 10 OG 1 4,0 7,5 1,8 11 SK 19 4,0 6,0 1,5 12 SK 18 2,0 3,0 1,5 13 Sk 2 1,5 2,5 1,6 14 SK 1 2,0 2,5 1,2 15 Sk 10 3,0 8,5 2,8 16 Sk 7 2,5 6,0 2,4 17 SK 5 4,0 6,0 1,5 18 Sk 14 5,0 2,5 4,9 19 Cm 49 1,5 2,5 1,6 20 Cm 8 4,0 8,0 2,0 21 Cm 55 3,0 6,0 2,0 22 Cm 58 2,0 7,0 3,5
Gambar 2.Pengujian aktivitas selulase dari bakteri selulotik dan fungi
Trichoderma spp pada media CMC.
(zona bening sebagai visualisasi dari aktivitas enzim selulase).
Trichoderma spp Bakteri selulotik
Kemampuan membentuk zona bening pada substrat amorf seperti CMC menunjukkan adanya enzim endo-β-1,4 glukanase yang dapat memutuskan ikatan
β-1,4 glikosida pada serat selulosa (Enari 1983) dan banyaknya daerah amorf pada substrat tersebut menyebabkan CMC dapat dihidrolisis lebih efisien. Tingginya aktivitas enzim tersebut ditandai dengan tingginya rasio diameter zona bening ter-hadap diameter koloni isolat yang ditumbuhkan pada media agar sebagai sumber karbon CMC.
PengomposanAgeratum conyzoides var hirtum (Lam), Tithonia diversifolia
(Hamsley) A. Gray dan Ampas Sagu
PengomposanA.conyzoides var hirtum (Lam), T.diversifolia(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu menggunakan dekomposer Trichoderma spp dan bakteri terpilih. Proses pengomposan bahan kompos dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar3. Proses Pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lam),
T.diversifolia(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu
Kecepatan proses pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lam), T.diversifolia
(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu diamati berdasarkan lama waktu (hari) yang dibutuhkan masing-masing bahan kompos mencapai suhu stabil (lingkungan), nis-bah C/N, pH, kadar karbon dan N-total, hara P, K dan Fe.
27
Suhu
Menurut Miller (1991), suhu merupakan penentu dalam aktivitas pengom-posan, sebab itu pengontrolan suhu penting dilakukan untuk mengoptimumkan pengmposan bahan kompos, juga untuk mematikan mikro-organisme patogen dan benih gulma. Selama proses pengomposan terjadiperubahan suhu dan terde-komposisinya bahan kompos. Hasil pengamatan perubahan suhu pengomposanse-lama 21 hari disajikan pada Tabel 3.
Pada Tabel 3, selama proses pengomposan terjadi perubahan suhu yang ber-beda pada semua formula bahan kompos. Peningkatan suhu pada semua formula kompos terjadi pada minggu pertama dan kedua dengan kisaran suhu 40 -50 ⁰C. Pengomposan formula bahan kompos menggunakan inokulan mencapai suhu pun-cak berkisar40-46 ⁰C terjadi pada minggu kedua sedangkan tanpa inokulan, suhu puncak terjadi minggu pertama {Formula A (pukan+A.conyzoides var hirtum
(Lam) dan formula B (pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)} dan minggu kedua {Formula C (pukan+ampas sagu), formula D (pukan+ A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu) dan formula E {pukan+ T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu} dengan kisaran suhu 41-50⁰C. Perbedaan waktu dan kisa-ran suhu tersebut masih termasuk batas tolekisa-ransi karena menurut Erwiyono (1994), peningkatan suhu pengomposan akan dicapai pada minggu pertama dan kedua tergantung sifat bahan yang dikomposkan. Peningkatan suhu bahan kompos menunjukkan terjadinya proses pengomposan dan mencerminkan adanya aktivitas mikroorganisme (Summers et al, 2003). Terjadinya peningkaan suhu pada awal pengomposan disebabkan tersedianya gula sederhana, pati dan protein yang digu-nakan mikrooragnisme untuk aktivitas metabolismenya. Akibat metabolisme ter-sebut mikroorganisme akan melepas sejumlah energi dalam bentuk panas menye-babkan suhu bahan kompos meningkat.
Berdasarkan Tabel 3, suhu tiap kompos mengalami tiga tahap proses peng-komposan yaitu tahap pertama tahap penghangatan (tahap mesofilik), mikroor-ganisme hadir dalam bahan kompos menyebabkan suhu meningkat. Mikroor-ganisme tersebut bertugas memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Tahap
kedua yaitu tahap termofilik, mikroorganisme termofilik yang hidup pada suhu 45-50⁰C hadir dalam tumpukan bahan kompos dan bertugas mengkonsumsi kar-bohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat. Aktivitas mikroorganisme mendekomposisi bahan kompos mulai lambat dan men-capai suhu stabil setelah melalui suhu puncak. Tahap ketiga yaitu tahap pendi-nginan dan pematangan.
Tabel 3. Rata-rata suhu harian (⁰C ) proses pengomposan formula kompos. Hari
ke-
Rata-rata suhu pengomposan
A B C D E F G H I J K 1 33 36 35 34 34 38 33 36 34 33 36 2 36 41 42 40 36 39 34 38 34 34 38 3 39 43 43 42 38 43 38 40 35 39 39 4 41 43 45 42 38 43 40 40 36 37 39 5 39 39 46 41 37 42 40 42 36 36 39 6 38 39 46 40 38 42 40 42 36 35 39 7 38 39 47 40 38 40 40 41 40 35 39 8 38 38 48 40 39 43 43 42 40 36 39 9 35 34 46 42 40 43 44 43 40 39 42 10 35 35 50 42 42 43 46 44 41 40 42 11 35 35 48 43 42 46 45 45 41 40 42 12 34 33 43 44 42 45 42 45 41 40 42 13 33 34 45 43 41 43 40 44 38 38 38 14 33 33 43 43 40 38 39 38 38 36 38 15 33 33 43 43 40 38 38 39 37 37 39 16 33 33 42 40 40 36 37 37 35 37 35 17 32 31 40 40 38 36 37 36 35 34 35 18 31 32 38 39 37 35 35 34 33 32 35 19 31 31 36 38 37 34 34 32 33 32 34 20 30 30 33 35 37 34 34 32 32 32 34 21 30 30 33 35 36 34 34 32 31 31 32
Ket : A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley)
A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu,
E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoidesvar
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma sp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas
sagu+Trichoderma sp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas
sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma sp
+bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma sp
29
Proses pengomposan secara aerob sebagai berikut:
Bahan organik + O2 ---> H2O + CO2 + hara + humus + energi
Mengacu pada CPIS (1992), suhu 40-60⁰C merupakan suhu aktif bagi mik-roorganisme, bila suhu turun di bawah 40⁰C terjadi proses pematangan kompos. Pada pengomposan formula kompos tanpa inokulan yaitu formula C {pukan+ampas sagu}, formula D {pukan+ A.conyzoides var Hirtum (Lam)+ampas sagu} dan formula E {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu}, penu-runan suhu dibawah 40⁰C terjadi pada hari ke-17 dan 18sedangkan pengom-posan menggunakan kombinasi inokulan bakteri selulotik dan Trichoderma spp yaitu formulaJ{pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma
spp+bakteri} dan formula K{pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri}terjadi pada hari ke-13 lebih cepat dibanding pengomposan menggunakan inokulan tunggal Trichoderma spp atau bakteri selulotik (hari ke-14 dan 15). Walaupun masa pengomposan menggunakan inokulantunggal Trichoderma sppataubakteri selulotik lebih lama dibanding kombinasinya namun masih lebih cepat dibanding formula kompos tanpa inokulan.Pematangan formula kompos J dan K lebih cepat disebabkan menggunakan kombinasi inokulan, hal tersebut sesuai dengan pendapat Saraswati
et al., (2006) bahwa keberhasilan proses dekomposisi atau pengomposan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme. Proses dekomposisi secara alami tidak dilakukan oleh satu mikroorganisme mono-kultur tetapi dilakukan oleh konsorsia mikroorganisme.
Formula A {pukan + A. conyzoides varhirtum (Lam)}dan B{pukan +T.diversifoliaHamsley A Gray)} mengalami pematangan kompos lebih cepat di-banding formula lainnya karena komposisi bahan kompos yang lebih sedikit (tanpa ampas sagu) dan C/N rasio bahan yang rendah sehingga lebih mudahdide-komposisi. Pengomposan formulaC {pupuk kandang+ampas sagu} mencapai suhu tertinggi 50⁰C pada hari ke-10.Nurisamunandar (1999) melaporkan bahwa pengomposan limbah ampas sagu dengan tanpa diberi aktivator sekalipun suhu kompos tetap meningkat. Hal tersebut diduga karena tumpukan ampas sagu yang
terlalu padat dan sirkulasi udara selama pengomposan yang relatif sedikit menye-babkan bahan kompos menjadi lebih panas.
Selama proses pengomposan, suhu maksimal formula bahan kompos yang diberi dekomposer berkisar40-46⁰C, disebabkan karena selama pengomposan curah hujaun tinggi sehingga mepengaruhi kelembaban, difusi oksigen ke dalam kompos, suhu di luar kompos rendah yang merupakan faktor pembatas dalam proses pengomposan. Berdasarkan kisaran suhu tersebut, mikroba dekomposer
Trichoderma spp dan bakteri yang digunakan termasuk tipe mesofil beda dengan hasil penelitian Rawiniwati (1998) menggunakan Trichoderma virideuntuk peng-komposan jerami, sekam dan residu jagung suhu puncak mencapai 50⁰C.
Pembalikan bahan kompos dilakukan dengan tujuan untuk mengatur aerasi sehingga mengoptimalkan penguraian pada timbunan kompos karena tersedianya cukup oksigen.
Rasio C/N
Rasio C/N merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat kema-tangan kompos. Kompos yang telah matang memiliki C/N rasio 10-20, pada kon-disi tersebut diperkirakan tidak terjadi proses immobilisasi N oleh mikroorga-nisme yang menyebabkan ketersediaan N bagi tanaman berkurang. Hasil penga-matan perubahan C/N rasio selama pengomposan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. menunjukkan kecenderungan penurunan C/N rasio pada formula kompos A hingga I pada minggu ketigaberkisar dari 14-20dan kisaran C/N rasio tersebutsesuai dengan kriteria SNI 19-7030-2004.Pada formula kompos J {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri} dan formula K {pukan+ T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu+ Tricho-derma spp+bakteri}nilaiC/Nrasionya 21, namun menurut Suriadikarta dan Setyorini (2006), nilai C/N rasio tersebut masih memenuhi standar minimal per-syaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25. Terjadinya penurunan C/N rasio terse-but disebabkan adanya peranan mikroba dekomposer yang diinokulasikan pada awal pengomposan. Kompos matang dengan kisaran rasio C/N yang memenuhi
31
SNI 19-7030-2004 dan standar minimal persyaratan teknis pupuk organik menun-jukkan bahwa kompos telah termineralisasi dan nitrogen yang tersedia siap di-manfaatkan tanaman.
Tabel 4. Perubahan C/N rasio formula kompos selama pengomposan. Formula kompos Waktu dekomposisi (minggu)
1 2 3 A 13 24 14 B 13 16 15 C 15 25 18 D 18 20 20 E 21 22 19 F 16 25 20 G 15 25 19 H 13 24 20 I 23 22 18 J 24 27 21 K 23 22 21
Ket: A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley)
A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu,
E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoides var
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas
sagu+Trichoderma spp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas
sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma
spp+bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma
spp+bakteri.
Nilai pH
Perubahan nilai pH juga menunjukkan adanya aktivitas pengomposan. Peru-bahan pH selama proses pengomposan disajikan pada Tabel 5. Pada Tabel 5 me-nunjukkan bahwa pH semua formula kompos selama pengomposan meningkat. Hal tersebut sesuai dengan penyataan Rajbanshi et al.,(1998)dan Lei dan Fei (2002) yang melaporkan bahwa selama pengomposan akan terjadi peningkatan pH bahan kompos hingga suasana alkalin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisa-ran pH selama pengomposan adalah7,86-8,64, kondisi pH alkalin tersebut
ber-dampak baik dalam proses pengomposan karena menurutHeerden et al., (2002)bahwa suasana kompos alkalin akan memudahkan pecahnya ikatan lignin-selulosa oleh enzim yang diproduksi mikroba selulotik.
Tabel 5. Perubahan pH formula kompos selama proses pengomposan.
Formula kompos Waktu dekomposisi (minggu)
1 2 3 A 7,48 7,73 7,86 B 7,52 7,86 7,99 C 8,82 7,62 8,58 D 7,97 8,44 8,4 E 8,07 8,52 8,32 F 7,79 8,39 8,42 G 7,98 8,51 8,64 H 7,29 8,62 8,45 I 8,13 8,16 8,51 J 6,04 8,17 8,28 K 8,19 8,67 8,43
Ket: A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley)
A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu,
E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoides var
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma sp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas
sagu+Trichoderma sp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas
sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma sp
+bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma sp
+bakteri.
Pada formula C {pukan+ampas sagu}, terjadi penurunan pH pada awal pe-ngomposan kemudian pada minggu kedua pH naik hingga alkalin sedangkan for-mula lainnya terjadi peningkatan pH pada awal pengomposan. Terjadinya pening-katan pH disebabkan meningkatnya suhu bahan kompos > 40°C dan perubahan asam-asam organik sederhana yang terbentuk diubah lebih lannjut menjadi CO2. Dalzell et al., (1987) menyebutkan bahwa peningkatan pH juga dapat terjadi kare-na terombaknya protein bahan kompos sehingga amoniak dibebaskan dan menye-babkan nilai pH meningkatsedangkan penurunan pH disemenye-babkan oleh proses nitrifikasi atau produksi asam-asam organik yang meningkat.
33
Kadar C-Organik dan N-Total
Selama proses pengomposan, mikroorganisme membutuhkan karbon se-bagai sumber energiuntuk membangun sel tubuhnya dan sebagian lagi dilepas ke udara dalam bentuk CO2 akibatnya kandungan karbon organik dalam kompos akan mengalami penurunan. Pola penurunan kadar karbon mencerminkan aktivi-tas mikroorganisme selama proses pengomposan, dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6menunjukkan perbedaan profil penurunan C-organik formula kompos selama pengomposan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Goyal et al., (2005)yang melaporkan bahwa penurunan kandungan karbon selama pengompo-san berbeda-beda dan umumnya penurunan kandungan karbon dalam jumlah ba-nyak terjadi pada awal pengomposan. Formula yang menunjukkan penurunkan kandungan karbon lebih banyak adalah formula E {pukan+T.diversifolia
(Hamsley) A.Gray)+ampas sagu}, formula I {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+bakteri} dan formulaJ {pukan+A.conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri}, sedangkan formula B {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray}, formula H {pukan+T.diversifolia
(Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp} dan formula K {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri} menunjukkan pe-nurunan dekomposisi karbon lambat. Pada formula A {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam}, formula C {pukan+ampas sagu} dan formula F {pukan+ A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma
spp} menunjukkan aktivitas yang tidak stabil artinya pada awal pengomposan terjadi peningkatan C-organik kemudian perlahan-lahan mengalami penurunan hingga akhir pengompo-san.
Perbedaan dalam perubahan kandungan C-organik berhubungan dengan komposisi kimia penyusun dinding sel tumbuhan. Adanya senyawa karbon yang sukar dipecah seperti lignin pada bahan kompos akan memperlambat proses pe-rombakan karbon. Seperti pada formula B, H dan K, proses pepe-rombakan karbon lambat karena pada komposisi formula tersebut menggunakan T.diversifolia
(Hamsley) A. Gray yang secara fisik bentuk batangnya lebih keras artinya memi-liki kandungan lignin tinggi.
Tabel 6. Perubahan C-organik (%) formula kompos selama pengomposan.
Formula kompos Waktu dekomposisi (minggu)
1 2 3 A 27,54 34,7 24,03 B 28,64 29,96 26,39 C 32,73 36,23 26,87 D 29,64 28 23,98 E 34,08 30,14 29,73 F 26,27 34,57 28,2 G 27,62 29,06 29,27 H 29,88 27,18 28,98 I 33,31 31,02 28,1 J 41,78 29,14 28,38 K 32,58 29,69 30,36
Ket: A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley)
A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu,
E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoides var
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas
sagu+Trichoderma spp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas
sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma
spp+bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma spp
+bakteri.
Formula J merupakan formula dengan perombakan karbon lebih banyak dibanding perlakuan lainnya yaitu 41,78% menjadi 28,38%, diduga disebabkan pada formula tersebut menggunakan kombinasi inokulanTrichoderma spp dan bakteri selulotik sehingga tingkat aktivitas mikrobanya juga meningkat dalam merombak karbon yang bersumber dari A.conyzoides var hirtum (Lam.) yang komposisi lig-ninnya lebih sedikit dibanding T.diversifolia (Hamsley) A. Gray. Selama proses pengomposan, kehilangan nitrogen bahan kompos dapat terjadi melalui peng-uapan amoniak (NH3) namun relatif kecil dan ada kecenderungan selama pengom-posan persentase Nitrogen-total bahan kompos mengalami
35
peningkatan. Pola pe-rubahan kadar N-total masing-masing formula kompos selama penelitian disaji-kan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perubahan N-total (%) formula kompos selama pengomposan.
Formula kompos Waktudekomposisi (minggu)
1 2 3 A 2,15 1,45 1,66 B 2,26 1,9 1,75 C 2,19 1,44 1,45 D 1,62 1,4 1,23 E 1,59 1,39 1,56 F 1,64 1,36 1,41 G 1,83 1,15 1,56 H 2,28 1,12 1,46 I 1,48 1,42 1,57 J 1,76 1,06 1,38 K 1,44 1,34 1,48
Ket: A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley)
A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu,
E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoides var
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma sp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas
sagu+Trichoderma sp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas
sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma sp
+bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma sp
+bakteri.
Pada Tabel 7 nampak nilai N-total formula bahan kompos selama peng-komposan bervariasi, hal tersebut digambarkan pada formula kompos I {pu-kan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu+bakteri}dan formula K {pu-kan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu+Trichoderma spp+bak-teri}, kandungan N-total meningkat hingga akhir pengomposan masingmasing se-besar 1,57% dan 1,48% sedangkan pada formulaB{pukan+T.diversifolia (Ham-sley) A.Gray} dan formula D {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu}terjadi penurunan N-total hingga akhir pengomposan. Pada formula kompos A {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)},formula C {pukan+ampas sagu},
formula E {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu}, formula F {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp},for-mula G {pukan+pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+bakteri},formula H {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu+Trichoderma spp} dan formula J {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+am-pas sagu+Trichoderma
spp+bakteri}, pada awal pengomposan terjadi penu-runan N-total namun meningkat hingga akhir pengomposan.
Menurut Goyal et al., (2005), penurunan kadar N-total pada tahap awal tergantung tipe bahan dan C/N rasio yang akan dikomposkan. Sanchez-Monedero
et al., (2001) menyatakan bahwa pengomposan dengan susbtrat yang memiliki C/N rendah menghasilkan N yang mudah dilepas dibanding bahan organik dengan nisbah C/N tinggi. Selain itu, penurunan kandungan N dapat disebabkan oleh im-mobilisasi N maupun volatilisasi yang dipengaruhi oleh kelembaban atau aerasi selama pengomposan.
Kondisi Fisik
Pengamatan kondisi fisik seperti struktur dan warna kompos dilakukan secara visual dengan mengamati perubahan sejak awal pengomposan hingga akhir pengomposan (minggu ke-3).Kondisi fisik A. conyzoides var hirtum
(Lamb),T.diversifolia (Hamsley) A. Gray dan ampas sagu selama pengomposan menun-jukkan perubahan bentuk dan warna.Kondisi struktur bahan kompos pada semua formula kompos menunjukkan struktur yang remah kecuali pupuk kandang yang masih nampak utuh.Perubahan warna pada formula kompos tanpa inokulan, pada awal pengomposan berwarna coklat muda kehitaman kemudian menjadi coklat kehitaman pada akhir pengomposan sedangkan pada formula bahan kom-pos yang diberi inokulum menunjukkan perubahan warna yang lebih cepat yaitu coklat kehitaman.Hal tersebut sesuai dengan pendapat Murbandono (2000) yang me-ngatakan bahwa substrat yang ditambahkan mikroba dalam proses pengom-posan akan lebih cepat matang sehingga akan mencapai warna kematangan lebih cepat pula. Kematangan kompos dikatakan tercapai bila war-nanya telah menjadi coklat kehitaman.
37
Perubahan warna menjadi lebih hitam disebabkan oleh terbentuknya nyawa humik pada proses pengomposan. Stevenson (1994) menyatakan bahwa se-nyawa polifenol yang dihasilkan pada proses pengomposan sese-nyawa lignoselulo-sa menjadi kuinon dan selanjutnya bereaksi dengan senyawa amino membentuk asam fulvik yang berwarna gelap (hitam). Perubahan warna pada semua formula kompos menjadi coklat kehitaman berhubungan dengan perubahan bentuk bahanyang lebih remah dan hancur.Kompos yang berwarna kehitaman mengandung se-nyawa-senyawa humus seperti asam humik, asam fulvik dan hematomelanik yang lebih banyak.
Kandungan Hara Kompos
Hasil analisis kimia formula kompos yang dipanen pada minggu ketiga me-nunjukkan adanyavariasi terhadap kandungan hara kompos meliputi kandungan karbon (C), nitrogen (N),fosfor (P), kalium (K) dan besi (Fe) disajikan pada Tabel 8. Data hasil analisis kompos matang menunjukkan bahwa kandungan hara perlakuan kompos yang diberikan aktivator berbeda dengan perlakuan tanpa beri aktivator. Berdasarkan Tabel 8, kandungan N,P,K dan Fe kompos berada di-atas rentang minimum dan memenuhi kriteria SNI 19-7030-2004 dan standar mi-nimal persyaratan teknis pupuk organik.
Formula B {pukan+T. diversifolia (Hamsley) A. Gray}menunjukkan kan-dungan hara N,K lebih tinggi masing-masing 1,75% dan 2,3% dibanding formula tanpa inokula lainnya (Formula A,C, D dan E).Pada formula kompos yang diper-kaya dengan inokulum yaituformula kompos I {pukan+ampassagu+T.diversifolia
(Hamsley) A. Gray+bakteri} memiliki kandungan unsur N, P tertinggi masing-masing 1,57% dan 1,58% sedangkan unsur K tertinggi pada formula F {pukan+ampas sagu+A.conyzoides var hirtum (Lamb) +Trichodermaspp}. Tingginya hara N, P dan K kompos disebabkan karena kandungan bahan organik yang dikomposkan yaitu T. diversifolia (Hamsley) A. Gray, A.conyzoides var
hirtum (Lam) dan pupuk kotoran kambing yang cukup tinggi yaitu masing-masing 3,59% N; 0,34% P; dan 2,29% K; 6,66% N; 0,17% P dan 2,03% K; 1,15%
N, 0,47% P dan 1,46% K walaupun dalam proses pengomposan unsur N mengala-mi penurunan dan unsur P,K juga mengalamengala-mi fluktuasi.
Tabel 8.Analisis C,N,P,K dan Fe pada kompos yang dipanen pada minggu ketiga.
Perlakuan C (%) N (%) P K Fe (%) (%) (ppm) A Pukan + AC 24,03 1,66 1,1 1,95 562 B Pukan + TD 26,39 1,75 1,44 2,3 690 C Pukan + AS 26,87 1,45 0,46 1,98 756 D Pukan + AS + AC 23,98 1,23 0,12 1,26 1393 E Pukan + AS + TD 29,73 1,56 0,29 1,24 757 F Pukan + AS + AC + Trichoderma sp 28,2 1,41 0,51 1,58 1099 G Pukan + AS + AC + bakteri 29,27 1,56 1,57 1,52 863 H Pukan + AS + TD + Trichoderma sp 28,98 1,46 0,81 1,19 1342 I Pukan + AS + TD + bakteri 28,1 1,57 1,58 1,15 785 J Pukan + AS + AC + Trichoderma sp + bakteri 28,38 1,38 1,58 0,96 1148 K Pukan + AS + TD + Trichodermasp + bakteri 30,36 1,48 1,35 1,56 1096
Standar SNI Min: 9 ,8 0,4 0,1 0,2
Max: 32 2 0000
Suriadikarta dan Setyorini (2006) ≥ 12 <5 <5 4000
Sumber: Data primer hasil analisis
Keterangan: AC: A.conyzoides var Hitum (Lam), AS: Ampas sagu, TD: T.diversifolia
(Hamsley) A. Gray, pukan: pupuk kandang kotoran kambing.
Nutrisi Fe adalah unsur esensial bagi kelangsungan hidup semua mikroorga- nisme,digunakan untuk memproduksi senyawa siderofor yang mampu mengkhe-lat Fe dalam kondisi tanah yang kekurangan Fe, mengakibatkan terhambatnya per-tumbuhan patogen karena tidak tersedianya Fe bagi patogen (Jagadeesh et al., 2001).Perubahan kandungan hara dalam kompos menandakan bahwa selama pe-ngomposan telah terjadi proses mineralisasi unsur-unsur, sehingga hara tersebut menjadi terlepas dan tersedia bagi tanaman. Unsur hara juga dapat menurun dise-babkan oleh adanya proses penguapan atau terlarut dalam air selama pengom-posan. Selain itu, kondisi iklim juga dapat mempengaruhi perubahan kandungan unsur hara kompos.
39
Berdasarkan hasil pengomposan, disimpulkan bahwa pemanfaatan mikroba
Trichoderma spp dan bakteri selulotik mampu mempercepat pengomposan bahan kompos 12 sampai 15 hari dibanding tanpa inokulan (17 sampai 18 hari), nilai C/N rasiosemua formula memenuhi standar minimal persyaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25dengan kondisi fisik kompos remah dan berwarna coklat kehitaman. Kandungan hara formula B (pukan + T.diversifolia (Hamsley) A. Graymenunjukkan kandungan hara N, P, K lebih tinggi masing-masing 1,75%; 1,44%; dan 2,3% se-dangkan pada formula kompos yang menggunakan inokulum kandungan N dan P tertinggi pada formula I {pukan + ampas sagu+ T.diversifolia