• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Teknis pada Potensi Operasional Mesin

Pengujian teknis pada potensi operasional mesin yang dilakukan pada mesin Dong Feng ZS 1100 terbagi menjadi dua bagian, yaitu saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar CNG+solar (dual fuel). Pengujian yang dilakukan meliputi beberapa aspek, diantaranya adalah outputdaya dan konsumsi solar. Pengujian dilakukan pada berbagai putaran mesin, yaitu 1100 rpm, 1400 rpm, 1500 rpm, 1600 rpm, dan 1800 rpm.

Hasil pengukuran output daya pada seluruh putaran mesin yang diuji disajikan dalam Gambar 13. Gambar ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan output daya yang didapatkan pada mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar solar + CNG (dual fuel).

Gambar 13 Sebaran nilai output daya mesin saat menggunakan single fuel dan dual fuel

Gambar 13 menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar yang berbeda akan menyebabkan adanya perubahan output daya. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui adanya perbedaan output daya yang didapatkan pada mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan single fuel dan dual fuel. Output daya yang dihasilkan saat menggunakan single fuel lebih besar jika dibandingkan dengan saat menggunakan dual fuel. Mesin saat dijalankan pada putaran 1500 rpm mendapatkan daya sebesar 7,51 Hp saat menggunakan single fuel, dan sebesar 5,50 Hp saat menggunakan dual fuel. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh BBPPI (2010) bahwa didapatkan perbedaan output daya saat mesin kapal nelayan di Pasuruan menggunakan bahan bakar yang berbeda,

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 1000 1200 1400 1600 1800 2000 D a y a m e si n ( H P ) Putaran mesin (rpm)

dimana output daya yang didapatkan lebih besar saat mesin menggunakan single fuel. Berdasarkan simulasi, pengurangan daya yang terjadi saat menggunakan

dual fuel menyebabkan kecepatan kapal berkurang sebesar 0,32 knots. Saat kapal menggunakan single fuel, kapal berjalan dengan kecepatan 6,92 knots, dan saat kapal menggunakan dual fuel kapal berjalan dengan kecepatan 6,60 knots.

Terdapat suatu hal yang cukup unik, CNG dikenal sebagai bahan bakar dengan octane number yang tinggi sehingga seharusnya cocok pada mesin dengan kompresi tinggi dan dapat meningkatkan daya mesin. Selain itu, berdasarkan hasil percobaan terdapat kenaikan putaran mesin di putaran stasioner saat menggunakan

dual fuel. Berdasarkan rumus perhitungan daya (7 x area of piston x equivalent piston speed/33.000) (Wikipedia.org/horsepower), seharusnya daya akan bertambah bila putaran mesin bertambah. Hasil pengujian menunjukkan fakta yang berbeda, terlihat bahwa terjadi penurunan daya saat menggunakan dual fuel. Merujuk pada Ganesan (1999), dijelaskan bahwa CNG memiliki octane number

yang besar sehingga dapat digunakan pada mesin dengan kompresi tinggi. Kekurangan yang ada pada CNG adalah massa jenis yang rendah sehingga menghasilkan performa mesin yang kurang baik. Merujuk pada laman

www.eere.energy.gov/afdc/altfuel/natural_gas.html, dijelaskan bahwa pemakaian

CNG akan menyebabkan mesin mengalami gejala ngelitik (knocking)saat mendapat beban yang tinggi. Hal ini menjelaskan mengapa pada putaran diatas 1600 Rpm saat menggunakan dual fuel daya mesin akan berkurang, sedangkan saat menggunakan single fuel daya akan terus meningkat dan mencapai puncaknya pada putaran 2096 rpm.

Merujuk pada Semin et al. (2012), dinyatakan bahwa perubahan rasio kompresi akan berpengaruh pada performa mesin diesel. Mesin diesel umumnya memiliki rasio kompresi 20:1 hingga 26:1, sedangkan CNG dengan RON 130 cocok dengan mesin dengan rasio kompresi 16:1. Simulasi yang dilakukan oleh Semin et al. (2012) dengan menggunakan perangkat lunak GT Power

menghasilkan bahwa diperlukan penurunan kompresi hingga 19:1 untuk menghasilkan daya maksimal karena jika rasio kompresi diatas 19:1 akan terjadi

knocking (ngelitik) sehingga daya mesin akan berkurang.

Hasil pengukuran konsumsi solar disajikan dalam Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsumsi solar pada mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar solar+CNG (dual fuel) selama satu jam.

Gambar 14 Sebaran nilai konsumsi solar saat menggunakan single fuel dan dual fuel

Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada konsumsi solar di mesin diesel Dong Feng ZS1100 saat menggunakan single fuel

dan dual fuel selama satu jam. Gambar 14 memperlihatkan bahwa sejak putaran 1100 rpm hingga 1800 rpm, konsumsi solar terpaut cukup jauh. Gambar ini pun memperlihatkan bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka perbedaan konsumsi solar akan semakin jauh.

Analisis konsumsi solar dilakukan pada putaran service continous rating, yaitu 1500 rpm. Hasil analisis menunjukkan perbedaan konsumsi solar yang cukup jauh antara penggunaan single fuel dan dual fuel pada mesin Dong Feng ZS 1100, yaitu 1.030 cm3/h saat menggunakan dual fuel dan 2.038,30 cm3/h saat menggunakan single fuel. Merujuk pada Prasetio et al. (2013), dinyatakan bahwa dengan adanya campuran CNG pada sistem bahan bakar, konsumsi solar akan berkurang secara signifikan hingga diatas 50 %. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan data penelitian ini, yaitu konsumsi solar terkurangi sebesar 50,52 %

Aspek Ekonomis pada Potensi Operasional Mesin

Pengujian pada aspek ekonomis yang dilakukan pada mesin Dong Feng ZS 1100 terbagi menjadi dua bagian, yaitu saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar CNG+solar (dual fuel). Aspek ekonomis pada potensi operasional mesin yang diuji adalah harga total konsumsi bahan bakar. Pengujian dilakukan pada berbagai putaran mesin, yaitu 1100 rpm, 1400 rpm, 1500 rpm, 1600 rpm, dan 1800 rpm.

Gambar 15 menggambarkan jumlah total biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan konsumsi bahan bakar. Diagram dalam gambar 15 memperlihatkan bahwa pada putaran 1100 rpm hingga 1400 rpm, selisih biaya total saat menggunakan dual fuel dibandingkan saat menggunakan single fuel

hampir setara. 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 1000 1200 1400 1600 1800 2000 kon su m si so la r (cm 3/h) Putaran mesin (rpm)

Gambar 15 Sebaran harga total konsumsi bahan bakar saat menggunakan single fuel dan dual fuel

Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan bahan bakar dual fuel akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi solar dan harga total penggunaan bahan bakar. Gambar 15 menunjukkan bahwa pada putaran 1100 rpm hingga 1400 rpm, selisih biaya total yang dikeluarkan untuk konsumsi bahan bakar setara antara menggunakan dual fuel dan single fuel. Gambar 15 memiliki karakteristik yang sama dengan Gambar 14. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka konsumsi solar antara mesin single fuel dan mesin dual fuel akan semakin jauh. Perhitungan yang dilakukan pada putaran 1500 rpm menunjukkan bahwa terdapat penghematan sebesar Rp 1.370,83 untuk setiap jam pemakaian mesin.

Berdasarkan hasil kajian peneliti, perbedaan harga CNG dan solar hanya terpaut Rp 1.700 per liter. Harga solar adalah Rp 4.500 per liter dan harga CNG adalah Rp 3.800 per Kg. Perbedaan harga yang tidak terlalu jauh menyebabkan penghematan yang didapat tidak terlalu besar. Penghematan yang signifikan akan didapatkan bila selisih harga solar dan CNG sebesar Rp 4.700, yaitu harga solar sebesar Rp 8.500 per liter dan harga CNG sebesar Rp 3.800 per Kg. Tabel 26 menggambarkan penghematan yang akan didapatkan pada setiap tingkatan harga solar saat mesin dijalankan selama satu jam.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 1000 1200 1400 1600 1800 2000 h a rg a t ot a l b a h a n b a ka r (R p ) Putaran mesin (rpm)

Tabel 26 Penghematan biaya bahan bakar per satu jam pemakaian mesin Harga solar (Rp) harga single fuel (Rp)

harga dual fuel (Rp) Penghematan (Rp) 4.500 9.172,50 7.801,67 1.370,83 5.000 5.500 6.000 6.500 7.000 7.500 8.000 8.500 9.000 10.191,67 11.210,83 12.230,00 13.249,17 14.268,33 15.287,50 16.306,67 17.325,83 18.345,00 8.317,00 8.832,00 9.346,67 9.861,67 10.376,67 10.891,67 11.406,67 11.921,67 12.436,67 1.874,67 2.378,83 2.883,33 3.387,50 3.891,66 4.395,83 4.900,00 5.404,16 5.908,33

Merujuk pada Prasetio et al. (2013), dinyatakan bahwa pemakaian dual fuel

yang setara dengan 10 liter solar akan memberikan penghematan hingga Rp 16.500. Perhitungan yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bila harga solar sebesar Rp 6.500 per liter dan harga CNG sebesar Rp 3.800 per kg, maka pemakaian dual fuel yang setara dengan 10 liter solar akan memberikan penghematan sebesar Rp 16.568 pada penggunaan mesin dengan putaran 1.500 rpm. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian bahan bakar dual fuel terbukti dapat mengurangi pengeluaran biaya bahan bakar sehingga akan mengurangi biaya operasional. Penghematan yang signifikan akan sangat dirasakan oleh nelayan jika selisih harga solar dan CNG minimal Rp 4.700, yaitu harga solar sebesar Rp 8.500 per liter dan harga CNG Rp 3.800 per kg.

Analisis Multi Kriteria pada Potensi Operasional Mesin

Berdasarkan pengujian pada mesin Dong Feng ZS 1100 saat menggunakan bahan bakar solar (single fuel) dan bahan bakar CNG+solar (dual fuel), didapatkan beberapa hasil yang terdiri atas outputdaya; konsumsi solar; dan harga total konsumsi bahan bakar.

Pengujian dilakukan pada berbagai putaran mesin, yaitu 1100 rpm hingga 1800 rpm. Nilai hasil yang akan dianalisis adalah pada putaran 1500 rpm sebagai

service continous rating yang digunakan oleh nelayan saat operasi penangkapan ikan. Nilai-nilai ini akan diberi skor dan bobot sesuai dengan hasil yang didapatkan.

Matriks sebanding berpasang akan digunakan dalam menentukan bobot yang akan diberikan pada setiap variabel, sedangkan penentuan skor akan mengacu pada rumusan yang telah dijelaskan dalam metode penelitian. Penentuan bobot akan disajikan dalam Tabel 27.

Tabel 27 Perhitungan bobot pada potensi operasional mesin Variabel Daya Konsumsi BB Harga Total BB Matriks Dinormalisasi VP Daya 1 0,20 0,13 0,08 0,05 0,09 0,07 Konsumsi BB 5 1 0,33 0,38 0,24 0,23 0,28 Harga total BB 7 3 1 0,54 0,71 0,69 0,65 Jumlah 15 4,20 1,46 1 1 1 1

Hasil pengujian yang telah dianalisis dengan mengggunakan metode multi criteria analysis akan disajikan dalam Tabel 28 dan Tabel 29.

Tabel 28 Multi criteria analysis potensi operasional mesin pada penggunaan

single fuel Kriteria Teknis dan

Ekonomis

Solar Skor Bobot Jumlah

Daya saat menggunakan solar (HP) 7,51 2 0,07 0,14 Konsumsi solar (cm3/h) 2.038,30 2 0,28 0,56 Harga konsumsi solar (Rp) 9.172,50 2 0,65 1,30 Jumlah 2

Tabel 29 Multi criteria analysis potensi operasional mesin pada penggunaan dual fuel

Kriteria Teknis dan Ekonomis Dual Fuel Skor Bobot Jumlah Daya menggunakan dual fuel (HP) 5,50 1 0,07 0,07 Konsumsi solar (cm3/h) 1.030 5 0,28 1,42 Harga konsumsi solar+CNG (Rp) 7.801,67 3 0,65 1,94 Jumlah 3,43 Tabel 28 dan Tabel 29 memperlihatkan bahwa saat menggunakan dual fuel, konsumsi solar dan harga total konsumsi bahan bakar lebih unggul dibandingkan saat menggunakan single fuel. Keunggulan penggunaan single fuel

ada pada variabel daya yang dihasilkan, yaitu 23 % lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan dual fuel.

Keunggulan dual fuel terdapat pada konsumsi solar dan harga total konsumsi bahan bakar masing–masing sebesar 50,52 % dan 17,5 % jika dibandingkan dengan penggunaan single fuel. Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan bahwa pada potensi operasional mesin, penggunaan dual fuel pada mesin Dongfeng ZS1100 lebih unggul dengan perbandingan nilai sebesar 3.43 dan 2 dari nilai maksimal sebesar 7.

Aspek Teknis pada Potensi Stabilitas Kapal

Menurut Hind (1967), stabilitas kapal adalah kemampuan kapal untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami gaya tarik dari luar maupun dari dalam kapal yang menyebabkan kapal miring. Salah satu tipe dari stabilitas kapal adalah stabilitas statis, yaitu kecenderungan kapal kembali ke posisi semula setelah kapal cenderung dimiringkan pada saat kapal dalam keadaan diam. Pengujian stabilitas statis dikenal dengan nama Inclining Experiment. Pengujian ini adalah investigasi stabilitas untuk semua kapal baru dengan ukuran diatas 24 m untuk menentukan LCG, VCG, TCG, dan KG kapal. Ujian pertama bagi stabilitas kapal adalah saat kapal pertama kali diluncurkan ke dalam air. Kapal dengan stabilitas buruk akan lambat kembali ke posisi semula setelah diluncurkan ke dalam air. Kapal dengan stabilitas yang sangat buruk akan tenggelam (capsized) saat diluncurkan ke dalam air. Ujian kedua bagi stabilitas kapal adalah saat dilakukannya sea trial, terutama saat uji manuver. Kapal dengan kualitas stabilitas yang buruk akan sangat membahayakan dan penuh dengan resiko. Stabilitas kapal memiliki kaitan yang erat dengan keselamatan dan menjadi faktor yang sangat penting dalam desain sebuah kapal.

Kapal yang diuji pada penelitian ini adalah kapal nelayan dengan dimensi utama dan coeffcient of fineness sebagai berikut:

Kapal ini dimodifikasi hingga memiliki tiga desain general arrangement. Desain ke-1 menggunakan bahan bakar dual fuel dengan penempatan CNG dibawah geladak dan dalam tempat tertutup (confined area). Desain ke-2 menggunakan bahan bakar single fuel dengan penambahan bahan bakar cadangan sebanyak 48 kg, sedangkan desain ke-3 menggunakan bahan bakar dual fuel

dengan penempatan CNG kit diatas geladak.

Panjang (L) : 11,88 m Lebar (B) : 2,5 m Tinggi geladak (H) : 1 m Tinggi sarat (T) : 0,75 m Koefisien blok (Cb) : 0,51 Koefisien midship (Cm) : 0,6 Koefisien waterplane(Cw) : 0,75

Hal yang membedakan antara desain ke-1 dan desain ke-2 adalah penggunaan single fuel. Penggunaan single fuel menjadikan ruang CNG kit dapat dikonversi menjadi fish hold sehingga ikan yang ditangkap 200 kg lebih banyak dibandingkan desain ke-1. Hal yang membedakan antara desain ke-1 dan desain ke-3 adalah peletakan tabung CNG. Tabung CNG pada desain ke-1 diletakkan di bawah geladak dan sejajar mesin utama, sedangkan pada desain ke-3, tabung CNG diletakkan di atas geladak sehingga ruang muat yang dimiliki oleh desain ke-3 mampu memuat ikan 200 kg lebih banyak jika dibandingkan dengan desain ke-1.

Perbedaan desain general arrangement akan menyebabkan terjadinya perbedaan titik berat pada setiap desain. Titik berat adalah titik tangkap/titik pusat dari semua resultante gaya-gaya yang bekerja di atas kapal. Titik berat terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Titik berat secara memanjang (horizontal);

Titik berat ini dikenal dengan sebutan Longitudinal Center Gravity (LCG), yaitu titik pusat dari resultante gaya-gaya yang bekerja pada bagian buritan kapal hingga bagian haluan kapal secara memanjang. Titik ini dihitung berdasarkan jaraknya dari titik Afterpeak (AP)

2. Titik berat secara meninggi (vertikal); dan

Titik berat ini dikenal dengan sebutan Vertical Center Gravity (VCG), yaitu titik pusat dari resultante gaya-gaya yang bekerja mulai dari titik baseline kapal hingga bagian superstructure kapal. Titik ini dihitung berdasarkan jaraknya dari titik baseline.

3. Titik berat secara melebar (transversal).

Titik berat ini dikenal dengan sebutan Transversal Center Gravity (TCG), yaitu titik pusat dari resultante gaya-gaya yang bekerja pada bagian kiri dan kanan kapal. Titik ini dihitung berdasarkan jaraknya dari titik center line.

Ketiga titik berat ini diilustrasikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Ilustrasi LCG-VCG-TCG

Titik berat adalah salah satu bagian yang mempengaruhi kualitas stabilitas suatu kapal. Pada suatu benda yang mengapung diam di permukaan air, terdapat dua gaya utama yang sama besar dan bekerja berlawanan arah pada sumbu vertikal, yaitu gaya berat G (Center of Gravity) dan gaya apung B (Center of Buoyancy). Lester (1985) menyatakan bahwa terdapat 3 titik yang memegang peranan penting dalam peninjauan stabilitas suatu kapal yaitu titik G, B dan M. Kok (1983), menyatakan bahwa

“...titik berat G (Center of gravity) adalah titik resultan gaya berat seluruh bagian kapal termasuk semua isi yang berada didalamnya yang menekan ke bawah; titik apung B (Bouyancy) adalah titik berat geometris bagian kapal yang terbenam dalam air yang menekan ke atas, dan titik M (Metacenter) adalah tinggi sudut inklinasi dari lunas kapal serta titik pusat garis yang bekerja gaya apung dan gaya berat. Gaya-gaya yang menyebabkan terjadinya stabilitas adalah gaya berat G yang besarnya sama dengan pemindahan air D (displacement), dan gaya apung yang bekerja pada B yang sama juga besarnya dengan pemindahan air D (displacement) seperti dikemukakan dalam hukum Archimedes: “Sebuah benda yang seluruhnya atau sebagian tercelup di dalam suatu fluida akan diapungkan ke atas dengan sebuah gaya yang sama dengan berat fluida yang di-pindahkan oleh benda tersebut...”. Titik berat pada ketiga desain general arrangement dihitung dengan menggunakan software microsoft excel. Hasil perhitungan pada ketiga desain akan dibandingkan dan disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Perbandingan titik berat pada tiga desain general arrangement

Objek Berat total

(ton) LCG (m) VCG (m) TCG (m) Desain ke-1 4,81 5,19 0,71 0,00 Desain ke-2 5,07 5,05 0,69 0,00 Desain ke-3 5,10 5,04 0,70 0,00

Tabel 30 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan berat total dari setiap desain general arrangement. Desain ke-1 memiliki berat total paling kecil karena CNG kit diletakkan di bawah geladak sehingga ruang yang dipakai untuk peletakan CNG akan mengurangi kapasitas ruang muat, walaupun jika ditinjau dari Vertical Centre Gravity hal ini akan mengurangi tinggi titik berat. Desain ke-2 dan desain ke-3 memiliki kapasitas ruang muat yang sama sehingga selisih berat total yang ada tidak terlalu signifikan.

Desain ke-3 sedikit lebih berat karena berat CNG kit melebihi berat 60 liter solar yang merupakan bahan bakar cadangan. Longitudinal Centre Gravity (LCG) pada Desain ke-2 dan desain ke-3 hampir tidak berbeda, sedangkan pada desain ke-1 berbeda sebanyak 15 cm. Desain ke-1 memiliki LCG yang berbeda karena peletakan CNG kit di bawah geladak menjadikan ruang muat semakin maju sehingga titik berat berpindah ke depan. Vertical Centre Gravity (VCG) pada ketiga desain hampir tidak berbeda.

Hal ini cukup unik mengingat bahwa ketiga desain ini memiliki perbedaan dalam instalasi sistem bahan bakar. Desain ke-1 dengan peletakan CNG kit sejajar berada pada posisi mesin diperkirakan memiliki VCG jauh dibawah Desain ke-2 yang peletakan solar cadangannya diatas geladak serta desain ke-3 yang peletakan CNG kit nya diatas geladak. Hal ini tidak terjadi disebabkan oleh berat CNG kit

maupun solar cadangan hanya sekitar 1,6 % dari berat total, sehingga tidak signifikan terhadap perubahan VCG. Hal yang berbeda terjadi pada LCG, berat ikan yang dapat diangkut berkurang hingga 3,9 % dari berat total sehingga lebih berpengaruh pada LCG.

Transversal Centre Gravity (TCG) pada setiap desain sama, yaitu 0.0 atau terletak pada center line. Hal ini dikarenakan dalam menyusun komponen-komponen di dalam kapal selalu diupayakan agar beban di sebelah kiri dan sebelah kanan selalu seimbang. Ketidakseimbangan peletakan komponen akan menyebabkan stabilitas kapal berkurang.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi stabilitas kapal diantaranya adalah posisi relatif titik M terhadap titik G. Hardjanto (2010), menyatakan bahwa titik M adalah titik yang tingginya tidak boleh dilebihi oleh titik G agar kapal tetap dalam kondisi stabilitas positif, sedangkan GM adalah jarak tegak antara titik G dengan titik M. GM yang terlalu kecil akan menyebabkan periode rolling kapal lambat, sedangkan GM yang terlalu besar akan membuat periode rolling kapal cepat dan tersentak-sentak.

Muckle (1978) menyatakan mengenai posisi relatif titik M terhadap G sebagai berikut :

“...Apabila titik G berada di bawah titik M maka momen penegak (Righting moment,

RM=Δ.GZ, sedangkan GZ=GM Sin θ) bernilai positif karena lengan penegak (GZ) bernilai

positif. Momen penegak ini sanggup mengembalikan kapal ke posisi tegak semula. Stabilitas yang demikian disebut stabilitas positif (stabil). Apabila titik G dan M berimpit, maka momen penegak (RM) akan sama dengan nol karena tidak terbentuk lengan penegak (GZ=0) sehingga RM=0. Ini berarti apabila kapal sengat (olengan cepat) maka kapal tersebut akan tetap sengat sebab tidak ada lengan penegak. Stabilitas yang demikian disebut stabilitas netral. Apabila titik G berada di atas titik M maka momen penegak (Righting moment, RM) bernilai negatif karena lengan GZ bernilai negatif. Momen penegak ini tidak mampu mengembalikan kapal ke posisi tegak semula, malah membantu memiringkan kapal dan kemungkinan kapal terbalik.

Stabilitas yang demikian disebut stabilitas negatif (labil)....”

Gambar 17 Tipe – tipe stabilitas (Hardjanto, 2010)

Dua prinsip pokok dalam perhitungan stabilitas adalah prinsip kenyamanan dan prinsip keselamatan. Kenyamanan kapal sangat tergantung pada nilai GMT, jika terlalu rendah maka sudut olengan kapal akan besar sehingga periode olengan pun akan relatif besar. Nilai GMT akan kecil bahkan negatif bila peletakan muatan terkonsentrasi diatas permukaan geladak. Bila nilai GMT terlalu besar maka sudut olengan kapal akan terlalu kecil sehingga periode olengan kapal kecil namun menyentak – nyentak (Hardjanto, 2010). Keselamatan kapal sangat dipengaruhi oleh nilai GZ. Besar kecilnya nilai GZ menentukan keselamatan kapal, karena momen penegak atau momen static stability memiliki rumus W x GZ. W adalah volume displacement dan GZ adalah lengan penegak. GZ merupakan ukuran kemampuan kapal untuk kembali tegak setelah kapal mengalami kemiringan akibat pengaruh dari gaya–gaya eksternal (Hardjanto, 2010).

Terdapat enam kriteria yang akan diukur pada penilaian stabilitas kapal. Enam kriteria tersebut adalah luas area 30° pada kurva stabilitas, luas area 0°-40° pada kurva stabilitas, luas area 30°-0°-40° pada kurva stabilitas, nilai maksimal GZ, sudut pada nilai maksimal GZ, dan panjang GM. Enam kriteria ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva yang bernama curves of static stability (kurva stabilitas statis). Semua kriteria tersebut telah diatur oleh International Maritime Organization. Gambar 18 menggambarkan kriteria-kriteria tersebut.

Gambar 18 Kriteria stabilitas oleh IMO Sumber: Hind, 1967

Keterangan :

A : Luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 30º tidak boleh kurang dari 3,15 meter degree;

B : Luas area di bawah kurva stabilitas statis sampai sudut oleng 40º tidak boleh kurang dari 5,16 meter degree;

C : Luas area antara sudut oleng 30º sampai 40º tidak boleh kurang dari 1,72 meter degree, dimana ruangan di atas dek akan tenggelam dengan sudut keolengan tersebut.

D : Nilai maksimum righting lever (GZ) sebaiknya dicapai pada sudut tidak kurang dari 30º serta bernilai minimum 0,20 meter;

E : Sudut maksimum stabilitas sebaiknya lebih dari 25º; dan F : Nilai initial GM tidak boleh kurang dari 0,35 meter

Luas area 0°-30° adalah luas dari area dibawah kurva stabilitas statis pada sudut 0°-30°. Susanto (2010) menyatakan bahwa luas area di bawah kurva 0°-30°, kurva 0°-40°, dan kurva 30°-40° menggambarkan kemampuan kapal untuk menyerap energi yang diberikan oleh angin, gelombang, dan gaya eksternal lainnya. Luas area 0°-30° dianggap sebagai area yang mewakili saat nilai GZ cukup besar dan momen penegak telah bekerja dengan optimal. Area 0°-15° adalah initial stability (stabilitas awal), dimana pada fase ini hal yang berpengaruh

Dokumen terkait