• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amed merupakan salah satu kawasan wisata bahari di Timur Pulau Bali. Secara administrasi Amed merupakan nama sebuah dusun di Desa Purwakerthi, kecamatan Abang – Karangasem Bali. Tahun 1980an Amed berkembang menjadi daerah tujuan wisata bahari. Hal tersebut dikarenakan keanekaragaman hayati laut yang tinggi di Amed. Hasil kajian singkat yang dilakukan Conservation International Indonesia di seluruh Pulau Bali pada tahun 2011 menyebutkan bahwa Amed memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Terdapat ±200 spesies ikan karang di Amed, dengan jumlah spesies ikan karang total di pulau Bali sebesar 248 spesies. Rata-rata kekayaan karang per lokasi di seluruh pulau Bali adalah 112 spesies; dengan lokasi tertinggi di Amed yaitu 181 spesies ditemukan di Jemeluk. Dengan demikian, terumbu karang menopang sektor perikanan dan pariwisata di Amed.

Puncak kunjungan wisatawan di Amed berlangsung pada bulan Juni hingga Agustus. Mayoritas wisatawan berasal dari Eropa, namun demikian banyak pula wisatawan Asia khususnya wisatawan Jepang. Wisatawan umumnya datang menikmati keindahan bawah laut Amed dengan menyelam atau bersnorkeling, serta banyak diantara mereka yang menginap di luar kawasan juga.

Seperti daerah pesisir lainnya, masyarakat Amed banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Sebagian merupakan nelayan tidak tetap karena tidak selalu melaut. Setelah menangkap ikan mereka mengantarkan tamu berwisata disekitar kawasan dengan jukung. Bahkan, ada pula diantaranya yang bekerja menjadi buruh di rumah makan ketika tidak sedang melaut. Nelayan yang mengantarkan tamu dengan menggunakan jukung beroperasi sesuai dengan giliran yang telah diatur oleh kelompok. Dengan dibantu oleh pemandu lokal, wisatawan biasanya melakukan aktivitas penyelaman, snorkeling, memancing ataupun sekedar berlayar dengan perahu lokal di sekitar perairan Amed. Selain perahu milik nelayan setempat, juga terdapat perahu dan boat dari tempat lain yang datang ke Amed untuk membawa wisatawan menyelam.

Perekonomian masyarakat didukung oleh pertanian, ternak dan perikanan, serta industri pariwisata, terutama wisata snorkeling dan menyelam. Menurut RCFI (2010) terdapat setidaknya 20 perusahaan penyedia jasa selam yang beroperasi di wilayah Amed, jumlah ini belum termasuk perusahaan yang berbasis di kota lain di pulau Bali, misalnya Denpasar dan Padangbai, yang menjadikan Amed sebagai salah satu tujuan wisata menyelam dan snorkeling. Terdapat sekitar 50 hotel/penginapan pada tahun 2010 yang mendukung industri wisata tersebut dan berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 2012 terdapat peningkatan di tahun 2012 menjadi 99 hotel/penginapan.

Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2013, Amed dikunjungi sebanyak 9.920 wisatawan mancanegara, yang meningkat signifikan dari tahun 2012 (3.180 wisatawan mancanegara). Nilai penting terumbu karang di Amed bertambah dengan adanya lebih-dari 90% pekerja industri pariwisata merupakan masyarakat lokal Amed dan sekitarnya (RCFI 2010). Di sisi lain, munculnya beberapa tekanan pada terumbu karang akan secara langsung maupun tidak langsung juga mengancam mata pencaharian masyarakat setempat.

Terancamnya mata pencaharian masyarakat selanjutnya akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Amed dan sekitarnya.

Kejadian Pemutihan Karang tahun 2010 di Amed

Pemutihan karang atau yang dikenal juga dengan sebutan coral bleaching

ini merupakan suatu respon visual yang sangat mencolok dan sering dikaitkan dengan naiknya suhu permukaan laut serta gangguan dari lingkungan terhadap terumbu karang (Obura 2005). Pemutihan karang disebabkan berbagai macam factor, diantaranya perubahan suhu, penyinaran matahari berlebihan, infeksi bakteri, tekanan lingkungan seperti sedimentasi (Fitt et al. 2001). Pemutihan karang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai dampak dari meningkatnya suhu permukaan air laut. Dalam hal pemutihan karang massal yang melibatkan banyak jenis karang dan areal luas, maka kenaikan suhu air laut merupakan factor penyebab stress utama (Hoehg-Guldberg 1999). Douglas (2003) mendefinisikan pemutihan karang dengan hilangnya warna, yang disebabkan karena hilangnya sebagian hingga keseluruhan populasi Symbiodinium. Lebih lanjut dalam skala luas, pemutihan karang telah menjadi faktor yang mengancam dan telah merusak perekonomian di berbagai negara berkembang dan mata pencahariannya.

Gambar 6 Suhu Permukaan Laut Bali pada 1 Januari 2010-31 Desember 2011 (Coral Reef Watch 2013)

Kejadian pemutihan karang pada tahun 2010 telah diprediksi oleh data satelit SST NOAA melalui adanya peningkatan potensi terjadinya pemutihan pada pertengahan tahun 2010 (Gambar 6). Data hasil rekaman satelit NOAA tersebut menunjukkan bahwa suhu permukaan air laut di Bali pada bulan Maret-April mengalami peningkatan hingga melewati ambang batas karang di Bali yaitu 30.70 °C, dengan kondisi stabil pada suhu tersebut selama ±2 bulan. Data tersebut menunjukkan karang mengalami pemanasan atau berada di perairan dengan suhu

di atas ambang batas normal selama ±2 bulan. Hal ini yang menjadi akar permasalahan pemutihan karang massal di Bali. Pemutihan karang tertinggi di Bali ditemukan di Amed (Lipah) >50% (RCFI 2012). Diperjelas oleh McClanahann et al. (2009) bahwa peningkatan suhu sebesar 1 °C dalam kurun waktu lebih dari empat minggu akan mengakibatkan stress pada terumbu karang. Jika pemanasan tersebut berlangsung lebih lama, karang akan mengalami kematian.

Karakteristik Terumbu Karang

Berdasarkan formasi terumbu karang; terumbu tepi (fringing reefs), terumbu penghalang (barrier reefs), dan terumbu cincin (atol), maka tipe terumbu karang di lokasi penelitian tergolong tipe terumbu karang tepi (fringing reefs). Tipe terumbu karang tepi pada lokasi penelitian terletak tidak lebih dari 500 m dari garis pantai. Jarak dengan garis pantai membuat terumbu karang dipengaruhi langsung oleh kejadian di darat, baik aktifitas manusia maupun kejadian alam.

Pengamatan kondisi perairan pada survei RCFI tahun 2010-2011 menunjukkan kondisi perairan di Amed baik untuk ekosistem terumbu karang. Parameter yang dilihat adalah tingkat kecerahan, sedimentasi, masukan nutrien (polusi). Perairan di Amed memiliki tingkat kecerahan yang tinggi, dengan jarak pandang di kolom perairan mencapai 15 m, tidak ditemukan sedimentasi yang tinggi. Pendataan juga dilakukan pada COT dan penyakit karang, namun tidak ditemukan. Selain itu, terjadi peningkatan suhu perairan menjadi 30.70 °C dalam kurun waktu yang cukup lama. Dengan demikian dapat dipastikan pemutihan karang 2010 dikarenakan peningkatan suhu permukaan laut. Oliver et al. (2004) menambahkan, bahwa dalam hal pemutihan karang massal yang melibatkan banyak jenis karang dan areal luas, maka kenaikan suhu permukaan laut merupakan faktor penyebab stress utama.

Kondisi perairan sangat mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan terumbu karang. Pada tahun 2013 sudah tidak terjadi pemutihan karang. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 6-8 m dengan tingkat kecerahan 100% untuk semua lokasi penelitian. Kecerahan yang tinggi ini mendukung pertumbuhan karang karena intensitas dan kualitas cahaya matahari dapat menembus air laut sehingga penting untuk fotosintesis pada zooxantella simbiotik dalam jaringan karang (Nybakken 1992). Suhu permukaan air pada semua lokasi pengambilan data ialah 29 °C dimana suhu tersebut mendukung pertumbuhan terumbu karang. Salinitas berkisar 33-34 ‰ juga menunjukkan nilai yang menunjang pertumbuhan terumbu karang.

Tutupan Karang Keras Hidup

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase rata-rata tutupan karang keras hidup mengalami penurunan pada tahun 2011 dan kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2013 (Gambar 7). Penurunan persentase tutupan karang keras hidup pada tahun 2011 diduga sebagai dampak pemutihan karang tahun 2010.

Gambar 7 Rata-rata tutupan karang keras di Amed

Rata-rata persentase tutupan karang keras hidup secara berurutan dari tahun 2009, 2010, 2011, dan 2013 sebesar 33.67%, 32.00%, 28.33%, dan 49.00%. Pada tahun 2011 tutupan karang mengalami penurunan sebesar 3.67% selanjutnya tahun 2013 meningkat sebesar 20.67%. Penurunan persentase tutupan karang keras hidup pada tahun 2011 dikarenakan kondisi lingkungan perairan tidak mendukung kehidupan dan pertumbuhan karang, yaitu meningkatnya suhu permukaan laut dengan durasi yang cukup lama (±2 bulan). Kosekuensinya, beberapa genus karang rentan tidak dapat bertahan hidup. Pada tahun 2013, persentase tutupan karang keras hidup mengalami peningkatan dikarenakan normalnya suhu perairan yang mendukung keberlangsungan hidup karang.

Gambar 8 Tutupan karang keras di Jemeluk, Lipah, dan Japanese Shipwreck

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 2009 2010 2011 2012 2013 Per sen tase Tu tu p an Tahun 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 2009 2010 2011 2012 2013 Per sen tase Tu tu p an Tahun

Peningkatan persentase tutupan karang keras hidup pada tahun 2013 menunjukkan terjadinya pemulihan terumbu karang di Amed. Satu tahun setelah pemutihan karang yaitu pada tahun 2011 persentase tutupan karang menurun menjadi 28.33%, dua tahun kemudian yaitu pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 49.00%. Pemulihan dapat dilihat dari peningkatan tutupan karang keras sebagai komponen utama pembentuk terumbu. Kembalinya tutupan karang setelah gangguan merupakan salah satu ukuran pemulihan (Berumen & Pratchet 2006; Golbuu et al. 2007). Pada tahun 2013 persentase karang keras hidup di setiap lokasi penelitian mengalami peningkatan (Gambar 8), hal ini menunjukkan terjadinya pemulihan untuk keseluruhan lokasi. Lipah yang merupakan lokasi tertinggi mengalami pemutihan sebesar ±50% pada tahun 2010 (RCFI 2012), mengalami penurunan tutupan karang keras hidup pada tahun 2011 yaitu dari 44.50% menjadi 35.50%, namun kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 55%. Lipah merupakan lokasi terkena dampak pemutihan karang terbesar dibandingkan Jemeluk dan Japanese Shipwreck, hal ini dapat dilihat dari penurunan persentase tutupan karang keras hidup dan peningkatan makroalga tepat satu tahun setelah kejadian pemutihan karang.

Tutupan Karang Keras Hidup dan Makroalga

Penelitian pada tahun 2011 merupakan pengambilan data pertama pasca kejadian pemutihan karang tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian pemutihan karang di tahun 2010 diikuti oleh beberapa kematian koloni karang. Kematian karang menyebabkan penurunan persentase tutupan karang keras hidup. Penurunan tersebut disertai dengan peningkatan persentase tutupan makroalga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tutupan karang keras hidup dari seluruh lokasi penelitian berbanding terbalik dengan makroalga (Gambar 9). Pasca kejadian pemutihan karang, pada tahun 2011 persentase tutupan karang keras hidup mengalami penurunan yaitu dari 32.00% menjadi 28.33% kemudian pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 49.00%, sedangkan tutupan makroalga pada tahun 2011 mengalami peningkatan yaitu dari 0.17% menjadi 13.33%, kemudian pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 0.67%.

Pada kejadian pemutihan karang massal tahun 2010, Lipah merupakan lokasi dengan tingkat pemutihan karang tertinggi. Pemutihan karang tersebut menyebabkan penurunan tutupan karang keras hidup yang disertai dengan peningkatan tutupan makroalga. Diaz dan McCook (2008) menjelaskan bahwa penurunan tutupan karang akan disertai dengan meningkatnya tutupan makroalga. Tingkat kematian karang yang tinggi menyebabkan makroalga menggantikan posisi ruang karang, namun pemulihan terjadi pada tahun 2013 yang dibuktikan dengan peningkatan tutupan karang keras hidup. Kerangka kapur hewan karang yang telah mati merupakan tempat yang cocok untuk makroalga tumbuh. Tingginya tekanan dapat menyebabkan pergantian fase komunitas dengan dominansi alga dimana memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan karang keras hidup (Jompa & McCook 2002).

Gambar 9 Tutupan karang keras hidup dan makroalga di Amed

Substrat Stabil dan Substrat Tidak Stabil

Substrat stabil merupakan istilah yang digunakan sebagai indikator potensi ketersedian ruang sebagai media penempelan planula karang. Salah satu faktor keberlangsungan hidup karang ditentukan kokoh dan solidnya struktur substrat atau media penempelan. Substrat stabil terdiri dari karang mati (dead coral dan

rock) dan alga berkoralin (coralline algae), juga karang yang baru mati (recently killed coral). Lokasi-lokasi yang memiliki banyak tipe substrat ini, jika dikelola dengan baik yang diintegrasikan dengan faktor-faktor pendukung lainnya, dapat mendukung terjadinya pemulihan karang pasca terjadinya gangguan.

Peningkatan persentase tutupan karang keras hidup di Amed didukung oleh ketersediaan substrat stabil. Ketersediaan substrat stabil secara berturut-turut pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2013 yaitu 10.00%, 12.00%, 4.67%, dan 24.17%. Semakin melimpahnya ketersediaan substrat stabil maka sangat memungkinkan terjadinya pemulihan dikarenakan tersedianya substrat yang sesuai untuk penempelan planula karang. Keberhasilan rekruitmen karang salah satunya ditentukan oleh struktur substrat penempelan planula karang. Hayward et al.

(2011) menjelaskan bahwa keberhasilan metamorfosis karang dari fase planktonik larva hingga fase penempelan polip dipengaruhi oleh kondisi yang sesuai, kemudian akan membentuk koloni bagi keberlangsungan hidup karang. Jika planula menemukan substrat yang cocok dan stabil maka planula akan tumbuh menjadi polip dan kemudian membentuk koloni karang.

Substrat stabil di Amed berkisar pada nilai 17.00-33.00%. Persentase substrat stabil pada tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 10. Substrat stabil tertinggi ditemukan di Jemeluk (33.00%), Lipah (17.00%) dan Japanese Shipwreck (22.50%). Tingginya substrat stabil untuk penempelan karang di Jemeluk menunjukkan potensi besar bagi terumbu karang untuk mengalami pemulihan pasca terjadinya kerusakan. Ditambahkan oleh Guntur (2011), kemampuan karang muda untuk terus hidup sangat tergantung pada kondisi

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 2009 2010 2011 2012 2013 Per sen tase Tu tu p an Tahun HCL Makroalga

substrat. Karang akan tumbuh lebih baik di substrat yang padat dengan posisi vertikal.

Gambar 10 Substrat stabil dan tidak stabil untuk penempelan karang

Berbeda dengan substrat stabil, substrat tidak stabil merupakan istilah untuk substrat yang tidak sesuai untuk penempelan planula karang. Hal ini ditunjukkan dengan persentase dari lumpur (silt), pasir (sand) dan pecahan karang mati (rubble). Sebagai contoh, pada rubble planula karang memungkinkan mengalami proses penempelan dan pertumbuhan, namun karena substrat tersebut tidak kokoh menyebabkan minimnya keberlangsungan hidup menjadi karang dewasa.

Hasil penelitian tahun 2013 menunjukkan persentase tutupan substrat tidak stabil di seluruh lokasi penelitian berada dikisaran 10.50-33.50% (Gambar 10). Rata-rata tutupan substrat tidak stabil tertinggi di Jemeluk 33.50%, Lipah 24.00% dan Japanese Shipwreck 10.50%. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, meskipun memungkinkan untuk terjadi penempelan planula pada rubble, namun tidak mampu tumbuh dengan maksimal karena ketidakstabilan substrat tersebut. Bahkan dalam berbagai kasus, rubble bersama dengan pasir maupun lumpur mengakibatkan rekruitmen karang mengalami kematian, baik karena tertutup, tertimbun, patah dan pada akhirnya menjadi faktor penghambat pertumbuhan karang (Clark & Edwards 1999).

Parameter Resiliensi Terumbu Karang

Parameter resiliensi terumbu karang di Amed terdiri dari genus karang resisten, kekayaan genus, biomassa ikan herbivora, penyakit karang, rekruitmen karang, makroalga, suhu perairan, nutrient (polusi), sedimentasi, dampak aktifitas manusia, dan tekanan perikanan yang ada di lokasi penelitian. Paramater resiliensi yang digunakan merupakan adaptasi dari hasil penelitian McClanahan et al.

(2012), dengan menggunakan sistem penilaian Obura dan Grimsditch (2009); Maynard et al. (2012).

0% 20% 40%

Jemeluk Lipah Japanese Shipwreck

Per

sen

tase

Lokasi

Substrat Stabil Substrat Tak Stabil

Genus Karang Resisten

Menurut Obura dan Grimsdith (2009) genus karang resisten merupakan genus karang yang lebih tahan dan tidak mudah mengalami pemutihan ketika terjadi kenaikan suhu permukaan air laut. Genus karang resisten terdiri dari

Porites massive dan non-branching, Pavona serta Astreopora. Genus karang rentan merupakan genus karang yang sangat sensitif dan mudah mengalami pemutihan ketika terjadi kenaikan suhu air laut. Genus-genus tersebut umumnya memiliki bentuk pertumbuhan bercabang, antara lain Acropora, Montipora, Pocillopora, Seriatopora, dan Stylophora.

Persentase genus karang resisten satu tahun pasca kejadian pemutihan karang tahun 2010 menurun: Jemeluk 1.50%, Japanese Shipwreck 0%, dan Lipah 7.00%. Persentase genus karang resisten dua tahun pasca kejadian pemutihan (tahun 2013): Jemeluk 5.00%, Lipah 12.00%, dan Japanese Shipwreck 0.50% (Gambar 11).

Gambar 11 Genus karang resisten di Jemeluk, Lipah, dan Japanese Shipwreck

Kekayaan Genus Karang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 4 perioda waktu yang berbeda, 2009, 2010, 2011, dan 2013, secara umum kekayaan genus karang mengalami peningkatan (Gambar 12). Kekayaan genus tertinggi ditemukan di Lipah dengan 21 jumlah genus karang, diikuti Japanese Shipwreck 17 jumlah genus karang dan Jemeluk 15 jumlah genus karang. Kekayaan genus tertinggi pada tahun 2013 ditunjukkan oleh Jemeluk dan Lipah yaitu 12 jumlah genus, sedangkan Japanese Shipwreck 9 genus. Montipora dan Porites banyak ditemukan di Jemeluk, sedangkan Acropora dan Porites banyak ditemukan di Lipah dan Japanese Shipwreck. 0% 20% 40% 2009 2010 2011 2012 2013 Per sen tase Tahun

Gambar 12 Kekayaan genus karang di Jemeluk, Lipah, dan Japanese Shipwreck

Semakin kaya dan beragamnya jenis genus karang pada kawasan terumbu, mengindikasikan bahwa kawasan tersebut memiliki banyak opsi jenis karang, sehingga ketika terjadi tekanan, misalnya kenaikan suhu permukaan laut yang berpotensi menyebabkan pemutihan karang dapat dipastikan masih terdapat jenis karang yang menjamin kelangsungan ekosistem terumbu karang tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa karang dari spesies tertentu, genus tertentu, atau dengan bentuk pertumbuhan tertentu lebih tahan terhadap gangguan dibandingkan yang lain (Brown & Suharsono 1990; Marshall & Baird 2000; Siringoringo 2007; Obura & Grimsditch 2009). Ekosistem dengan kekayaan genus karang tinggi lebih memiliki peluang untuk bertahan saat terjadi tekanan dari kenaikan suhu air laut maupun tekanan lainnya.

Biomassa Ikan Herbivora

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan biomassa ikan herbivora mengalami peningkatan dari tahun 2009-2013 (Gambar 13). Biomassa tahun 2010 mengalami penurunan, terutama pada Jemeluk dan Lipah, masing-masing menurun 6.24 ke 3.63 kg/375m2 dan 9.87 menjadi 4.57 kg/375m2, sedangkan Japanese Shipwreck mengalami sedikit peningkatan 2.34 menjadi 2.35 kg/375m2. Pada tahun 2011 ketiga lokasi penelitian mengalami peningkatan hingga pada tahun 2013. Biomassa ikan herbivora tertinggi ditemukan di lokasi Japanese Shipwreck pada nilai 58.16 kg/375m2, kemudian Lipah (37.22 kg/375m2) dan Jemeluk (12.44 kg/375m2).

Meningkatnya biomassa ikan herbivora memberi peluang terjadinya pemulihan terumbu karang pasca terjadinya tekanan dan kematian karang. Hughes

et al. (2007) menyatakan jika pertumbuhan makroalga tidak dikendalikan maka komunitas makroalga akan segera mendominansi terumbu karang. Ikan herbivora merupakan faktor pembatas atau pengontrol tidak terkendalinya pertumbuhan makroalga. 0 2 4 6 8 10 12 14 2009 2010 2011 2012 2013 Ju m lah Ge n u s Tahun

Jemeluk Lipah Japanese

Gambar 13 Biomassa ikan herbivora di Jemeluk, Lipah, dan Japanese Shipwreck

Diprediksinya semakin tinggi dan parah potensi terjadinya pemutihan karang massal pada tahun-tahun selanjutnya (Hoegh-Guldberg 1999) maka semakin perlunya untuk dilakukan pengelolaan sebagaimana pentingnya ikan herbivora dalam proses pemulihan terumbu karang.

Rekruitmen Karang

Pemulihan komunitas karang keras juga diperlihatkan dengan adanya peningkatan rekrutmen karang. Menurut Erwin et al. (2008), proses rekruitmen berperan dalam penambahan individu-individu baru kedalam populasi dewasa sehingga eksistensi dan keberlanjutan populasi dapat dipertahankan dan berlangsung secara terus menerus. Hasil penelitian menunjukkan rekrutmen karang secara berurutan dari tahun 2009, 2010, 2011, dan 2013 ialah 9, 19, 8, 21 individu/m2. Peningkatan rekrutmen terjadi tahun 2013 sebesar 21 individu/m2, hal ini mengindikasikan terjadinya pemulihan secara alami pasca kejadian pemutihan karang di Amed.

Rekruitmen karang tertinggi ditemukan di lokasi Jemeluk dengan kisaran nilai 11-30 individu/m2 dari tahun 2009-2013 (Gambar 14). Lipah pada kisaran nilai 6-22 individu/m2. Pada tahun 2009 Japanese Shipwreck memiliki nilai rekruitmen karang 11 individu/m2 namun mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 6 individu/m2 dan kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebesar 11 individu/m2. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 2009 2010 2011 2012 2013 Bi om ass a (kg/375 m 2) Tahun

Gambar 14 Rekruitmen karang di Jemeluk, Lipah, dan Japanese Shipwreck

Pengelolaan kawasan Amed juga perlu diarahkan ke lokasi dengan koloni karang dewasa, sehingga menjamin adanya suplai planula karang untuk lokasi sekitar maupun keterkaitan ke lokasi di luar kawasan Amed. Demikian juga dengan daerah yang ditemukan karang-karang rekruitmen, harus dipastikan bahwa adanya substrat dasar yang memadai untuk mendukung planula karang tersebut tumbuh dan mampu bertahan hidup.

Persepsi Masyarakat terhadap Sumberdaya Terumbu Karang

Masyarakat Amed berpendapat bahwa terdapat keterkaitan antara terumbu karang dengan kelimpahan ikan karang. Hal ini dinyatakan oleh 85% responden, dengan keterangan tambahan bahwa hasil tangkapan ikan target selalu mengalami penurunan dengan lokasi penangkapan yang semakin jauh. Responden menduga hal tersebut merupakan dampak dari terumbu karang yang rusak.

Persepsi masyarakat nelayan terhadap pemutihan karang, sebanyak 70% responden nelayan pernah melihat pemutihan karang (rata-rata merupakan nelayan yang juga terlibat aktivitas wisata bahari), sedangkan responden yang merupakan pelaku wisata (pemandu selam) sebanyak 95% menyatakan pernah melihat pemutihan karang. Pengetahuan mengenai penyebab pemutihan karang lebih dikuasai oleh pelaku wisata (pemandu selam). Responden nelayan dan pelaku wisata sepakat bahwa pemutihan karang dapat merusak terumbu karang dan mempengaruhi kelimpahan ikan karang, namun pelaku wisata menyatakan saat terjadinya pemutihan karang jumlah wisatawan selam/snorkeling tidak berkurang.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa tekanan tertinggi di Amed merupakan aktivitas wisata yang masih belum memperhatikan kelestarian terumbu karang (seperti menginjak-injak karang saat lelah bersnorkeling, mengambil biota laut, dll).

0 5 10 15 20 25 30 35 2009 2010 2011 2012 2013 K o lo n i/ m 2 Tahun

Jemeluk Lipah Japanese Shipwreck

Resiliensi dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang

Pemutihan karang yang disebabkan peningkatan suhu permukaan laut hingga kini belum dapat dihentikan. Sementara para peneliti berpendapat bahwa pemutihan karang akan lebih sering terjadi dimasa mendatang, sehingga karang tidak memiliki kesempatan untuk pulih. Menurut Baker et al. (2008), pemutihan karang merupakan ancaman kerusakan karang yang sangat penting. Peningkatan dan pemeliharaan resiliensi terumbu karang merupakan satu-satunya upaya dalam pengelolaan terumbu karang untuk menghadapi gangguan terkait perubahan iklim global (Nystrom et al. 2008).McClanahan et al. (2012) mendefinisikan resiliensi ekologi sebagai kapasitas suatu ekosistem untuk mengabsorbsi gangguan yang berulang dan beradaptasi dengan perubahan sementara mempertahankan struktur dan fungsi utama yang sama.

Berdasarkan hasil penilaian resiliensi pada ketiga lokasi penelitian diketahui Lipah memiliki resiliensi tertinggi 4.36, kemudian Japanese Shipwreck 3.91, dan yang terendah Jemeluk 3.45. Hal tersebut menjadi dasar dalam rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang dengan melihat nilai parameter resiliensi setiap lokasi. Strategi pengelolaan diharapkan dapat mempertahankan nilai parameter resiliensi yang tinggi dan meningkatkan nilai parameter resiliensi yang rendah. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mempertahankan dan meningkatkan resiliensi ialah dengan pengelolaan kawasan. Data penelitian McClanahan et al. (2001) menunjukkan peningkatan makroalga yang lebih sedikit pada kawasan yang dikelola. Dengan adanya pengelolaan kawasan memungkinkan berkurangnya tekanan terhadap terumbu karang dan memberikan kesempatan pulih. Diperjelas oleh Marshall dan Scuttenberg (2006), bahwa dengan mengurangi atau menghilangkan tekanan-tekanan lainnya dapat menjadi faktor penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup karang.

Gambar 15 Tingkatan resiliensi terumbu karang di Lipah

0 1 2 3 4 5

Genus karang resisten

Suhu perairan Nutrien (polusi) Sedimentasi Kekayaan genus Biomassa ikan herbivora Dampak fisik manusia

Penyakit karang Makroalga Rekruitmen karang

Parameter utama pendukung nilai resiliensi di ketiga lokasi penelitian yaitu

Dokumen terkait