• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

No. Bobot ovarium (gram) Bobot uterus (gram)

K P K P 1 0.08 0.04 1.63 3.82 2 0.05 0.05 1.49 5.74 3 0.09 0.11 3.25 4.31 4 0.04 0.13 3.12 2.59 5 - 0.04 - 0.93 Rata-rata 0.081± 0.027 0.137± 0.137 0.065 ± 0.0238 0,074 ± 0.042 Keterangan: K = Kontrol P = Perlakuan

Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13 hari kebuntingan pada tikus putih yang sedang bunting menunjukkan bahwa rata-rata bobot ovarium dan uterus cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol meskipun setelah dianalisis secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil yang tidak signifikan antara kontrol dan perlakuan ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang terlalu sedikit. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Caropeboka (1980) yang menyatakan bahwa ekstrak akar purwoceng memiliki aktivitas androgenik. Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Taufiqqurrachman (1999) yang melaporkan bahwa ekstrak akar purwoceng sebanyak 25 mg mampu meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) sebesar 4.5% dan kadar testosteron sampai 85.5% dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian ekstrak) pada tikus Sprague-Dawley. Sebaliknya, ketika tikus betina tanpa indung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun pada dosis yang sama, maka tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada bobot rahim.

20

Fakta tersebut juga memberi petunjuk adanya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar purwoceng.

Istilah androgen digunakan secara kolektif untuk senyawa-senyawa yang kerja biologiknya sama dengan testosteron. Fungsi utama androgen adalah merangsang perkembangan, aktivitas organ-organ reproduksi, dan sifat-sifat seks sekunder, sedang kerja kombinasinya disebut kerja androgenik. Androgen utama pada jantan adalah testosteron yang disekresikan oleh sel leydig akibat adanya perangsangan LH (Hafez 2000). LH merupakan hormon yang diproduksi hipofisis anterior dan berperan merangsang sel-sel dalam testis untuk memproduksi testosteron. Jumlah sel leydig sangat banyak pada individu baru lahir dan pada masa pubertas. Kebanyakan testosteron yang terfiksasi pada sel target berada dalam bentuk aktif, yaitu dehidrotestosteron. Testosteron adalah prekursor dari dua kelas steroid, yaitu reduksi 5α-androgen dan estrogen. Efek total yang ditimbulkannya adalah hasil penjumlahan dari pengaruh metabolit reduksi 5α-dihidrotestosteron dan turunan estrogennya, yaitu estradiol (Kee dan Hayes 1994). Purwoceng pada jantan dapat meningkatkan kadar LH dan testosteron (Taufiqqurrahman 1999).

Pada hewan betina proses pembentukan testosteron melibatkan dua sel, yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh FSH dan sel teka akan berkembang di bawah pengaruh LH. Sel teka yang berkembang ini mensintesis androgen yaitu testosteron dari asetat dan kolesterol, sedangkan sel granulosa tidak mensintesis testosteron tetapi mendapatkan asupan testosteron dari sel teka yang pada akhirnya testosteron ini akan diaromatisasi oleh enzim aromatase yang ada pada sel granulosa menjadi estrogen (Johnson dan Everitt 1984). Metabolisme testosteron pada betina mempunyai jalan yang berbeda dengan jantan. Oleh karena itu ketika terjadi pemberian purwoceng yang sudah dibuktikan dapat meningkatkan testosteron, yang terjadi adalah kemungkinan meningkatnya estradiol.

Pengaruh ekstrak etanol purwoceng terhadap bobot ovarium

Bobot ovarium tikus putih perlakuan yang cenderung lebih besar dibandingkan tikus putih kontrol diduga karena kadar estrogen yang meningkat

21

akibat pemberian purwoceng. Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina yang dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar (Frandson 1986). Hormon yang disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah yaitu hormon estrogen (Guyton 1995). Achmadi (2011) menyatakan bahwa periode estrus pada tikus yang dicekok ekstrak purwoceng lebih panjang dibandingkan dengan tikus kontrol. Periode proestrus dan estrus merupakan periode siklus birahi yang terjadi saat fase folikular, yaitu fase pertumbuhan folikel yang sedang berkembang. Fase folikular atau proliferatif disebut juga fase estrogen. Folikel yang sedang berkembang ini akan memproduksi estrogen sehingga semakin besar folikel yang terbentuk maka semakin tinggi kadar estrogennya. Menurut Hiller (1991) dan Ganong (2003) sintesis hormon estrogen akan meningkat seiring dengan perkembangan folikel dalam ovarium. Pada penelitian ini, pemberian purwoceng dilakukan ketika hewan sudah bunting. Tujuan pemberian pada saat bunting ini adalah tidak terhadap proliferasi folikel lagi tetapi menambah hormon estrogen dari luar dengan asumsi bahwa purwoceng mengandung bahan aktif yang mirip atau memiliki efek seperti estrogen. Estrogen yang dihasilkan diduga dan diharapkan membantu peningkatan endogenous estrogen dalam folikel untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus.

Pengaruh ekstrak etanol purwoceng terhadap bobot uterus

Tikus yang dicekok purwoceng cenderung memiliki bobot uterus yang lebih besar dibandingkan tikus kontrol. Seiring dengan peningkatan bobot ovarium pada tikus yang dicekok purwoceng yang diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen maka akan berdampak pada peningkatan bobot uterus. Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Adanya akumulasi cairan dan pertumbuhan endometrium ini mengakibatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih mengalami peningkatan.

22

Gambar 6 Uterus tikus putih pada hari ke-13 kebuntingan.

Uterus merupakan salah satu organ reproduksi betina yang berfungsi sebagai penerima dan tempat perkembangan ovum yang telah dibuahi. Uterus pada tikus berupa tabung ganda yang disebut tipe dupleks (Partodihardjo 1980). Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium (Burkitt et al. 1999). Lapisan endometrium merupakan lapisan yang responsif terhadap perubahan hormon reproduksi, sehingga perubahan lapisan ini bervariasi sepanjang siklus estrus dan dapat dijadikan indikator terjadinya fluktuasi hormon yang sedang terjadi pada hewan tersebut (Johnson dan Everitt 1988; Dellman dan Brown 1992).

Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ. REα dan REβ banyak terdapat dalam jaringan reproduksi wanita diantaranya pada ovarium, endometrium, dan payudara (Ganong 2003). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa (REα) daripada beta (REβ). Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al. 2007). Reseptor estrogen dikendalikan oleh gen pada kromosom (Ganong 2003). Aktivitas estrogen di dalam sel dimulai setelah terjadi ikatan estrogen dengan reseptor di dalam sitosol. Kompleks estrogen dan reseptor selanjutnya berdifusi ke dalam inti sel dan melekat pada DNA. Ikatan kompleks

23

estrogen-reseptor dengan DNA menginduksi sintesis dan ekspresi mRNA berupa sintesis protein sehingga meningkatkan aktivitas sel target yang ditunjukkan dengan terjadinya proliferasi sel (Ganong 2003; Campbell et al. 2004).

Efek estrogenik akar purwoceng dapat mempengaruhi aktivitas mitogenik sel-sel epitel uterus, vagina, dan kelenjar ambing. Aktivitas mitogenik tersebut berupa proliferasi maupun diferensiasi sel-sel epitel. Aktivitas mitogenik sel epitel dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Estrogen dapat berikatan langsung dengan REα epitel ataupun secara tidak langsung dengan REα stroma. Proliferasi yang terjadi pada sel-sel epitel endometrium uterus, epitel vagina, dan epitel duktus kelenjar ambing terjadi secara tidak langsung yang dibantu oleh faktor parakrin yang dihasilkan sel stroma akibat induksi estrogen (Cooke et al. 1995).

Faktor parakrin yang berperan memberikan sinyal untuk menginduksi proliferasi diduga berupa growth factor (GF). Bermacam-macam GF yang diproduksi oleh sel stroma, salah satunya yaitu epidermal growth factor (EGF) yang diduga kuat berperan dalam proliferasi epitel endometrium, epitel vagina, dan duktus kelenjar kelenjar ambing. Estrogen berikatan pada REα stroma yang kemudian akan mengaktifkan faktor parakrin untuk menginduksi mitosis sel-sel epitel. Faktor parakrin berupa EGF akan teraktivasi oleh ikatan reseptor tirosin kinase yang terdapat pada epitel. Kompleks EGF dan reseptor tirosin kinase tersebut kemudian akan mengaktifkan protein-protein kinase yang terdapat dalam sitoplasma sel. Protein kinase yang teraktivasi diduga berupa mitogen-activated

protein kinase (MAPK) yang merupakan sinyal utama pengaktivasi transkripsi

maupun translasi, sehingga terjadi sintesis protein (Clarke et al. 2001). Protein hasil sintesis tersebut diperlukan dalam proses mitosis pada sel-sel epitel. Mitosis yang terjadi pada setiap sel epitel kemudian akan menyebabkan epitel tersebut berproliferasi sampai batas optimum. Proliferasi sampai batas optimum ini menyebabkan bobot uterus kelompok tikus perlakuan lebih besar dibandingkan bobot uterus kelompok tikus kontrol meskipun setelah dianalisa secara statistika pemberian ekstrak etanol purwoceng menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kelompok tikus perlakuan dan kelompok tikus kontrol.

24

Uterus merupakan organ reproduksi yang memiliki reseptor estrogen (Johnson dan Everitt 1988; Cooke et al. 1995) sehingga perubahan yang terjadi pada lapisan penyusun dinding uterus merupakan hasil regulasi hormon, terutama hormon estradiol. Penyusun lapisan endometrium uterus adalah selapis epitel kolumnar dan lamina propia yang terdiri dari jaringan ikat dan kelenjar (Johnson dan Everitt 1988; Burkitt et al. 1999). Kelenjar uterus di dalam endometrium merupakan kelenjar tubular sederhana yang mengalami perubahan sepanjang siklus estrus. Aksi fitoestrogen yang sama dengan estradiol sepanjang fase folikular menyebabkan proliferasi lapisan endometrium, termasuk kelenjar endometrial. Hal inilah yang menyebabkan dinding uterus semakin tebal sehingga bobotnya pun bertambah.

Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011), menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid dan alkaloid. Senyawa tersebut bersifat estrogenik dan merupakan fitoestrogen. Fitoestrogen adalah sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dapat dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen merupakan substrat dari tanaman yang berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti yang sama walaupun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen. Suatu substrat baru berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen (Tsorounis 2004).

Flavonoid termasuk ke dalam golongan fitoestrogen. Flavonoid merupakan senyawa polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fontamida (DMF), dan air (Markham 1988). Isoflavon (Gambar 7) adalah golongan senyawa yang struktur dasarnya terdiri dari dua cincin benzena, dan dihubungkan menjadi satu oleh tiga atom karbon yang tertutup atau tidak tertutup oleh cincin piran. Senyawa isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid (Liu 1997).

25

Gambar 7 Struktur umum isoflavon (Madhavi dan Salunkhe 1996; Chang 2002).

Perbedaan senyawa isoflavon dengan flavonoid terletak pada kedudukan dari cincin aromatik B pada rantai propana sentral (Manitto 1992; Madhavi dan Salunkhe 1996). Senyawa isoflavon sering dijumpai hanya pada tanaman Leguminoceae karena terbatasnya distribusi enzim chalcone isomerase yang mengubah 2 (R)-naringinen, sebagai prekursor flavon menjadi 2-hidroxydaidzein (Coward et al. 1993). Fitoestrogen mayor seperti isoflavon struktur kimianya sama dengan estradiol-17β sehingga dapat dipakai sebagai bahan estrogen alami yang paling potensial. Molekul-molekul fitoestrogen dapat menempati reseptor estrogen (Anggraini 2008), misalnya isoflavon dapat berkombinasi dengan reseptor estrogen sekalipun dengan afinitas yang lebih rendah dibandingkan estradiol-17β dan menstimulasi aktivitas estrogenik sehingga memberikan efek terhadap organ reproduksi tikus yaitu merangsang pertumbuhan uterus dan menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Estrogen steroid alami yang paling kuat di dalam tubuh manusia adalah estradiol-17β (E2), diikuti estron (E1), dan estriol (Cao et al. 2004). Walaupun afinitas terhadap reseptor estrogen tidak setinggi estradiol namun fitoestrogen mampu menimbulkan efek estrogenik (Sheehan 2005).

Senyawa lain yang terdapat dalam purwoceng yang mungkin juga mempengaruhi pertambahan bobot ovarium dan uterus adalah stigmasterol. Stigmasterol merupakan salah satu contoh steroid dengan jumlah atom karbon 29. Steroid atau sterol adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentana. Banyak juga senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Senyawa sterol pada tumbuhan disebut dengan fitosterol, yang umum terdapat pada tumbuhan tinggi adalah sitosterol, stigmasterol dan kampesterol

5 6 7 8 3 2 6’ 5’ 4’ 3’ 2’ 1’

A

O O

B

Keterangan:

A: Cincin Benzena A dengan 6 atom karbon B: Cincin Benzena B dengan 6 atom karbon

26

(Harborne 1987; Robinson 1995). Secara umum komposisi sterol yang terdapat dalam jaringan tumbuhan yaitu 70% sitosterol, 20% stigmasterol, dan 5% kampesterol (Marliyati 2005). Penelitian Caropeboka pada tahun 1980 membuktikan adanya aktivitas estrogenik dari akar purwoceng. Hal tersebut diduga berasal dari kandungan fitosteroid berupa kampesterol, fitosterol, dan stigmasterol. Ketiga senyawa fitosteroid tersebut memiliki kemiripan struktur dengan kolesterol yang merupakan prekursor pembentukan hormon seks, salah satunya hormon estrogen (Montgomery et al. 1993).

Dokumen terkait