• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi

Dalam dokumen ANALISIS FOOD COPING STRATEGY (Halaman 43-63)

Letak dan Posisi Geografis

Jakarta selatan meupakan salah satu wilayah administratif Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang dipimpin oleh seorang walikota. Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. Id.3/I/I/66 tanggal 12 Agustus 1966. Keputusan tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 September 1966. Jakarta Selatan terletak pada 1060 22’ 42” – 1060 58’ 18” Bujur Timur (BT) dan 50 19’ 12” Lintang Selatan (LS) dengan kemiringan 0,25% dan ketinggian rata-rata mencapai 5-50 m di atas permukaan laut. Pada Gambar 2 ditampilkan Peta Administrasi Jakarta Selatan.

Gambar 2. Peta Administrasi Wilayah Jakarta Selatan (Jakarta selatan dalam angka 2008)

Luas wilayah Jakarta Selatan berdasarkan Data Statistik Jakarta Selatan Dalam Angka 2004 mempunyai luas 145,73 km2 atau 22,41% dari luas DKI Jakarta dan berada di sebelah Selatan banjir kanal Timur dengan batas-batas wilayah sebelah Utara berbatas-batasan dengan Banjir Kanal Timur, Jl. Jendral Sudirman, Kecamatan Tanah Abang, Jl. Kebayoran Lama, dan Kebon Jeruk.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Depok. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ciledug dan Kota Tangerang dan sebelah Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung. Secara administrasi wilayah Jakarta Selatan terbagi atas 10 kecamatan dengan 65 kelurahan. Kesepuluh kecamatan tersebut adalah Kecamatan Tebet, Setiabudi, Mampang Prapatan, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Pasar Minggu Cilandak, Pesanggrahan, Pancoran, dan Jagakarsa. Dengan kecamatan yang paling luas adalah Jagakarsa dengan luas 25,01 km2 dan kecamatan Mampang Prapatan sebagai kecamatan dengan luas daerah palig kecil yaitu dengan luas 7,73 km2. Luas daerah tiap kecamatan secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 6 berikut :

Tabel 6. Luas Wilayah Kecamatan di Jakarta Selatan Tahun 2008

No. Kecamatan Luas (Km2)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Jagakarsa Pasar Minggu Cilandak Pesanggerahan Kebayoran Lama Kebayoran Baru Mampang Prapatan Pancoran Tebet Setia Budi 25,01 21,90 18,20 13,47 19,32 12,91 7,73 8,53 9,05 9,61 Jumlah 145,73

Sumber: Jakarta Selatan Dalam Angka (2008)

Kecamatan Tebet Desa Tebet Barat, Tebet Timur dan Desa Matraman merupakan daerah yang dilakukan tempat penelitian. Pemilihan tempat ini dilakukan secara purposive berdasarkan lokasi yang memiliki kondisi lingkungan dan demografi yang hampir sama, sehingga memperoleh lokasi yang homogen.

Sosio Demografi

Total penduduk Wilayah Jakarta Selatan pada tahun 2008 adalah sebanyak 1.745.205 jiwa dengan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan sebesar 11.976 Jiwa/Km2 dimana jumlah total kepadatan ini merupakan hasil pembagian antara jumlah total penduduk dibagi dengan jumlah total luas wilayah Jakarta Selatan yang sebesar 145,73 km2. Rata-rata total kepadatan penduduk perkecamatan di wilayah Jakarta Selatan ini adalah sebesar 13.026 Jiwa/Km2 dengan kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada Kecamatan Tebet dan Kecamatan Cilandak memiliki kepadatan penduduk yang terendah. Data lebih lengkap mengenai tigkat kepadatan penduduk perkecamatan di Jakarta Selatan data dilihat pada Tabel 7 berikut :

Tabel 7. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan pada tahun 2008

Kecamatan Luas (Km Jagakarsa Pasar Minggu Cilandak Pesanggerahan Kebayoran Lama Kebayoran Baru Mampang Prapatan Pancoran Tebet Setia Budi Jumlah 145,73

Sumber : Jakarta Selatan Dalam Angka (2008)

Besar rumah tangga

Besar rumah tangga

kedalam dua katagori dasar penggolongan besar rumah tangga yakni rumah tangga kecil (

(5-7 orang) sebesar

sangat rendah yaitu hanya berjumlah 4 tangga yang diambi

tangga berdasarkan besar

Gambar 3 Sebaran Jika dilihat dari sebaran tangga ada kemungkinan

pangan dan kesehatan yang tidak begitu berat dikarenakan jumlah rumah tangga yang sedikit sehingga beban tanggungjawab yang dimiliki pun relatif lebih ringan. jumlah anggota rumah tangga

masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Menurut Sanjur (1982) besarnya

4% 17% 79% Besar (≥ 7 orang) Sedang (5-6 orang) Kecil (≤ 4 orang)

. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan pada tahun 2008

Luas (Km2) Jumlah Penduduk Laki-Laki (Jiwa) Jumlah Penduduk Perempuan (Jiwa) Total Jumlah Penduduk (Jiwa) 25,01 21,90 18,20 13,47 19,32 12,91 7,73 8,53 9,05 9,61 117.170 138.789 76.729 81.974 120.161 72.614 54.281 63.038 126.751 60.341 108.106 109.343 77.389 74.042 109.526 70.795 50.064 60.331 114.319 59.442 225.276 248.132 154.118 156.016 229.687 143.409 104.345 123.369 241.070 119.783 145,73 911.848 833.357 1.745.205

Sumber : Jakarta Selatan Dalam Angka (2008)

Karakteristik Rumah Tangga rumah tangga

rumah tangga yang didapatkan dalam penelitian ini tergolong kedalam dua katagori dasar penggolongan besar rumah tangga yakni

kecil (≤4 orang) sebesar 79% dan kategori rumah tangga

7 orang) sebesar 17% dengan kategori rumah tangga besar yang tergolong t rendah yaitu hanya berjumlah 4% dari jumlah keseluruhan sampel rumah tangga yang diambil. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan sebaran

berdasarkan besar rumah tangga.

Sebaran rumah tangga berdasarkan besar rumah tangga Jika dilihat dari sebaran rumah tangga berdasarkan sebaran besar

tangga ada kemungkinan contoh yang diteliti memiliki tingkat pemenuhan pangan dan kesehatan yang tidak begitu berat dikarenakan jumlah rumah tangga yang sedikit sehingga beban tanggungjawab yang dimiliki pun relatif lebih ringan.

rumah tangga yang terlalu besar sering kali

masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Menurut Sanjur (1982) besarnya Keterangan :

. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut

Penduduk Kepadatan (Jiwa/Km2) 225.276 154.118 156.016 229.687 104.345 123.369 241.070 119.783 8.876 11.325 8.468 11.582 11.895 11.108 13.481 14.990 25.296 13.236 1.745.205 11.976

yang didapatkan dalam penelitian ini tergolong kedalam dua katagori dasar penggolongan besar rumah tangga yakni kategori rumah tangga sedang dengan kategori rumah tangga besar yang tergolong % dari jumlah keseluruhan sampel rumah menunjukkan sebaran rumah

rumah tangga berdasarkan sebaran besar rumah yang diteliti memiliki tingkat pemenuhan pangan dan kesehatan yang tidak begitu berat dikarenakan jumlah rumah tangga yang sedikit sehingga beban tanggungjawab yang dimiliki pun relatif lebih ringan. ali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Menurut Sanjur (1982) besarnya

atau banyaknya anggota rumah tangga mempengaruhi besarnya belanja rumah tangga. kondisi inilah yang menjadi suatu pertimbangan bagi rumah tangga dalam melakukan food coping strategy. Lebih lanjut Sukarni (1994) menjelaskan bahwa besar rumah tangga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau rumah tangga.

Umur orang tua

Sebaran usia orang tua dalam contoh rumah tangga yang diteliti paling banyak termasuk kedalam golongan dewasa awal dengan jumlah pada Ayah sebanyak 54 orang atau sebesar 64% dari jumlah keseluruhan total jumlah Ayah pada sampel rumah tangga dengan rata-rata umur ayah sebesar 40,6 ±13,44. Tidak jauh berbeda dengan Ayah, sebaran kelompok usia Ibu kategori usia yang paling banyak adalah kategori dewasa awal yaitu 64% dari jumlah keseluruhan Ibu pada contoh rumah tangga atau sekitar 63 orang dengan rata-rata umur sebesar 38,3 ±14,1. Pengkategorian umur orang tua ini didasarkan pada pengkategorian menurut Papalia & Olds (1986) yang mengklasifikasikan umur kedalam empat kategori, yaitu remaja (<20 tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya/tengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir (>65 tahun). Sebaran rumah tangga berdasarkan usia orang tua secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :

Tabel 8 Sebaran rumah tangga berdasarkan usia orang tua

Usia (tahun) Ayah Ibu

n % n %

Remaja (<20 tahun) 0 0,0 2 2,0

Dewasa awal (20-40 tahun) 54 64,0 63 64,0

Dewasa madya (41-65 tahun) 23 27,0 28 29,0

Dewasa akhir 7 8,0 5 5,0

Total 84 100 98 100

Rata-rata ± SD 40,6 ±13,44 38,3 ±14,1

Sebaran usia orang tua rumah tangga termasuk kategori yang siap untuk membangun rumah tangga yang sehat dan sejahtera. Namun, terdapat dua ibu (2,0%) yang termasuk kategori remaja (< 20 tahun) yang memungkinkan belum terbentuknya kesiapan sikap dan mental dalam membenuk rumah tangga yang sahat dan sejahtera. Dimana jika terjadi keadaan seperti ini, memungkinkan terjadinya suatu keadaan yang negatif dalam hal pengasuhan anak saparti yang dijelaskan Harlock (1998) dalam Mutiara (2008) orang tua khususnya ibu yang

berumur terlalu muda (<20 tahun), cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam pengasuhan anak, sehingga pada umumnya orang tua tersebut merawat dan mengasuh anaknya berdasarkan pengalaman orang tua terdahulu. Terlepas dari dampak negatif tersebut umur yang relatif muda ternyata memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat produktifitas. Umur dapat menentukan produktifitas seseorang, semakin muda umur seseorang semakin tinggi produktifitasnya. Khomsan (2007) menjelaskan, orang yang masih muda memiliki kondisi fisik dan kesehatan yang prima untuk menunjang produktifitasnya.

Pendidikan orang tua

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola pengembangan rumah tangga yang akan dilakukan oleh sutu rumah tangga nantinya. Pendidikan orang tua bisa menggambarkan seberapa banyak informasi yang telah dikumpulkan. Seperti yang dikemukakan Soediaoetama (2008) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan akan mempengaruhi praktek pengolahan makanan. Pengkategorian jenjang pendidikan dibedakan menjadi 5 kelompok yaitu: TS (Tidak Sekolah), SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Memengah Atas), dan PT (Perguruan Tinggi). Klasifikasi jenjang pendidikan ini didasarkan pada lama sekolah yang dialami oleh contoh tanpa menghitung tinggal kelas. Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat pendidika orang tua secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9 Sebaran rumah tangga berdasarkan jenjang pendidikan orang tua

Jenjang Pendidikan Ayah Ibu

n % n % Tidak tamat SD 0 0,0 5 5,1 SD 28 33,3 41 41,8 SMP/Sederajat 21 25,0 25 25,5 SMA/Sederajat 30 35,7 25 25,5 Perguruan tinggi 5 6,0 2 2,0 Total 84 100,0 98 100,0

Tabel 9 di atas menunjukan sebagian besar rumah tangga yaitu sebanyak 30 orang ayah (35,7%) mengecap jenjang pendidikan SMA/Sederajat dengan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menenah Pertama (SMP) menjadi sebaran jenjang pendidikan sisanya. Berbeda dengan jenjang

pendidikan ayah, jenjang pendidikan ibu lebih didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 41 orang ibu (41,8%) dengan jumlah sebaran yang mengecap jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) yang sama yaitu sebanyak 25 orang atau 25,5% dari jumlah contoh Ibu rumah tangga yang diteliti. Tingkat jenjang sekolah Ibu yang menunjukan jumlah yang cukup besar pada jenjang SD (Sekolah Daras) yang bernilai 41,8% dari jumlah contoh rumah tangga mengindikasikan dapat terbentuknya generasi anak kurang baik karena rendahnya pengetahuan Ibu terhadap pola asuh sehingga pola asuh yang diberikan kurang mendapatkan perhatian yang baik, seperti yang dijelaskan Pramuditya (2010) bahwa tingkat pendidikan orang tua terutama ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh anak. Dimana pola asuh ini sangat mempengaruhi pola tumbuh kembang anak.

Pekerjaan kepala rumah tangga

Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi rumah tangga dan memiliki hubungan keterkaitan dengan dengan faktor lain, seperti kesehatan. Sukirman (1994) menjelaskan rumah tangga dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi, seperti posyandu, Bina Rumah Tangga Balita dan Puskesmas, sehingga beresiko tinggi memiliki anak yang kurang gizi.

Pekerjaan kepala rumah tangga dikelompokkan menjadi 9 kelompok jenis pekerjaan yaitu pedagang, buruh, pemulung, jasa, PNS/ABRI/Polisi, karyawan, Ibu rumah tangga, tidak bekerja dan lainnya. Pengelompokan ini didasarkan pada hasil pendekatan terhadap pekerjaan apa yang banyak ditemui di lokasi pengambilan data. Sebagian besar pekerjaan kepala rumah tangga contoh adalah bekerja sebagai penjual jasa (27,0%) dan sebagai pedagang sebanyak 23 orang atau sekitar 23,0 % yang menjadi jenis pekerjaan kedua terbanyak yang banyak dilakukan oleh kepala rumah tangga. Jika dilihat dari kepastian mendapatkan pendapatan (gaji) kedua pekerjaan yang mendominasi jumlah sebaran tersebut termasuk kedalam kategori penghasilan tidak tetap. Sebaran

rumah tangga berdasarkan pekerjaan kepala rumah tangga lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 10 berikut :

Tabel 10 Sebaran rumah tangga berdasarkan pekerjaan kepala rumah tangga Kategori kepastian

pendapatan Jenis Pekerjaan

Kepala Rumah

Tangga Total

n % n %

Tidak berpenghasilan Tidak bekerja 5 5,0

8 8,0

Ibu Rumah Tangga (IRT) 3 3,0

Penghasilan tidak tetap Pedagang 23 23,0 75 75,0 Buruh 15 15,0 Pemulung 4 4,0 Jasa 27 27,0 Lainnya 6 6,0

Penghasilan tetap PNS/ABRI/Polisi 5 5,0

17 17,0

Karyawan 12 12,0

Total 100 100,0 100 100,0

Jika didasarkan pada tiga kategori kepastian mendapatkan pendapatan (pekerjaan penghasilan tetap, pekerjaan berpenghasilan tidak tetap,dan tidak berpenghasilan ) pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa lebih dari setengah sebaran rumah tangga (75%) jenis pekerjaan yang banyak dilakukan adalah jenis pekerjaan dengan tingkat penghasilan yang tidak tetap. Dimana hal tersebut, memungkinkan akan terbentuknya pemenuhan pangan yang relative tidak stabil yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pemenuhan pangan yang dilakukan rumah tangga. Selain hal tersebut keadaan ini memugkinkan pola asuh yang kurang baik terhadapat pembentukan karakteristik anak seperti yang dijelaskan Meirita dkk (2000) status pekerjaan orang tua mempengaruhi kuantitas dan kualitas waktu bersama anak terutama Ibu.

Pendapatan

Pekerjaan dari tiap kepala rumah tangga sangat mempengaruhi tingkat kesejahtraan rumah tangga mereka. Hal ini karena dengan memiliki pekerjaan mereka akan memiliki pandapatan. Tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya karena pendapatan rumah tangga yang rendah akan berpengaruh terhadap daya beli pangan sehari-hari. Menurut Sukirman (1994) hal tersebut memungkinkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan rumah tangga akan berkurang. Berdasarkan kateori BPS (2011) untuk kategori Jakarta Selatan didapatkan bahwa kategori pendapatan perkapita perbulan rumah tangga dikategorikan menjadi miskin (< 379.052) dan tidak miskin (≥379.052).

berdasarkan hasil analisis sebagian rumah tangga pada kategori tidak miskin yaitu sebesar 77% dari jumlah keseluruhan contoh rumah tangga. Kategori rumah tangga bedasarkan kategori BPS (2011) secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 11 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan rumah tangga per kapita per bulan

Kategori pendapatan Rumah tangga

n %

Miskin (< 379.052) 23 23,0

Tidak miskin (≥379.052) 77 77,0

Total 100 100,0

Menurut hukum Engel dalam Sukirman (1994), pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, rumah tangga akan membelajakan pendapatannya untuk pangan dengan proposi yang semakin kecil. Sebaliknya, bila pendapatan mengalami penurunan maka porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat. Tinggi rendahnya alokasi pengeluaran pangan adalah indikasi tingkat kesejahteraan rumah tangga. Pada masyarakat yang lebih sejahtera, kebutuhan akan pangan tetap penting, namun pendapatan yang dialokasikan untuk belanja pangan umumnya semakin mengecil.

Berg (1986) mengasumsikan persentase pengeluaran pangan rumah tangga dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu : pengeluaran pangan < 45% pengeluaran ini terjadi pada rumah tangga yang termasuk kategori kaya, persentase pengeluaran 46-79% terjadi pada rumah tangga dengan kategori rumah tangga menengah, dan persentase pengeluaran pangan > 80% pada rumah tangga yang termasuk pada kategori miskin. Merunut pada pengkatagorian tesebut, diperoleh bahwa lebih dari setengah (75%) rumah tangga tergolong kedalam kategori rumah tangga menengah (pengeluaran pangan antara 46-79%) dengan hanya 4 rumah tangga (4%) yang tergolong miskin dan sisanya tergolong kaya, seperti yang tunjukan pada Tabel 12 berikut :

Tabel 12 Kategori rumah tangga berdasarkan persentase pengeluaran pangan

Kategori persentase pengeluaran pangan Rumah tangga

n %

Pengeluaran < 45% 25 25,0

Pengeluaran antara 46-79% 71 71,0

Pengeluaran >80% 4 4,0

Total 100 100,0

Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa pengeluaran pangan rt sebagian besar pengeluaran pangana tergolong menengah yaitu sebanyak 71%.

Hasil uji crosstabs chi-square menunjukkan tidak ada hubunga (p=0,068) antara kategori rumah tangga berdasarkan pendapatan dan kategori rumah tangga berdasarkan pengeluaran pangan. Hal ini menunjukkan, rumah tangga yang tergolong miskin berdasarkan BPS belum tentu tergolong kedalam kategori miskin berdasarkan persentase pengeluaran pangan. Hal ini dikarenakan setiap rumah tangga memprioritaskan pendapatannya untuk pemenuhan pangan.

Konsumsi

Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi. Konsumsi makanan menyangkut kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi seseorang, semakin baik kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi seseorang maka semakin baik pula status gizi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya semakin buruk tingkat konsumsi seseorang maka semakin buruk juga staus gizi orang tersebut. Menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi seseorang atau pun rumah tangga pada perinsipnya tidak terdapat perbedaan yang begitu berarti karena proses akhir dari proses penghitungan ini adalah untuk mengetahui jumlah pengkonsumsian pangan yang dilakukan untuk mencukupi angka kebutuhan gizi yang menjadi batas minimum pemenuhannya, hanya saja di dalam peaksanaannya untuk penghitungan jumlah zat gizi rumah tangga jumlah pengkonsumsian zat gizi dibagi dengan jumlah seluruh rumah tangga yang ikut mengkonsumsi (Briawan, Hardinsyah 1994). Sebaran konsumsi energi contoh lebih dari setengah jumlah keseluruhan contoh rumah tangga (73,0%) atau berjumlah 73 contoh rumah tangga ternyata termasuk ke dalam kategori konsumsi perkapita perhari sedang, sedangkan untuk kategori kurang dan tinggi hampir sama dengan selisih diantara keduanya satu rumah tangga. Tabel 13 berikut merupakan sebaran jumlah konsumsi berdasarkan konsumsi energi perkapita perhari rumah tangga.

Tabel 13 Sebaran jumlah konsumsi energi perkapita perhari rumah tangga

Kategori konsumsi (Kal) Rumah tangga

n % Kurang (<1063) 13 13,0 Sedang (1063-2151) 73 73,0 Tinggi (>2151) 14 14,0 Total 100 100,0 Min;Max 577;4241 Rata-rata ± SD 1607±544

Sebaran konsumsi protein perkapita perhari pada rumah tangga ternyata tidak berbeda jauh dengan konsumsi energi rumah tangga perkapita perhari

sebanyak 77% rumah tangga yang termsuk kategori sedang dan sisanya termasuk kategori kurang (11%) serta tinggi (12%). Walaupun demikin jika berdasarkan uji spearman kedua hal ini memiliki hubungan positif namun tidak signifikan karena p=0,521. Tabel 14 berikut merupakan sebaran konsumsi protein perkapita perhari rumah tangga.

Tabel 14 Sebaran konsumsi protein perkapita perhari rumah tangga

Kategori konsumsi (gr) Rumah tangga

n % Kurang (< 27.4) 11 11,0 Sedang (27.4-63.4) 77 77,0 Tinggi (>63.4) 12 12,0 Total 100 100,0 Min;Max 16; 58 Rata-rata ± SD 44.9±17.5

Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Daily Allowance (RDA) menurut Almatsier (2001) merupakan taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk, sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai taraf asupan yang aman (safe level of intake). Sebaran AKG dan AKP rumah tangga dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 15 Tingkat kecukupan Energi dan Protein rumah tangga

Tabel 15 diatas menunjukan sebaran tingkat kecukupan dengan nilai minimm dan maksimum yang relative lebih besar dibandingkan dengan nilai konsumsi menunjukan ada kemungkinan terjadinya persentase kecukupan yang kurang atau defisit hal ini disebabkan karena lebih besarnya rata-rata tingkat kecukupan dengan rata-rata konsumsi. AKG menurut Departemen Kesehatan (1996) dikelompokan menjadi defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), ketegori normal (90-119% AKG) dan ketegori lebih ((≥120% AKG). Tabel 16 berikut merupakan sebaran konsumsi dan tingkat kecukupan rumah tangga.

Zat gizi Min Max rataan

Energi 1703 2643 2128±167

Tabel 16 Sebaran rumah tangga menurut tingkat pemenuhan AKG

Kategori Energi Protein

n % n %

Defisit tingkat berat (< 70% kebutuhan) 48 48.0 25 25.0

Defisit tingkat sedang (70 – 79% kebutuhan) 14 14.0 7 7.0

Defisit tingkat ringan (80 – 89% kebutuhan) 16 16.0 12 12.0

Normal (90 – 119% kebutuhan) 17 17.0 31 31.0

Lebih (≥120% kebutuhan) 5 5.0 25 25.0

Total 100 100.0 100 100.0

Berdasarkan pada Tabel 16 di atas dapat dilihat bahwa kategori rumah tangga berdasarkan tingkat pemenuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tergolong beragam dengan sebaran kategori normal untuk energi hanya berjumlah 17% berbeda dengan junlah persentase tingkat pemenuhan protein yang menjadi jumlah paling besar dari seberan keseluruhan rumah tangga yaitu sebesar 31%. Keberagaman ini menggambarkan terdapatnya perbedaan dalam pemenuhan gizi seimbang. Dimana dalam pemenuhan gizi seimbang ini didapat dari asupan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi usia dan kegiatan sehingga tercapai berat badan normal. Pemenuhan gizi seimbang pada rumah tangga harus mendapatkan perhatian yang lebih, terlebih pada rumah tangga yang memiliki bayi. Seperti yang dijelaskan Sutoto (1990) Gizi pada batita harus seimbang, mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Kekurangan gizi dalam bentuk kekurangan protein dan energi serta zat gizi mikro pada kelompok ini selain akan menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik juga non fisik seperti kerusakan awal perkembangan otak, kecerdasan, kemampuan sekolah dan produktivitas yang berlangsung permanen (Soekirman 1994).

Coping strategy

Menurut Rice (1999) dalam Maryam (2007) strategy coping berfokus pada masalah adalah strategi coping yang dilakukan individu dengan mencoba mengembangkan perencanaan langkah yang konkrit dan menggunakannya sebagai kontrol. Sementara itu, Sen 1982 dalam Mangkoeto (2009) menjelaskan strategy coping biasanya dilakukan sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan dalam mengakses pangan untuk menjamin kelangsungan hidup seserang atau salah satu anggota rumah tangga. Tidakan yang dilakukan setiap orang berbeda tergantung dari masalah yang hadapi dimana keberhasilna ini tergantung dari sistem yang berkembang dalam masyarakat. Sementara itu, Usfar (2002) menyatakan bahwa tindakan food coping dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu: melakukan aktivitas yang mendatangkan pendapatan, melakukan perubahan diet (pola makan), berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses)

makanan, berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses) uang (tunai), hingga cara yang paling drastis dengan melakukan migrasi atau mengurangi jumlah anggota rumah tangga. Sebaran prilaku yang dilakukan rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 17 berikut :

Tabel 17Sebaran perilaku food coping strategy rumah tangga. Skala Perilaku Jabawan Total Ya Tidak n % n % n % 1 MENINGKATKAN PENDAPATAN

- Istri atau suami mencari pekerjaan

sampingan. 48 48,0 52 52,0 100 100,0

- Istri ikut bekerja 39 39,0 61 61,0 100 100,0

- Anak usia sekolah ikut bekerja 5 5,0 95 95,0 100 100,0

PERUBAHAN KEBIASAAN MAKAN - Mengurangi jumlah pembelia pangan

pokok 49 49,0 51 51,0 100 100,0

- Mengurangi jumlah pembelian lauk 54 54,0 46 46,0 100 100,0

- Mengganti beras dengan makanan

pokok lainnya 2 2,0 98 98,0 100 100,0

- Mengurangi frekuensi makan 32 32,0 68 68,0 100 100,0

- Mengurangi penggunaan teh/kopi/gula 38 38,0 62 62,0 100 100,0

- Mengurangi jajanan anak 48 48,0 52 52,0 100 100,0

- Menyisakan makanan untuk keesokan

harinya 32 32,0 68 68,0 100 100,0

- Membawa bekal saat bekerja 17 17,0 83 83,0 100 100,0

2 PENAMBAHAN AKSES SEGERA UNTUK BELI PANGAN

- Meminta atau meminjam uang dari

orang tua atau saudara/kerabat 41 41,0 59 59,0 100 100,0

- Terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga (dari non saudara/kerabat)

38 38,0 62 62,0 100 100,0 - Terpaksa berhutang untuk memenuhi

kebutuhan materil (perabotan rumah) 19 19,0 81 81,0 100 100,0

- Menjual/menggadaikan perhiasan emas 28 28,0 72 72,0 100 100,0

- Menjual/menggadaikan perabotan non

elektronik 5 5,0 95 95,0 100 100,0

- Menjual/menggadaikan perabotan

elektronik 11 11,0 89 89,0 100 100,0

Tabel 17 di atas menunjukan sebaran tindakan yang paling banyak dilakukan untuk golongan perilaku meningkatkan pendapatan adalah tindakan “suami atau istri mencari pekerjaan sampingan” yang dilakukan 48 contoh dari keseluruhan rumah tangga atau 48,0% persen dari rumah tangga, persentase menjawab tidak pada kategori food coping yang dilakukan untuk golongan perilaku meningkatkan pendapatan adalah tindakan mengikut sertakan “anak usia sekolah ikut bekerja” sebesar (95,0%) hal ini bisa menjadi gambaran akan kesadaran rumah tangga mengenai pentingnya pendidikan sudah terbentuk dengan baik.

Sementara itu, tindakan “Meminta atau meminjam uang dari orang tua atau saudara/kerabat” merupakan tindakan yang banyak dilakukan (41%) untuk kategori golongan perilaku coping penambahan akses segera untuk beli pangan. Pernyataan ini menunjukan terdapatnya dukungan sosial dalam lingkungan yang terbentuk di wilayah rumah tangga tinggal, dimana dari dukungan sosial ini diharapkan dapat mempengaruhi cara mengatasi suatu masalah dalam rumah tangga dalam hal ini adalah masalah pemenuhan kebutuhan. Seperti yang dijelaskan Mutiara (2008) bahwa dukungan sosial ini dapat diperoleh dari orang lain seperti; rumah tangga, saudara, atau masyarakat dimana orang tersebut

Dalam dokumen ANALISIS FOOD COPING STRATEGY (Halaman 43-63)

Dokumen terkait